“Eh, dia sekolah dsini juga?” gumam Tya lirih.
“Dia? Dia siapa Ty?” usut Lusi yang samar-samar mendengar perkataanku sambil celingukan melihat sosok yang dimaksud. Sedangkan Dewi masih sibuk mengerjakan PR ... eh, menyalin PR-Tya dalam buku tugasnya. Bell sekolah berbunyi, menandakan dimuainya pelajaran hari ini. Dewi pun mulai mempercepat menyalin. Semua anak sudah berkumpul dan duduk di bangkunya masing-masing sambil menunggu guru mata pelajaran datang. Tak berselang lama bell berbunyi, Pak Cipto selaku guru mata pelajaran sejarah, yang beliau juga merupakan wali kelas datang bersama seorang anak, ya bisa ditebak itu anak baru. “Assalamu'alaikum, Anak-anak....” salam Pak Cipto menyapa para muridnya. "Wa'alaikumsalam, Pak Guru," jawab siswa-siswi di kelas secara kompak, walau tidak semua siswa ngejawab salam Pak Cipto. “Ini ada anak baru pindahan dari Jakarta, ayo Nak perkenalkan diri kamu,” lanjut Pak Cipto sambil mempersilahkan Rendra memperkenalkan diri. “Assalamu'alaikum, nama saya Rendra pindahan dari kota Jakarta.” Rendra memperkenalkan diri secara singkat. “Ok, baik. Rendra bisa duduk di ... loh gak ada bangku kosong yah?” kata Pak Cipto celingukan mencari bangku yang masih tak berpenghuni. Namun, nihil karena semua bangku sudah terisi oleh para siswa. “Ya iya lah pak, bangku di kelas ini ya udah dipasin sama murid. Klo kosong bisa nyeremin, kaya film horror bangku kosong itu iihh...,” celetuk Dika dari belakang disusul tawa riuh dari siswa seisi kelas. "Sudah... sudah. Kalo begitu Dika, tolong bantu Rendra bawakan bangku beserta mejanya dari gudang,” titah Pak Cipto menyuruh Dika. "Hmm... Baik, Pak,” sahut Dika sedikit malas, sambil berjalan dan mengandeng tangan Rendra. “Ayo, kamu juga ngikut gotongin. Enak aja,” lanjut ucap Dika. Rendra pun pasrah digandeng tangannya oleh Dika menuju keluar kelas. Mereka pun berjalan di koridor kelas menuju gudang sekolah. “Eh, siapa nama Lo? Rendra ya? Ko bisa pindah ke sini? Emang kenapa?”cerocos Dika menginterogasi Rendra. “Oh, itu. Ayahku dipindah tugaskan ke sini jadi gue ngikut dah pindah,” jawab Rendra singkat tapi padat bak wesel pos. Mereka akhirnya sampai juga di gudang, sebelumnya Dika minta ijin dulu ke petugas sekolah akan ngambil kursi untuk siswa baru yang tak lain yakni Rendra. “Mang.. Mang Aming, minta kunci gudang dong,” teriak Dika sambil tangannya melambai-lambai memanggil Pak Aming yang sedang membersihkan rumput taman tak jauh dari gudang. “Iya den Dika, ada apa?” ucap pak Aming seraya mendekat ke hadapan Dika. “Kunci, mana kunci. Ne ada anak baru mau ngambil kursi,” kata Dika sembari salah satu tangannya menengadah rendah arti meminta kunci. “Oh, ada anak baru. Siapa Den dan dari mana?” Pak Aming basa-basi bertanya pada Rendra, setelah memberikan kunci disakunya pada dika. “Hmm..kepo!” kata Dika sambil membuka pintu gudang. “Saya Rendra Pak, pindahan dari Jakarta," kata Rendra sopan menjawab pertanyaan Pak Aming, tukang kebun sekolah. “Woy, sini! Neh angkat itu meja, malah asyik ngobrol. hmm ... tak tendang sisan ki loh.”. Dika kesal hingga logat medhoknya keluar. “Eh, iya... iya,” ucap Rendra seraya menghampiri meja yang dimaksud Dika. “Sini tak bantu, Den.” Pak Aming menawarkan bantuan sambil bebarengan mengankat meja dengan Rendra menuju ke ruang kelas. Pelajaran pun berlanjut hingga terdengar bunyi. Seisi kelas menjadi riuh bersamaan dengan bell yang menandakan istirahat sekolah. “Ndra, ke kantin yuk,” ajak Dika sambil menepuk bahu Rendra. Merekapun langsung bergegas ke kantin, Dika tampak semangat karena mempunyai misi. Iya, misi mau minta traktir Rendra sebagai salam perkenalan, dan sebagai upah karena sudah membantu mengangkat bangku ujarnya. Dan sesampainya di kantin mulai lah Dika dengan aksinya. “Ndra, loe kan anak baru. Traktir dong, kan gue juga tadi dah ngebantu bawaiin bangku buat lo. Boleh yah, cuman mie ayam doang sama es teh ko,” pinta Dika. “Boleh, pesen dua sekalian yah sama gue,” balas Rendra sambil mengacungka dua jari bak simbol peace. “Siap boss,” sahut Dika girang dapat gratisan. Tak jauh dari Rendra dan Dika yang sedang menikmati mie ayam mereka, terlihat trio kwek-kwek yang tak lain Tya, Lusi dan Dewi yang sedang bercengkrama sambil sesekali memakan jajanan yang mereka beli. “Eh, liat itu si Tya. Itu cewe yang item manis yang pake bando. Manis yah dia, dia incaranku dari kelas satu, jangan macem-macem loh!” ancam Dika sambil mengepal tangan di depan muka Rendra, Rendra hanya tersenyum. “Itu saja buat lo tuh, si Lusi. Cocok loh! Cakep kan dia, dah putih langsing dan rambut terurai indah, perfect bgt pokoknya. Tapi anehnya gue kurang tertarik. Gak ada aura gimana gt,” lanjut cerocos Dika kepada Rendra Sesekali Rendra mencuri pandang pada Tya dan begitu pula sebaliknya dengan Tya. Mereka berdua seakan masih penasaran. “Kayaknya aku pernah liat anak baru itu dimana yah?” kata Dewi mengingat-ingat sembari mulutnya masih menguyah jajanan kantin. “Dimana Wi?” balas Lusi, sedangkan Tya hanya diam seribu kata. “Eh, dilihat-lihat anak baru itu, ok juga yah. Ganteng.” Lusi mulai terpesona dengan wajah Rendra. Bell masuk pun berbunyi, semua siswa bergegas menghabiskan jajanan mereka dan kembali ke kelas masing-masing. Sejak jam istirahat hingga di kelas kini Lusi tak henti memandangi Rendra. Ketertarikannya pada Rendra terang-terangan dia jabarkan dari perilakunya. “Eh Ty, gimana yah klo cwe nembak cwo?” tanya Lusi menengok ke belakang yang memang bangku dia tepat di depan bangku Tya. “Heh, aku kaga ngerti. Pernah nembak juga nggak. Lagian Lo ini baru liat masa langsung nembak,” balas Tya sambil cuek, menyalin tulisan di papan tulis ke buku catatan. “Hee, jangan berisik. Gak tau apa Bu Tika galaknya minta ampun. Brisik bisa kena gampar loh kalian berdua.” Dewi memperingatkan kedua sahabatnya agar tidak bercakap saat pelajaran Bu Tika, karena Bu Tika galaknya minta ampun. Akhirnya pun jam sekolah berakhir. Dewi dan Lusi pulang berboncengan karena memang mereka satu arah dengan menggunakan matic milik Lusi, kendaraan roda dua keluaran terbaru. Sedangkan Rya menunggu jemputan Kak Andi yang belum kunjung datang juga. Tya menunggu di halte tak jauh dari gerbang sekolah, sembari menunggu angkot, kali-kanli tak ada jemputan. Memang kalau Kak Andi tidak menjemput, Tya sudah terbiasa pulang naik angkot, walau terkadang menunggu lama. Namun, hari ini Kak Andi sudah berjanji menjemput sehingga Tya menunggu jemputan saudara lelakinya itu, meski sudah ada beberapa angkotan kota yang jalurnya melintasi komplek perumahanku bersliweran. Ponsel Tya bergetar, dengan sigap ia mengangkat panggilan dari Kak Andi. “Apa gak jadi jemput?” seruku menjawab pesan suara dari sambungan di seberang telepon, sambil menutup telinga satunya karena suasana riuh para siswa pulang yang keluar dari gerbang. “Maapin De, motor Kak Andi mogok,” ucap Kak Andi di sebrang ponsel. “Ya udah gak papa, biar Tya naik angkot saja,” timpal Tya sedikit kecewa sembari menutup panggilan telepon, lesu. Tak disangka Rendra mendengar percakapa Tya dengan Andi lewat ponsel tadi. “Kakak loe gak jadi jemput?” sapa Rendra mengagetkan Tya. “Eh, iya.” Tya menjawab gugup. “Yuk bareng, kita kan satu arah?” Rendra menawarkan Tya agar pulang bersama dengan dirinya. “Ah, gak usah. Biar aku naik angkot saja. Dah biasa ko,” balas Tya. “Udah, ayo naik sekalian ngirit ongkos gt,” ucap Rendra sambil menepuk jok motor bagian belakang sebagai kode, dan disusul Tya menghampiri dan berkata “Gak papa neh, gak ngerepotin?" Rendra tertawa “Ya enggak lah, kan sekalian. Gak muter-muter kan? lagian rumah kita kan hadap-hadapan,” ujar Rendra sambil memutar gas motornya. Mereka pun melaju membelah jalan raya. “Nama kamu Tya yah?” kata Rendra memecah keheningan yang sedari perjalanan tadi mereka hanya diam membisu. “Ko tau, dari siapa? Ngepoin yah?” jawabku seraya memegang pipinya yang mulai memerah karena malu. “Ih pede banget, itu si Dika tadi cerita geng Trio Kwek-kwek.” "Ih, rese Dika. Cerita apa aja dia?" tanya Tya menyelidik. "Ada deh," jawab Rendra singkat sambil tersenyum. Akhirnya mereka pun sampai di depan halaman rumah Tya. “Udah sampai, makasih yah atas tumpangannya,” ucap Tya sembari turun dari motor Rendra. “Iya, sama-sama,” balas Rendra sembari membelokkan motornya menuju rumah di seberangnya. “Assalamu’alaikum,” Tya mengucap salam sambil membuka pintu rumah. “Wa'alaikumsalam.” jawab Mirna dari arah dapur. “Tadi itu motor kakamu mogok. Kak Andi lagi di bengkel sebrang, pas perempatan itu," ucap Mirna bercerita tak kala Tya datang menghampiri dan bersalaman pada beliau. "Eh tadi kayaknya ada suara motor di depan, dianter sama siapa, Nak?” selidik Mirna kepada putrinya. “Eh, itu. Rendra tetangga baru ternyata satu sekolahan sama Tya, Mah. Sekelas lagi,” jawabku sembari menerangkan tentang Rendra si tetangga baru. “Oia, Mama tau seh tatangga baru. Siapa namanya Pak Anton pindahan dari Jakarta. Kata papah, Pak Anton juga temen sekantornya. Mutasi dari kantor pusat gitu katanya. Tapi Mamah ko baru tau dia punya anak seumuran sama kamu, bisa pas gitu yah.” Mirna menjelaskan sambil tersenyum-senyum. “Ih, mamah apaan seh, senyum-senyum gitu.” tya sambil mengambil minuman kaleng dari lemari es dan menengguknya. “Nggak, lucu aja ko bisa pas gitu. Dah sana ganti baju,” kata Mirna sambil mendorong Tya tuk segera ganti baju seragam. Sesampainya di kamar, Tya langsung mengintip kamar Rendra yang tepat di sebrang kamarku, Rendra melihat tingkah Tya sembari tersenyum. Dengan sekejap aku langsung menutup tirai dan menepuk jidat, salah tingkah akan kelakuan sendiri. “Aduh, apa kata dia? Dikira aku suka merhatiin dia, ihhh nanti dia kePeDe-an lagi.” gumam Tya dalam hati, tak mengakui bahwa memang dia sedang mengintai kegiatan Rendra. 💕💕💕Sejak ada penghuni rumah kosong itu, yang tak lain kini ditempati Renra, Tya selalu bangun pagi. Bu Mirna pun terkejut dan kini tak ada kegaduhan akan acara membangunkan anak gadisnya.Tya mengintip dari jendela, masih ingin mengetahui apa yang dilakukan Rendra. Dan seperti biasa kamar Rendra terang benderang yang menandakan dia sudah beraktifitas dipagi hari. Itu salah satu yang membuat Tya kagum disamping ketampanan Rendra.“Busyet pria idaman banget, pagi-pagi dah ngelakuin aktifitas.” intip Tya dari jendela kamarnya pelan-pelan karena Tya takut kepergok lagi sedang memperhatikan Rendra.Tak lama berselang Tya turun kelantai bawah menuju dapur untuk membantu mamahnya menyiapkan sarapan.“Mau masak apa Mah?” sapa Tya kepada Bu Mirna yang sedang mengupas bawang.“Ini mau bikin nasi goreng, nasinya masih banyak mubazir kalo dibuang. Itu si papah pake ada acara makan malam di luar. Kak Andi juga ikut-ikutan, katanya dia
Sore itu Kak Andi masih berkutatdengan motornya, motornyayang baru saja keluar dari bengkel. Saat dinyalakanmotor Kak Andi memang hidup tapi lama kelamaankoh knalpotnya ngebul asap hitam. Kak Andi pun memeriksanya lagi.“Motornya kenapa lagi Kak?” Tya menghampiri Kakaknya yang belepotan, tangannya hitam kerena oli dan semacamnya.“Ne, motor masih aja ada kendala,” jawab Kak Andi, masih sibuk dengan alat bengkel seadanya tanpa menoleh ke arah Tya.“Lah bukannya baru aja bener, keluar dari bengkel kan tadi?" tanya Tya, keheranan.“Iya, kata Bang Asep sehernya kena, sementara diakalin dulu katanya. Tadi Kakak coba di sana aman-aman aja, eh sampe rumah malah mbrebet lagi ne motor,” kilas cerita Kak Andi menjelaskan.“Ya minta dibenerin lagi ma Bang Asepnya."“Rencananya gitu kalo ne tak otak-atik gak hidup-hidup juga, ya terpaksa nginep lagi ne motor di bengkel Bang As
“Mau pulang bareng lagi?” Rendra mengagetkan Tya yang sedang menunggu angkot. “Ayo, dari pada nunggu angkot kelamaan,” lanjut Rendra menawarkan tumpangan.“Beneran neh? Boleh dah, jadi ngirit ongkos hehehe,” jawab Tya sembari menghampiri Rendra."Enak aja gratis, bayar dong,” ledek Rendra.“Iihhh, perhitungan banget dah. Loe pulang sendiri ya bensinnya habis segitu dan nebengin gue ya sama habisnya segitu juga.” Tya sambil sewot.“Iya ... iya, cuman becanda juga,” jawab Rendra dan merekapun mulai pulang bersama.Dalam perjalanan pulang dari sekolah mereka mengobrol dan sudah lebih akrab dari hari sebelumnya.“Kenapa loe pindah ke sini?” tanya Tya basa-basi membuka percakapan.“Kamu orang ke-21 yang menanyakan hal itu,” jawab Rendra datar.“Ko sepertinya kaga suka pindah yah, kenapa?” selidik Tya.“Emang kelihatan s
Merekapun sampai di rumah sakit dan Bu Mirnah langsung ditangani dengan baik. Bu Mirna ternyata cuman kecapean, dan harus rawat inap hingga pulih seperti sedia kala.“Ty, mamah dimana?” tanya Bu Mirna setelah sadar dari pingsannya.“Mamah sudah sadar? Mamah tadi pingsan di rumah dan Rendra mengantarkan mamah ke rumah sakit,” jawab Tya sambil menoleh kebelakang melihat Rendra .“Makasih ya Nak Rendra sudah menolong ibu ke Rumah sakit,” sapa Bu Mirnah kepada Rendra.“Iya bu, sama-sama,” ucap Rendra berterima kasih kembali secara sopan.“Udah, Mamah istirahat dulu aja,” kata Tya yang melihat ibunya terlihat kecapean.Mamah Tya pun menurti kata putrinya untuk istirahat, dan tertidur. Selagi Bu Mirna tertidur, Tya dan Rendra mengobrol di luar ruangan kamar Bu Mirna.“Makasih yah, udah ngebantu nganterin mamah ke rumah sakit,” ucap Tya, Rendra hanya tersenyum.&l
Kak Andi pergi ke rumah sakit diantar temennya, karena motor Kak Andi masih di Bengkel. Setibanya di Rumah sakit, temen kak Andi langsung pamitan. “Maksih ya sob,” ucap kak Andi selepas temannya akan berenjak pergi dan langsung mencari ruang tempat mamahnya dirawat inap.“Kamu pulang aja sama Rendra, biar kakak yang jaga mamah. Besok juga Kak Andi gak ada kuliah,” kata kak Andi kepada adiknya.“Iya kak, kabari ya ka kalau ada apa-apa atau butuh apa,” jawab Tya.“Iya, tenang aja. Baik-baik di rumah, kalau takut sendirian minta Dewi apa Lusi suruh nemenin,” ucap kak Andi sembari mengelus rambut adiknya.“Oia, Ndra. Tolong sekalian anter Tya yah. Dan makasih sudah nganter mamah ke rumah sakit. Kali lagi makasih sekali ya Ndra,” lanjut Kak Andi mengucapkan terima kasih kepada Rendra."Iya Kak, gak papa."Rendra pun mengantarkan Tya pulang. sesampainya di rumah Tya, Rendra membukakan pin
Setibanya Rendra di parkiran “Enak aja, dikiranya aku kang ojeg kali, gak mau nunggu jalan bareng ke kelas. Hmm, apa dia malu jalan ma gue? Ngapain malu, gue kan cakepnya kebangeten,” guman Rendra sambil cekikikan.Sesampainya di kelas,“Untung Lusi belum dateng,” lirih Tya dalam hati sembari menengok bangku lusi yang masih kosong.“Lusi gak berangkat, Ty.” ucap Dewi yang mengetahui gelagat Tya mencari Lusi.“Kenapa dia? Sakit?”“Tau tuh Lusi, biasa dia. Sakit kaga tapi nitip surat ijin sakit ke gue,” ucap Dewi kesal karena nanti pulangnya tidak ada yang ditebengin.“Liburan kemana lagi dia?” usut Tya karena tahu kebiasaan Lusi yang suka plesir alias berlibur baik di waktu libur maupun dihari aktif sekolah.“Itu, katanya sepupunya baru datang dari Medan dan ngajak jalan-jalan gitu.”“Asyik ya jadi Lusi, terlahir kaya dan cantik lagi,&rdquo
Sesampainya Tya di rumah.“Assalamu’alaikum.” kebiasaan salam Tya ketika masuk rumah, walau Tya menyadari bahwa di rumah tadak ada orang.“Loh ko, gak dikunci ne rumah,” gumam Tya dalam hati. Tya pun masuk rumah dan ternyata memang pintu sudah dibuka Kak Andi.“Ty, kamu udah pulang,” sapa Kak Andi saat melihat Tya.“Kak Andi udah pulang? gimana mamah? Mamah sendirian di rumah sakit?” tanya Tya khawatir akan keadaan Bu Mirna.“Mamah udah diijinin pulang, rawat jalan di rumah," jawab kak Andi.“Alhamdulillah, syukurlah." Tya sembari mengusapkan kedua telapak tangannya kewajah tanda bersyukur. “Mamah sekarang dimana?” lanjut Tya.“Ada noh, di kamar sedang istirahat. Jangan diganggu Ty!” ucap kak Andi.“Mo nengokin mamah bentar doang,” jawab Tya sambil menuju ke kamar mamahnya.Bu Mirna sedang tertidur. Tya tak membang
Di halaman samping Rendra melihat ring basket, jiwa olahraganya Rendra timbul ingin memainkannya.“Bola basketnya mana Ty? Boleh dong aku mencoba basketan,” pinta Rendra.“Bentar, tanggung neh.” Tya sedang membawa sekranjang pakaian yang baru dicuci tadi untuk dijemur. Lalu Tya lanjut menjemur baju.“Sini tak bantu, biar cepet. Aku dah lama banget gak main basket.” Rendra sambil membantu menjemur pakaian yang dibawa Tya untuk dijemur.“Udah, malu tau. Kalo ada dalemannya gimana? Kamu ngambil yang baju-baju aja. Biar yang kecil aku yang jemur.”“Rebes bosque,” kata Rendra sambil memeras pakaian dan mengibas-ngibaskan ke arah Tya sehingga Tya kena cipratan baju yang masih basah.“Ih, rese.... Mau ngebantuin apa mau ngejailin?” kata Tya agak kesal karena kena cipratan. “Neh gantian,” lanjut Tya sambil melakukan yang sama kepada Rendra.Merekapun bercanda
Lusi dengan langkah pongahnya mendekati Dewi dan berkata, "Lo, nggak salah duduk?" Dewi hanya diam enggan menjawab pertanyaan Lusi, bahkan dirinya sama sekali tak menatap wajah Lusi yang tengah berbicara padanya. Dirinya bahkan asyik membuka buku, berpura-pura membaca walau entah apa yang ia baca.Meja yang tengah jadi sandaran ke-dua tangan Dewi saat membaca buku digebrag keras oleh telapak tangan kanan Lusi, Jengkel dengan kelakuan Dewi yang mengacuhkannya. "Ok, Lo akan tau balasan apa yang kau buat!" Lusi langsung melangkah ke luar kelas, tak menghiraukan bel masuk tengah berbunyi, mood belajarnya seakan hilang. Guru Pelajaran yang tengah memasuki kelas pun ditabraknya, bahu sang guru disenggo dan hampir saja buku yang beliau bawa sempat terjatuh. Siswa lain di kelas itu terperangah akan kelakuan Lusi, tak sedikit dari mereka yang saling bicara berbisik membicarakan kelakuan Lusi, menebak-nebak sebab kejadian barusan. Hingga membicarakan persahabatan Geng Trio-kwek, baru saja ke
Lusi sempat memperhatikan sikap Tya dan Rendra. Ya, Lusi sudah menyadari bahwa Rendra benar-benar mencintai Tya, terlihat dari sorot matanya. Namun, dirinya juga ingin memiliki Rendra. Lebih tepatnya, tidak ada yang pernah menolak cinta atau sekedar mengacuhkan ajakan Lusi, dan Rendra adalah orang pertama yang tak menghiraukan dirinya.Wajahnya semakin memerah karena kesal, melihat sikap Rendra terhadap Tya. Namun, dirinya masih menahan amarah, tak ingin mengacaukan suasana."Ne, bros kamu," Ucap Rendra sesaat berpapasan dengan Tya sambil menyerahkan bros pink, terjatuh saat mereka bertabrakan tadi pagi."Oh, makasih," ucap Tya singkat, menerima bros tersebut. Tak banyak berbicara, mengingat hubungan dua sejoli ini sekarang tengah renggang.Rendra langsung berlalu setelah memberikan bross itu, Tya hanya terpaku tanpa menoleh ke blakang, tak melihat kepergian tambatan hatinya kini. Rendra pun melaju tanpa mengharap perhatian dari Tya.Dewi yang menyadari suasana seakan kaku langsung me
Tya yang sudah menuntaskan ritual buang air kecil pun mulai memasuki kelas, dan mulai duduk di bankunya."Eh, kerudung kamu kenapa? Sini aku bantu benerin," ucap Zulfa melihat hijab Tya sedikit acak tak rapi. Sambil tersenyum, ia mulai membantu merapikan jilbab yang dikenakka sahabatnya. Memaklumi baru saja berhijab sehingga masih belum rapi, pa lagi kalau sudah beraktifitas, terkadang lipatan kerudung pada sisi pipi miring karena aktifitas tersebut."Mana bros pink mungil kamu," lanjut Zulfa menanyakan akseoris yang tadi pagi ia lihat dikenakan Tya untuk mempercantik tatanan kerudung."Iya, tadi aku cari di toilet nggak nemu. Entah ilang di mana," jawab Tya mencoba mengingat di mana bross pink-nya terjatuh."Entar, tunggu ... neh aku ada. Buat kamu." Zulfa mulau mencari dan mengambil bros miliknya dalam tas. Mulai memasangakan bros bergambarkan angsa berwarna silver dengan berlian berwarna ungu tepat di mata angsa, seakan mata tersebut menyala."Makasih, Zul." Tya mengucapkan terima
Tya terkejut dan tatapannya kini menoleh ke arah Zulfa, seakan meminta jawaban akan bungkusan yang baru saja ia terima."Buka saja," jawab Zulfa singkat sembari tersenyum.Dengan rasa penasaran Tya membuka bungkusan yang terbalut koran tersebut, tampak dua buah stelan seragam, seragam pramuka dan OSIS berwarna putih abu-abu. Dahi Tya menyengrit, belum juga mengerti akan maksud Zulfa tentang seragam tersebut. Menghilangkan rasa bingungnya, ia mulai berkata, "Seragam, Zul?""Ia, seragam lengan panjang buat kamu." Zulfa mulai mendekat dan membelai rambut Tya, dan berucap, "Sudah saatnya kamu berhijab, Ty.""Zul...." Tya hendak menolak dengan ingin melontarkan argumen menurut sudut pandangnya. Tya yang masih bimbang dengan ajakan Zulfa mulai membuka mulutnya, ingin berdalih tuk mengemukakan alasan. Namun, perkataannya langsung dipotong Zulfa.Jari telunjuk kanan Zulfa langsung menempel di bibir Tya, seakan memberi kode, tak ingin mendengar alasan sahabatnya itu yang belum ingin berhijab. Z
Pagi itu Tya di depan gerbang rumah, menunggu Kak Andi yang akan mengantarkannya ke sekolah. Tak disangka, Rendra pun sama, baru saja keluar dari gerbang rumah, menggunakan motor gedenya dan berlalu begitu saja tanpa menegur atau sebatas menoleh pada Tya."Begini banget seh cintaku, rasanya bak permen Na*o-nano, manis asam asin rame rasanya," ucap Tya dalam batin. Pandangan sayunya terfokus melihat kepergian Rendra, hingga motor itu tak terlihat di ujung jalan. Ada secuil rasa kecewa yang dirasa Tya."Ayo, Dek. Malah ngelamun," ajak Kak Andi tatkala sudah berada di depan gerbang rumah, mendapati Tya sedang menatap jalan yang dilalui Rendra, kini tengah sepi."Eh, i--a," kata Tya terkejut akan sapaab Kak Andi.Merekapun menuju ke sekolah, di mana Tya mengenyam pendidikan. Setibanya di gerbang sekolah, Tya berpamitan pada Kak Andi dan segera melewati gerbang, mulai memasuki lingkungan sekolah.Saat melewati koridor kelas, ujung hati Tya terasa pilu, ada seberkas rasa perih seakan teriri
Tya berpamitan ke toilet karena penat, acara tak kunjung dimulai seperti tertera dalam undangan. Wajahnya tertunduk saja saat menuju toilet, ia pun menabrak Rendra yang tengah keluar dari dalam toilet."Lo gak papa?" tanya Rendra sembari memapah Tya berdiri."Gak papa ko."Setelah mendengar jawaban dari Tya, Rendra pun cepat berlalu dari hadapan Tya. Ada rasa yang aneh dalam hati Tya, rasa yang tertinggal saat kini Rendra seakan mengacuhkannya.Dengan sedikit menghirup udara dengan napas panjangnya, Tya pun bergegas menuju toilet. Di dalam toilet, ia hanya membasuh mukanya. Memberi kesejukan di wajahnya, walaupun kucuran air itu tak bisa membasuh hatinya yang sedang gundah gulana.Suara cek speaker dari ruang aula terdengar dari toilet, menandakan akan dimulainya acara. Tya pun bergegas kembali menuju alula, berkumpul dengan calon pengurus lainnya.Betapa terkejutnya Tya tatkala akan menghampiri Zulfa, terlihat di kedua manik Tya bahwa Rendra tengah berada dalam shaf kelompok calon pe
"Hey, ko ngelamun? Ayo cepet ambil air wudhu sana, aku tunggu di dalam," tutur Zulfa, membuyarkan lamunan Tya.Tya pun beranjak dari duduknya menuju tempat wudhu, bersuci diri dari hadats kecil. Ia meraih tas yang diletakkannya di samping tempat dia berpaku melamun tadi, dibawa menuju ke dalam masjid. Diletakannya tas itu di samping lemari kecil yang berisikan beberapa mukena.Tya meraih salah sepasang mukena yang ada dalam lemari kaca tersebut, memakainya tuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya yang manis dan kedua telapak tangannya.Zulfa menempatkan diri di shoft paling utama barisan putri, mulai berdiri tatkala iqomah sudah dikumandangkan. Tya dengan segera berdiri bersebelahan dengan Zulfa, mulai khusyuk menjalankan sholat dzuhur yang diimami oleh Kak Irham, presidium Rohis tahun ini.Seusai sholat dzuhur Tya yang sedang memakaikan sepatu dikedua kakinya celingukan mencari keberadaan Rendra. Namun, tak kunjung dia temukan. "Mungkin sudah pulang," batinnya."Apa gara-gara c
“Ty, itu si Marko bikin rusuh. Dia sedang bersiap melakukan aksi katakan cinta, dan denger-denger loe yang akan jadi targetnya. Dia mo nembak Lo,” ucap Dewi menerangkan. Belum sempat Tya membalas perkataannya, Dewi langsung berpamitan, “Dah yah, gue ditunggu Lusi.” Dewi buru-buru karena tak ingin diketahui, akan menambah marah Lusi. Namun, dirinya pun masih care terhadap Tya. Sejenak Tya memperhatikan kepergian Dewi, sahabatnya itu sekarang jarang bersamanya. Ada rasa kangen akan masa dahulu saat bersa. Namun, hubungan itu merenggang karena Rendra. "Padahal gue ma Rendra tak seperti apa yang ia banyangkan. Dah lah, percuma gue ngejelasin. Toh, dia tetep gak percaya," lirih Tya mematung, berpijak di salah satu anak tangga. Lamunan Tya terbuyarkan dengan suara gaduh di lantai dasar, kedua manik Tya terbelelalak melihat spanduk yang bertuliskan 'Anantya, I LOVE U'. Kini langkahnya berbalik, menaiki anak tangga yang hampir saja ia selesai turuni. "Apa-apaan itu si Marko!" gumam Tya semb
Saat masuk kelas Zulfa keheranan mendapati Dewi tengah duduk dibangkunya. Lusi yang melihat mimik muka Zulfa heran langsung berkata “Lo duduk dibelakang, bareng ma Tya.” Datar Lusi berkata tanpa ekspresi bahkan tanpa menoleh baik kearah Zulfa maupun Tya, pandangan Lusi lurus kedepan dengan wajah sinis.Zulfa adalah salah satu siswi berhijab, terurai menutupi dadanya. Dia aktif dalam kegiatan Rohis, salah satu organisasi sekolah yang bergerak dibidang keagamaan islam. Menjabat divisi da'i yakni kepanjangan dari divisi dakwah dan iptek, menuntut ia berpengetahuan luas, tentunya mengenai agama islam. Tak heran dia terpilih menjadi divisi tersebut karena memang Zulfa sosok yang bisa dibilang kutu buku. Walaupun sifat Zulfa introvert, akan tetapi jika mengenal dia lebih dekat, orangnya lumayan asyik dan bisa diajak sharring.Zulfa meletakkan tas dan sebuah kresek hitam berisi baju renang lengan panjang berikut hijabnya yang tengah basah, seragam renang yang tadi digunakannya dalam praktek o