Merasa kesepian, sedih, kesal, cemas, gelisah bercampur aduk dalam perasaan Arini. Arini tidak bisa berbuat apa-apa dengan kehidupannya saat ini yang ada dalam pikirannya hanya pasrah pada sang pencipta. kerinduan yang mendalam pada ibunya, Arini pun menelepon ibunya.
“Hallo! Assalamu’ alaikum, Bu,” kata Arini dari seberang telepon.
“Hallo, walaikumsalam, Arini ada apa, Nak, malam-malam menelepon ibu? Tidak ada apa-apa kan, Rin? Arsy cucu ibu gimana sehat kan? Tanya ibunya.
“Alhamdulillah, semua baik-baik saja, Bu, aku hanya kangen sama Ibu, bagaimana kabar di sana, Bu? Baik-baik saja kan?
“Baik, Rin,” jawab ibunya.
“Bu!
“Iya ada apa, Rin?
Arini menghela napasnya dengan berat. “ Bu! Terdengar isakan tangis Arini.
“Ada apa, Nak, ayo bicaralah jangan kau pendam sendiri masalahmu,” kata ibunya mencoba mencari jawaban. Mendengar tangisan anaknya ibu Ida menjadi perasaannya cemas dengan keadaan Arini anaknya yang sanga
“Tok ... tok ... tok! “Mbak Sari!” itu ada tamu, tolong bukakan pintu! Panggil Arini saat mendengar pintu rumah di ketuk seseorang. “Ya, Bu,” jawab Sari keluar dari dapur dan bergegas membuka pintu. Arini mendengar samar-samar Sari berbicara dengan seseorang laki-laki. “Siapa mbak Sari?” tanya Arini saat keluar dari kamarnya. “ini, Mbak, tukangnya bu Diah meminta izin untuk masuk soalnya dia disuruh untuk membangun kamar di belakang dapur. “Oh, ini maksudnya bu Diah apa sih, rumah masih ditempati kok dibangun, apalagi tukangnya nanti mondar-mandir di dalam rumah ini,” batin Arini. Melihat Arini terdiam. “Mbak! Gimana ini?” tanya Sari. “Ya sudah enggak apa-apa suruh masuk saja! Setelah mendapat izin dari Arini kedua tukang itu pun masuk dan melihat-lihat tempat yang akan di bangun kamar. “Loh, Bu, suami ibu sudah diberitahu masalah ini belum," tanya Sari. “Sudah, tadi malam," jawab Arini.
Sari pulang dari rumah Arini dengan berjalan kaki dan di penuhi kegelisahan dan pikiran tentang rencana kepindahan Arini ke rumah barunya yang akan membuat dirinya kehilangan pekerjaannya. “Kalau bu Arini pindah, aku tidak mungkin ikut ke sana, rumah barunya saja jauh dari sini lagi pula aku juga enggak bisa mengendarai sepeda motor, kalau aku maksa untuk ikut dan nginap di sana siapa yang ngurusi anak-anakku, suamiku belum tentu mengizinkan juga,” batin Sari. Saat akan ke warung bu Dani, Sari melihat bu Diah sedang berada di sana. “Kebetulan ada bu Diah,” batin Sari saat melihat bu Diah dari kejauhan saat bu Diah belanja di warung bu Dani. Sari pun mempercepat langkah kakinya untuk menghampirinya, Sari ingin berbicara dengan bu Diah. “Bu Diah, kebetulan ketemu di sini! Kata Sari. “Eh, Mbak Sari memang ada apa?” tanya bu Diah. “Bu Diah ini gimana? Rumah sudah di kontrak bu Arini kok di renovasi, kalau nanti ibu Arin
Arini sibuk berbenah di rumah barunya dengan di bantu Sari dan Rudi. Mereka menata barang-barang yang di angkut dari rumah kontrakan. Sesekali Arini berhenti untuk menyusui Arsy. “Aku rasa cukup, kalian istirahat dulu! Kata Arini pada Rudi dan Sari. “Mbak, minuman mineral yang di bawa dari rumah kontrakan tadi bawa sini! Untuk kita minum! “Iya Bu,” kata Sari sambil mengambil botol minuman dari tas kresek. “ ini Bu! “Kamu ambil satu, pak Rudi kasih satu," Kata Arini sambil meneguk minuman yang di berikan Sari, Setelah mereka meneguk minuman Arini bertanya pada Sari. “Gimana Mbak, sudah kamu pikirkan bisa ikut ke sini?” tanya Arini. “Iya, Mbak Sari kan bisa tidur di sini, kamu kan bisa juga nanti pulangnya seminggu sekali,” sahut Rudi. “Aku enggak bisa kalau tidur di sini, suamiku juga enggak mengizinkan dan anak-anak tidak ada yang mengurusi kasihan mereka,” jawab Sari. “Ya sudah kalau itu keputusanmu aku tidak bisa memaksa,” ka
Siang itu matahari sangat terik dan terasa menyengat di kulit Arini. Baru saja Arini pulang berbelanja di sekitar perumahan dengan berjalan kaki pulang ke rumahnya, sedangkan Arsy tertidur pulas dalam gendongannya, sesampainya di rumah Arini menidurkan Arsy di kamar dan dirinya langsung rebahan karena Arini kelelahan serta bahunya terasa sakit karena tadi menggendong Arsy dengan berjalan jauh menyusuri perumahan untuk mencari sebuah warung. Arini terus mengingat kejadian yang di alaminya tadi pagi hingga sekarang sampai di rumah. Waktu pagi tadi Arini bangun merasakan lapar karena malam harinya hanya makan mie instan saja, kemudian Arini berencana untuk berbelanja bahan makanan. “Mumpung masih pagi, aku akan belanja bahan makanan untuk persediaan, kalau dengan berjalan pagi-pagi kan enggak terlalu lelah dan kepanasan, aku akan mandi dulu nanti selesai mandi baru Arsy aku mandikan,” batin Arini. Tak berapa lama Arini sudah siap untuk
Bluup ...” Terdengar suara dari arah stop kontak ketika Arini mencolokkan alat penanak nasi listrik. “Arrgh! Arini menjerit kaget. “ada apa ini?” batin Arini sambil mengecek saklar lampu. “ Aduh benar lampunya mati,” kata Arini dalam hati saat mengecek lampu yang dinyalakan tidak hidup, Arini berjalan keluar rumah untuk mengecek meteran listrik yang ada di teras depan rumah. “Ternyata meteran ini mati, Arini pun menghidupkan saklar yang ada di meteran listrik dan Arini mengarahkan ke arah tombol hidup tetapi ketika dia melihat lampu tetap tidak menyala. “Aduh, gimana ini listriknya mati, aku harus minta tolong siapa?” kalau tidak diperbaiki nanti malam akan gelap,” batin Arini. Dia pun kemudian mengambil hp dan berniat menelepon suaminya namun niat itu diurungkannya. “Apa mungkin suamiku mau mengerti akan hal ini, kemarin masalah belanja saja dia tidak peduli padaku, coba aku minta tolong sama pak Rudi. “Hallo, pak! “Hallo, iya ada apa
Terdengar suara deru mobil di depan rumah, Arini segera melihatnya dari balik kaca jendela. Begitu tahu yang datang suaminya Arini keluar menghampiri suaminya. kepulangan Badrun hari ini ke rumah membuat hati Arini menjadi senang karena suami yang ditunggu-tunggunya akhirnya pulang juga yang tidak setiap hari bisa pulang ke rumahnya. Di lihatnya wajah suaminya tampak kelelahan, begitu turun dari mobil Arini mencium punggung tangan suaminya. “Gimana, menurutmu Rin kamu suka dengan rumahnya?” tanya Badrun. “Ya suka, tapi di sini belum ada jasa transportasi, Mas! aku kalau ke mana-mana kesulitan,” kata Arini sambil meletakkan tas kerja bawaan suaminya. “Itu karena di sini masih sepi! Belum ada yang di tempati besok kalau sudah rame banyak penghuninya nanti jasa transportasi kan banyak,” kata Badrun. “Tapi, Mas! kalau nunggu rame kan lama! kalau bisa,” kata Arini tidak meneruskan bicaranya. “Kalau bisa, apa?” tanya Badrun.
Selepas kepergian Badrun suaminya, Arini masih terpaku, Arini tak percaya bila suaminya tega mengatakan kata-kata yang begitu menyakitkan padanya. “Kenapa kepulangannya sekarang mas Badrun berubah sikapnya. Dulu dia begitu lembut kebapakan tapi sekarang dia tega mengatakan kata-kata yang menyakitkan padaku. Apakah ini sisi lain darinya yang tidak aku ketahui? Kuakui aku hanya tahu kehidupannya bila di rumah saja di luar sana aku tidak pernah tahu Apa yang dilakukan serta bagaimana perilakunya?” batin Arini. Arini menghela napas beratnya. “uuuugh!” “Jika mas Badrun terus-terusan seperti ini sanggupkah aku mempertahankan bahtera rumah tangga ini. Walau pun aku menginginkan pernikahan sekali dalam hidupku. Pernikahan bagiku adalah hal yang sakral. Bagiku tidak semua masalah harus diselesaikan dengan perceraian. Karena akan ada sosok makhluk kecil yang paling terluka bila hal ini terjadi,” batin Arini. Terdengar dering telepon membuyarkan lamunan
Arini duduk termenung, tak terasa air matanya semakin deras mengalir membasahi pipi. Kasih sayang dan perhatian yang diharapkan dari suaminya walau harus terbagi dengan istri pertamanya semakin hari semakin pudar. Sedangkan kepulangan suaminya hanya untuk menginginkan tubuhnya saja. Tak ada perhatiannya pada anaknya."Jangankan dengan diriku! Dengan anaknya Arsy pun dia tidak peduli, kalau pulang juga perhatiannya kurang dengan Arsy. Katanya dulu menginginkan anak laki-laki tapi kenyataannya dia malah tidak peduli dengan Arsy. Maafkan ibu ya, Nak! Tidak bisa memberikanmu keluarga yang seutuhnya," batin Arini sambil mengelus kening anaknya dan air mata semakin deras mengalir."Ada apa, kak?" tanya Lasmi yang tiba-tiba muncul dari samping.Melihat kedatangan Lasmi yang tiba-tiba, Arini tersentak kaget langsung menghusap air matanya mencoba menyembunyikan hatinya."Oh, Kamu Lasmi! Kakak tidak apa-apa," kata Arini tertunduk masih mengusap air matanya."Kakak m
Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La
Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R
Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!
Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda
“Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata
Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy
“Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak
Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta