“Kenapa? Apa Kamu sudah dihasut oleh Riana untuk membenci Ibumu sendiri?” tanya Mayang sedih.
“Tidak. Aku hanya kesal saja setiap hari ada saja masalah di rumah ini. Apa tidak bisa sehari saja tenang seperti rumah yang lainnya?”“Kamu tahu sendiri kan, Rey? Kalau Riana itu sebagai menantu tidak becus sekali melayani mertuanya. Bahkan dia tadi membuatkan Ibu jus yang sangat tidak enak rasanya, dengan terpaksa Ibu mengomelinya,” jelas Mayang.“Jelas saja kalau jusnya tidak enak. Karena tidak pakai gula, mana enak!”Reynald berlalu masuk ke dalam kamarnya, ia membanting pintu dengan keras sampai membuat Riana terkejut di dapur. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di kasur dan mengirimi Diandra pesan.[Sudah sampai?] pesan Reynald.[Sudah, kalau Kamu?] balas Diandra.[Sudah kok. Aku sampai ke rumah dengan selamat][Lalu setelah Kamu sampai, langsung mengirimi Aku pesan? Romantis sekali]Diandra menyematkan stiker love di pesannya, membuat Reynald semakin tersenyum senang dengan wanita cantik itu.“Andaikan kamu istriku, mungkin hariku akan sempurna,” gumam Reynald.“Kamu bicara sama siapa, Mas?” tanya Riana yang datang tiba-tiba.“E-ehm. Tidak bicara dengan siapa-siapa kok, mungkin Kamu yang salah dengar,” jawab Reynald gugup.“Masa sih?” tanya Riana tidak percaya.“Iya, dong. Untuk apa Mas bohong kepadamu,” kata Reynald mencoba meyakinkan.“Bisa juga ya. Ini karena ibu terlalu sering memarahiku membuat kepalaku terasa pusing,” adu Riana.Reynlad tersenyum kecut mendengar keluhan Riana.'Selalu saja seperti itu, bikin Aku kesal saja!'Umpatnya di dalam hati.“Aku mau mandi dulu, baru kita makan bersama di meja. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu, cumi saos tiram.” Riana mengambil handuk , lalu masuk ke dalam kamar mandi.“Iya.” Jawab Reynlad tanpa menoleh ke arah Riana, ia masih asyik berkirim pesan dengan Diandra...“Mas, apa Kamu tidak masalah kalau aku tidak kunjung memberikanmu anak?” tanya Riana saat di dalam kamar mereka.“Tidak,” jawab Reynlad singkat.“Apa benar seperti itu, Mas?” tanya Riana lagi.“Iya,” balasnya datar.“Tapi, kenapa jawaban yang kamu berikan sangat singkat sekali?” kata Riana sedih.Dalam hati, Reynald pun menggerutu. Ia muak sekali, tetapi ditahannya.“Riana Sayang, tidak apa kalau kita masih belum memiliki anak. Lagi pula, Aku masih belum siap,” kata Reynald dengan senyum manis.“Kenapa Kamu belum siap, Mas? Bukankah ibumu sangat menginginkannya?”“Itu ibu, bukan Aku! Kalau Aku masih belum siap, bagaimana? Aku belum siap memiliki anak, karena anak kecil itu terlalu rewel. Kamu lihat sendirikan si Leo,” kata Reynald masih berusaha lembiut.Padahal di dalam hatinya terus mengumpat kepada Riana yang terlalu banyak tanya, dia kesal karena wanita itu menganggunya yang sedang berkirim pesan dengan Diandra sejak tadi. Membuat moodnya yang sedang bagus rusak saja.“Kamu tidur saja, nanti malah kesiangan dimarahi oleh ibu lagi!” perintah Reynald.“Mas, juga tidur. Nanti besok akan lelah di kantor,”“Iya, nanti dulu. Masih ada teman kantor Mas yang mengirimkan pesan,” kata Reynald berbohong.“Jangan terlalu malam loh Mas tidurnya,” kata Riana khawatir.“Iya,” balasnya lagi.Riana memejamkan matanya di samping Reynald. Sedangkan suaminya itu terkekeh kecil membaca pesan yang dikirimkan oleh Diandra. Dia berkirim pesan sampai larut malam.'Ck! Lebih baik, aku punya anak dari Diandra dibanding kamu!'.Seperti biasa Riana bangun lebih awal, dia sholat subuh baru memasak sarapan sekaligus bekal untuk suaminya. Tidak peduli kalau dia masih sangat mengantuk dan lelah, Riana tetap menyiapkannya seorang diri tanpa mengeluh. Setelah dirasa selesai, ia baru mandi dan membangunkan mertua sekaligus suaminya.“Mas, ayo bangun! Nanti telat loh ke kantor.” Riana mengguncang pelan tubuh Reynald supaya lelakinya tidak terkejut.“Sebentar lagi saja!”“Ini sudah jam setengah tujuh loh, Mas,” tegur Riana.“Astaga! Hari ini Aku ada meeting penting jam tujuh!” kata Reynald terkejut.Reynald berlarian ke kamar mandi, ia hanya mencuci muaknya dan gosok gigi. Lalu memakai jas yang sudah Riana sediakan tadi malam, memang Riana selalu menyiapkan semuanya malam hari. Karena tidak mau dimarahi suaminya karena terlalu lama menyetrika kemeja suaminya itu.Reynald menuju meja makan untuk sarapan, ia makan dengan cepat sampai tersedak."UHUK!"“Rey, pelan-pelan!” tegur Mayang.“Aku harus cepat, Bu. Karena ada meeting penting bersama bos setengah jam lagi,” kata Reynald yang masih menyantap makanannya.“Apa?! Kalau begitu Kamu harus cepat, nanti kena marah atasanmu itu. Kenapa juga Riana tidak membangunkan Rey lebih awal!” gerutu Mayang menyalahkan Riana.Padahal Riana tidak tahu soal meeting yang akan dilakukan setengah jam lagi itu, andai dia tahu pasti ia akan membangungkan lebih awal seperti perkataan Mayang.“Sudahlah, Bu! Aku pamit dulu mau berangkat sekarang, takut telat.” Reynald beranjak dari kursi megambil tas yang berada di ruang kerjanya. “Hati-hati, Rey.” Kata Mayang sambil terus menyantap nasi di piring yang belum habis.“Mas, tunggu dulu!” Riana berlari dari arah dapur menuju tempat di mana suaminya berada.“Apa lagi?! Aku sudah hampir terlambat loh!” gerutu Reynald kesal.“Ini bekal buat nanti siang.” Riana menyodorkan bekal kepada Reynald dengan penuh cinta.Reynald menolak. Pria itu langsung buru-buru pergi menaiki mobilnya. “Tidak usah! Aku bisa makan siang di kantin kantor.”Raut wajah Riana menjadi kecewa, ia sudah susah payah membuatkan bekal makan siang untuk suaminya. Tetapi, malah ditolak oleh Reynald tanpa memikirkan perasaan istri yang sudah lelah menyiapkannya.“Riana, bersihkan meja makan cepat!" perintah Mayang dengan nada tinggi, "Aku tidak suka kalau meja mahalku kotor, menantu malas!”“Baik, Bu. Akan segera Aku bersihkan setelah makan,” jawab Riana.Riana melangkah mendekati meja makan, ia tidak mendapati lauk atau pun sayur di sana. Semua yang dia masak habis tidak bersisa, membuat dia menggelengkan kepalanya pelan. “Untung mas Rey tidak membawa bekal, jadi Aku bisa makan deh,” kata Riana seorang diri sambil memeluk erat kotak bekal yang berada di tangannya. Memang ada perasaan kecewa di hatinya tetapi, Riana tidak ingin memikirkan terlalu jauh. Karena menurutnya kalau memikirkan itu tidak baik bagi diri sendiri, makanya sebisa mungkin dia menahan diri supaya tidak menjadi beban pikiran yang akan membuatnya menjadi berpikiran buruk. Riana makan dengan lahap, ia sangat menyukai menu makanan pagi ini. Sebab, setiap kali Serly datang Mayang akan membeli lauk dan sayur enak dalam jumlah banyak, jadi saat dia memasaknya kemarin, masih ada sisa untuk sarapan pagi ini. Kapan lagi akan makan enak, biasanya setiap hari akan menyantap hidangan sederhana seperti ikan asin
Mayang menggeleng dramatis, seolah menjadi ibu mertua yang amat bijak. “Bagaimana ya, Jeng. Namanya juga punya anak lelaki dibilangin susahnya minta ampun, padahal sudah beberapa kali kukatakan kalau Riana bukan wanita yang baik untuk menjadi istrinya. Yah tetap saja dia ngeyel,” kata Mayang dengan ekspresi sedih lagi. “Mungkin karena si anakmu tuh, Jeng. Yang cinta berat sama istrinya, jadi wajarlah seperti itu. Apa lagi yang Aku lihat si Riana sangat cantik,” kata Desi. “Tidak juga sih, Kamu tidak lihat Riana lagi sih, Jeng Desi. Aku kemarin lewat rumah Mayang, si Riana itu sangat berbeda sekali dengan waktu pertama menikah. Jelek, kumal dan tidak terurus gitu,” ejek Santi. “Masa sih, Jeng Santi?” tanya Desi tidak percaya. “Ya, jelas dong. Coba tanya Mayang, apa Aku bohong sama Kamu, iyakan, Jeng.” Santi menyenggol lengan Mayang pelan. Mayang yang baru meminum jusnya langsung tersedak, karena terkejut. “Tentu dong, Jeng. Si Riana memang tidak pandai merawat diri, apa lagi dia b
“Lama banget shalatnya, Kamu shalat apa tidur?!” tanya Mayang kesal. “Tidak, Bu. Aku selesai shalat langsung kemari,” jawab Riana lembut. “Kenapa jadi lama banget? Ya, sudahlah langsung pijat saja, awas kalau mijatnya tidak enak!” Riana pun diam. Dia memilih memijat ibu mertuanya dengan lembut. Sungguh, ia tidak mau kalau Mayang akan merasa kesakitan dengan pijatannya. Jadi, ia melakukan hati-hati, karena tidak menginginkan kalau mertuanya akan marah. “Heh, Riana! Kamu mijat apa mengelus sih?!” tanya Mayang kesal, karena ia malah merasa geli. “Maaf, Bu. Aku tidak mau kalau Ibu akan kesakitan,” kata Riana lembut, tidak pernah terpancing menjawab mertuanya dengan nada tinggi. Hanya kemarin saja, ia sempat terpancing karena merasa lapar dan lelah. “Kalau Kamu memijatnya seperti itu, itu bukan memijat namanya melainkan mengelus. Pijat dengan keras!” perintah Mayang. Riana lantas menuruti perkataan Mayang, dia memijat mertuanya dengan keras, membuat Mayang menjadi menjerit karena k
“Riana!” panggil Mayang dengan berteriak dari dalam kamar. “Iya, Ibu.” Riana tergopoh-gopoh berlari mendekati mertuanya. “Belikan Ibu soto ayam di depan sana, jangan pakai lama!” Mayang menyodorkan selembar uang berwarna biru. “Iya, Bu.” Riana segera berjalan ke kamar, ia memasang jilbab instan dan jaket, lalu mengambil kunci motornya. Motor yang sudah ada sebelum Riana menikah, motor matik menemani ke mana pun dia pergi sewaktu gadis. Riana melajukan matik pergi ke tempat yang mertuanya maksud, lumayan jauh kalau berjalan ke sana. Jadi dia memilih mengeluarkan maticnya. Riana sudah sampai di tempat yang dia tuju, dia segera memparkirkan matiknya ke tempat parkiran. Lalu masuk ke dalam warung makan yang sangat ramai, membuat dia harus mengantri beberapa saat. Tidak lama, tiba giliran Riana, dengan cepat wanita itu memesan satu bungkus soto. “Berapa, Pak?” tanya Riana. “15ribu, Dek.” “Ini uangnya.” Riana menyerahkan selembar uang berwarna biru. Dia bergegas berjalan pulang, tid
Riana merasa soto yang dia makan sangat enak, ia bahkan menghabiskan kuahnya sampai tidak tersisa. Setelah menyantapnya sampai habis, dia bersendawa karena merasa kenyang. “Alhamdulillah, enak sekali,” Riana mengucapkan rasa syukur. Riana mulai berpikir makan malam nanti apa, ia tidak mungkin menyuguhkan telur dadar kepada suami atau mertuanya. Tetapi, seketika dia teringat kalau uang kembalian soto tadi masih banyak, Riana akan mengatakan kalau ingin membeli lauk makan malam dengan uang ini. Karena kalau tidak, nanti malah dibilang lancang oleh mertuanya. “Ibu!” Riana memanggil mertuanya dengan suara nyaring di depan pintu. “Em,” Mayang menyahut dengan bergumam, ia malas menjawab karena sedang telponan dengan seseorang. “Aku pakai uang Ibu ini ya, bua beli lauk dan sayur untuk makan malam nanti,” kata Riana. “Iya,” Mayang padahal tidak mendengarnya dengan jelas, ia hanya sekedar menjawab ‘iya’ saja. Karena tidak mau mendengar ocehan Riana lagi. Sedangkan Riana, ia bersorak ria
Reynald merasa ada yang memperhatikan, ia berbalik ke arah belakang. “Argh! Sedang apa Kamu, Riana?!” “Mas, sedang apa? Sedari tadi kok senyum-senyum sendiri,” Riana berwajah bingung, matanya selalu melirik ke arah ponsel Reynald. Reynald segera menutup ponselnya dan menaruh di atas nakas. “Bukan dari siapa-siapa, hanya teman kantor biasa.” Reynald berkata sambil meraih handuk untuk mandi. “Oh,” Riana sangat penasaran sekali dengan isi ponsel Reynald, sayang dia tidak bisa meminjam ponsel itu. Karena lelaki itu pasti tidak akan suka kalau ponselnya dimainkan oleh Riana, padahal status Riana adalah istri. Jadi wajar kalau mau meminjam ponsel suami sebentar tetapi, sayangnya Reynald tidak pernah mengizinkan. 'Apa Aku buka saja, ya?'Batin Riana meronta-ronta sangat ingin melihat pesan apa yang membuat suaminya terus-menerus tersenyum, sampai tidak menyadari keberadaannya. Riana mendekat ke arah ponsel itu, tangannya sudah mulai mengarah ke sana. Sayang, suara kunci diputar terdenga
“Ii-itu,” Riana tidak bisa menjawab dengan benar, ia gemetaran hebat. “Berani sekali, ya, Kamu, Riana! Padahalkan Kamu tahu Aku paling tidak suka kalau ponselku disentuh orang lain!” Reynald teramat kesal sekali melihat ponselnya berada di tangan Riana. Disisi lain ia takut kalau Riana akan mengetahui dirinya mulai tertarik dengan wanita lain, pasti Riana akan marah besar kepadanya. “Aku tahu, hanya saja setiap kali Aku melihatmu memegang ponsel, Kamu selalu saja tersenyum sendiri seperti itu membuatku menjadi curiga,” Riana berkata pelan, ada sesak di dalam dadanya mengatakan itu. “Lantas Kamu mengira Aku sedang bermain api?” Reynald meninggikan suaranya. Riana terdiam, membuat Reynald menjadi naik pitam. “Kamu pikir Aku akan melakukan itu? Kamu menganggapku apa selama ini? Kamu pikir Aku seperti lelaki lain di luaran sana, yang berselingkuh dengan wanita lain?!” Reynald terus memberondong Riana dengan berbagai macam pertanyaan. “Aku hanya ... “ Riana tidak sanggup meneruskan k
“Argh!” Reynald berteriak karena terkejut. “Mas, kenapa sih Kamu susah banget bangunnya? Ini sudah jam berapa, nanti terlambat lagi,” Sebenarnya Riana malas sekali membangunkan Reynald, tubuhnya saja masih terasa nyeri akibat tadi malam tetapi, ia tidak memiliki pilihan lain, mana mungkin dia mau dipukuli untuk kedua kalinya. “Kamu menggangguku saja.” Reynald bergumam pelan, ia mengusap wajahnya kasar. “Mengganggu apa?” Riana mengerutkan alisnya pertanda ia bingung. “Huh! Sudahlah Aku mau mandi.” Reynald segera beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Riana menghela napasnya panjang, ia merasa bingung dengan sikap suaminya beberapa hari ini, yah tetapi, memang dari beberapa tahun Reynald sudah berubah, lelaki yang dia cintai itu terlihat sangat berbeda saat ini, tidak seperti dulu. Wanita malang itu segera keluar dari kamar tamu, ia mengambilkan pakaian untuk Reynald pergi bekerja. “Astaga, Aku lupa menyetrikanya!” Riana panik, ia melupakan agenda menyetrika pakaian suaminya s
Tidak terasa waktu sudah berlalu dengan begitu cepat, Mayang sekarang menjadi kesulitan bicara dan berjalan karena stroke yang dia derita melumpuhkan separuh tubuhnya sebelah kanan. Sehingga apa yang ingin dia lakukan menjadi kesulitan, jadi harus dibantu oleh orang lain, mulai dari makan bahkan sampai ke kamar mandi. “Ck, aku nikah buat hidup enak, bukan seperti ini!” gerutu Diandra. Diandra sepanjang jalan menggerutu sedari tadi, membuat Reynald menajdi muak, “Diam kamu! Ini juga karena aku menikah denganmu, hidupku menjadi sial!” Reynald menyalahkan Diandra atas kesalahnnya sendiri, begitulah dia selalu melempar kesalahannya kepada orang lain. “Idih! Kamu yang korupsi, kok aku yang disalahin?!” Diandra menatap bengis kepada suaminya yang baru dia nikahi beberapa bulan ini. “Iyalah, karena aku menikah denganmu semuanya jadi kacau! Beda saat bersama dengan Riana, apa lagi kamu tahu suamimu tidak bekerja malah tetap pergi shoping, sehingga semua harta yang terisa menjadi habis kare
“Wanita itu? Apa kamu mengingat sesuatu?” Riana menatap lekat kekasihnya, dia menunggu jawaban keluar dari mulut Wira dengan tidak sabaran.Wira masih mengingat-ingat apakah benar wanita itu, tetapi penampilan dan sifatnya jauh berbeda dengan wanita yang diingat tersebut, dulu setahu Wira hanya satu wanita yang menatap Riana dengan tatapan penuh iri dan kebencian. Wanita yang wajahnya penuh jerawat dan bahkan selalu mendelik setiap kali Riana melihatnya.“Aku tidak tahu namanya, tapi dia wanita yang selalu mendelik kepadamu setiap kali kamu melewatinya. Hanya saja penampilannya sangat jauh berbeda dengan dulu, bukan maksudku menghina, wajahnya penuh dengan jerawat bahkan selalu berjalan menunduk karena dia selalu dibully oleh senior!” ucap Wira dengan ragu, dia masih tidak yakin kalau wanita itu adalah Diandra.Hanya dia lah yang terlihat sangat membenci Riana, bahkan setiap kali ada kesempatan wanita itu akan mengerjai kekasihnya tersebut, tetapi Wira ‘lah yang selalu menggagalkan re
“Wira? Maaf aku sedang sibuk!” Riana menjauhi Wira dan melambaikan tangan kepada pelayan yang lain. “tolong layani dia, aku akan masuk ke ruanganku!”Sebenarnya dia ingin mengajak Wira berbicara, dirinya merindukan lelaki itu walau baru sebentar tidak bertemu dengan nya, hanya saja teringat akan Subroto yang tidak merestui ubungan dia dnegan lelaki itu mmebuat Riana menjadi urung untuk sekedar mengajak Wira berbicara.“Riana, tunggu!” Wira menahan tangan Riana, supaya wanita itu tidak pergi.“Maaf saya sedang sibuk sekarang, jadi saya harap Anda pergi saja!” Riana mengusir Wira sambil menepis tangan lelaki itu dari dirinya.“Riana, apa kamu marah kepadaku karena tidak membelamu? Maafkan aku untuk itu, aku akan mengumpulkan bukti untuk mengatakan kepada Papa sekaligus membersihkan namamu!” Wira mengatakan semuanya kepada Riana, tetapi dia ragu kalau wanita itu akan mempercayainya.Riana terdiam, hatinya terasa nyeri mendnegar perkataan Wira tersebut, yah dia memang merasa sakit hati la
“Iya. Tante Desi memang wanita yang sangat baik, aku berdoa kalau dia ‘lah yang menjadi mertuaku nanti. Apakah aku terlalu berharap?” Riana bertanya dengan mata berbinar-binar, dia sangat berharap kalau dirinya berjodoh dnegan Wira. Kapan lagi dia mendapatkan mertua seperti Desi, yang selalu menyayanginya.“Tidak ada salahnya untuk berharap. Sekarang kamu istirahat saja, besok sudah mulai belajar mengelola restoran dengan Mutia. Jadi kamu harus menyiapkan diri untuk besok, aku pamit pulang dulu.” Edo mengusap rambut keponakannya sebelum pergi, Riana menjawab dengan anggukan kepala.*Di lain tempat Desi tengah bersedih, dia tidak menyangka kalau suaminya setega itu kepada seorang wanita muda malang itu, sungguh padahal tadi dia sangat bahagia sekali dengan kepulangan Riana dari rumah sakit dan sekaligus kedatangan suaminya yang tiba-tiba. Namun, ternyata malah berakhir dengan kesedihan, sekaang dia tidak bersemangat lagi menyambut kedatangan Subroto dengan penuh semangat seperti tadi,
“Tidak perlu Paman melakukannya, biarkan saja!” Riana tidak mau sang paman membalas apa yang telah orang-orang itu lakukan kepadanya.“Kenapa? Mereka ‘kan sudah jahat kepadamu, jadi biarkan aku yang mengurusnya. Kamu hanya perlu melihat saja tanpa perlu mengotori tanganmu itu!” Edo geram dengan ke’empat orang itu, dia ingin memberikan pelajaran kepada mereka semua. Walau Subroto sedikit sulit karena dia seorang pemilik perusahaan besar dan terkenal, tetapi dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas perbuatan mereka semua.“Tidak papa! Aku sudah ingin berusaha ikhlas saja dengan perbuatan mereka, apa lagi ayahnya Wira, aku tidak mau melakukan sesuatu yang buruk kepada dia. Karena Tante Desi, istrinya sangat baik kepadaku selama ini dan juga Wira ....” Riana tidak meneruskan kalimatnya.“Apa Ibu Riana menyukai Wira? Maaf kalau saya ikut campur pembicaraan ini!” tebak Mutia. Karena dia tahu kalau seseorang membicarakan seorang lelaki dengan wajah yang memerah, berarti orang itu menyu
“Iya. Ini restoran sekarang adalah milik Anda, karena Anda adalah ahli waris yang sah! Oh, iya, perkenalkan saya adalah Mutia, manajer di restoran ini.” Mutia mengulurkan tangannya, untuk memperkenalkan diri kepada bos barunya tersebut.Riana hanya menerima uluran tangan itu dalam diam, dia masih mencerna situsi yang ada, dia masih tdak menyangka kalau kedua orang tuanya memiliki restoran yang mewah dan besar seperti ini. Apakah memang benar ini adalah milik kedua orang tuanya? Dia masih tidak mempercayainya, karena menganggap semua ini hanya mimpi.“Bu Riana?” Mutia menyentuh Riana pelan, karena sedari tadi dia mengajak bicara tetapi tidak ada sahutan yang terdengar.“Eh, ii-iya!” Riana tergagap, dia terkejut karena tadi sempat melamun.“Apa Anda mau berkeliling untuk melihat restoran ini?” Mutia menawarkan untuk berkeliling, sebenanrnya Pak Edo menyuruhnya untuk mengajak Riana berkeliling dan memperkenalkan dengan bawahan yang lain.“Boleh. Tapi barangku ini di taruh di mana?” Rian
"Tapi ada bukti dan saksi yang mengatakan kalau Riana lah yang mencuri bersama dengan Kiki," ucap Subroto tidak ingin mengatakan siapa saksi yang bersaksi atas Riana lah yang mencurinya."Aku tidak percaya hal itu, Pa! Mana mungkin Riana yang mencurinya dan buat apa juga dia melakukan hal itu?!" Desi berkata dengan nada tinggi, dia tidak terima suaminya itu menuduh Riana wanita yang menurutnya adalah wanita baik-baik."Saksi dan bukti sudah ada, lagi pula map ini kami temukan di kamar Riana. Tepatnya di bawah pakaiannya terselip." Subroto mengambil map yang berada di balik punggungnya, dia memperlihatkan kepada Desi kalau Riana benar-benar seperti yang dia katakan.Riana yang melihat hal seperti itu, dua mengetahui kalau Subroto tidak menyukai dirinya dan dari pengalaman yang dia dapatkan di rumah Reynald, percuma membela diri pasti lelaki itu akan bersikeras mengatakan kalau dia lah yang mencuri map tersebut dari bukti, saksi bahkan penemuan map yang tidak pernah dia lihat sekali pun.
“Apa maksudmu?!” Wira tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Reynald tentang Riana. “Masa Anda tidak mengerti, Pak? Setiap orang akan berubah seiring berjalannya waktu, sama halnya Riana yang Anda kenal dulu. Jadi sekarang dia bukanlah Riana yang Anda kenal dulu, tapi Riana yang berbeda," ucap Reynald menjelaskan. “Iya. Kau memang benar, orang pasti bisa berubah!” Subroto membenarkan perkataan Reynald, diiringi dengan anggukan oleh para karyawan wanita yang masih berada di sana. “Tt-tapi aku sangat yakin kalau Riana tidak berubah!” ucap Wira dengan terbata. Dia masih berusaha menolak perkataan Reynald. “Wira, kamu tidak bisa terus-menerus menolak semua perubahan Riana! Memang benar perkataan mantan suaminya itu, karena dia pernah menjadi suami sekaligus tinggal bersama selama lima tahun lamanya. Kamu tahu, hanya seorang suami lah yang mengetahui baik-buruknya istri, begitu pun sebaliknya.” Subroto menepuk pundak Wira, dia berusaha menyadarkan lelaki tersebut untuk mnerima kenyataan
“Aku tahu pasti kamu yang mengambil map merah itu! Kalau bukan kamu, ya, siapa lagi? Karena kamu ‘lah yang terlihat paling mencurigakan beberapa hari ini!” Kiki menunjuk wajah Lia, dia sangat tahu kalau wanita itu lah yang mengambil map dari gerak-gerik yang terlihat selama ini. “Buat apa juga aku mengambil map itu?” Lia sengaja bertanya seperti itu, supaya Kiki tidak lagi menuduhnya. “Mana kutahu! Hanya kamu yang mengetahuinya atau mungkin karena ingin sengaja menjatuhkan Riana, kan kamu sangat membencinya. Entah apa kesalahannya kepadamu, sehingga kamu menjadi membenci wanita baik itu!” Kiki menggerutu dengan mata memerah, dia ingin sekali menerjang wanita tersebut tetapi tidak memiliki tenaga sama sekali. “Memangnya kenapa kalau aku yang mengambilnya?! Ya, aku mengambil map itu! Lalu apa? Kamu mau mengatakannya kepada mereka? Mana mungkin mereka mempercayai dirimu itu!” Lia bergegas menjauh dari Kiki, wanita itu memilih meninggalkan Kiki karena merasa kesal sampai akhir Kiki mas