Ocha dan Aksa melangkah cepat melewati lorong demi lorong rumah sakit. Keduanya sangat khawatir mendengar kabar Paul kecelakaan.
Entah bagaimana caranya sehingga sampak kecelakaan? Ocha sendiri mengenal sang papa adalah seorang yang terbilang santai ketika menyetir mobil.Tak pernah terlalu kencang. Sedang-sedang saja.Ocha ingat jelas, kalau papanya sering berpesan, ‘Siapa yang hati-hati, dialah yang beruntung.’Di tengah kepanikan Ocha, Aksa tak pernah lepas menggenggam tangan sang istri, mencoba memberikan kekuatan di tengah situasi sulit itu.Tiba di ruang tunggu, Ocha melihat Nathan berdiri di samping ibunya sambil mengusap-usap punggung wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu.Wajah Nathan terlihat tegang, meskipun dia tetap berusaha untuk tenang.“Nathan!” panggil Ocha mendekat ke arah adiknya. “Apa yang terjadi? Kenapa Papa bisa kecelakaan?” tanya Ocha dengan suara bergetar.Nathan menelan ludah. NTiba di rumah, Ocha dan Aksa langsung masuk ke rumah. Pandangan mereka pun sontak tertuju pada Karin yang tengah mengayun-ayun Aqil dalam gendongannya. “Ma ....” Ocha mendekat sambil melirik putranya yang tampaknya sudah terlelap. “Dia baru saja tidur.” Karin sedikit berbisik, menjaga suaranya agar tak menganggu cucu kesayangannya itu. Ocha mengambil Aqil dari gendongan mamanya dan membawa bocah mungil itu ke dalam kamar, diikuti oleh Aksa. Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama tidur, Ocha berbaring di sebelah suaminya. Pikirannya masih kalut, tertuju ke rumah sakit.Bagaimana keadaan papanya sekarang? Apa operasinya sudah selesai?Mengapa Nathan lama sekali tak berkabar? Sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam.Ocha kian cemas. Dia menoleh ke arah Aksa yang sudah terlelap, mungkin ia memang suaminya itu sangat lelah hari ini. Pelan, Ocha bangkit dari tidurnya dan mulai turun dari ranjang. Melangkah m
“Dan, apa Nathan? Apa Papa baik-baik aja?!” Ocha tak sabaran. Sangat takut terjadi apa-apa pada sang papa. Di sebelahnya, Aksa tak berhenti mengusap-usap punggung Ocha dengan lembut sekadar untuk menenangkan istrinya yang dia tahu sedang khawatir itu. “Papa baik-baik aja, Mbak. Sekarang Papa sudah sadar.”Perkataan Nathan membuat Ocha akhirnya dapat menghela napas lega. “Alhamdulillah.”“Baiklah, Mbak. Aku hanya mau menyampaikan itu. Sekarang, Mbak lanjut istirahat aja. Gak usah terlalu memikirkan Papa di sini karena ada aku yang akan menjaganya.”Ocha berdehem singkat. Pelan, menghapus sepasang matanya yang berkaca. “Iya, Nat. Kalau ada apa-apa, tolong kabari Mbak secepatnya, ya.”“Pasti, Mbak.”Ocha kembali mengembuskan napas lega begitu sambungan telepon dengan Nathan berakhir. Ia tersenyum ke arah Aksa dan sontak memeluk pria itu.“Aku lega dengar kabar kalau Papa sudah sadar, Mas. Besok kita ke
“Yaya ... putraku?”Sepasang mata Paul mulai berkaca. Dia hendak bangkit untuk memastikan kebenaran itu, seolah-olah melupakan rasa sakit pada tubuhnya.Dia susah payah bergerak, meski sesekali meringis kecil menahan sakit. Sampai pada saat tangannya yang gemetar tanpa sengaja menyenggol sebuah gelas air yang berada di atas lemari kecil samping tempat tidurnya. Gelas itu terjatuh ke lantai dengan suara keras, memecahkan keheningan. Crash!Semua orang di luar ruangan terdiam untuk beberapa saat. Laras langsung bergegas masuk menemui suaminya dengan raut panik, diikuti oleh yang lainnya.Mereka mendapati Paul yang tengah tidur berbaring sambil memegang dada.Dia menatap kosong ke arah Karin dengan raut penuh tanya.“Pa, ya ampun! Kamu kalau pengen apa-apa, panggil aku. Kamu masih sakit dan gak bisa terlalu banyak gerak sekarang.” Laras dengan hati-hati membantu Paul kembali berbaring.Tak ada
Berada dalam pelukan putranya itu, Paul berderai air mata. Dada lebar itu seakan sesak mengingat kesalahannya di masa lalu. Dia tak hanya tak menyakiti Karin, tetapi juga Ocha, Yaya, dan Nathan. Anak-anak tak bersalah itu, menjadi korban dari kebodohannya. Di sudut lain, Karin dan Ocha juga diam-diam menghapus butiran-butiran bening yang dengan lancang mengalir membasahi pipi keduanya. Hanya saja, bersamaan dengan Yaya yang melepas pelukan, suasana mengharu biru itu tiba-tiba berubah drastis. Terlebih, ketika Laras yang sedari tadi memang terlihat kesal menyaksikan pemandangan tersebut membuka suara. “Apakah ini bagian dari rencanamu, Karin?” tanya seakan-akan menuduh. Karin cukup syok mendengarnya. Sepasang mata yang tadi mengalirkan buliran jernih kini seolah-olah langsung kering. Apa maksud Laras berkata demikian? “Apa maksudmu?” Karin bertanya untuk memastikan. Di sisi ranjang suaminya, Laras melipat tangan seraya tersenyum sinis. Terlihat dari sorot matanya, ia
“Jangan asal bicara, Tante!” tegas Yaya. “Tante bisa melihat kartu identitasku jika tak percaya. Namun, jika menurut Tante, itu masih kurang akurat, aku tidak keberatan kalau diminta melakukan tes DNA untuk membuktikan ucapan Mama bukan sebuah kebohongan!”Yaya sangat marah melihat mamanya dihina seakan-akan wanita yang telah melahirkannya itu adalah wanita murahan yang merelakan dirinya terjamah oleh pria lain hingga melahirkan dirinya. Padahal, ia hanyalah seorang anak yang juga tak pernah meminta dilahirkan dalam keadaan orang tuanya sudah bercerai. Walau demikian, Yaya tetap merasa bangga memiliki mama tangguh seperti Karin. Meskipun, harus merawat anak seorang diri, ia tetap selalu mengusahakan yang terbaik untuk masa depan Yaya.Mamanya juga kerap menasihati agar tak sekalipun menaruh dendam pada sang papa atas apa yang diperbuat di masa lalu.“Tidak usah. Aku tidak membutuhkan tes DNA itu,” ujar Paul dengan suara yang terdengar b
[Guys, help me!] Yaya.Kening Ocha terangkat melihat pesan masuk di grup yang dikirimkan oleh adiknya itu.Dia bersandar sambil memutar-mutar kursinya, sekali menatap langit-langit ruang kantornya. Yaya minta tolong untuk apa, tumbenan sekali anak itu minta tolong di jam-jam kerja seperti ini? Sepertinya memang sedang genting? Ocha bertanya-tanya dalam hati, lalu mulai membalas pesan Yaya. [Kenapa, Dek?] Ocha. [Kenapa lu?] Lala.[Gue kena musibah.] Yaya.[Hah? Musibah apa?] Lala.[Share lokasi lu sekarang! Gue ke sana.] Ocha.[Di antara musibah terbesar adalah kamu jatuh cinta, tetapi orang itu tidak cinta kepadamu. — Imam Syafi'i.] Yaya.[Kam*ret lu!] Lala.[Adek lak*at!] Ocha.[Lu mencintai siapa emang? Makanya kalau cinta, jangan sampai jatuh? Sakit, kan, lu?] Lala.[Ada, deh! Kepo banget jadi orang lu.] Yaya.[La, gak usah temenen sama Yaya. Dia mulai
Belum sempat Ocha berpikir jauh untuk mengambil tindakan atas apa yang dilihatnya barusan, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk oleh seseorang sontak membuat perhatiannya teralihkan.Dia meletakkan ponsel dengan pasrah lalu bangkit dan berjalan pelan menuju pintu kamar.Pintu dibuka sedikit dengan dia yang berdiri di belakangnya karena saat ini ia belum mengenakan pakaian. Hanya kepala yang menyelonong melihat siapa yang datang? “Bu, ada Mas Yaya di ruang tamu. Katanya mau nganterin Bu Ocha ke kantor.” Asisten rumah tangganya itu berkata lembut menginformasikan. Ocha bergeming sejenak, berpikir. Dia tidak ada janji akan diantar Yaya hari ini. Namun, segera saja pikirannya ditepis dengan dugaan kalau Yaya mungkin mau mengobrol sesuatu padanya sehingga mengambil kesempatan.“Bilangin kalau saya belum selesai siap-siap, Bi. Tunggu sebentar, ya.”“Siap, Bu.”Seperginya wanita tua itu, Ocha gegas untuk bersiap. Namun, sekilas i
Berada di kantor pun kini sebenarnya Ocha tak bisa begitu fokus bekerja. Sepasang mata bulatnya menatap layar komputer, tetapi foto-foto intim sang suami dan mantan istrinya yang dilihatnya tadi pagi sangat mengusik ketenangan pikirannya. Bagaimana kalau Aksa benar-benar mengkhianatinya dengan menjalin hubungan kembali dengan mantan istrinya?Apa yang harus dia lakukan? Mungkinkah dirinya bisa memaafkan Aksa?Susah payah, dia mencoba fokus dengan mengabaikan sekelebat tanya yang mengacaukan pikirannya sembari menunggu hasil terbaik dari Yaya tentang foto tersebut.Sayangnya, tak semudah itu mengendalikan isi pikiran, bahkan berulang kali melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, berakhir ditegur oleh sang atasan. “Kenapa kamu sangat berbeda kali ini, Ocha? Pada laporanmu ini banyak sekali kesalahan.” Suara lembut nan tegas Bu Rina membuat Ocha sedikit tersentak.Dia sedikit mengangkat kepala, menatap sang atasan dengan raut bersa
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok