Beranda / Romansa / Dilema Arini / Bertemu Maya

Share

Bertemu Maya

Penulis: Ayu Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi harinya mbak Sari  datang ke rumah Arini untuk memenuhi pekerjaannya.

“Mbak, ini Arsy kalau mau di mandikan dulu,” kata Arini sambil menyerahkan Arsy ke gendongan mbak Sari.

“Iya, Mbak bawa sini,” kata  mbak Sari.

“Nang ning nang ninggung, anak lanang bagus dewe," kata mbak sari saat menggendong Arsy.

“Rin, aku berangkat kerja dulu ya!

“Ya, Mas,” kata Arini sambil mencium punggung tangan suaminya.

Mbak Sari yang melihat Arini mencium tangan suaminya berkata dalam hati.

“Hah, ternyata lelaki yang aku lihat sore kemarin saat aku pulang ternyata suami mbak Arini, umurnya kok jauh sekali lebih pantas kalau dia jadi bapaknya, kenapa mbak Arini mau menikahinya, padahal mbak Arini cantik dan masih muda, ih merinding aku,” batin mbak Sari penasaran.

Melihat mbak Sari yang bengong memperhatikan dirinya.

“Mbak, Mbak?” panggil Arini.

“Eh, ya mbak,’ kata mbak Sari kaget.

“Mbak, nanti airnya ke

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dilema Arini   Sari ngegosip

    Arini merasa seakan dirinya rendah karena statusnya merupakan istri kedua, apalagi dengan kedatangan Maya anak sulung Badrun yang memperlakukannya kurang sopan dan memandang rendah dirinya serta tidak menghormatinya sama sekali.“Apa aku ceritakan saja, ya, ke mas Badrun tentang kedatangan Maya ke sini, tapi aku takut hubungan mereka sebagai anak dan ayah akan menjadi renggang, aku tidak ingin itu terjadi,” batin Arini mencoba menimbang-nimbang perasaannya.“Kalau aku tidak cerita ke mas Badrun aku takut nanti Maya akan bertingkah semakin kurang ajar kepadaku, saat mas Badrun tidak ada di rumah, sedangkan aku lebih banyak sendiri dan mas Badrun jarang pulang, dia harus membagi waktunya antara pekerjaan dan istri-istrinya.Arini bimbang antara harus menceritakan atau tidak kepada suaminya tentang kedatangan anak sulungnya yang bernama Maya dan memperlakukannya dengan tidak baik.Sementara itu Sari pengasuh baru Arini sebelum p

  • Dilema Arini   Bisik-Bisik Tetangga

    Dua bulan sudah Arini hidup di rumah kontrakannya. Hari-harinya sering di lewati dengan kesendirian, suaminya tak mesti pulang setiap hari. Setiap malam dia merasa kesepian hanya anaknya Arsy yang menjadi pelipur laranya. Sari pembantunya setiap sore pulang jadi tak ada teman bicara jika malam tiba. Senja sudah berganti menjadi malam, Arini baru menyelesaikan sholat isya. Arini teringat dengan bapaknya kalau jam segini sering bercerita-cerita dan berkeluh kesah. Dia teringat kehangatan di keluarganya yang di rasa saat mereka berkumpul di rumah, kini semua hanya tersisa kenangan, seiring berjalannya waktu kehidupan terus berjalan dan seseorang harus memerankan peranya dari Sang Pencipta dan mengikuti alur kehidupan. Arini memandangi wajah anaknya Arsy yang tertidur pulas, doa terus ia ucapkan pada Sang Pencipta untuk kebahagiaan anaknya, jauh di relung hatinya dia berharap ingin memiliki keluarga yang seutuhnya. Arini tidak tahu kalau dirinya jadi

  • Dilema Arini   Siasat ibu Diah

    “Benarkah?” tanya Sari cemas, Sari merasa cemas jika dia Arini majikannya tahu kalau digosipkan menjadi istri simpanan dan lebih parahnya lagi di sebut pelakor karena ulahnya sendiri yang menyebar gosip itu. “Aduuh bagaimana, ini? Jika ibu Arini tahu kalau semua gosip itu aku yang menyebar, bisa gawat ini aku, bisa kehilangan pekerjaan lagi,” batin Sari sambil menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. “Mu-mu-mungkin ibu salah dengar!” kata Sari mencoba memastikan omongan Arini majikannya. “Enggak aku jelas mendengarnya walau mereka berbicara dengan berbisik-bisik,” kata Arini. “huuuf,” Arini mendesah menghembuskan nafas beratnya. “ Kenapa mereka tega membicarakan diriku seperti itu, padahal mereka tidak tahu apa sebenarnya yang aku alami, kadang apa yang kita lihat tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa mereka ngomong dan memvonis seseorang seenaknya sendiri tidak memikirkan perasaan orang yang di omongkan,” kata Arini.

  • Dilema Arini   Curhatan Arini

    Merasa kesepian, sedih, kesal, cemas, gelisah bercampur aduk dalam perasaan Arini. Arini tidak bisa berbuat apa-apa dengan kehidupannya saat ini yang ada dalam pikirannya hanya pasrah pada sang pencipta. kerinduan yang mendalam pada ibunya, Arini pun menelepon ibunya. “Hallo! Assalamu’ alaikum, Bu,” kata Arini dari seberang telepon. “Hallo, walaikumsalam, Arini ada apa, Nak, malam-malam menelepon ibu? Tidak ada apa-apa kan, Rin? Arsy cucu ibu gimana sehat kan? Tanya ibunya. “Alhamdulillah, semua baik-baik saja, Bu, aku hanya kangen sama Ibu, bagaimana kabar di sana, Bu? Baik-baik saja kan? “Baik, Rin,” jawab ibunya. “Bu! “Iya ada apa, Rin? Arini menghela napasnya dengan berat. “ Bu! Terdengar isakan tangis Arini. “Ada apa, Nak, ayo bicaralah jangan kau pendam sendiri masalahmu,” kata ibunya mencoba mencari jawaban. Mendengar tangisan anaknya ibu Ida menjadi perasaannya cemas dengan keadaan Arini anaknya yang sanga

  • Dilema Arini   Melihat rumah baru

    “Tok ... tok ... tok! “Mbak Sari!” itu ada tamu, tolong bukakan pintu! Panggil Arini saat mendengar pintu rumah di ketuk seseorang. “Ya, Bu,” jawab Sari keluar dari dapur dan bergegas membuka pintu. Arini mendengar samar-samar Sari berbicara dengan seseorang laki-laki. “Siapa mbak Sari?” tanya Arini saat keluar dari kamarnya. “ini, Mbak, tukangnya bu Diah meminta izin untuk masuk soalnya dia disuruh untuk membangun kamar di belakang dapur. “Oh, ini maksudnya bu Diah apa sih, rumah masih ditempati kok dibangun, apalagi tukangnya nanti mondar-mandir di dalam rumah ini,” batin Arini. Melihat Arini terdiam. “Mbak! Gimana ini?” tanya Sari. “Ya sudah enggak apa-apa suruh masuk saja! Setelah mendapat izin dari Arini kedua tukang itu pun masuk dan melihat-lihat tempat yang akan di bangun kamar. “Loh, Bu, suami ibu sudah diberitahu masalah ini belum," tanya Sari. “Sudah, tadi malam," jawab Arini.

  • Dilema Arini   Penyesalan Sari

    Sari pulang dari rumah Arini dengan berjalan kaki dan di penuhi kegelisahan dan pikiran tentang rencana kepindahan Arini ke rumah barunya yang akan membuat dirinya kehilangan pekerjaannya. “Kalau bu Arini pindah, aku tidak mungkin ikut ke sana, rumah barunya saja jauh dari sini lagi pula aku juga enggak bisa mengendarai sepeda motor, kalau aku maksa untuk ikut dan nginap di sana siapa yang ngurusi anak-anakku, suamiku belum tentu mengizinkan juga,” batin Sari. Saat akan ke warung bu Dani, Sari melihat bu Diah sedang berada di sana. “Kebetulan ada bu Diah,” batin Sari saat melihat bu Diah dari kejauhan saat bu Diah belanja di warung bu Dani. Sari pun mempercepat langkah kakinya untuk menghampirinya, Sari ingin berbicara dengan bu Diah. “Bu Diah, kebetulan ketemu di sini! Kata Sari. “Eh, Mbak Sari memang ada apa?” tanya bu Diah. “Bu Diah ini gimana? Rumah sudah di kontrak bu Arini kok di renovasi, kalau nanti ibu Arin

  • Dilema Arini   Hari pertama di rumah baru

    Arini sibuk berbenah di rumah barunya dengan di bantu Sari dan Rudi. Mereka menata barang-barang yang di angkut dari rumah kontrakan. Sesekali Arini berhenti untuk menyusui Arsy. “Aku rasa cukup, kalian istirahat dulu! Kata Arini pada Rudi dan Sari. “Mbak, minuman mineral yang di bawa dari rumah kontrakan tadi bawa sini! Untuk kita minum! “Iya Bu,” kata Sari sambil mengambil botol minuman dari tas kresek. “ ini Bu! “Kamu ambil satu, pak Rudi kasih satu," Kata Arini sambil meneguk minuman yang di berikan Sari, Setelah mereka meneguk minuman Arini bertanya pada Sari. “Gimana Mbak, sudah kamu pikirkan bisa ikut ke sini?” tanya Arini. “Iya, Mbak Sari kan bisa tidur di sini, kamu kan bisa juga nanti pulangnya seminggu sekali,” sahut Rudi. “Aku enggak bisa kalau tidur di sini, suamiku juga enggak mengizinkan dan anak-anak tidak ada yang mengurusi kasihan mereka,” jawab Sari. “Ya sudah kalau itu keputusanmu aku tidak bisa memaksa,” ka

  • Dilema Arini   Jeritan hati Arini

    Siang itu matahari sangat terik dan terasa menyengat di kulit Arini. Baru saja Arini pulang berbelanja di sekitar perumahan dengan berjalan kaki pulang ke rumahnya, sedangkan Arsy tertidur pulas dalam gendongannya, sesampainya di rumah Arini menidurkan Arsy di kamar dan dirinya langsung rebahan karena Arini kelelahan serta bahunya terasa sakit karena tadi menggendong Arsy dengan berjalan jauh menyusuri perumahan untuk mencari sebuah warung. Arini terus mengingat kejadian yang di alaminya tadi pagi hingga sekarang sampai di rumah. Waktu pagi tadi Arini bangun merasakan lapar karena malam harinya hanya makan mie instan saja, kemudian Arini berencana untuk berbelanja bahan makanan. “Mumpung masih pagi, aku akan belanja bahan makanan untuk persediaan, kalau dengan berjalan pagi-pagi kan enggak terlalu lelah dan kepanasan, aku akan mandi dulu nanti selesai mandi baru Arsy aku mandikan,” batin Arini. Tak berapa lama Arini sudah siap untuk

Bab terbaru

  • Dilema Arini   Mendapat kontrakan

    Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.

  • Dilema Arini   Rencana Arini

    Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La

  • Dilema Arini   Kontrak pertama Lasmi

    Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R

  • Dilema Arini   Kemarahan Badrun

    Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!

  • Dilema Arini   Akibat Lasmi terlambat pulang

    Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda

  • Dilema Arini   Gambar desain Lasmi

    “Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata

  • Dilema Arini   Teman dekat Lasmi

    Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy

  • Dilema Arini   Arsy kembali

    “Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak

  • Dilema Arini   Masih mencari Arsy

    Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta

DMCA.com Protection Status