"Sayang, kenapa wajahmu memerah?" tanya Rayhan sambil mengelus lembut wajah sang istri. "Gak papa, Mas. Mungkin tadi kepanasan di jalan," bohong Claudia. Rayhan meminta air es kepada perawat yang kebetulan mengecek infusnya, untuk mengompres wajah Claudia. Claudia tetap kekeh menolak, dan mengatakan kalau tidak sakit. Padahal ia menahan rasa perih dan sakit hatinya, lebih baik menahan demi keutuhan rumah tangganya. Perawat itu sangat baik, bukannya memberikan air es beliau justru memberikan salep untuk luka memar. "Sayang, istirahatlah! Sepertinya kamu lelah sekali," ujar Rayhan merasa sangat kasihan dengan sang istri. Claudia sangat telaten menjaga Rayhan sendiri, malam ini Mamah Eva, Papah Andi, dan Aruna tidur di rumah. Setiap dua jam sekali, ia terbangun untuk melihat keadaan suaminya. Rayhan sangat beruntung mempunyai seorang istri seperti Claudia, mandiri dan cekatan dalam melakukan sesuatu. ***Tiga hari kemudian. Rayhan sudah diperbolehkan pulang ke rumah, tapi harus t
Rayhan saat ini kembali bekerja, keadaannya sudah pulih kembali. Namun, Claudia yang sering tidak enak badan, mual, dan sering kecapean. Ia masih seperti biasa, mengerjakan pekerjaan rumah. Mamah Eva akhir-akhir ini juga sibuk, sering keluar rumah. Sedangkan Aruna semakin sibuk kuliah, pulang ke rumah juga sudah sore. "Claudia, Mamah mau pergi arisan. Jaga rumah dengan baik, ingat kamu numpang di sini," kata Eva. "Iya, Mah," sahutnya. Claudia sudah paham dengan maksud Mamah Eva, walaupun berada di rumah dia tidak bisa santai. Pekerjaan rumah seperti mengepel, menyapu, seakan-akan sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, Claudia tidak pernah mengeluh karena sudah terbiasa dengan semuanya. Tiba-tiba padangan mata Claudia kabur, ia menghentikan aktivitasnya dan duduk dengan bersandar kan tembok. "Kenapa aku menjadi sering pusing," ucapnya sembari memegang kepalanya. Setelah merasa baikan ia baru melanjutkan aktivitasnya kembali, dan mengerjakan sampai selesai. Tok ... tok ... tok ...
"Kak, mana uang ganti bunganya tadi," pinta Aruna dengan menengadahkan tangannya ke arah Claudia. Rayhan tidak jadi marah dengan istrinya, mendengar perkataan Aruna membuatnya tenang. Ia lalu mengambil uang selembar seratus ribuan, dan diberikan kepada adiknya. Claudia sangat bersyukur, untung saja Aruna datang. Dia sangat tidak menyangka, Aruna akan menjadi penyelamat untuk dirinya. "Runa, terimakasih ya," ungkap Claudia. "Ini tidak gratis, Kakak ipar! Besok jangan lupa, traktir Aruna beli bakso," ujar Aruna. Rayhan mengacak-acak rambut adiknya itu, hingga menjadi sangat berantakan. Kemudian Aruna meminta Claudia untuk menyisir rambutnya, agar menjadi rapi kembali. "Runa, pokoknya terimakasih banyak ya," bisik Claudia. "Aku melakukan semua ini demi Sean," kata Aruna. Claudia salah menduga, ia mengira Aruna membela dirinya karena sudah mau menerima sebagai kakak iparnya. Sean juga bilang kalau mereka bersahabat, tentu saja akan membela Sean dibanding dirinya. Tok ... tok ...
Kini, Rayhan harus berpikir keras bagaimana agar istrinya merasakan nyaman saat berada di rumah. Ia baru tersadar kalau selama ini tidak begitu memperhatikan istrinya.Karena sudah larut malam, ia mengajak pulang Claudia dengan naik taksi online. Perjalanan menuju ke rumah, terbilang lancar karena sudah sepi pengendara. Biasanya mereka terjebak dalam kemacetan panjang, dengan padatnya kendaraan di kota itu. "Mas, kok tiba-tiba aku lapar ya," ucap Claudia, memegang perutnya yang tidak buncit. "Nanti sampai rumah makan lagi, Sayang," ujar Rayhan. Claudia ingin makan nasi goreng buatan suaminya, membuat Rayhan mengerutkan dahinya karena tidak bisa memasak. Setelah sampai di rumah Claudia menagihnya, merengek minta segera dibuatkan. Mereka berdua saat ini sudah berada di dapur, Claudia menyiapkan semua bahannya tinggal Rayhan yang memasaknya. "Sayang, ini gimana caranya?" tanya Rayhan, sama sekali tidak pernah memasak nasi goreng. "Masa sih Mas, gak bisa? Usaha dong," balas Claudia
Sean akhirnya angkat bicara, menjelaskan kalau wanita yang duduk bersama Aruna adalah kakak ipar Aruna bukan Alena. Dengan wajah sedihnya Sean menceritakan tentang Alena, meninggal karena kecelakaan. Sean juga menunjukkan bukti berupa video di ponselnya, sehingga mereka semua percaya dengan ucapannya. Karena, waktu kejadian mereka masih dalam masa pendaftaran jadi belum saling mengenal. Pak Bandi meminta maaf kepada Claudia, lalu mengizinkannya keluar dari dalam kelas. Beliau yang berkacamata tidak bisa melihat dengan jelas, dan membedakan antara Claudia dan Alena. "Kalau begitu permisi, Pak. Saya harus pulang," pamit Claudia dengan sopan. "Silahkan, Nona. Hati-hati di jalan," ujar Pak Bandi menatap sendu Claudia. Baru beberapa langkah berjalan Claudia tiba-tiba pingsan, Aruna segera berlari dan menolong kakak iparnya itu. Sean juga turut membantu Aruna membawa ke ruang kesehatan yang ada di kampus. "Merepotkan saja kakak ipar," gumam Aruna, dengan wajah kesalnya. "Seharusnya k
"Sayang, aku sudah wangi nih," ucap Rayhan selesai mandi. Ternyata Claudia sudah terlelap dalam tidurnya di atas ranjang, ia lelah menunggu Rayhan mandi terlalu lama. Melihat secangkir kopi di atas meja, membuatnya bersemangat untuk segera mengecap kopi buatan istrinya. "Mas, maaf aku ketiduran," kata Claudia. "Gak papa, Sayang. Pasti kamu lelah kan," ujar Rayhan tersenyum tipis. Claudia benar-benar lupa dengan apa yang terjadi dengan dirinya, karena tidak menceritakan kegiatannya tadi siang. Ia justru mengajak suaminya untuk makan, cacing di perutnya sudah berteriak minta diisi. "Claudia, kamu masak sendiri buat suamimu! Jangan apa-apa yang ngerjain Mamah terus, seharian kamu kemana aja!" ketus Eva. Padahal di meja makan sudah tersedia berbagai jenis masakan, tadi Eva meminta tolong tetangganya untuk memasak. Rayhan tidak banyak bicara, dari pada Mamahnya marah pada istrinya ia mengajak Claudia makan di luar rumah. "Rayhan, biarkan Claudia masak! Pemborosan setiap hari makan
Sean merebut telepon genggam milik Mamah Risma, lalu mematikan panggilan dengan Eva. Seketika Mamah Risma terkejut, karena perlakuan Sean baru saja menunjukkan sikap tidak sopan. "Sean, sejak kapan kamu tidak mempunyai sopan santun!" marah Risma. "Kenapa Mamah, menghubungi mertuanya Claudia? Dia di usir dari rumah, karena hamil! Mamah, tega melihat orang hamil kena omel terus?" tanya Sean. "Astaga! Maafkan Mamah," ucap Risma. Lalu menuju ke arah Claudia yang saat ini duduk di ruang keluarga. Akhirnya beliau mengizinkan Claudia tinggal di rumahnya, dengan catatan tidak boleh keluar dari rumah. Beliau tidak mau sampai ada yang mengatakan ke Eva, kebetulan tetangganya ada yang teman arisan Eva. "Tante, aku tidak tau harus bagaimana cara berterimakasih untuk membalas kebaikan Sean dan Tante. Sudah sudi menerima aku di rumah ini," ungkap Claudia. Risma tersenyum bahagia, beliau merasakan mempunyai anak perempuan kembali dengan adanya Claudia di rumahnya. Lalu menunjukkan kamar yang a
Sean kemudian mengutarakan maksud kedatangannya, dia mengatakan bahwa Claudia berada di rumahnya. Belum selesai bicara, Rayhan sudah memotong ucapannya dan marah-marah. Rayhan mengatakan tidak akan menerima Claudia lagi, dia juga menuduh bahwa janin yang ada di kandungan Claudia adalah anak Sean."Dasar gila! Tidak mau mengakui anak sendiri!" seru Sean."Memangnya kamu siapa? Apakah kamu kekasih istriku? Mungkin saja kan dia anakmu!" marah Rayhan.Tangan Sean membentuk kepalan, ingin rasanya ia menonjok muka Rayhan. Namun, ia menahan kekesalannya. Karena mendengar pertengkaran hebat, Claudia turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Dia melarang mereka yang sedang bertengkar untuk berhenti, tapi mereka berdua sama-sama tidak mendengar ucapan Claudia. Aruna yang berada di balik pintu akhirnya keluar juga, ia membela Rayhan. Gadis itu dengan lantang menyalahkan Sean, karena terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang. "Kalian semua ini keluarga gila! Ayo Claudia, kita per
Rayhan, Claudia, Aruna dan Sean pergi berlibur ke sebuah pantai yang sangat indah. Setelah sampai di pantai, mereka beristirahat lebih dulu di tempat penginapan. "Sean, bantu buka resleting gaun ku," pinta Aruna menyodorkan punggungnya di depan Sean. Jemari Aruna gemetar saat menyodorkan punggungnya di hadapan Sean. Gaun sutra yang dikenakannya kini terbuka, memperlihatkan kulit putih mulusnya. Ia menahan napas, menunggu Sean untuk membuka resleting itu perlahan. "Merepotkan saja, Runa," gerutu Sean, namun tangannya bergerak dengan hati-hati. Detak jantung Aruna berpacu saat merasakan jemari Sean menyusuri punggungnya. "Sekarang tutup mata mu! Aku ingin berganti baju," pinta Aruna lagi, berusaha mengontrol suaranya yang bergetar. Sean menyeringai. "Kenapa harus tutup mata? Kita sudah menikah, Runa. Jadi, halal kalau aku melihat kamu telanjang," katanya dengan nada menggoda. Aruna menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang. Bagaimanapun, Sean adalah suaminya. Tapi rasa ma
Sean meminta Aruna bersikap baik, lemah lembut. Ia tidak ingin anak-anaknya nanti terlahir dari seorang ibu yang mempunyai sikap kasar, ia dengan sabar memberikan pengertian ke Aruna. "Sean, bukannya kita menikah bukan karena cinta. Jadi, kita masih bisa cerai," kata Aruna menatap Sean. "Kamu gila, Runa! Aku akan belajar mencintaimu seiring berjalannya waktu, bukan untuk permainan," terang Sean meyakinkan Aruna. Aruna tersenyum bahagia mendengar ucapan Sean, ia berharap Sean bisa mencintainya dengan tulus dan membuktikan ucapannya. "Sean, sebenarnya aku sudah mencintai mu dari dulu," ungkap Aruna memegang tangan Sean. "Dasar labil!" ketus Sean. Dulu Aruna pernah mengatakan kalau tidak mencintai Sean, sekarang justru dirinya yang mengungkapkan perasaanya lebih dulu. Keesokan harinya, Aruna baru pulang ke rumah diantarkan Sean. Kebetulan Claudia yang membukakan pintu untuk mereka, dengan ramah Claudia menyambut dan mempersilahkan masuk. Sean terpaku menatap Claudia,
"Dok, bagaimana kandungan istri saya?" tanya Rayhan berharap kabar baik yang ia terima. "Ada yang tidak beres, Pak," jawab Dokter tersenyum. "Iya, saya ngerti! Tolong jelaskan," pinta Rayhan dengan tegas. Dokter menyarankan agar Claudia banyak istirahat di rumah, tadi hanya mengalami kontraksi palsu yang memang sering dialami oleh wanita hamil. Beliau juga menyarankan agar Claudia mengurangi minuman atau makanan manis, karena berat bayi di dalam kandungan sudah melebihi berat normal. Rayhan mengerutkan dahinya ketika mendengar penjelasan Dokter, ada beberapa hal yang belum dimengerti. Ini adalah pengalaman pertama kali Rayhan menemani Claudia periksa ke Dokter. "Mas, ayo kita pulang," ajak Claudia. "Iya, Sayang. Ini juga sudah larut malam," kata Rayhan tersenyum tipis. Sampai di rumah mereka terkejut, mendengar kabar kalau Mamah Eva tidak bisa jalan. Claudia dan Rayhan segera menemui Mamah Eva, beliau terbaring lemah di tempat tidur. Tetapi masih saja beliau men
"Mas, kamu yakin akan membawaku ke rumah? Nanti kalau Mamah marah gimana?" tanya Claudia khawatir. "Sayang, kamu jangan takut gitu dong. Biar Mamah jadi urusan ku, yang penting sekarang kita bersama lagi," balas Rayhan mengecup punggung tangan istri tercintanya. Saat ini mereka berdua sedang berada di perjalanan menuju ke rumah Rayhan, setelah menghabiskan waktu berdua di pantai. Rayhan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia sangat hati-hati melajukan mobilnya agar istri dan calon buah hatinya merasa nyaman. Tak lama kemudian, mereka sampai di halaman rumah mewah milik keluarga Rayhan. Keduanya pun segera turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Mamah Eva menyambut kedatangan Claudia, dengan tatapan penuh kebencian. Bola matanya tertuju pada sang menantu, yang perutnya mulai membesar. "Hamil anak siapa kamu?" tanya Mamah Eva ketus. "Tentu saja anak Rayhan dong, Mah," ujar Rayhan berusaha membela sang istri. "Kamu yakin, Ray? Claudia itu hamil setela
"Pak, Bu, kenapa kita kembali ke rumah ini lagi?" tanya Claudia ketika sampai di kampung. "Bapak lebih nyaman tinggal di sini! Walaupun rumah itu mewah, kita tidak punya mata pencaharian," balas Ayah Claudia sambil membuka pintu. Claudia menghela nafas beratnya, apapun yang sudah menjadi keputusan Ayahnya harus dituruti. Ia menyangka Ayahnya mengajak pindah karena Rayhan sudah menemukannya. "Claudia, perutmu sudah membesar. Mulai sekarang kamu harus banyak istirahat, jangan memikirkan hal yang tidak penting," ucap Ibu Claudia. "Baik, Bu," kata Claudia kemudian masuk ke dalam kamarnya. Di tengah kamar yang teduh, Claudia duduk merenung, tatapan matanya penuh dengan kerinduan dan kekhawatiran. Baginya, hamil adalah momen yang seharusnya penuh kebahagiaan, tetapi kehadiran sang suami yang terpisah membuatnya merasakan kekosongan yang mendalam. Setiap kali rasa lapar menghampiri, bukan senyum lembut sang suami yang menghampirinya, melainkan pertimbangan-pertimbangan yang
Rayhan ngutarakan keinginannya untuk membawa Claudia kembali ke rumah, ia juga mengatakan kalau sudah mengetahui kabar kehamilan istrinya itu. Ayah Claudia pun terkejut, beliau tetap tidak akan pernah mengizinkan Rayhan membawa Claudia pergi. Apalagi saat ini perut Claudia, sudah mulai membesar. "Tapi, Pak! Bayi yang ada di dalam kandungan Claudia anak saya, tolong berikan kesempatan. Saya berjanji akan menjaga Claudia dan anak saya dengan baik," ucap Rayhan meyakinkan. "Dulu kamu sudah pernah berjanji, Rayhan. Kenyataannya justru kita kehilangan calon cucu, semuanya karena kamu tidak becus menjaga istri dan calon anakmu! Keselamatan mereka lebih penting, dari pada harta benda yang kamu punya!" seru Ayah Claudia membuat Rayhan terdiam. Claudia dan Ibunya yang saat ini mengintip pembicaraan dari balik pintu, sebenarnya merasa kasihan dengan Rayhan. Namun, Claudia masih merasa takut jika kembali ke rumah Rayhan dan tinggal bersama mertuanya. Claudia membuka pintu dengan p
Claudia menghela napas panjang, membatalkan rencana kepergiannya untuk menyusul Rayhan. Perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit, membuatnya harus beristirahat sejenak. Dengan langkah gontai, ia menuju kursi di sudut stasiun kereta yang terlihat sepi. Claudia meringis menahan nyeri yang menjalar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib hubungannya dengan Rayhan yang seakan hancur berkeping-keping. Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri Claudia yang masih terduduk lemas. "Nona, apa Anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir. Claudia mendongak, memaksakan senyum tipis. "Saya hanya sedikit tidak enak badan, Pak. Tapi tidak apa-apa, saya akan segera baik-baik saja." Pria itu mengangguk paham. "Kalau begitu, istirahatlah dulu di sini. Jangan memaksakan diri, Nona." Ia menyodorkan sebotol air mineral pada Claudia. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar. "Terima kasih banyak, Pak." Setelah pria itu pergi, Claudia kembali
Aruna benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Sean saat ini, yang tiba-tiba meminta membatalkan pernikahan mereka. "Sean, mana tanggung jawab mu sebagai seorang laki-laki? Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan, mau ditaruh mana muka Mamah!" marah Mamah Risma menatap tajam putranya. "Tapi, Mah! Claudia ... "Cukup! Biarkan Claudia diurus suaminya sendiri!" tegas Mamah Eva yang saat ini duduk di sebelah Aruna. "Mah, Claudia wanita yang sangat menderita. Sean tidak mau terjadi apa-apa dengannya, dia pergi dari rumah Aruna pasti gara-gara Tante Eva tidak memperlakukannya dengan baik," jelas Sean. Aruna tidak terima dengan ucapan Sean, karena Claudia pergi dari rumah atas keputusan sendiri tidak ada yang mengusirnya. Mamah Risma memberikan saran kepada mereka berdua, agar tidak membahas Claudia lagi. Baginya Claudia berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Beliau meminta agar Aruna dan Sean fokus ke pernikahan mereka, karena masa depan mereka mas
Langkah Rayhan gontai, seolah beban dalam dirinya semakin memberat. Ia baru saja sampai di kediaman orang tua Claudia, istrinya tercinta, namun yang ia temukan hanyalah sebuah rumah kosong tanpa tanda-tanda kehidupan. Rayhan mengedarkan pandangan, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantunya memahami situasi ini. Namun, para tetangga Claudia yang ia temui hanya bisa memberikan informasi terbatas. Mereka melihat sebuah mobil mewah datang menjemput Claudia, dan sejak saat itu, gadis itu pergi bersama orang tuanya tanpa memberikan penjelasan. Perasaannya berkecamuk, kebingungan dan kekhawatiran menguasai dirinya. Apa yang telah terjadi? Ke manakah Claudia dan keluarganya pergi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, seakan menghantui setiap langkahnya. Perlahan, ia menyadari bahwa dirinya sendirian, ditinggalkan tanpa penjelasan. Kehampaan yang tak terdefinisi mulai menyeruak dalam dirinya, menggerogoti setiap sisi hatinya. Ia merasa kehilangan pegangan, ta