Aku masih mentertawakan kebodohan Mas Yoga, ingin sekali mengatakan padanya bahwa perempuan itu punya niat buruk untuknya. Bahwa bayi yang dia kandung bukannya darah daging Mas Yoga. Semua itu rasanya percuma, belum tentu dia percaya dengan omonganku.
Aku memilih masuk ke kamar. Mengambil handphone lalu menghubungi Mas Candra. Dia mengirimkan pesan tadi, memintaku untuk menandatangani beberapa berkas. Aku ingin keluar sekarang. Biarkan saja Mas Yoga sendiri di rumah ini. Apa yang bisa dia lakukan? Tak ada sedikitpun.
"Hallo, Mas. Kita ketemu di kafe biasa ya? Aku mau jalan ini", ujarku.
"Ya, mas juga mau jalan. Sampai jumpa disana ya?" balasnya.
"Ok", ucapku. Lalu menyimpan handphone di dalam tas. Aku meraih kunci mobil dan juga kunci mobil yang satunya. Jangan sampai saat aku tidak ada, Mas Yoga membawa kabur mobil itu.
"Kamu mau kemana?" tanya Mas Yoga saat aku memasang sendal di kakiku.
"Aku kelua
"Amira, kamu dimana? Nggak jadi datang ke rumahku?" tanyaku pada Amira sesaat setelah dia menjawab panggilanku."Maaf sayang, satu jam lagi aku kesana. Ngurusin bocil dulu. Atau, aku langsung ke rumah baru kamu aja, gimana? Share lock aja nanti lokasinya", usulnya padaku."Ok, deh. Kita ketemu di rumah baru aku saja. Janji datang ya? Aku nggak punya teman soalnya", aku berharap Amira bisa datang. Menemaniku menata rumah baru itu. Masih banyak perabotan rumah yang harus aku beli."Siipp...aku pasti datang kok!" jawabnya mencoba menenangkanku.Aku segera mematikan sambungan telpon. Orang yang memperbaiki kunci rumah sepertinya juga sudah selesai."Sudah siap, Pak?" tanyaku."Sudah, Mbak. Ini kuncinya!" aku meraih kunci baru yang Bapak itu berikan.Aku merogoh saku baju mengambil uang untuk bayaran Bapak itu."Ini, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak!" ucapku."Sama-sama, Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu", ucap
Aku langsung istirahat sesampainya di rumah. Kupandangi langit-langit kamar mataku berembun oleh airmata. Semua hal baru dalam hidupku akan dimulai dari rumah ini. Kehidupan sebagai seorang janda seperti mimpi buruk bagiku. Akankah aku sanggup hidup seorang diri? Membesarkan buah hatiku seorang diri?Rumah sebesar ini terasa sepi. Apa tindakanku benar? Apa aku tidak akan menyesal nantinya setelah bercerai? Padahal aku belum tahu kebohongan apa yang sebenarnya Mas Yoga sembunyikan.Aku mengusap butiran airmata yang jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh sedih. Aku harus yakin bahwa keputusan ini adalah yang paling benar.Handphoneku yang terletak di atas kasur berdering. Aku segera meraihnya. Telpon dari Mas Candra."Hallo, Riana. Hari ini mas sudah mendaftarkan gugatan cerai darimu ke pengadilan. Tidak lama lagi, Yoga akan mendapat surat panggilan", ucap Mas Candra singkat."Baiklah, Mas. Terima kasih!" ucapku."Kamu kenapa? Kok kedengarann
"Ayo Riana! Kita bicara di dalam!" ajak Mas Yoga sok berkuasa."Kami sepertinya pulang saja ya, Riana?" ucap Amira padaku. Sepertinya dia tidak ingin mendengar obrolan kami nantinya."Iya, Riana. Mas pulang saja dulu ya? Nanti kalau ada apa-apa cepat-cepat hubungi, Mas!" ucap Mas Candra padaku."Memang seharusnya kamu tidak ada disini!" ucap Mas Yoga kasar pada Mas Candra. Mas Candra hanya menatap Mas Yoga dengan tangan mengepal. Sepertinya dia tengah menahan amarah."Ya sudah, Mas, Amira. Terima kasih banyak sudah nemenin aku", ucapku merasa tak enak."Mereka bakalan datang sebentar lagi, Riana", ucap Amira padaku. Yang dia maksud pasti pembantu dan satpam untuk rumahku ini.Aku mengangguk pada Amira. Lalu melepas kepergian mereka. Setelah itu aku langsung membuka pintu rumah dan masuk tanpa mempersilahkan mereka masuk.Mas Yoga dengan cepat mengikuti langkah kakiku memasuki rumah.
Aku melajukan kendaraan keluar dari rumah baru Riana. Sialan! Dia beli rumah yang sangat mewah. Jauh sekali bandingannya dengan rumah yang lama. Aku mengumpat di dalam hati. Aku tidak menyangka sedikitpun Riana bisa menjadi keras kepala seperti ini.Semua bujukanku sekarang tak mempan sedikitpun untuknya. Bahkan sekarang aku malah jadi pengangguran. Dengan mudahnya dia mendepakku dari kehidupannya.Baru sebentar aku merasakan nikmatnya menjadi seorang direktur, sudah banyak keinginan yang terencanakan di benakku. Sekarang semuanya nihil. Aku memukul stir dengan perasaan dongkol."Apa maksud Riana dengan rahasia besar itu? Apa yang kamu rahasiakan darinya?" Ibu malah bertanya soal itu di saat pikiranku mumet."Aku tidak ingin membicarakan itu, Bu!" balasku enggan."Ayo ceritakan sama ibu. Mana tahu ibu punya solusi atas semua masalah ini?" bujuk Ibu padaku.Aku melirik Ibu sekilas. Apa sebaiknya aku bicarakan itu pada Ibu?
"Bagaimana? Apa mereka suka dengan rumahnya?" tanyaku pada agen penjualan rumah itu."Suka, Pak. Hari ini juga mereka akan menyelesaikan pembayarannya!" ucapnya lagi."Baguslah, saya bisa ikut ke kantor untuk mengurus pembayarannya!" balasku."Maaf, Pak. Mbak Riana bilang, dia sendiri yang akan menerima pembayarannya. Dia berpesan untuk tidak berurusan dengan orang lain selain dirinya!" aku menjadi kesal dengan jawaban agen itu. Sialan Riana! Dia ingin memakan semua uang hasil penjualan rumah itu seorang diri.Aku segera merogoh handphone dari dalam saku celana. Aku segera menghubungi Riana."Maksudmu apa dengan melarangku ikut campur masalah penjualan rumah?" tanyaku marah sesaat setelah Riana menjawab panggilan telpon dariku."Aduh Mas...itu rumah atas nama pribadiku sendiri. Jadi suka-suka aku dong? Kamu juga sudah memberikan perempuan itu rumah yang sama bagusnya denganku. Kalau kamu butuh uang, jual saj
Semua urusan perceraian aku serahkan pada Mas Candra. Aku tak pernah menghadiri sekalipun sidang perceraian antara aku dan Mas Yoga.Saat kutanyakan pada Mas Candra bagaimana kelanjutan sidang, dia selalu menjawab semuanya baik-baik saja. Dia memintaku untuk tetap sabar. Sidang agak tegang karena Mas Yoga tetap kekeh tak mau bercerai.Aku memilih tak menghadiri persidangan karena aku tahu, Mas Yoga akan bersikap seperti itu. Karena dia akan sangat rugi jika bercerai denganku. Rumah dan mobil sudah aku jual. Uangnya aku simpan di rekening.Sekarang dia pasti tengah bingung. Karena tidak memiliki apapun lagi, yang dia miliki hanyalah perempuan itu saja. Dan aku yakin sekali, sebentar lagi perempuan itu akan meninggalkan Mas Yoga karena tidak ada lagi yang bisa dia harapkan dari Mas Yoga.Aku sedang merencanakan sesuatu untuk perempuan itu dan juga selingkuhannya. Mereka silau akan harta. Setelah mereka tahu aku kaya dan bergeli
Aku menunggu beberapa hari, tapi perempuan itu belum juga kembali menghubungiku. Apa dia sedang merencanakan sesuatu?Mas Candra sudah menemukan lima orang tukang pukul yang aku inginkan. Mereka hanya menunggu aba-aba dariku saja. Aku sudah tidak sabar lagi.Saat aku tengah makan siang, masuk pesan singkat dari perempuan itu. Dia mengatakan untuk membawa uang itu ke tempat dimana dia pernah menyerahkan aku pada Mas Yoga dulunya saat mereka menyekapku.Aku segera membalas pesannya. Dia berpesan agar aku jangan membawa siapapun. Aku menyanggupinya. Waktu pertemuan sudah di tentukan. Dia memintaku datang ke tempat itu jam 10 malam. Aku yakin mereka pasti merencanakan sesuatu padaku.Aku berusaha tenang dan menyanggupi apapun yang mereka minta. Kali ini mereka yang akan aku balas.Aku segera menghubungi Mas Candra, memintanya untuk mengumpulkan orang-orang itu. Aku akan pergi sendiri ke tempat itu, diikuti oleh
"Kamu perempuan berhati iblis! Aku sudah membantumu dengan memberikan diary itu tapi malah ini balasannya!" teriak perempuan itu tak terima di ikat seperti itu.Aku melepaskan pelukan Mas Candra lalu berjalan mendekatinya."Kamu yang berhati iblis! Setelah Mas Yoga tidak punya apa-apa lagi, lalu aku yang menjadi sasaranmu. Tidak bisa! Aku tidak akan mengabulkan keinginanmu!" teriakku tepat di telinganya."Riana, ini semua uang itu! Dan juga lihat ini", ucap Mas Yoga sambil meminta koper itu pada preman yang ku bayar."Apa Mas?" jawabku sambil mendekati Mas Yoga."Mereka sepertinya berencana untuk kabur setelah mendapatkan uang darimu! Selain koper uangmu, ada juga sebuah koper lain yang berisi uang dan perhiasan serta beberapa dokumen penting!" ucap Mas Yoga sambil membuka koper yang satunya lagi.Seketika aku kaget melihat isinya. Uang dalam jumlah yang mungkin lebih banyak dari ya
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik