“Hei, siapa itu?!” teriak pria tua yang mengenakan sarung itu sambil mengarahkan senter ke arah pohon mangga dan tepat sekali mengenai Aksa yang sedang bergelantungan. Belum lagi, anjing mulai sadar akan adanya orang asing.Bunyi gonggongan berulang kali membuat jantung Aksa berdetak tak karuan. Sekarang ia tak lagi memikirkan apa-apa, selain keselamatannya.Saat pria berambut keriting itu berjalan hendak menangkapnya barangkali. Aksa buru-buru turun. Tak mungkin juga tinggal diam, kalau ketahuan urusannya bakal rame. Masuk berita dengan tuduhan Presdir mencuri mangga. Itu sangat memalukan, bukan?Hampir saja ia terjatuh karena kakinya salah menginjak dahan, untung saja karena tangannya berpegangan kuat, jadi keseimbangan tubuhnya masih bisa kembali stabil. “Jangan lari kamu! Kurang ajar!” maki sang empunya mangga. “Berani-beraninya maling mangga orang!” Ia tak henti mengumpat, sambil terus menyoroti Aksa dengan sent
Pagi telah tiba dengan sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah jendela apartemen milik Denis.Dewi membuka mata dengan perlahan, sambil memijat kepala yang masih terasa sakit. Ia menoleh dan mendapati Denis masih tidur dengan tubuh polosnya yang tertutupi selimut tebal.Sambil menghela napas, Dewi turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang tergeletak begitu saja di lantai dan mengenakannya kembali dengan cepat. Setelah itu, ia beralih ke sofa di mana tas kecilnya berada dan mulai mengubek-ubek seolah mencari sesuatu. ‘Di mana obatnya?’ tanyanya dalam hati sambil terus memeriksa isi tas. Tapi, nihil. Tak ada barang yang dicarinya. Raut wajahnya seketika panik saat menyadari kalau ia lupa membawa pil pencengah kehamilan.Dia tiba-tiba terduduk lemas. Menyandarkan kepala pada sandaran sofa sambil memijat-mijat kening.Kemudian ia bangkit, menghampiri Denis dan membangunkan pria itu.
Dewi yang tak ingin terjebak lebih lama dalam situasi mendebarkan itu berpikir keras mencari alasan agar ia bisa pergi dari hadapan suaminya. “Em ... Mas, kamu mau ke kantor, kan?” tanya Dewi berusaha mengalihkan pembicaraan. “Iya, ini mau langsung ke kantor,” jawab Aksa. “Ya sudah. Sana berangkat, nanti telat. Aku juga mau ke butik lagi, tapi mau mandi dulu. Udah lengket banget ini badan. Sampai jumpa nanti sore, Sayang,” kata Dewi mengecup singkat pipi kanan dan kiri Aksa lantas berlalu pergi dengan sedikit berlari menaiki anak tangga. Meninggalkan Aksa yang berdiri bagai patung menatap punggung Dewi yang semakin jauh hingga tenggelam di balik tembok kami. ‘Apa yang Dewi sembunyikan dariku?’ tanya Aksa pada dirinya sendiri. Setelah memastikan Aksa sudah pergi, Dewi keluar kamar. Buru-buru ke ruang pribadinya. Mengambil pil kontrasepsi darurat yang biasa diminumnya jika sebelumnya lupa minum pil KB tapi berhubungan seks tanpa pengaman. Hingga hari pun kembali berla
Tiba di apartemen, Ocha langsung melepas tas kecilnya dan menyimpan ke meja. Sementara Aksa, ia berjalan pelan ke kamar dengan wajah lesunya untuk mengganti pakaian kerjanya. “Kamu udah makan belum, Mas?” tanya Ocha begitu Aksa sudah keluar dari kamar dan beralih duduk di dekatnya. Aksa menyandarkan kepala pada sandaran sofa sambil memejamkan matanya, lantas menjawab singkat, “Belum.” “Ya udah. Aku ambilin makan dulu, terus Mas Aksa minum obatnya. Abis itu baru istirahat. Aku tadi bikin sup ayam.” “Iya.” “Tapi, aku panasin sup-nya dulu, ya. Soalnya gak enak kalau dingin.” “Iya.” Walaupun sudah terbiasa mendengar jawaban Aksa yang singkat-singkat, tapi Ocha sampai kesal sendiri. Dia pun menuju dapur dengan bibir yang maju bak pantat ayam sambil bergerutu dalam hati, ‘Astaga, dia hanya demam, bukan banyak cicilan, tapi jawabannya kayak banyak tekanan.’ Sekitar beberapa menit bersemedi di dapur, Ocha akhirnya kembali ke ruang tamu membawa sepiring nasi dan semangku
Gegas Ocha bangkit dan berjalan mendekat ke dinding kaca apartemen untuk menerima panggilan dari istri pertama suaminya itu. “Iya, Mbak.”“Mas Aksa gimana, Cha ... udah baikan?” tanya Dewi dari seberang sana.“Alhamdulillah, udah, Mbak.”“Oh, ya baguslah kalau begitu. Terima kasih karena udah ambil alih tugasku. Seharusnya, aku yang rawat Mas Aksa, tapi malah nyuruh kamu. Mau bagaimana lagi karena ada hal lain yang juga mendadak. Maaf, merepotkanmu.”Setidaknya, mendnegar perkataan dari madunya itu membuat dada Ocha tiba-tiba sesak.Hanya saja, ia segera menepis perasaannya karena sadar hanya istri kedua yang tak sepenuhnya memiliki Aksa. “Iya, gak apa-apa, Mbak. Aku ikhlas kok ngerawat Mas Aksa,” katanya sedikit tercekat. “Kamu kasi vitamin jangan lupa ya, Cha. Terus soal makanan, jangan dikasi cumi-cumi sama ceker ayam. Mas Aksa gak suka.”Ocha sedikit terkejut mendengar ucapan Dewi.Bagai
Melihat tatapan suaminya yang tajam menembus hingga ke dasar hati, Ocha langsung paham kalau Aksa memberinya kode untuk bersandiwara di hadapan karyawan. “Belum ada ketetapan tanggal yang pasti, Pak, tetapi klien menyarankan untuk bertemu lagi dalam 2 minggu. Saya akan mengatur jadwal yang sesuai dengan semua pihak,” jawab Ocha asal.Intinya, mereka sedang menjalankan sandiwara seolah-olah mereka ada meeting di luar sebelum ke kantor.Ocha baru bisa bernapas lega saat keduanya sudah masuk lift.“Mas, kamu membuat jantungku hampir copot, tau, gak?!”Berbeda dengan Ocha, Aksa tetap terlihat santai. Tangannya tenggelam dalam saku celananya. “Kan sudah kubilang, akan aman, tapi,” ucapnya, “mau sampai kapan menyembunyikannya?”Dalam beberapa detik, keduanya saling melempar pandang. “Ya, gak usah ada yang tau sampai kita pisah. Kan cuma 365 hari,” kata Ocha. Mendengarnya, Aksa tiba-tiba tertawa kecil. Tangannya ter
“Sudah dulu ya, Mas. Lala sudah jemput aku.”“Iya. Pulangnya jangan terlalu larut,” kata Aksa yang menjadi penutup pembicaraan mereka pada malam itu. Setelah menutup telepon, Aksa berbalik dan mendapati Dewi sudah duduk di tempatnya kembali. Wanita bergaun merah itu mengulas senyum manisnya dengan sejuta kepalsuan untuk Aksa. Melihat sang suami yang perhatian pada wanita lain, pelan-pelan menumbuhkan perasaan cemburu, juga takut kehilangan di hati Dewi. Bagaimana kalau Ocha merebut Aksa darinya? Meskipun, ia tak mencintai pria itu, tetapi jujur ada rasa tak rela untuk melepasnya. Aksa adalah suaminya. Dia yang pertama memiliki pria itu. Diyakini Dewi bahwa Aksa adalah pria yang baik. Soal fisik, jika dibanding dengan kekasihnya, Dewi melihat mereka setara, tapi soal materi, Aksa memang lebih unggul. Hingga tibalah saat Aksa harus pulang pada istri keduanya, Dewi pun mengunjungi tempat biasa ia m
Di rumah Dewi.Aksa bersiap untuk pulang ke apartemen karena Ocha sudah menunggu. Barangkali, istrinya itu juga sudah memasak untuk makan malam mereka. Walaupun baru beberapa bulan bersama, setidaknya Aksa sudah sedikit hapal dengan kebiasaan Ocha yang terkadang lebih memilih memasak untuk sarapan bahkan makan malam keduanya daripada membeli makanan instan dari luar. Bukan untuk menghemat, tapi menurutnya makanan olah sendiri lebih sehat.Aksa beralih mengambil kunci mobil dan mengenakan jaketnya sambil menghampiri Dewi yang tengah berdiri mengusap-usap wajah dengan kapas di depan meja riasnya.“Sayang, aku sudah harus pergi ke apartemen. Ocha sudah menelepon dan menungguku,” pamit Aksa. Walau raut wajahnya sedikit tidak rela, Dewi tetap menjawab dengan santai. “Hm. Baiklah, hati-hati.”Namun, belum juga Aksa keluar dari kamar, Dewi tiba-tiba terduduk sambil memegangi perutnya kesakitan. “Aduh ... Mas, tungg
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok