Tak lama, perempuan itu menggelengkan kepala. "Nggah deh! Dulu, kami emang deket. Kalau sekarang, mikir dua kali kayaknya buat dekat-dekat.”
Farhana membuang pandangan ke sekitar. Rumah besar dengan halaman dan taman yang luas ini tampak begitu cantik karena beberapa lampu hias yang menyorot. Bisa serapi dan seindah ini pastinya hasil dekorasi sang ibu, pikirnya.
“Emang kenapa si Usman, Dek? Ustaz muda yang tampan dan mapan, banyak digandrungi gadis-gadis di sini. Kita aja kalah saing. Ya, nggak, Ziq?” Razaq menatap Raziq dengan alis yang dibuat naik-turun bergelombang.
“Sebenarnya, gue juga kurang suka Usman sih.” Di luar dugaan, Raziq justru menjawab demikian membuat Razaq terheran-heran.
“Nah. Bang Raziq sependapat kan sama Hana?” Kedua bola mata gadis itu berbinar. Dia merasa mendapatkan dukungan.
“Karena gue laki-laki. Masak jeruk makan jeruk?” Raziq terkekeh. Apalagi ketika melihat ekspresi sang adik yang langsung jengkel dan bete. Hana terlihat bersungut-sungut. Razaq juga spontan melepaskan tawa.
“Masalahnya, tadi saat kajian di majelis, Sintya curhat ke Hana, Bang. Soal Usman. Tiap malam mereka chattingan gitu. Hana juga ditunjukkin isi chatnya. Pas Hana baca, terkaget-kagetlah Hana ini, Bang. Nggak nyangka kalau si Usman semenjijikan itu. Iiih ....”
Farhana bergidik, merasa jijik jika teringat isi dalam pesan W******p Sintya, sahabat karibnya.
“Sintya gebetan elu kan, Bang?” Raziq menyelidik abangnya. Terlihat kemuraman terpancar di wajah Razaq.
“Emang isi chatnya apa?” tanya Razaq penasaran.
“Usman ngajakin Sintya begini, Bang.” Farhana lalu membuat gerakan jari-jemari tangan kanan dan kiri yang bersentuhan ujungnya. “Pake bibir, Bang, bukan jari!” tegasnya kemudian sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan kedua kakak kembarnya yang terperangah kaget.Razaq dan Raziq saling pandang, lalu bergidik ngeri.
****
“Wah, asyik nih. Tumben bener di meja makan udah disiapin nasi uduk. Siapa yang beli, Bang?”
Di pagi hari, begitu keluar dari kamar mandi, Farhana mendapati 3 bungkus nasi uduk di atas meja makan.
Harumnya tercium meskipun masih terbungkus rapi. Dari aroma harumnya gadis itu tahu nasi uduk itu buatan siapa.
“Dari fans elu berikutnya, Dek,” jawab Razaq sambil menyambar sebungkus nasi uduk dan membawanya menuju ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaan Razaq bila makan sambil menonton televisi.
“Siapa, Bang?” Farhana menyusul abangnya sambil berjalan menuju kamarnya. Rambutnya yang basah itu hendak dikeringkan dengan hair dryer.
“Usman. Hahaha ... Hahaha ...,” Razaq menjawab sambil terbahak karena tontonan yang sedang ia saksikan terlihat lucu. Setelahnya pemuda itu tersedak sambal dan langsung bergegas menuju dapur mencari minum.
Farhana menggelengkan kepala melihat kebiasaan abangnya yang belum juga berubah. Gadis itu bersenandung sambil mengeringkan rambutnya. Setelah kering, ia sisir rapi rambut hitam lurusnya dan ia ikat dengan ikat rambut buatan sang ibu. Selesai mengikat rambut, Farhana menyambar hijab instannya yang tersampir di dipan ranjang.
“Bang Raziq ke mana, Bang?” tanya Farhana saat menyadari rumahnya terasa sepi. Selain karena bapak dan ibu yang masih menginap, juga karena tidak ada suara musik Linkin Park yang suaranya menggema di dalam rumah.
Raziq suka sekali menyalakan sound system sambil memutar lagu-lagu dari band populer internasional yang begitu digemarinya itu. Tidak hanya lagu, ada saja pertanda kehadiran Raziq di rumah itu.
Misalnya, bunyi sendok yang terjatuh, gelas pecah, jebar-jebur air dalam kamar mandi, siulan dan lupa lagi saking berisiknya kalau Raziq ada di rumah.
“Pantesan rumah ini sepi beuuud.” Farhana langsung ngeloyor menuju dapur. Gadis manis itu mengambil piring dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia menyiapkan teh manis hangat untuknya sendiri.
Beberapa detik kemudian perempuan berlesung pipi itu asyik menikmati setiap suapan nasi uduk lezat buatan Bu Romlah.
Tapi sepertinya ia melupakan sesuatu. Farhana pun berhenti mengunyah. “Tumben Usman kirim nasi uduk. Sekaligus tiga juga. Banyak bener.”
Lalu ia melanjutkan suapan kembali. Tapi kemudian kembali berhenti menyuap. “Jangan-jangan ada udang di balik bakwan ini,” pikirnya berburuk sangka. Apalagi jika teringat isi chat antara Sintya dan Usman. Selesai sarapan Farhana menghampiri Razaq yang sedang asyik menjilati sisa makanan di jemarinya.
“Bang, tumben amat itu si Usman kirim uduk. Dalam rangka apa? Ultahkah?” Farhana duduk menyamping menghadap abangnya yang serius menonton.
“Tahu tuh. Katanya, sih, sebagai salam penyambutan karena elu udah lulus pesantren. Kenapa?” Razaq menoleh. “Kegeeran elu kayaknya,” goda Razaq.
“Apa, sih, elu Bang.” Farhana meninju lengan kanan Razaq.
“Beuuh ... atlet mah emang beda ya pukulannya.” Razaq meringis kesakitan. Sementara Farhana berlalu meninggalkan Razaq sendirian di rumah. Gadis itu mengendarai sepeda lipat dan meluncur menuju warung Bu Romlah.
Namun, dia justru menemukan pria tampan yang membayangi mimpinya tadi malam!
“Eh, ada bang Rey dimari. Sarapan, Bang?” tegur Farhana menahan desiran di dada kala melihat Rey duduk sambil menikmati kopi.
Yang ditegur pun menoleh. Lucunya, wajah Rey juga memerah karena tersipu malu. "Cuma minum kopi, kok. Tadi sarapan di rumah. Enyak Saebah masakin semur jengkol kesukaan abang. Eh, maaf ya kalau napas abang bau.” Rey langsung menutupi mulutnya ketika menyadari dirinya lupa menggosok gigi setelah sarapan tadi.Farhana menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sedikit tertawa. “Santai aja, Bang. Hana maklum, kok.”
Ketika keduanya asyik mengobrol, datanglah tukang jamu yang begitu kemayu. Orangnya masih muda, bertubuh agak gemuk, dandanan menor. Kulitnya kuning langsat dan bicaranya mendayu-dayu.Sedari tadi gadis penjual jamu ini merayu Rey yang belum menghabiskan kopinya.
“Maaf, Mbak. Saya masih minum kopi loh ini. Jadi nggak bisa minum jamu saat ini.” Rey menolak dengan halus. Si penjual jamu pun mengambil duduk sangat dekat dengan Rey hingga Rey bergeser.
Terlihat pemuda itu merasa tidak nyaman. Farhana yang menyaksikan pun begitu risih. Gadis penjual jamu itu berpakaian sangat ketat hingga membuat bagian tubuh atasnya menonjol. Membuat lelaki hidung belang membelalakkan mata jika melihatnya. Sebagai perempuan, Farhana meringis. Pemandangan yang begitu miris baginya.“Mungkin dek Farhana mau? Nanti abang yang bayar.” Rey justru menawarkan Farhana minum jamu.
Namun, hal itu justru membuat penjual jamu itu cemberut. “Ih, Bang Rey ini jual mahal sama saya. Nggak kayak ustaz Usman. Dia itu kalau saya dekati nggak lepas pandangan matanya dari tubuh saya ini, loh. Punya selera bagus dia itu.” Gadis penjual jamu itu melirik ke arah Farhana sambil mencibir. “Permisi.”“Aduh. Itu si Ela bener-bener bikin ulah, yah.” Bu Romlah muncul dari balik pintu tak lama setelah penjual jamu tadi pergi. “Maaf, ya, neng Hana nunggu kelamaan. Dari semalam saya bolak-balik WC, Neng. Perut melilit. Mau pesan apa, Neng?”“Pengen gorengan bakwan sama pisang, Bu. Ceban aja,” ucap Farhana kasihan. Tak beda dengannya, Rey juga memandang Bu Romlah prihatin. “Salah makan mungkin, Mpok,” ujarnya. “Kayaknya sih gitu.” “Emang Bu Romlah makan apa?” tanya Farhana. “Makan martabak yang dibawa Usman. Katanya, sih, martabak angetan. Boleh dibawain jamaah majlis taklim. Karena nggak habis terus diangetin dan dibagiin di sini semalam. Kebetulan banyak bapak-bapak pada nonton bola sampai begadang.” “Mpok udah minum obat?” tanya Rey.“Maunya sih berobat. Biar tuntas. Tapi nggak ada yang nganterin. Suami mpok baru balik hari Sabtu nanti. Ya beginilah kalau hidup berjauhan sama suami.” Bu Romlah menyodorkan plastik berisi gorengan kepada Farhana.“Rey anterin aja, ya, Mpok. Nggak te
“Ketemu sebelum pertigaan, Bang. Tadi, sih, sama Usman juga. Tapi dia duluan. Mau ke rumah pak RT, ada keperluan katanya,” jawab Rey dengan tegas.Dia tak ingin nilainya berkurang di depan calon iparnya.“Hahaha.” Tiba-tiba Razaq tertawa.“Kenapa, Bang? Ada yang lucukah?” tanya Rey keheranan.“Pantesan tuh Ustaz muda bersungut-sungut. Gue dengerin sepanjang jalan dia ngoceh kagak jelas. Kayak orang lagi kesal. Ditanya juga kagak jawab apa-apa. Mungkin nggak nyadar ada gue di sini. Sekalian aja gue takutin. Eh dia ngibrit lari. Hahaha.” Razaq tertawa terpingkal-pingkal teringat kejadian saat Usman melewati rumahnya yang belum dinyalakan lampu terasnya.“Ih dasar abang iseng. Kasian loh, Bang. Kalau dia ngompol di jalan gimana?” Farhana ikut tertawa.Setelah itu, Razaq mempersilakan Rey duduk untuk berbincang-bincang. Sekadar mengobrol ngalor-ngidul sambil menikmati menikmat yang ternyata kiriman Rey, bukan pesanan Razaq. Rey terpaksa berbohong pada Usman demi melindungi perjalanan pula
“Bang, kabur, yuk. Cepat! Cepat!” Farhana meminta supaya Rey bergegas menyalakan mesin motornya dan pergi cepat-cepat. Dalam kebingungan, Rey menuruti perintah Farhana tanpa memahami ada hal apa sebenarnya. “Belok kiri aja, Bang.” “Loh, desa sebelah kan harusnya lurus, Neng.” “Udah. Ikuti perintah Hana aja pokoknya.” Farhana mengambil ponsel di sakunya. Jemarinya dengan cekatan menekan tombol nomor dan menghubungi seseorang. Di sambungan telepon itu, Farhana terlihat serius berbicara dengan seseorang di seberang yang entah siapa. Rey tidak begitu jelas mendengarnya. Karena kali ini mereka melewati sebuah pabrik yang bersuara bising. Farhana juga sesekali terdengar mengencangkan suaranya supaya seseorang di seberang mendengar suaranya dengan jelas. Tak lama sambungan telepon terputus. “Bang, kita melipir aja ya di pemancingan Bumi Sarerea.” Rey langsung melajukan motornya ke tempat yang dimaksud. Dari kaca spion, terlihat wajah Farhana begitu sembab. Air mata berjatuhan dari pelup
Sejak kejadian beberapa hari lalu, Farhana dan ibunya seolah terlibat perang dingin.Dia ingin bercerita pada Sintya, sahabatnya.Namun, Sintya terlihat seperti sedang menghindarinya. Farhana pun kebingungan, ia merasa tidak ada salah apa pun pada Sintya. Isi kajian yang disampaikam Usman pun tidak ada satu pun yang memenuhi isi kepalanya. Seharian ini pikirannya terasa mumet. Kali ini ia harus menghadapi sikap dingin Sintya yang tiba-tiba.Farhana berbisik di telinga Sarah, siapa tahu sahabat yang satu ini tahu sesuatu.“Sarah, Sintya kenapa, ya? Kok aku ngerasa dihindari sejak tadi datang ke majelis ini.”“Aku nggak tahu apa-apa, Han.” Sarah terlihat salah tingkah. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Entah apa itu.Farhana kembali terdiam. Gadis itu bermaksud menanyakan langsung pada Sintya sepulang kajian nanti. Baru saja ia merogoh saku gamisnya, Farhana menyadari bahwa ponselnya tertinggal di atas nakas tadi. Gadis itu tadinya ingin mengirimkan pesan supaya Sintya mau pulang
Esoknya, Farhana keluar dari kamarnya sambil celingukan. Dia harus bertemu Rey untuk memastikan sesuatu.Namun, ia khawatir dengan keberadaan sang ibu yang mungkin saja melarang pertemuan keduanya.Saat melongok ke ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Gadis itu menoleh cepat karena kaget.“Ih, bang Raziq bikin kaget aja.” Farhana sewot. Lalu buru-buru berjalan menuju dapur.“Ngapain, sih, Dek? Pakai celingak-celinguk segala.” Raziq terheran-heran dengan sikap adiknya. Gadis itu sibuk memasukkan beberapa potong pisang goreng lalu menyiapkam kopi instan yang ia seduh di dalam termos berbentuk cangkir. Pisang goreng dan kopi itu ia masukkam ke dalam tas bekal berbentuk kotak.“Ssst! Abang jangn bilang-bilang, yah. Please ....” Wajah Farhana memelas. Berharap sang kakak bisa diajak kompromi. Sudut matanya masih mengawasi sekitar, khawatir jika ibunya tiba-tiba saja muncul dan menanyakan isi tas yang dibawanya itu.“Oke. Tapi elu mau
“Abang akan pura-pura tertarik pada produk skincare yang pernah Sintya tawarkan ke abang. Abang akan undang dia ke mari. Kalau nanti dia hampir tiba, Hana ngumpet dulu di toilet, ya. Gimana?” Tatapan sendu Farhana berubah berbinar. “Abang cerdas. Farhana semakin kagum sama abang.” Pujian yang dilontarkan gadis pujaannya membuat perasaan Rey berbunga-bunga. Selanjutnya lelaki itu mencoba menelpon Sintya. Syukurlah Sintya segera mengangkat telpon darinya. “Sintya menuju ke mari, Neng.” Raut wajah Farhana terlihat begitu senang mendengarnya. Sambil menunggu Sintya tiba, Reyjan dan Farhana menyantap hidangan di hadapannya. Kebetulan perut Farhana belum diisi sarapan. Gadis itu juga mengeluarkan bungkus plastik berisi pisang goreng dan termos cangkir berisi kopi yang sengaja ia siapkan untuk Reyhan. ### “Abang tumben ajak Sintya ke sini.” Gadis seusia Farhana yang mengenakan dress lengan pendek dengan bawahan leging ketat itu duduk di hadapan Reyhan. Ia sedikit heran melihat piring da
"Sebaiknya kufoto dulu. Siapa tahu benda ini berguna nanti," pikir Farhana.Dia khawatir menyebarkan fitnah. Jadi, gadis itu lalu memenuhi tong sampah dengan gumpalan tissu untuk menyamarkan keberadaan benda keramat itu.Setelah selesai, Farhana kembali menemui Sintya. Tapi ia tidak menceritakan apa pun. Karena Farhana sedikit mencurigai gadis itu.Beberapa menit setelah itu Usman muncul. Wajahnya terlihat sedikit tegang, tidak sesantai biasanya. Ia juga datang terlambat mengisi kajian malam ini. Selesai kajian, Usman mengumumkan bahwa dirinya akan pergi ke luar kota untuk berdakwah. Belum jelas waktunya hingga kapan.Farhana mengamati raut wajah Sintya setelah mendengar pengumuman itu. Wajah gadis itu terlihat muram.### Kampung mendadak gempar. Entah bagaimana mulanya, keberadaan benda yang sudah disembunyikan Farhana akhirnya ditemukan. Pasalnya, Mang Oyip sang marbot masjid yang setiap pagi membenahi sampah di sekitaran masjid menemukan testpack yang hasilnya positif itu. Semen
“Aku nggak akan maafin kamu kalau ternyata Bang Rey nggak salah, Sarah!” bisik Farhana dengan nada mengancam. Gadis itu melengang melewati Sarah, berjalan menuju tempat dimana sahabatnya berkumpul. Sarah begitu gugup mendengar bisikan bernada ancaman dari Farhana, apalagi ia tahu gadis itu atlet beladiri. Dari sikap duduknya terlihat begitu gelisah. Wajahnya yang dipoles make up natural tampak begitu cantik. Hari ini ia akan dinikahkan dengan Reyhan karena kasus mereka kemarin. Beberapa warga sudah memenuhi masjid. Mereka hendak menyaksikan pernikahan mendadak ini. Siapa pun tak menyangka bila putri kesayangan Pak RT dan Bu Ratna itu telah dihamili. Apalagi pelakunya Reyhan, preman kampung penjaga pasar. Para pedagang pasar yang sudah mendengar berita pemuda itu menghamili anak gadis pejabat kampung pun ikut hadir. Mereka masih tidak percaya bila pahlawan yang selama ini menjaga mereka dari para preman pasar itu berani berbuat bejat. Kehadiran para pedagang pasar ini jelas membuat p
Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d
Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi
“Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?
Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.
Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing
Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai
“Kalian semua, para warga yang berkumpul di sini, harus tahu satu rahasia besar di desa ini!” Sarah berteriak lantang. Sorot matanya tajam menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di lapangan. Tangan kanannya menggenggam sebilah pisau dapur. Sejak tadi takada yang berani mengendalikan Sarah yang dikuasai emosi.Gadis yang tengah berbadan dua itu sedari tadi mencari Reyhan. Raziq dan Hajah Husna yang kebetulan sedang berada di masjid yang tidak jauh dari lapangan itu pun bergegas pulang memanggil Reyhan saat gadis itu terus menerus mencari pemuda itu. Anehnya, kenapa Sarah tidak langsung mencarinya ke rumah Farhana? Ia malah berteriak di tengah lapang seperti orang yang sakit jiwa.Ketika gadis itu mendapati wajah Reyhan di antara kerumunan warga, Sarah segera menghampiri pemuda itu. Reyhan yang melihat dalam genggaman tangan gadis muda itu terdapat pisau, langsung mengambil posisi siaga. Anehnya, Sarah justru tidak lagi marah seperti tadi. Ia justru terlihat begitu lega dan
“Bang,” tegur Farhana sedikit menyentak. Berharap suaminya tersadar dari lamunannya. Perempuan itu belum selesai membersihkan wajahnya dengan micellar water. Kotoran di wajahnya terasa begitu menumpuk sebab beberapa hari ini tak sempat membersihkan wajah apalagi perawatan. Selama menemani Sarah, fokusnya hanya pada sahabat yang masih terpukul dengan segala ujian yang dihadapinya.Benar saja. Reyhan langsung tersadar dengan wajah memerah bak kepiting rebus. Reyhan menyembunyikan perasaan malunya. Tapi tingkah gugupnya terbaca oleh Farhana.“Hayo, lagi bayangin apa sih, Bang?” goda Farhana membuat tawa suaminya pecah seketika.“Ini loh. Abang masih terngiang-ngiang ucapan abang sendiri saat ijab qabul. Sampai sekarang masih tidak menyangka. Perempuan yang abang kagumi setiap hari berada di hadapan abang. Bahkan menemani abang tidur setiap malam.Ternyata Allah itu Maha Kuasa. Dalam sekejap Dia merubah skenario. Abang yang sudah pasrah dengan segala fitnah hingga harus menikahi Sarah,
“Sarah, Bang. Hampir bunuh diri. Hana berhasil menggagalkannya.” Rupanya itu suara Reyhan yang segera menghampiri saat mendengar suara istrinya berteriak meminta tolong. Reyhan mengira telah terjadi sesuatu pada gadis yang baru dinikahinya seminggu lalu. “Astagfirullah, abang cari bantuan dulu. Kamu jaga Sarah di sini. Ini ada kayu putih. Kamu oleskan saja.” Reyhan bergegas berlari menuju rumah Pak RT setelah menyodorkan kayu putih pada istrinya. Dengan telaten, Farhana membalurkan kayu putih ke beberapa bagian tubuh Sarah sebagai efek penenang. Napas tersengal Sarah berangsur-angsur menjadi normal. Kedua mata gadis itu terlihat sembab. “Aku sudah tak sanggup, Hana. Biarkan aku mati saja. Hidup pun takada guna bagiku.” Sarah meronta-ronta sambil mengisakkan tangis. “Istigfar, Sarah! Nggak boleh kamu berbicara begitu.” “Aku sudah berbuat jahat sama kamu, kenapa kamu masih bantu aku, Hana? Biarkan aku mati saja.” Sarah semakin meraung-raung. Diselingi tawa yang tiba-tiba. Entah sa