Sesampainya di rumah, Cyra sedang duduk melamun di sudut kamarnya. Dipeluknya Ruby sambil menumpukan dagu di atas kepala boneka kesayangannya. Cyra sadar kalau sepasang mata papanya sedang mengintip di balik pintu. Ia pun lekas berlari menuju Rain, lantas ditangkap oleh papanya untuk segera digendong. Didekap erat tubuh atletis papanya bersama Ruby.
“Maamaa, Pa …?” Suara isak tangis Cyra.
Rain mendekap putrinya semakin erat, ditepuk-tepuk punggungnya dengan halus dan penuh kasih sayang.
“Maamaaa …?” Suara rengekan Cyra, betapa ia merindukan seorang ibu.
“Mama pergi jauh. Nanti kita temui Mama, ya, Sayang,” bujuknya.
Suara isak tangis masih menderu. Kemejanya dibasahi air mata putrinya.
“Malam ini mau tidur sama Papa?”
Cyra diam sejenak, lalu perlahan menjauh dari dekapannya. Dipandangi papanya, lalu ia mengangguk tanda setuju. Rain tak sanggup melihat kesedihan di waj
Sore hari Sea dan Cyra menghabiskan waktu senggang di taman. Tampak dari kedua ekor mata Rain terus memperhatikan mereka berdua, memperhatikan cara gadis yang akan dinikahinya itu memperlakukan Cyra seperti anaknya—mungkin lebih cocok seperti adiknya. Lekukan senyum tersungging tanpa sadar saat ia berdiri di ambang pintu sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, seperti biasanya. “Pak Rain?” Lelaki itu sedang melamun, membayangkan jika mereka sudah benar-benar seperti keluarga. Entah seperti apa dan bagaimana rasanya nanti. Seperti ada kuda berpacu di dalam dada berlomba mencapai finish pertama. Tatapan matanya kosong. Namun, senyumnya tetap terjaga seperti sebelumnya. “Pak Rain!?” Suara panggilan lebih keras lagi. Rain tersentak kaget. Lamunannya berhamburan begitu saja setelah dipanggil Bi Ina beberapa kali sambil menepuk bahu Rain. “E-eh. Kenapa, Bi?” “Anu … makan malamnya sudah siap
“Sa-saya te-terima, nikahnya Tho-thomas Adiwijaya binti Se-seavina Amanda.” “Stop stop ….” Pak Penghulu menghentikan ijab kabul. Semua tamu yang menyaksikan prosesi khidmat malah terbahak karena Rain tampak linglung dan gelagapan sampai-sampai nama calon istrinya tertukar dengan nama calon papa mertuanya. Thomas dan Sea yang sebelumnya dalam suasana terharu malah tak bisa menahan gelak tawa. Beberapa tetes keringat berembun di dahi dan mengalir ke sisi pipinya. Wajahnya tampak gelisah, bukan seperti Rain yang tegas dan eksplisit seperti biasanya. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. “Tenang ya, Pak. ‘Kan udah pengalaman. Kalau ijab kabulnya gemeteran, gimana nanti malamnya, Pak? Kasian nanti istrinya keburu tidur.” Pak Penghulu meledeknya untuk mencairkan suasana kaku. Semua tamu pun ikut tergelak mendengar lelucon pria b
Sudah tiga hari semenjak pernikahan sejoli yang terpaut usia lebih dari sepuluh tahun itu. Mereka pun sudah kembali ke Bandung dan tinggal bersama di rumah Rain. Selama tiga hari itu pula tak ada sesuatu yang istimewa terjadi di antara mereka karena Cyra selalu menempel pada Sea sejak pagi, siang, malam, hingga pagi lagi.Rain pun hanya bisa mengelus dada karena harus menahan hasrat kejantanannya demi melihat kebahagiaan putri kecilnya.Hari-hari berlalu dan mereka menjalani kehidupan normal seperti biasanya: Rain dengan pekerjaannya dan Sea yang sibuk mempersiapkan kuliahnya sebagai mahasiswi baru.Dua minggu berlalu, setiap pagi Rain pergi dua jam lebih awal daripada istrinya. Mereka akan bertemu kembali di sore hari dan menghabiskan waktu dengan putri kecil yang mereka cintai.Ketika sore hari Sea sudah tiba di rumah dan se
Ia terus memperhatikan mereka. Kemudian, terlihat mereka berdiri bersama dan Rain mengambilkan coat dari gantungan kemudian memakaikannya pada si gadis. Lalu, mereka hendak keluar bersama.Sea pun segera mencari tempat persembunyian di balik tembok yang agak jauh. Sementara, Rain dan gadis itu berjalan bersama menuju lift sambil bersenda gurau. Bahkan, tangan suaminya tak segan mengacak rambut si gadis seperti orang yang saling menyayangi.“Siapa gadis itu?” gumamnya.Sea pun makin kesal dibuatnya. Ia sendiri tak pernah diperlakukan manis seperti itu apalagi bisa bersenda gurau dengan lelaki yang sedang menggunakan kemeja abu tersebut. Itu hanya mimpi baginya.Tak lama Fira muncul dari arah lain sambil membawa tumpukan map. Ia dihampiri oleh Sea beserta Cyra yang sudah siap memberikan pertanyaan.&nb
Hari-hari berlalu sampai gadis bernama Crystal mengunjungi kembali rumah yang terletak di Jalan Albasia IV nomor sembilan. Sekitar pukul delapan pagi saat embun masih meraba hijaunya dedaunan, ia sudah berdiri di depan pintu kayu jati berdesain ukiran vertikal minimalis sambil menenteng beberapa paper bag. Saat itu Rain sudah bertolak ke kantor sejam sebelum kedatangan Crystal.“Kamu ...?” tanya Sea dengan mangkel di hatinya.“Selamat pagiii.” Crystal memasuki rumah tanpa meminta persetujuan dari kakak iparnya itu.“Tanteee ...!” teriak gadis kecil yang berlari dari kamar, lantas memeluknya dengan sigap.“Haaaiii. Apa kaabar, Saayaang.” Bibirnya mengecup kening serta pipi kanan dan kiri Cyra.“Tante kangen sekali sama kamu.”&
Rainofan William dan Seavina Amanda menikah memang tidak atas dasar cinta. Namun, mereka tidak sadar bahwa keputusan menikah itu pun diambil karena mereka sudah saling peduli dan memiliki perasaan masing-masing.Di sela-sela waktu makannya, terlintas ucapan sang istri saat di telepon siang harinya. Kalau begitu, kenapa kamu nikahin aku dan bukannya dia?! Kalimat itu yang paling diingatnya. Jadi, kamu cemburu dengan adik iparmu sendiri? Rain melirik gadis di sampingnya. Ia menarik senyum tipis.Apa benar kamu sudah jatuh cinta denganku?Bagaimana cara membuktikannya kalau memang yang dikatakan Crystal itu benar?“Kenapa melihatku begitu?”Rain menggeleng, lalu menghela napas panjang sebelum berbicara. “Besok aku akan antar Crystal ke Jakarta. Jadi, aku akan pulang terlambat.”Sea
Rabu malam yang indah mereka habiskan di atas ranjang berbalut sprei berwarna cokelat muda. Sprei yang awalnya bersih, malam itu juga banyak noda berceceran. Pergelutan malam itu membuat mereka lelah sampai akhirnya terlelap dalam mimpi indah masing-masing.“Eengh ....” Sea mendesah dan belum bangun dari alam tidurnya.Desahan menggelitik itu ternyata membangunkan lelaki di sampingnya. Rain perlahan membuka mata dan mengumpulkan kesadaran. Matanya melirik dan mendapati sang istri yang masih terlelap dalam dekapannya.Rain tersenyum. Rona merah bersemu di pipinya karena ia bangga telah menjadi lelaki seutuhnya—untuk yang kedua kali setelah pernikahan pertamanya. Ia memperhatikan wajah istrinya yang tertutup sebagian rambut dan sesekali masih mendesah. Tangannya menyibakkan rambut panjang Sea ke balik telinga, lalu ia mengusap lembut pipi istrinya denga
“Beruntung kita di depan kecelakaan itu. Kalau enggak, kita pasti terjebak lama di sana.”“Ya, kalau aja tadi kamu terlambat lima menit, kita pasti masih ada di sana, Rain.” Crystal menimpali.Rain melihat sama-samar mobil berwarna putih yang bagian depannya sudah rusak dan mengeluarkan kepulan asap. “Hmm, gimana kondisi orang itu sekarang?”“Kamu khawatir dengan orang yang gak dikenal?” Crystal meliriknya, lalu kembali fokus mengemudikan mobil.Rain menggeleng. “Aku cuma gak bisa bayangkan seperti apa perasaan keluarganya setelah dengar kecelakaan itu.” Sebenarnya, hatinya juga tiba-tiba merasa gelisah. Namun, ia berusaha menyingkirkan kekhawatiran itu karena tidak ada penyebab pastinya.“Lebih baik kamu khawatirkan istri ka
Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set
“Bintang ...? Kamu sedang apa?” Ia melihat Bintang tertunduk. “Bin. Ayo, bangun. Malu dilihat banyak orang.” Perlahan, langkahnya mendekati Bintang, memastikan apa yang sedang dilakukannya. Namun, Bintang masih diam di posisinya. Tak lama, terdengar suara isak tangis.“Sea, aku ....” Ia mendongak pelan.“Bintang, bangun dulu, ya.” Ia membujuk Bintang sambil memperhatikan pandangan semua orang.“Sea, aku itu sayang kamu. Terlalu sakit mendengar kenyataan kalau kamu udah jadi istri orang. Padahal, aku yang lebih lama kenal kamu daripada suamimu itu.” Bintang menepuk-nepuk dadanya. Matanya memerah dan menggenangkan cairan yang hampir terjatuh. “Aku cuma suka kamu, Se. Aku mau perjodohan kita berlanjut. Aku cuma sayang kamu.”Wanita dengan rambut panjang dikuncir setengah itu mengerutkan kening. Tak dapat dipungkiri jika ia merasa terharu dengan ungkapan yang dinyatakan Bintang. Ia memang mengenal Bintang jauh lebih lama daripada Rain. Itu karena
Dari dalam restoran, Rain memegang tangannya Sea. Namun, setelah sampai di luar restoran, pria berkaos polo shirt putih itu melepas genggamannya. Ia tetap berjalan di samping istrinya, tetapi eskpresinya tak seperti sebelumnya. Sikapnya menjadi dingin seperti waktu awal-awal mereka bertemu.Saat makan, Rain hanya fokus menghabiskan makanannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai semua hidangan di meja habis dilahap yang lainnya.Menyadari hal itu, Sea merasa bingung. Ia khawatir melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah sampai-sampai Rain mendiamkannya begitu.***Begitu sampai di rumah pun, Rain langsung keluar dari mobil dan masuk ke kamar, meninggalkan semua yang masih berada di mobil.Sea makin merasa canggung. Ia tak tahu apa alasannya. Setelah menuntun Cyra ke kamar, Sea segera m
Bintang-bintang bergelantungan dalam pekatnya langit bersama rembulan yang tersipu di balik awan. Suasana malam Minggu Kota Bandung begitu hingar bingar saat itu. Gelak tawa, suara pengamen, orang-orang berfoto, sampai tangis anak-anak saling bersahutan.Hampir seluruh rumah makan, kafe, pertokoan, dan pedestrian dipenuhi pengunjung. Angin berembus membelai rambut Sea yang baru saja turun dari mobil bersama suami, anak, dan asistennya. Mereka sampai di rumah makan tradisional yang menyajikan menu-menu khas adat Sunda.“Silakan.” Seorang pramusaji menyodorkan dua buah buku menu ketika keluarga Rain mengambil salah satu meja dengan empat kursi.“Terima kasih,” ujar Rain. “Kamu mau pesan apa?” Ia bertanya kepada Sea sambil menatap buku berisi banyak daftar menu.“Aku mau bebek goreng dan