Melihat Ocha sangat dekat dengan pria lain, jujur membuat Aksa merasa terluka dan sedikit ... cemburu.
Tapi, siapalah dirinya ini?Hanya mantan suami yang tidak punya hak untuk cemburu padanya, meskipun sangat ingin.Tatapan Aksa tak lepas mengikuti pergerakan motor yang membawa mantan istrinya.“Pak, apa kita akan tinggal di sini terus?” tanya sang supir ketika melihat Aksa masih bergeming, padahal sebentar lagi jam masuk kerja.“Hm. Jalan ke kantor,” pintanya.Mobil pun kembali melaju, tetapi keberadaan Aksa di sana setidaknya disadari oleh Karin yang saat ini masih berada di teras dengan bayinya Ocha.Wanita itu menatap penuh tanya mobil mewah yang baru saja berlalu, tetapi ia tak mau ambil pusing.Nanti, dia akan menanyakannya pada Ocha secara langsung. Mungkin itu temannya.Sebab, kakinya masih sakit, Aksa berlalu ke ruangan kantornya dengan langkah sedikit tertatih.Tiba di lantaiTak berakhir sampai di sana, pada suatu waktu, Ocha kecil sedang duduk seorang diri di sudut halaman sekolah, tepatnya di bawah pohon besar. Hidungnya tampak berair dan dia terus-menerus menarik ingusnya ke dalam. Dia memeluk lutut, merasa kesepian karena tak ada yang mau berteman dengannya. Tak terkecuali Aksa, dia dan teman-temannya saat ini sedang bermain di dekat pohon jambu air yang tumbuh di sisi halaman. Mereka memetik beberapa buah jambu yang ranum dan mulai memakannya dengan lahap. “Lihat jambu ini! Manis banget!” seru bocah berbadan gempal itu. “Iya, enak banget!” sahut bocah yang satunya lagi. Selang beberapa detik, Aksa tak sengaja melihat Ocha yang duduk sendirian. Hati kecilnya sebenarnya merasa kasihan melihat Ocha selalu menyendiri, tanpa seorang teman. Dengan niat baik, dia mengambil satu jambu air yang paling besar dan mendekati Ocha.
Aksa yang duduk di kursi kebesarannya lantas menggelengkan kepala pelan setelah kilas balik masa lalunya muncul ke permukaan. Dia menarik napas pelan dengan pandangan kosong mengarah ke jendela. Kini, pikirannya kembali melayang jauh, memikirkan Ocha dan semua penyesalan yang ia rasakan selama beberapa bulan terakhir. Dia terlalu banyak melukai perasaan Ocha selama ini. Sementara itu, di meja--terdapat tumpukan dokumen yang belum tersentuh olehnya. Tak berselang lama, Lily--sekretarisnya mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk ke ruangan Aksa. Dia membawa beberapa dokumen lagi yang perlu ditandatangani oleh pria itu. Lily pun meletakkan dokumen tersebut di atas meja Aksa, sebelum akhirnya berkata dengan sopan. “Pak Aksa, maaf mengganggu. Saya perlu mengambil dokumen yang saya bawa tadi pagi untuk Bapak tandatangani. Apakah Bapak sudah menandatanganinya?” Aksa
“Gue antar ke kantor!”“Aku antar ke kantor!”Dua pria tampan itu berujar kompak, membuat Ocha membelalakkan mata dengan mulut yang ikut terbuka sedikit. Ia terkejut dengan tingkah dua pria yang saat ini audah berdiri di hadapannya itu. “Enak saja! Dari kemarin yang antar Ocha ke kantor adalah gue. Jadi, hari ini yang antar dia ke kantor, juga gue!” tegasnya menatap Aksa sengit.“Itu kan kemarin. Bukan hari ini!” Aksa tak mau kalah.Suasana mendadak tegang diwarnai dengan jiwa persaingan sengit antara Aksa dan Yaya. “Gak bisa! Ocha harus bareng sama gue!” tekan Yaya. Aksa melipat tangan di depan dada. Berusaha tetap tenang, tetapi nada suaranya juga terdengar sedikit ketus. “Emang lu siapa yang memutuskan sepihak begitu? Gue mau ngobrolin sesuatu yang penting sama Ocha, jadi dia harus bareng sama gue!”Ocha masih membisu. Bingung harus berbuat apa menanggapi dua pria yang berebut untuk mengantarnya
Dering ponsel Ocha tiba-tiba memecah keheningan dan memutus insiden tatap-tatapan karena Ocha sedikit tersentak.Dia mendadak canggung dan spontan menjauhkan diri dari mantan suaminya itu.Buru-buru, ia mengambil ponsel dari tas kecilnya yang tak henti meraung-raung seperti kesetanan.Di sebelahnya, Aksa yang merasa kecewa karena melihat sepintas sosok penelepon di ponsel Ocha itu pun menoleh kembali ke jalan, mencoba menyembunyikan kekesalannya. ‘Ngapain lagi sih itu bocah?!’ geramnya dalam hati dengan tangan yang tiba-tiba mengepal menahan marah.Ocha menjawab panggilan dengan suara pelan, berusaha fokus pada percakapan dengan seseorang di seberang sana, meski pikirannya sedang kalut mengingat insiden tadi.“Halo. Ada apa, Ya?” tanya Ocha to the point.Yaya yang kini berada di parkiran rumah sakit pun meletakkan helem pada spion motornya, lantas bertanya dengan nada khawatir. “Aksa gak macam-macam kan sama lu?”
Setelah beberapa saat terdiam, Ocha akhirnya menarik napas pelan, menetralkan suasana hatinya yang mendadak tak karuan. Dengan suara berat, ia menjawab, “Em ... sa—ya, Bu? Tapi, mohon maaf sebelumnya, Bu. Bukan saya menolak, tapi apa gak bisa Ibu mengutus yang lebih senior dari saya?” Ocha merasa berat hati. Di satu sisi, dirinya masih seumur jagung bekerja di perusahaan kosmetik yang sebenarnya adalah milik keluarganya Lala ini, jadi ia merasa tak pantas saja meng-handle tugas penting seperti itu. Di sisi lain, dia juga tak bisa terlalu sering berinteraksi dengan Aksa. Nanti, yang ada ia semakin tidak bisa menyembuhkannya dari luka yang disebabkan oleh pria itu. Rina tersenyum tipis, memahami apa yang Ocha rasakan? Namun, ia tetap mencoba memberikan pemahaman dengan suara lembutnya. “Justru, saya mengutus karyawan junior seperti kam
Selesai mengganti pakaian kerjanya menjadi pakaian rumahan dengan gerakan kilat, Ocha pun keluar dari kamar.Dia celingak-celinguk mencari Karin yang dikira ikut masuk ke rumah, nyatanya wanita paruh baya itu tak terlihat di dalam rumah.Ocha menoleh ke arah pintu yang memang terbuka lebar, dan sontak melihat Karin yang masih berdiri di teras. “Tante!” Ocha berjalan ke arah pintu.Namun, tiba di sana, yang membuat ia terkejut ketika melihat Karin dan Papanya tampak berserobok pandang dengan begitu banyak kata-kata yang tak bisa diucapkan keduanya.Ocha melirik barang bawaan sang papa juga sudah tergeletak di lantai. Apa yang terjadi selama ia ganti baju dengan waktu yang sangat sebentar tadi?“Loh, Pa? Kenapa? Sampai jatuh begitu barangnya?” Nada suara Ocha terdengar panik.Dia hendak membungkuk, membantu papanya mengambil barang-barang tersebut, tetapi langsung dicegat oleh Paul.“Biar Papa, Nak. Kam
Ketika hari sudah semakin gelap, Paul berpamitan pada Ocha untuk pulang ke rumah, meskipun sebenarnya belum cukup puas bermain dengan cucu pertamanya itu. Namun, setidaknya ... ia sudah memastikan keadaan sang putri dan cucunya baik-baik saja dan hal yang sebenarnya patut disyukuri karena banyak orang yang menyayangi keduanya melebihi keluarga. Tentu saja, Paul sangat merasa bersalah karena justru orang lain yang selalu ada untuk putri dan cucunya, padahal seharusnya dirinya sebagai seorang ayah. Namun, dia tak bisa terlalu banyak hal sekarang. Ocha mengantar papanya hingga ke teras rumah. Sementara, Aqil sedang kelon-an bersama Lala di kamar. “Pa ... apa hubungan Papa dan Ibu baik-baik saja?” tanya Ocha penasaran. Mengingat beberapa hari lalu, Nathan pernah bercerita padanya, kalau hubungan orang tua mereka tak sedang baik-baik saja. Paul tersenyum, meski terlihat dipaksakan. “Baik-baik aja,” katanya cepat. Ocha diam, berusaha mencari kejujuran di balik raut wajah yang d
“La, lu ntar malam nginap di sini, ya,” pinta Ocha ketika keduanya menikmati sarapan sebelum berangkat kerja.Lala yang tengah menikmati sarapan nasi goreng hasil buatannya sendiri itu menatap Ocha sebentar. Menelan makanannya sebelum bertanya, “Ada apa?”“Itu, katanya Mas Aksa mau ke sini bareng agen calon baby sitter-nya Aqil. Dia mungkin gak akan langsung pulang sekalipun tamunya udah pulang. Pasti maunya manjain anaknya dulu. Kan gak enak kalau berdua-duaan sama pria asing. Bukan mahram pula.” Ocha menyampaikan keluh kesahnya. Untungnya, karena Lala cepat memahami. “Oh, ya udah. Buat lu apa sih yang gak? Walaupun malam ini mau nge-date, sih.” Lala berujar sedih.Mata Ocha menyipit penuh tanya. “Hah? Nge-date sama siapa? Emang punya pacar?”“Enggak!” jawab Lala tertawa miris. “Tapi, inisial AZF tetap di hati gue saat ini.”“AZF siapa?”“Aqil Zayn Firdaus.”“Heh, anak gue.”Lala tertawa cengengesan,
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok