Dua bulan sudah Arini hidup di rumah kontrakannya. Hari-harinya sering di lewati dengan kesendirian, suaminya tak mesti pulang setiap hari. Setiap malam dia merasa kesepian hanya anaknya Arsy yang menjadi pelipur laranya. Sari pembantunya setiap sore pulang jadi tak ada teman bicara jika malam tiba.
Senja sudah berganti menjadi malam, Arini baru menyelesaikan sholat isya. Arini teringat dengan bapaknya kalau jam segini sering bercerita-cerita dan berkeluh kesah. Dia teringat kehangatan di keluarganya yang di rasa saat mereka berkumpul di rumah, kini semua hanya tersisa kenangan, seiring berjalannya waktu kehidupan terus berjalan dan seseorang harus memerankan peranya dari Sang Pencipta dan mengikuti alur kehidupan.
Arini memandangi wajah anaknya Arsy yang tertidur pulas, doa terus ia ucapkan pada Sang Pencipta untuk kebahagiaan anaknya, jauh di relung hatinya dia berharap ingin memiliki keluarga yang seutuhnya.
Arini tidak tahu kalau dirinya jadi
“Benarkah?” tanya Sari cemas, Sari merasa cemas jika dia Arini majikannya tahu kalau digosipkan menjadi istri simpanan dan lebih parahnya lagi di sebut pelakor karena ulahnya sendiri yang menyebar gosip itu. “Aduuh bagaimana, ini? Jika ibu Arini tahu kalau semua gosip itu aku yang menyebar, bisa gawat ini aku, bisa kehilangan pekerjaan lagi,” batin Sari sambil menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. “Mu-mu-mungkin ibu salah dengar!” kata Sari mencoba memastikan omongan Arini majikannya. “Enggak aku jelas mendengarnya walau mereka berbicara dengan berbisik-bisik,” kata Arini. “huuuf,” Arini mendesah menghembuskan nafas beratnya. “ Kenapa mereka tega membicarakan diriku seperti itu, padahal mereka tidak tahu apa sebenarnya yang aku alami, kadang apa yang kita lihat tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa mereka ngomong dan memvonis seseorang seenaknya sendiri tidak memikirkan perasaan orang yang di omongkan,” kata Arini.
Merasa kesepian, sedih, kesal, cemas, gelisah bercampur aduk dalam perasaan Arini. Arini tidak bisa berbuat apa-apa dengan kehidupannya saat ini yang ada dalam pikirannya hanya pasrah pada sang pencipta. kerinduan yang mendalam pada ibunya, Arini pun menelepon ibunya. “Hallo! Assalamu’ alaikum, Bu,” kata Arini dari seberang telepon. “Hallo, walaikumsalam, Arini ada apa, Nak, malam-malam menelepon ibu? Tidak ada apa-apa kan, Rin? Arsy cucu ibu gimana sehat kan? Tanya ibunya. “Alhamdulillah, semua baik-baik saja, Bu, aku hanya kangen sama Ibu, bagaimana kabar di sana, Bu? Baik-baik saja kan? “Baik, Rin,” jawab ibunya. “Bu! “Iya ada apa, Rin? Arini menghela napasnya dengan berat. “ Bu! Terdengar isakan tangis Arini. “Ada apa, Nak, ayo bicaralah jangan kau pendam sendiri masalahmu,” kata ibunya mencoba mencari jawaban. Mendengar tangisan anaknya ibu Ida menjadi perasaannya cemas dengan keadaan Arini anaknya yang sanga
“Tok ... tok ... tok! “Mbak Sari!” itu ada tamu, tolong bukakan pintu! Panggil Arini saat mendengar pintu rumah di ketuk seseorang. “Ya, Bu,” jawab Sari keluar dari dapur dan bergegas membuka pintu. Arini mendengar samar-samar Sari berbicara dengan seseorang laki-laki. “Siapa mbak Sari?” tanya Arini saat keluar dari kamarnya. “ini, Mbak, tukangnya bu Diah meminta izin untuk masuk soalnya dia disuruh untuk membangun kamar di belakang dapur. “Oh, ini maksudnya bu Diah apa sih, rumah masih ditempati kok dibangun, apalagi tukangnya nanti mondar-mandir di dalam rumah ini,” batin Arini. Melihat Arini terdiam. “Mbak! Gimana ini?” tanya Sari. “Ya sudah enggak apa-apa suruh masuk saja! Setelah mendapat izin dari Arini kedua tukang itu pun masuk dan melihat-lihat tempat yang akan di bangun kamar. “Loh, Bu, suami ibu sudah diberitahu masalah ini belum," tanya Sari. “Sudah, tadi malam," jawab Arini.
Sari pulang dari rumah Arini dengan berjalan kaki dan di penuhi kegelisahan dan pikiran tentang rencana kepindahan Arini ke rumah barunya yang akan membuat dirinya kehilangan pekerjaannya. “Kalau bu Arini pindah, aku tidak mungkin ikut ke sana, rumah barunya saja jauh dari sini lagi pula aku juga enggak bisa mengendarai sepeda motor, kalau aku maksa untuk ikut dan nginap di sana siapa yang ngurusi anak-anakku, suamiku belum tentu mengizinkan juga,” batin Sari. Saat akan ke warung bu Dani, Sari melihat bu Diah sedang berada di sana. “Kebetulan ada bu Diah,” batin Sari saat melihat bu Diah dari kejauhan saat bu Diah belanja di warung bu Dani. Sari pun mempercepat langkah kakinya untuk menghampirinya, Sari ingin berbicara dengan bu Diah. “Bu Diah, kebetulan ketemu di sini! Kata Sari. “Eh, Mbak Sari memang ada apa?” tanya bu Diah. “Bu Diah ini gimana? Rumah sudah di kontrak bu Arini kok di renovasi, kalau nanti ibu Arin
Arini sibuk berbenah di rumah barunya dengan di bantu Sari dan Rudi. Mereka menata barang-barang yang di angkut dari rumah kontrakan. Sesekali Arini berhenti untuk menyusui Arsy. “Aku rasa cukup, kalian istirahat dulu! Kata Arini pada Rudi dan Sari. “Mbak, minuman mineral yang di bawa dari rumah kontrakan tadi bawa sini! Untuk kita minum! “Iya Bu,” kata Sari sambil mengambil botol minuman dari tas kresek. “ ini Bu! “Kamu ambil satu, pak Rudi kasih satu," Kata Arini sambil meneguk minuman yang di berikan Sari, Setelah mereka meneguk minuman Arini bertanya pada Sari. “Gimana Mbak, sudah kamu pikirkan bisa ikut ke sini?” tanya Arini. “Iya, Mbak Sari kan bisa tidur di sini, kamu kan bisa juga nanti pulangnya seminggu sekali,” sahut Rudi. “Aku enggak bisa kalau tidur di sini, suamiku juga enggak mengizinkan dan anak-anak tidak ada yang mengurusi kasihan mereka,” jawab Sari. “Ya sudah kalau itu keputusanmu aku tidak bisa memaksa,” ka
Siang itu matahari sangat terik dan terasa menyengat di kulit Arini. Baru saja Arini pulang berbelanja di sekitar perumahan dengan berjalan kaki pulang ke rumahnya, sedangkan Arsy tertidur pulas dalam gendongannya, sesampainya di rumah Arini menidurkan Arsy di kamar dan dirinya langsung rebahan karena Arini kelelahan serta bahunya terasa sakit karena tadi menggendong Arsy dengan berjalan jauh menyusuri perumahan untuk mencari sebuah warung. Arini terus mengingat kejadian yang di alaminya tadi pagi hingga sekarang sampai di rumah. Waktu pagi tadi Arini bangun merasakan lapar karena malam harinya hanya makan mie instan saja, kemudian Arini berencana untuk berbelanja bahan makanan. “Mumpung masih pagi, aku akan belanja bahan makanan untuk persediaan, kalau dengan berjalan pagi-pagi kan enggak terlalu lelah dan kepanasan, aku akan mandi dulu nanti selesai mandi baru Arsy aku mandikan,” batin Arini. Tak berapa lama Arini sudah siap untuk
Bluup ...” Terdengar suara dari arah stop kontak ketika Arini mencolokkan alat penanak nasi listrik. “Arrgh! Arini menjerit kaget. “ada apa ini?” batin Arini sambil mengecek saklar lampu. “ Aduh benar lampunya mati,” kata Arini dalam hati saat mengecek lampu yang dinyalakan tidak hidup, Arini berjalan keluar rumah untuk mengecek meteran listrik yang ada di teras depan rumah. “Ternyata meteran ini mati, Arini pun menghidupkan saklar yang ada di meteran listrik dan Arini mengarahkan ke arah tombol hidup tetapi ketika dia melihat lampu tetap tidak menyala. “Aduh, gimana ini listriknya mati, aku harus minta tolong siapa?” kalau tidak diperbaiki nanti malam akan gelap,” batin Arini. Dia pun kemudian mengambil hp dan berniat menelepon suaminya namun niat itu diurungkannya. “Apa mungkin suamiku mau mengerti akan hal ini, kemarin masalah belanja saja dia tidak peduli padaku, coba aku minta tolong sama pak Rudi. “Hallo, pak! “Hallo, iya ada apa
Terdengar suara deru mobil di depan rumah, Arini segera melihatnya dari balik kaca jendela. Begitu tahu yang datang suaminya Arini keluar menghampiri suaminya. kepulangan Badrun hari ini ke rumah membuat hati Arini menjadi senang karena suami yang ditunggu-tunggunya akhirnya pulang juga yang tidak setiap hari bisa pulang ke rumahnya. Di lihatnya wajah suaminya tampak kelelahan, begitu turun dari mobil Arini mencium punggung tangan suaminya. “Gimana, menurutmu Rin kamu suka dengan rumahnya?” tanya Badrun. “Ya suka, tapi di sini belum ada jasa transportasi, Mas! aku kalau ke mana-mana kesulitan,” kata Arini sambil meletakkan tas kerja bawaan suaminya. “Itu karena di sini masih sepi! Belum ada yang di tempati besok kalau sudah rame banyak penghuninya nanti jasa transportasi kan banyak,” kata Badrun. “Tapi, Mas! kalau nunggu rame kan lama! kalau bisa,” kata Arini tidak meneruskan bicaranya. “Kalau bisa, apa?” tanya Badrun.