"Ha?" beo ketiganya.
"Pelanggan kafè?" tanya Rio dengan nada heran.
"Iya Pa, dia pelanggan hari ini di kafè tempat Celin kerja." jelas Celindia.
Rio tertawa, "Berarti dia enggak ingat, Pa." kata Alges yang juga ikut tertawa.
Celindia menatap ketiganya dengan heran, memangnya apa yang yang salah dan harus di tertawakan. Ia memang benar, pria di depannya ini--si pemuda sukses yang menjadi pelanggannya hari ini.
"Celin," Celindia menatap ke arah Kalana.
"Cowok yang di depan Kamu ini adalah teman masa kecil Kamu, mungkin Kamu enggak ingat karena itu udah lama banget. Tapi, Kita masih ingat, waktu itu Kalian masih kecil-kecil." jelas Kalana.
Sedangkan Celindia hanya manggut-manggut, walau memang benar kalau Ia sama sekali tidak ingat. Lalu Rio kembali bersuara, Ia menatap Keindra.
"Bagaimana keadaan Oma?" Keindra tersenyum tipis.
"Makin parah."
"Astaga, maafkan Kami belum sempat menjenguk." ucap Rio dengan tidak enak.
"Enggak apa-apa Om," jawab Keindra singkat.
"Oh iya, Saya kesini bukan hanya sekedar berkunjung." kata Keindra tiba-tiba.
Mereka diam, menunggu pria itu kembali bersuara.
"Saya datang ke sini karena ingin melamar Celindia, Anak Om Rio."
Seketika suasana menjadi hening.
Keempat manusia di depan Keindra mendadak terdiam kaku, seolah ucapan yang di keluarkan oleh Keindra merupakan mantera yang bisa mengutuk mereka berubah menjadi patung.
"Ehem," Rio berdehem.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Alges heran.
Keindra menghela napas. "Maaf, tapi ini wasiat yang di berikan Oma Saya. Kalau enggak percaya, Kalian bisa ikut Saya ke rumah sakit dan bertanya kepada beliau."
****
Keluarga Pratama sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Oma dari Keindra do rawat, kata Kalana kepada Celindia namanya adalah Amara. Kalana juga menceritakan bagaimana wanita itu sangat membantu mereka saat mereka mengalami kesusahan dulu, Celindia tahu maksud Kalana menceritakan itu.
Walaupun begitu, gadis itu memilih untuk pura-pura tidak tahu.
"Celin," panggil Rio dari kursi pengemudi.
"Papa please," mohon Celindia, ia tahu Rio lagi-lagi akan menanyakan jawabannya.
"Aku ... menikah dengan cowok itu? Yang bener aja."
Rio menghela napas. "Turun," kata Rio.
Celindia menatap Papanya tak percaya. "Papa ngusir Aku dari mobil?"
"Heh pe'a!" kata Alges yang berada di samping Rio, memukul singkat kepala adiknya.
Celindia meringis, baru saja Ia akan bersuara. Alges menyela.
"Kita udah sampe dodol."
****
CEKLEK
Pintu ruangan terbuka, Rio masuk di susul Kalana, Alges, dan Celindia di barisan terakhir. Wanita yang awalnya terlihat mengobrol dengan Keindra, mengalihkan pandangannya.
"Rio," panggil Amara dengan lirih.
"Iya, Tante?"
"Bagaimana kabarmu dan keluarga?"
Rio tertawa kecil. "Bukannya seharusnya Saya yang bertanya begitu?"
Amara tersenyum.
"Bagaimana kabar Tante?" tanya Kalana dengan mendekatkan diri kepada Amara.
"Ya ... seperti yang Kamu lihat," ujar Amara santai.
"Ini ... Alges?" tanya Amara dengan mata menatap ke arah Alges.
Alges maju selangkah lalu menyalimi tangan Amara, Kalana lalu menjawab pertanyaan Amara.
"Iya, Tante."
"Udah gede ya, rasanya baru kemarin Oma lihat Kamu lari-larian." Alges mengusap belakang lehernya dengan canggung.
Amara lalu menatap Rio. "Mana Anak Kamu yang terakhir?"
Celindia yang menunduk dan bersembunyi di belakang tubuh Alges hanya diam, tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Lalu Ia merasakan dorongan di pundaknya, gadis itu membuka mata dan tidak mendapati Alges di depannya.
Ia tersenyum canggung ke arah Amara, Amara tersenyum menatap calon cucu menantunya.
"Sini sayang," Kalana menyingkir agar Anaknya lebih leluasa untuk mendekati Amara.
Celindia menyalimi tangan Amara yang sudah berkerut karena umur, "Cantik sekali." puji Amara membuat Celindia tersenyum canggung.
"Makasih Oma."
"Kamu udah dengar dari Keindra, kan?"
Celindia terdiam.
Ia mengerti maksud pertanyaan Amara.
"Soal pernikahan Kalian," lanjut Amara menatap lamat Celindia.
"Kamu mau kan, sayang?" "Tolong Oma ya sayang, Oma gak pengen punya cucu menantu selain Kamu. Oma cuman mau Kamu jadi cucu menantu Oma," kata Amara dengan memegang tangan Celindia. Amara lalu terbatuk karena merasa lehernya yang kering, makin lama batuk wanita itu makin tak terkontrol. Keindra yang melihat itu dengan sigap keluar, lalu tak lama Keindra kembali dengan dokter di belakangnya. Keluarga Pratama menyingkir termasuk Celindia, memberikan ruangan untuk dokter memeriksa kondisi Amara. Setelah beberapa menit kemudian, dokter itu menatap Keindra dengan lamat. Keindra dan keluarga Pratama memang tidak keluar dari ruangan itu, dokter itu lalu mendekat dan memegang pundak Keindra. "Maaf, tapi Saya enggak sengaja dengar pembicaraan Kalian tentang pernikahan. Saya pikir, tolong turuti saja permintaan terakhir Nyonya Amara." &n
"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah. "Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya. "Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio. Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara. "Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?" Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam. "Emangnya kenapa, Pa?" "Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku. "Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut." "Ya terus apa hubungannya sama Ce
"Mama tunggu di meja makan ya, udah waktunya makan malam." Kalana lalu pergi dari kamar anaknya. Celindia terdiam setelah mendengar semua perkataan Kalana, sebenarnya bisa saja Ia hidup sederhana. Tapi mungkin keluarganya tidak bisa, dan perusahaan Papanya juga sudah hampir jatuh. Celindia tidak ingin menjadi anak dan saudara yang egois, tapi tidak dengan menikah. "Kenapa harus nikah juga sih," gumamnya pelan. Ia menghela napas, selama ini Rio dan Kalana tidak pernah memaksanya melakukan sesuatu. Mereka bahkan sangat memanjakan Celindia, kedua orang tuanya bahkan setuju saat Celindia memutuskan untuk bekerja di cafè dari pada membantu Alges di perusahaan. Ia lalu keluar dari kamarnya, saat sudah di ruang makan, Celindia melihat mereka sudah berkumpul tapi masih belum mulai makan. Mereka menunggu Celindia, ini juga salah satu hal yang Celindia sukai tapi kadang membuatnya kesal. Itu membuatnya yang te
Keindra mengecup dahi perempuan yang kini sudah berstatus istrinya, Keindra berkata bahwa ijob qobul tidak di buat meriah karena mengingat kondisi Amara yang semakin memburuk. Rio dan Kalana memaklumi, walau pun ada sedikit rasa sakit saat tahu pernikahan anak mereka tidak akan semeriah pernikahan orang lain. "Celin," panggil Amara dari brankarnya. Kini yang di ruangan itu tinggal keluarga Pratama, Keindra, dan Celindia yang sudah sah menjadi anggota keluarga Aldres. Celindia yang sedang duduk di sofa ruangan itu beranjak dan duduk di samping Amara, Amara memegang tangan cucu menantunya. "Makasih ya sayang, kamu udah mau kabulin permintaan terakhir oma." Celindia menggeleng, mendengar kata-kata Amara membuat perempuan itu sedikit emosional. "Bukan permintaan terakhir oma, karena oma akan sembuh." Amara tersenyum tipis. "Enggak salah oma pil
Celindia bangun dengan badan yang segar, walaupun terbilang kaya, Ia tidak pernah sekali pun menginap di hotel. Rio memang selalu mengajarkan anaknya hidup hemat, tidak ada yang tahu takdir akan membuat mereka jatuh atau terbang. Gadis itu mengedarkan pandangannya, Keindra tidak ada. Masih mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, Celindia memutuskan untuk bersandar di kepala kasur. CEKLEK Pintu terbuka menampilkan Keindra yang sudah mengganti pakaiannya dengan jaket hitam, Celindia menatap Keindra yang juga menatapnya datar. "Siap-siap, sedikit lagi kita berangkat." kata Keindra dingin. "Ha?" beo Celindia yang masih belum sadar. Keindra menatap tajam, Ia mendekati Celindia. Celindia yang akhirnya menyadari keadaan tersadar, Ia menatap awas Keindra yang berada di depannya.
Celindia turun dari mobil, Ia kembali mengagumi pemandangan di depannya. Sedari tadi, saat di mobil, gadis itu selalu berdecap kagum dengan kota Chicago. Ia sekarang tengah berdiri di depan rumah yang menjulang tinggi, sangat besar dan memiliki halaman yang luas.Tidak perlu bertanya lagi, Ia tahu ini pasti adalah rumah suaminya. Ia melangkah mengikuti Keindra memasuki rumah besar itu, sama seperti saat di rumah sakit, Ia kembali melihat orang-orang besar berpakaian hitam dan alat pendengar berkabel di telinga mereka.Bahkan ini lebih banyak dari yang di rumah sakit, lagi-lagi Celindia berdecap kagum. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berpakaian rapi dan sama, berdiri di samping-samping diantara pintu besar rumah itu."Selamat Datang Tuan Aldres," sambut mereka dengan kompak.Melihat mereka yang membungkuk, spontan Celindia ikut membungkuk. Itu karena Celindia tidak biasa
Pagi harinya, Celindia sudah berkutat dengan perabotan dapur. Gadis itu berencana membuatkan sarapan untuknya dan untuk Keindra, omong-omong soal Keindra, ia belum melihat pria itu sejak kemarin saat Celindia di antar Meri ke kamar barunya.Beberapa pelayan sempat menghentikan Celindia untuk memasak, namun Gadis itu tetap memaksa untuk memasak sendiri. Ia bahkan tidak membiarkan Meri ikut membantunya, Celindia sekarang sedang mencoba menjadi Istri yang baik."Astaga!" ujarnya terkejut.Celindia di kejutkan oleh minyak kelapa yang memancar ke segala arah, Ia jadi lebih waspada. Rencananya Ia mau membuat nasi goreng khas Indonesia, makanan yang selalu Kalana masakkan untuknya dan keluarganya."Kenapa, Non?" Meri datang dengan terbirit-birit.Ia melihat Celindia yang maju-mundur di depan kompor elektronik berwarna putih itu, di atasnya terdapat wajan ya
Keindra turun ke lantai bawah rumahnya, karena hari libur, Pria itu memutuskan untuk bersantai di rumah saja. Ia mengedarkan pandangannya, tidak melihat keberadaan Celindia.Tidak mau memusingkan hal itu, Keindra melangkah ke samping rumahnya. Ia menggeser pintu kaca yang terdapat kolam berukuran cukup besar, Keindra yang sudah melepas kausnya yang hanya menyisakan celana pendek itu lalu menceburkan diri di dalam kolam itu.Ia berenang ke kanan dan ke kiri, para pelayan sekali-kali mencuri pandangan ke arah tuan mereka yang tampak masih betah di dalam kolam renang. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berada di dalam rumah besar Keindra, tujuh dari mereka merupakan perempuan yang masih muda, dan sisanya adalah perempuan yang sudah berumur dan berkeluarga.Munafik jika mereka tidak mengakui kegagahan tuan mereka, melihat ketampanan Keindra saat pertama kali mereka bekerja saja sudah hampir membuat mere
Celindia membuka matanya dengan perlahan, suara ringisan keluar dari bibirnya saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Netranya melihat ke sekelilingnya. Sunyi. Tidak ada siapapun di dalam ruangan VIP itu selain dirinya, ia menghela napas dengan mata yang terpejam. Ingatannya kembali pada kejadian yang menjadi penyebab dirinya terbaring di brankar rumah sakit ini, perbuatannya yang terbilang nekat dan berani, yang juga membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Celindia kembali mengingat. Saat itu, ia ingat sempat melihat wajah tegang Keindra saat berada di dalam mobil. Ia bahkan bisa merasakan tangan dingin Keindra yang menyentuh pipinya dan tangannya yang lain memegang luka tembaknya. CEKLEK Suara pintu yang terbuka membuatnya mengalihkan pandangannya. Keindra terdiam di depan pintu saat melihat Celindia yang sudah sadar dan sedang menatapnya. Mereka terdiam dalam hening yang tercipta. Saling menatap dari jarak yang tidak dekat. Celindia yang lebih dulu tersadar lalu segera menga
Keindra berdiri dari duduknya, lalu kembali duduk. Hanya itu yang ia lakukan di depan ruangan operasi yang sekarang masih berlangsung. Sudah lebih dari dua jam pria itu tidak beranjak dari tempatnya. Tepukan dibahunya membuat Keindra menoleh, ia mendapati Jordan yang membawa dua kaleng soda ditangannya. Keindra mengambil satu kaleng minuman yang disodorkan padanya. "Duduk dulu, Ndra." Keindra tidak mengindahkan dan tetap menatap pintu ruang operasi. Jordan menghela napasnya, lalu meminum minumannya. "Kenapa gak lo aja yang pimpin operasinya?" Keindra menatap Jordan dari tempatnya berdiri. Jordan menggeleng sekilas. "Enggak bisa. Ini bukan rumah sakit yang gue pegang, gue juga gak bisa seenaknya lakuin operasi darurat pasien rumah sakit lain." Jordan memang adalah seorang dokter, namun ia tidak bisa sembarangan mengambil alih pasien di rumah sakit yang bukan tempatnya bertugas. Keindra kembali menatap pintu operasi, lampu operasi belum juga mati, yang berarti operasi masih berja
Keindra memberikan pukulan kepada pria bertopeng itu tanpa jeda, ia bahkan tidak memberinya kesempatan untuk mengelak atau pun melawan. Setelah tadi menghabisi semua orang bayaran itu ia memasuki ruangan besar karena mendengar suara jeritan Celindia, saat sampai ia menyaksikan istrinya menahan sakit akibat rambutnya yang ditarik dengan kasar oleh pria yang saat ini sedang ia hajar.Jordan melepaskan semua ikatan yang berada di tubuh Celindia, ia meringis saat melihat memar di wajah dan tangan serta kaki gadis itu."Tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Jordan menjauh setelah Celindia mengangguk setuju.Setelah beberapa saat, muncul beberapa orang yang memegang senjata tajam serta topeng di wajah mereka. Jordan membantu Keindra melawan mereka yang kewalahan, sedangkan Celindia meringkuk dengan takut.Mereka ada sekitar tiga belas orang, melawan dua orang jelas perkelahian itu a
Celindia membuka matanya yang terasa berat. Ia mengerjap panik, hanya gelap yang berada di hadapannya saat ini.Sangat gelap.Ia bahkan tidak bisa melihat apa pun. Gadis itu beranjak untuk meraba-raba sekitarnya, malah terdiam saat mengetahui dirinya tidak bisa bergerak.Celindia memberontak dengan panik."Hmphh!" Suaranya juga tidak muncul!Ia terengah dan diam sejenak, tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Sekarang Celindia paham kondisinya.Ia terikat di kursi kayu dengan mulut yang dilakban serta kepala yang ditutupi sebuah kain, ia memejamkan matanya dengan jantung berdebar.Bagaimana ia bisa di sini?Apa yang terjadi sebelumnya?Di mana dia sekarang ini?Kepala gadis itu mulai berpikir. Seingatnya terakhir kali ia berada di toilet mall, ia melihat wanita jadi-jadian dan hendak keluar dari toilet. Setelahnya ia tidak mengingat apa-apa lagi.
Keindra menatap lurus ke depan, didepannya terlihat beberapa orang dengan pakaian hitam yang melekat di tubuh mereka. Hanya dirinya sendiri yang memakai jas formal, karena memang pria itu tidak pulang dan malah pergi ke markas.Inilah salah satu dari sekian hal yang disembunyikan oleh pria berdarah Amerika itu.Keindra Genanta Aldres. Pria yang memiliki pekerjaan di dua dunia, dunia manusia dan dunia gelap. Ia memang memiliki usaha yang melejit.Tidak hanya di dunia perusahaannya, tapi juga di bisnis gelapnya.Sekarang mereka sedang melakukan runding untuk strategi pemasaran ganja. Pemerintah Amerika tidak bisa diajak bekerja sama, mereka akan membantai habis orang-orang yang terlibat perdagangan benda terlarang itu.Maka dari itu, mereka sedang melakukan rundingan dan mencari cara agar bisnis mereka berjalan lancar tanpa adanya hambatan. Keindra men
Celindia melangkah riang dengan senandung lirih dari bibirnya, Andrew mengikuti nonanya dengan berjalan agak sedikit ke belakang. Mereka menatap sekeliling, mall di pusat kota Chicago sangat ramai. "Mau beli apa ya," gumam Celindia kecil. Matanya lalu melihat timezone yang berada tidak jauh dari posisi mereka, Celindia lalu berlari ke arah timezone. Sedangkan Andrew yang tidak tahu malah panik, ia ikut berlari menyusul nonanya. "Wah!" Celindia menatap timezone di depannya dengan mata berbinar. "Andrew, Andrew!" Gadis itu menatap pria disampingnya dengan semangat. "Aku mau bermain!" "Nona bisa membeli kartu timezone ke sebelah sana, mari ikuti saya." Andrew berjalan ke arah tempat dijualnya kartu timezone diikuti Celindia dibelakangnya. Setelah membeli kartu itu, Celindia mulai bermain dengan semangat. Tak jarang
"Apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Keindra dengan berjalan diikuti sekretarisnya disamping.Sang sekretaris membuka tabletnya. "Sambutan untuk para karyawan baru, rapat untuk melihat presentasi dari divisi perencanaan, berkunjung ke kantor cabang terbaru, dan menyambut kedatangan CEO dari WS ENTERTAINMENT."Mereka berdua telah sampai di depan lift, Keindra melirik ke arah sekretarisnya. Wanita itu terlihat ingin mengatakan sesuatu namun terlihat ragu."Ada apa, Jenni?" tanya Keindra membuat Jenni--sekretarisnya tersentak kecil."Begini Pak, saya mendengar bahwa H'S Group berusaha untuk mengajak CEO dari WS ENTERTAINMENT menjalin kerja sama. Saya juga mendengar bahwa orang dari H'S Group menunggu kedatangan Sir Zhang Yuxing di bandara saat pagi tadi," jelas Jenni.Keindra membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap sang sekretaris, ia tersenyum miring.
Celindia tersadar saat merasakan sesak dalam tidurnya. Tidak hanya itu, ia juga merasakan sesuatu yang lembut seolah sedang mengemut bibirnya. Entah karena terlalu malas atau sangat mengantuk, gadis itu hanya berusaha untuk memiringkan tubuhnya. Namun Keindra yang juga sedang menikmati hukuman untuk Celindia malah membatasi pergerakan gadis itu sehingga Celindia kembali terlentang, ia lalu berdecak dan membuka mata dengan malas. Celindia mengerjap, ia masih merasa linglung dan bodoh saat menatap wajah tampan yang paripurna tepat di depan wajahnya. "Gwamtemnya," gumamnya tidak jelas. Keindra yang masih melumat bibirnya lalu membuka mata saat mendengar gumamannya, ia ikut menatap Celindia yang sedang menatapnya seperti orang bodoh. Alih-alih bergenti, Keindra terus melanjutkan ciuman itu sampai
Celindia mengerjapkan matanya, ia beranjak bangun dengan meregangkan otot tubuhnya. Tangan kanannya menutup mulutnya yang menguap lebar, gadis itu menatap sekeliling.Ia berada di kamarnya.Dalam ingatannya kembali saat di mana ia sedang duduk di sofa, tepat sebelah meja kecil dengan telepon rumah di atasnya yang berada di sudut. Ia berniat menjahili suaminya dengan menelepon nomor pria itu melalui telepon rumah, Celindia menekan nomor telepon Keindra.Tak berselang lama panggilan di angkat oleh sang penerima. "Kenapa, Meri?"Celindia menutup mulutnya, berusaha untuk meredam tawanya yang siap menyembur. Ia berdehem tanpa suara dan memulai aksinya."Ke-kein," panggil Celindia dengan nada takut yang dibuat."Celin?" tanya Keindra dari seberang sana.Celindia membulatkan matanya saat melihat seekor k