Aku terdiam kaku ketika menatap lekat gambar yang dikirimkan Resti belum lama ini. Tampak jelas dalam penglihatan, suamiku yang terlihat sedang menikmati makan siang bersama Aluna dan putranya di sebuah tempat yang kuperkirakan adalah sebuah restoran, menunjukkan sorot mata bahagia saat sepasang matanya memandang mantan kekasih yang mungkin akan bergelar menjadi seorang janda tidak lama lagi."Benarkah semua kata cinta yang kamu ucapkan hari itu palsu?" Aku menggumam lirih dengan hati yang kian terasa perih.Kutekan dada yang semakin sakit dan sesak saat sepasang mataku melihat dalam gambar, suamiku tampak bahagia ketika bersama wanita lain. Wanita yang sejatinya lebih dulu dikenalnya daripada aku yang secara tidak sengaja dia kenal melalui Alia sebelum insiden penjebakan terjadi hari itu."Kenapa kamu tega, Mas?" Kulempar ponsel ke atas ranjang bersama hati yang semakin retak saat menyadari jika diriku mungkin tak lagi berarti di matanya. Setelah mantan kekasih yang lama pergi dan se
"Kamu … nggak alergi makan seafood, kan, pas hamil gini?" tanya Resti tiba-tiba mengubah topik."Paling aku makan udangnya aja, Res. Kalau yang lain, kayaknya kurang srek sekarang," ucapku penuh kejujuran."Oke, sip. Kita ke resto seafood langganan kita, ya," ucap Resti yang kubalas dengan anggukan setuju.Memasuki restoran seafood yang sudah lama tak kudatangi bersama sahabat baikku ini, aku hampir dibuat hampir tak percaya saat menyadari Arman yang sudah beberapa hari ini tak kujumpai, baru saja sampai di tempat ini dan juga baru mengambil tempat duduk."Oalah kok bisa kebetulan gini, ya? Gimana kalau kita join Mas Arman aja?" usul Resti yang sontak kubalas dengan anggukan kaku.Aku dan Resti lantas jalan beriringan menuju tempat di mana Arman sudah lebih dulu mengambil tempat duduk. Lebih tepatnya di meja sudut ruangan restoran seafood bernuansa klasik ini."Hai, Kakak sepupu."Arman jelas terkejut saat Resti tiba-tiba menegurnya demikian."Indah?" Meski jelas yang menegur adalah R
Di luar dugaan, Arman terlihat santai menanggapi kata-kata mengerikan yang meluncur dari bibir suamiku. Terlihat oleh sepasang mataku, sepupu Resti tersenyum menyeringai bahkan saat Darren berjalan semakin dekat dengan napasnya yang memburu."Bukankah kau akan bertunangan tidak lama lagi? Lantas, kenapa harus bermimpi menjadikan istri orang untuk dijadikan pasanganmu, hm?" ejek Darren yang masih saja ditanggapi dengan ekspresi santai lelaki 25 tahun tersebut. Sepupu Resti itu tetap terlihat tenang dan tak menunjukkan rasa takut barang sedikit pun."Dasar laki-laki tidak tahu malu!" cibir suamiku sambil menatap sengit laki-laki berusia sebaya dengannya.Lagi-lagi, Arman tampak tak menunjukkan perubahan ekspresi saat menanggapi makian yang dilontarkan suamiku. Dia tetap terlihat tenang dan santai. Seperti sebelumnya.Laki-laki yang kurang lebih sama tingginya dengan Darren, mendengus pelan sebelum bersuara."Lalu, apa kau pikir kalau kau lebih baik dariku, hm? Setelah menghancurkan hidu
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku