Menjaga jarak dari Cempaka, Danendra mengangkat panggilan dari Natali."Dane, kamu sedang di mana?""Bersama Cempaka, telah ku katakan, mengambil cuti.""Aku merindukanmu.""Keadaanmu baik-baik saja, bukan? Tidak drop lagi?"Natali menggeleng walaupun Danendra tak melihat wajahnya. "Aku sehat, semua karna kamu.""Sudah makan siang dan minum obat?"Bahagia hati Natali lantaran perhatian Danendra selalu tertuju padanya. "Sudah.""Dane..., apakah kamu sudah mengatakan rencana kita pada Cempaka?"Danendra bergeming, ia belum kuasa menyampaikan permintaan Natali pada Cempaka. Namun, dia pun kesulitan mengontrol kesehatan Natali bila berjauhan."Tenanglah, pasti akan aku sampaikan. Sudah dulu, ya, aku mau lanjut makan siang dengan Cempaka."Embusan napas kencang Danendra menyiratkan betapa lelah beristrikan dua orang perempuan. Menjadi adil itu tidak mudah sama sekali.Danendra kembali ke tempat dia makan bersama Cempaka. Perempuan itu tetap fokus dengan makanan yang tinggal sedikit, tanpa
Di ruang istirahat, Danendra memijit area pelipis, kepalanya terasa pusing. Bukan memikirkan pekerjaan, melainkan dua orang istri yang berbeda karakter.Cuti hanya sehari, setelahnya Danendra harus kembali pada tanggungjawab sebagai seorang dokter.Danendra sudah tahu dari lama kalau Cempaka tipe perempuan yang tegas berprinsip, sehingga sejak ia menikahi Natali kembali, dirinya seperti dianggap musuh oleh Cempaka. "Padahal tujuannya mulia untuk bertanggungjawab pada Natali yang sebenarnya telah mengidap kanker saat menjadi istriku, Cempaka."Penjelasan apa pun tetap tidak diterima oleh Cempaka, ia selalu dan selalu membantah."Kalau begitu, kamu nikahi semua perempuan yang menderita penyakit keras. Sekalian mulia dengan membiayai hidup mereka. Uang tidak masalah bagi kamu, bukan?"Mengingat percakapan yang lebih tepat perdebatan tak berujung, Danendra menepuk-nepuk kepala bagian belakang."Pak dokter, kenapa?"Salah seorang rekannya bertanya lantaran melihat gelagat aneh Danendra.
Seharian suasana hati Cempaka tidak begitu baik, ia terus terpikir tentang percakapannya bersama Natali.Izin pulang lebih cepat dari toko bunga, Cempaka menyuruh Heru untuk singgah di pemakaman, tempat Haris, Bima, dan Cakrawati. Jarak makam ketiganya berbeda-beda lantaran wafat di tahun yang berbeda. Lokasi Bima dan Cakrawati sedikit berdekatan.Pergi ke makam malah menguras emosi Cempaka, ia merasa sendiri saat ini."Bang, usia pernikahanku sama sepupu kamu masih sangat muda, tapi aku bakal cepat tua karena madu yang diberinya untukku. Seharusnya madu itu, manis, tapi aku merasa diselubungi kepahitan, Bang," ucap Cempaka di hadapan nisan Haris."Kasih tahu, Bang, apa yang harus aku lakukan?" lanjutnya.Sementara itu, di makam Bima dan Cakrawati, Cempaka mencurahkan rasa sendiri tanpa menyinggung nama Danendra seolah-olah tidak ingin mengganggu keduanya dengan permasalahan rumah tangga barunya.Sore hari, barulah Cempaka kembali ke rumahnya. Heru sebagai pengemudi keluarga telah pu
Danendra serba salah dalam menghadapi Cempaka. Ia ingin memberikan perhatian sebagai suaminsiaga, sayangnya Cempaka selalu menunjukkan perlawanan.Dengkusan Danendra menandakan bila kepalanya bertambah pusing dalam menghadapi Cempaka. Dengan Natali, Danendra tidak sepusing ini. Perempuan itu lebih memahami keadaan, hanya saja apa yang disampaikan oleh Cempaka tadi menerbitkan rasa kesal dalam hatinya."Halo, Dane... kamu sudah makan malam?" Natali menghubungi Danendra setelah seharian tidak mendapat pesan dadi suaminya."Belum. Kamu?" jawab Danendra dengan sisa rasa kesal yang belum mereda."Sudah. Ini jam setengah tujuh, belum lagi makan malam?""Di sini makan malam jam 7, Natali.""Bagaimana kabar Cempaka dan kehamilannya?" Pertanyaan itu mengingatkan Danendra pada pertengakaran bersama Cempaka. "Natali, aku mau bertanya... apa yang kamu katakan pada Cempaka? Benar, kamu bilang kalau aku tidak akan menceraikan Cempaka karena anak dalam kandungannya?"Terhenyak Natali lantaran Cemp
Hari ini, Cempaka turut mengantarkan Saras ke sekolah. Sewaktu Danendra menawarkan diri menyopiri, diangguki baik oleh Cempaka, mendadak panggilan darurat dari rumah sakit memaksa Danendra mengurungkan niat baiknya.Rasa bersalah tercermin dari paras murung Danendra. "Tidak masalah, kewajiban kamu sebagai dokter. Ada anak yang lebih membutuhkan kamu di sana."Danendra mengangguk hingga kembali menampakkan raut riang."Lain waktu bapak akan menemani, bapak janji!" ucapnya pada Saras, mereka saling menautkan jari kelingking. Peristiwa itu disaksikan oleh Cempaka sampai membuat hatinya gelisah dan sedih. Secepatnya Cempaka mengalihkan pandang ke arah lain."Aku izin mencium perut kamu, ya," pinta Danendra dengan rasa ragu ditolak.Cempaka menoleh kembali setelah menenangkan diri. "Silakan!"Meskipun hanya dikecup dari luar pakaian dan tidak mengenai kulit, terbit gelenyar dalam diri Cempaka, bersamaan dengan itu janinnya bergerak.Ia mengusap perut setelah Danendra mengakhiri komunikas
Dua hari ini, Danendra tinggal bersama Natali. Ia menemani kontrol rutin ke rumah sakit tempatnya bekerja. "Syukurlah, keadaan kamu terus membaik, Natali," ucap Danendra sembari mendorong kursi roda Natali ke arah parkiran. "Kamu pulang duluan, ya. Aku masih harus menangani pasien." Natali mengangguk lalu bertanya, "Malam ini pulang ke rumah, bukan?" "Besok aku ke tempat kamu, malam ini aku balik ke rumah dulu." Natali dibopong oleh Danendra memasuki kendaraan yang khusus dibeli Danendra. Ia pun mempekerjakan seorang pengemudi untuk membantu Natali bila akan bepergian. Kursi rodanya dilipat oleh sopirnya dalam bagasi. "Cempaka 'kan baik-baik saja," ucap Natali bermaksud agar Danendra tidak jadi ke sana. "Sedari tadi malam, Cempaka tidak bisa dihubungi. Aku mau tahu kabarnya." "Dari Bik Saidah dan Heru kamu bisa bertanya." Berbagai cara diupayakan oleh Natali agar Danendra mengurungkan niat untuk pulang. "Ya, nantilah, di jam istirahat aku tanyakan." Natali tidak b
Saras masuk ke sebuah rumah berukuran lebih kecil dari rumah yang ditempati di Bekasi. Jauh lebih kecil.Dibuka Cempaka pintu sehingga mereka bisa masuk. Telah ada barang-barang yang tersusuk rapi seperti rak dan lemari di sana, tetapi tidak banyak."Saras, ini rumah kita sekarang," ucap Cempaka sambil membuka gorden dan kaca jendela.Saras membeku memikirkan lingkungan baru yang sekarang ada di hadapannya. Dari luar terdengar suara anak-anak kecil berlarian.Jalanan rumah tidak begitu lebar, hanya bisa dilalui oleh kendaraan bermotor. Sungguh, berbeda dari yang ada selama ini."Mama yakin kita tinggal di tempat seperti ini?"Cempaka terhenti untuk menyalakan lampu di kamar. Suara Saras terdengar jelas dari sana."Yakin. Apa menurut kamu ada masalah?" tanya Cempaka menemui anaknya di ruang tamu."Ngga ada, Ma. Suasana aja beda jauh dari rumah lama."Senyum Cempaka tidak cukup menenangkan bagi Saras."Kita berpisah dari bapak, apa untuk selamanya?"Pertanyaan Saras cukup berani kali in
Toko bunga hidup milik Cempaka telah dibuka di sebuah ruko satu lantai berukuran 5 x 13 meter. Meskipun tanpa pesta pembukaan toko, hati Cempaka sangat senang melihat saat pengunjung mendatangi toko bunga miliknya."Bu, sebaiknya istirahat. Saat hamil tua jangan kelelahan, Bu," ujar Kinanti, pekerja yang dibawa oleh Cempaka dari Bekasi ke Jakarta.Cempaka mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Ia belum mampu menyediakan AC di ruko agar lebih sejuk.Memperhitungkan biaya bulanan dan keperluan AC lebih dari satu, maka diputuskan hanya di rumah sewa ia letakkan. Itupun di kamar miliknya.Bila Saras kepanasan, terpaksa anak kecil itu mendatangi kamar ibunya. Cempaka pun sengaja agar komunikasinya dengan Saras bisa berjalan, bila hanya ada satu AC di rumah mereka.Ponsel Cempaka berdering, panggilan dari pihak sekolah membuat Cempaka khawatir. Segera ia menjawab."Selamat siang dengan Ibu Cempaka?"Dari awal, Cempaka telah menyimpan nomor kontak sekolah untuk bertanya informasi seput
Hari mulai gelap, Cempaka gelisah lantaran merasa terlalu lama jauh dari anak-anaknya."Kita makan malam dulu, gimana?" ajak Danendra usai mereka menonton film drama di bioskop."Pulang saja, ya, anak-anak pasti cari," tolaknya dengan pasti, Cempaka gelisah mengingat kedua buah hatinya.Danendra mengangguk, mereka berjalan beriringan ke lokasi parkir."Kamu suka filmnya tadi?" tanya Danendra membuka percakapan setelah mereka dalam perjalanan tak mengeluarkan kata sama sskali.Cempaka mengangguk."Nabil, pemain utama, memilih tindakan yang tepat dengan berpisah dari suaminya, pulang kembali ke Indonesia," komentar Cempaka yang membuat posisi duduk Danendra merasa tak nyaman."Tapi, Maxime menunjukkan kalau dia serius bersama Nabil, bukan. Mengejar istrinya sampai ke Indonesia dan meyakinkannya kalau dia bukan Maxime yang dulu. Perjuangan Maxime lima tahun untuk bisa menemukan jejak istrinya. Dan butuh tiga tahun meyakinkan Nabil.""Entahlah, sepertinya semua pria memang seperti itu, ka
Pagi hari usai mengantarkan Saras ke sekolah, Danendra melakukan aktivitas sebagai dokter di rumah sakit. Meskipun semangatnya turun, ia tetap profesional dalam bekerja. Saat jam istirahat ponselnya berdering."Ya, Ma?""Bagaimana kabar kamu?" tanya Qonita dari seberang. Danendra menghela napas panjang, menyenderkan punggung ke bangku."Sepertinya aku gagal, Cempaka tetap mau bercerai, Ma."Qonita merasakan nada sendu dari anak tunggalnya itu. Hatinya pun tak sanggup bila Cempaka akan berpisah dari Danendra. "Sepertinya kamu harus bersiap untuk itu," ucap Qonita bila memang itu akan terjadi."Besok kami akan ke pengadilan, Ma."***Hari yang ditakuti Danendra datang, mereka hadir secara terpisah. Danendra dari tempat kerja, sementara Cempaka dari rumah.Cempaka bisa mengamati bagaimana paras suaminya, sedari semalam mereka telah pisah ranjang. Danendra memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Ia tak sanggup bersama Cempaka dan setelah itu mereka berpisah.Agenda pertama ada
Dengan sigap Danendra melingkarkan tangan ke tubuh Cempaka sehingga perempuan itu tidak terjerembab ke lantai.Mendadak suara tangis Keenan memenuhi kamar tidur mereka. Segera Cempaka setelah badannya seimbang pergi menggendong Keenan."Ssshhh... maaf, ya, Mama membangunkan kamu." Cempaka mengayun-ayun Keenan, menenangkan, sampai anaknya kembali terlelap dalam gendong Cempaka.Perilaku Cempaka yang lembut menangani Keenan disaksikan oleh suaminya dengan seksama. Dalam hati ia memuji istrinya yang lembut pada anak, tetapi bisa kasar juga terhadap orang yang melewati batas.Cempaka kembali naik ke tempat tidur lalu meletakkan Keenan dengan perlahan. Dia menarik napas panjang, lega, lantaran Keenan sudah terbuai dalam tidurnya."Ngapain senyum-senyum?" tanya Cempaka pada Danendra yang tak melepas tatapan.Danendra tidak sadar kalau Cempaka memerhatikan dirinya, ia salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepala belakang. "Kamu ibu dan istri yang luar biasa." Danendra memberanikan diri memuj
Merasa tidak mampu sendiri, Danendra memutuskan meminta bantuan orang tuanya untuk meyakinkan Cempaka agar bersedia bersamanya."Baru sadar sekarang, Danendra!" Lantaran jarak jauh, Danendra hanya bisa mengobrol dari telepon.Bukannya dukungan, Danendra malah dimarahi oleh ibu kandungnya, Qonita."Papa kamu mendukung perceraian kamu, terlalu banyak penderitaan Cempaka!"Beberapa waktu lalu Qonita masih berjuang agar Cempaka tidak bercerai dari putra kesayangannya, hanya saja mengingat betapa Cempaka terluka, hatinya pun tak sanggup."Mama harus bantu aku," ucap Danendra memohon. "Kamu tidak sadar betapa dicintai oleh Cempaka selama ini, hah?!""Cempaka hanya mencintai bang Haris, Ma." Bayangan kemesraan dan kedekatan Cempaka di masa lalu dengan mendiang Haris menari di alam pikiran Danendra. "Jadi, Keenan - anak kamu, bukan bukti kalau Cempaka sangat mencintai kamu? Dia rela tetap bertahan dimadu, padahal dia tahu mendiang istri kamu orang jahat!!"Qonita menggeleng tak habis pikir,
Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara
Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen
Dahlia menemui Danendra di rumah sakit, mereka duduk di taman yang sedang tidak banyak orang. "Aku mohon kamu mau menemui Natali." "Aku akan menceraikannya setelah anak itu lahir lalu mengasuhnya bersama Cempaka." Rahang Dahlia mengatup kuat. Dia semakin yakin cinta Danendra pada Natali sudah sirna seiring terkuak kebenaran. "Apa kamu yakin Cempaka akan menerima anak itu?" Natali tidak setuju, tetapi dia pun tidak bisa berbuat banyak. "Untuk terakhir kali aku menemui Natali, setelah itu jangan kamu datang lagi atas suruhan Natali!" "Aku tidak disuruh Natali atau siapapun, hanya demi kemanusiaan." Danendra berdecak lalu tertawa seolah-olah ada yang membuat kelucuan. Cempaka keluar dari persembunyiannya, ia mencuri dengar percakapan antara Danendra dan Dahlia. Keinginan untuk menemui suami pudar, Cempaka memiliki rencana lain. *** "Dane, kamu masih bersedia menemui aku?" Danendra memenuhi keinginan Dahlia untuk menemui Natali. Danendra duduk berseberangan dengan N
Sebulan berlalu sejak kejadian Cempaka meminta cerai, tinggal tiga bulan lagi. Hubungan antara Cempaka dan Danendra semakin renggang. "Mengapa akhir-akhir ini kamu sering keluar rumah?""Memangnya kenapa? Bik Saidah mengadu?" tanya Cempaka tanpa memandang suaminya. Dia sibuk dengan banyak kertas di tangannya."Kamu buka toko baru?""Kamu membuntutiku?""Kalau tidak seperti itu, kamu tidak pernah mau cerita. Sudah berapa lama?""Bukan urusan kamu." Cempaka berdiri memandang suaminya. "Kamu urusi saja istri kamu yang mau melahirkan itu, bukannya sebentar lagi?"Danendra menghela napas."Jangan mengalihkan pembicaraan. Oh, ya, perlu aku ingatkan keinginan bercerai kamu tidak akan pernah terkabul." Danendra pergi begitu saja dari kamar ke ruang makan. Beberapa minggu belakangan, Danendra sering pulang lebih awal dari rumah sakit.Cempaka terduduk kembali, gilirannya mendengkus karena Danendra memutuskan secara sepihak nasibnya di masa mendatang. ***Usai praktek di poliklinik, Danendra
"Natali, sudahi kebodohan ini!" ujar Dahlia. Baru kali ini perkataan Dahlia serasa tajam di pendengaran Natali."Keluarga Danendra sulit ditumbangkan, lihat papamu, malahan masuk penjara demi aksi balas dendamnya. Apa kamu mau berakhir seperti itu? Cukup menjadi orang jahat, fokuslah sekarang pada anakmu!"Dahlia rasanya tidak sabar lagi menghadapi sahabat karibnya yang terlihat konyol."Tapi... tapi... aku mencintainya, Dahlia," isaknya duduk di kursi."Apa aku bilang! Dulu kamu menikah dengannya tanpa cinta, hanya untuk membalas dendam. Danendra sangat mencintai kamu. Sekarang giliran kamu mencintainya, pria itu sudah tak punya lagi hati untuk kamu. Sadar, Natali!!"Natali semakin terisak, ia merasa menyesal dengan sikapnya di masa lalu sehingga membuat cinta Danendra luntur padanya."Tapi, aku mau berusaha untuk mendapatkan Danendra lagi, Dahlia," ucapnya dibarengi gelengan dari Dahlia."Sadar Natali kesalahan kamu itu banyak, jangan sampai Danendra tahu rahasia kelam kamu, tiba wa