“Bang, kabur, yuk. Cepat! Cepat!” Farhana meminta supaya Rey bergegas menyalakan mesin motornya dan pergi cepat-cepat. Dalam kebingungan, Rey menuruti perintah Farhana tanpa memahami ada hal apa sebenarnya. “Belok kiri aja, Bang.”
“Loh, desa sebelah kan harusnya lurus, Neng.”
“Udah. Ikuti perintah Hana aja pokoknya.” Farhana mengambil ponsel di sakunya. Jemarinya dengan cekatan menekan tombol nomor dan menghubungi seseorang. Di sambungan telepon itu, Farhana terlihat serius berbicara dengan seseorang di seberang yang entah siapa.
Rey tidak begitu jelas mendengarnya. Karena kali ini mereka melewati sebuah pabrik yang bersuara bising. Farhana juga sesekali terdengar mengencangkan suaranya supaya seseorang di seberang mendengar suaranya dengan jelas. Tak lama sambungan telepon terputus.
“Bang, kita melipir aja ya di pemancingan Bumi Sarerea.” Rey langsung melajukan motornya ke tempat yang dimaksud. Dari kaca spion, terlihat wajah Farhana begitu sembab. Air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Seandainya mereka adalah pasangan halal, Rey ingin rasanya memeluk gadis itu.
Sekitar lima belas menitan keduanya sampai di tempat pemancingan yang memiliki panorama hamparan sawah begitu luas. Ada air terjun kecil di ujung kali dengan arus kecil yang lebarnya hanya satu meter. Rey memesan tempat berukuran kecil, sekadar tempat untuk mereka duduk bersantai. Ia juga memesan ikan bakar dan dua gelas minuman untuk bersantap.“Maaf, ya, ngerepotin Bang Rey begini.” Farhana duduk di tepi gazebo berukuran kecil yang mereka pesan. Gemericik aliran sungai yang jernih mendukung suasana yang begitu tenang. Farhana seolah lupa kejadian beberapa menit lalu.
“Nggak apa-apa, Hana.”
Keduanya kembali hening. Saat pesanan datang, Rey langsung mempersilakan Farhana menyantap hidangan. Di sela makan, keduanya mulai kembali bersuara. Ada canda di antara beberapa obrolan yang membuat mereka semakin akrab.
“Hana sudah punya pacar?” tanya Rey tiba-tiba. Farhana menggeleng.
“Masak sih belum punya? Memangnya di pesantren kamu nggak punya kekasih?” Lagi-lagi Farhana menggelengkan kepalanya.
“Kan di pesantren dilarang pacaran, Bang Rey.”
“Oh ... Begitu. Tapi, yang ditaksir ada, kan?” tanya Rey lagi. Wajah lelaki yang sekilas terlihat mirip Andy Lau versi lokal itu memerah. Sepertinya kepedasan, karena ia buru-buru menenggak minumannya.
Farhana ikut merasa khawatir. Ia menyodorkan minumannya, khawatir Rey kekurangan minum untuk mengalihkan rasa pedasnya. Namun laki-laki itu menolaknya. Ia sudah merasa cukup. Rasa pedasnya sudah berkurang banyak.
“Saat ini ada lelaki yang sudah kamu taksir?” Rey menyelidik.
“A-ada.” Farhana hampir tersedak.
“Pasti beruntung laki-laki yang kamu taksir itu.”
“Kalau abang ada yang ditaksir?” Farhana balik bertanya.
“Ada. Tapi sepertinya kasih tak sampai.”
Farhana mengerutkan kening. “Loh, kenapa?”
“Tidak mendapatkan restu dari ibunya.”
Mendengar jawaban Rey, sebenarnya Farhana sedikit tersadar siapa yang dimaksud oleh pemuda di hadapannya ini. Namun gadis itu takut kepedean.
“Abang udah jadian?”
Rey menggeleng.
“Abang udah kenal lama?”
Rey menggeleng lagi.
“Kami baru akrab belakangan ini.”
“Oh ....” Farhana menundukkan kepala. Ia sangat merasa yang dibicarakan Rey itu adalah dirinya. Berdasarkan penuturan Bu Romlah, Rey bukan lelaki yang mudah dekat dengan beberapa perempuan.
“Kenapa nggak abang nyatakan cinta pada perempuan itu?” tiba-tiba saja terlintas ide pertanyaan seperti itu di kepala Farhana.
“Maunya abang melamar langsung, Hana. Bukan berpacaran lagi.”
“Wah, beruntungnya perempuan yang abang lamar nanti.” Farhana terlihat salah tingkah.
“Berarti kamu beruntung.” “Maksudnya?” tanya Farhana. Dirinya semakin sadar jika dugaannya benar. Rey menyukainya. Tapi, dia harus memastikannya.
“Nggak apa-apa. Nggak jadi.” Gantian Rey yang terlihat salah tingkah.
‘Kenapa hati ini nggak menentu rasanya bila bersama Farhana. Ya Allah, jika ia berjodoh denganku, mudahkan jalanku menpersunting gadis ini.’
‘Duh, Bang Rey ini kenapa nggak jujur aja sih? Kan kita bisa backstreet.’
Kedua muda-mudi itu sibuk dengan pikirannya sendiri.
****
Sementara itu, mendapati putrinya diantar pemuda yang tidak disukainya, Hajah Husna terlihat begitu sinis.
Rey buru-buru berpamitan karena merasa tidak enak hati. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelahnya. Pemuda itu bergegas menuju motor dan melakukannya keluar halaman rumah gadis pujaan hati. Pikirannya berkecamuk.
“Kamu mulai bohongi ibu, ya, Hana. Ibu benar-benar kecewa. Kamu izin ke desa sebelah untuk santunan anak yatim, nyatanya kamu tidak hadir. Panitia bilang kamu mendadak ada urusan. Ke mana aja kamu sama si preman kampung itu?” Hajah Husna memberondong perkataan yang menghujam kuat ke dalam dada Farhana.
“Hana kecewa sama ibu. Kenapa ibu sebelah pihak memutuskan untuk menjodohkan Hana dengan lelaki yang nggak sama sekali Hana cintai, Bu?” Otot leher Farhana menegang. Ini sama sekali bukan dirinya. Gadis itu begitu penurut. Entah mengapa perkara perjodohan ini begitu menyulut emosi si gadis.
“Kamu itu anak gadis ibu satu-satunya. Ibu inginkan yang terbaik buatmu, Hana.”
“Jadi ibu menganggap menjodohkan aku dan Usman itu baik, Bu? Ibu nggak tahu pemuda itu cuma kedoknya aja ustaz. Dia itu pakai topeng, Bu. Sok-sokan polos di balik kealimannya.” Suara Farhana sedikit bergetar.
“Apa maksudmu, Hana? Kamu ini bicara apa? Memangnya kurang apa Usman? Anak ustaz terpandang di desa ini. Ibunya pun seorang pendakwah. Apalagi kakak perempuannya, sudah jadi daiya tersohor. Siapa tidak mengenal keluarga mereka? Kamu mau bandingkan dengan Rey yang hanya seorang preman kampung? Babeh Rojali itu emang siapa sih di kampung ini? Sadar, Hana.” Hajah Husna bersikeras pada pendapatnya.
“Sudah ibu. Hana tidak ingin berdebat dengan ibu.” Tubuh Farhana merangsek memasuki rumah saat Hajah Husna menghalangi langkahnya di ambang pintu. Wanita itu tergugu. Dengan napas berembus berat, ia mendengus kesal. Semenjak mengenal Rey, watak keras Farhana mulai terlihat.
"Lihat saja! Kupastikan preman kampung itu tak bisa mendekati Hana!" gumamnya kesal.
Sejak kejadian beberapa hari lalu, Farhana dan ibunya seolah terlibat perang dingin.Dia ingin bercerita pada Sintya, sahabatnya.Namun, Sintya terlihat seperti sedang menghindarinya. Farhana pun kebingungan, ia merasa tidak ada salah apa pun pada Sintya. Isi kajian yang disampaikam Usman pun tidak ada satu pun yang memenuhi isi kepalanya. Seharian ini pikirannya terasa mumet. Kali ini ia harus menghadapi sikap dingin Sintya yang tiba-tiba.Farhana berbisik di telinga Sarah, siapa tahu sahabat yang satu ini tahu sesuatu.“Sarah, Sintya kenapa, ya? Kok aku ngerasa dihindari sejak tadi datang ke majelis ini.”“Aku nggak tahu apa-apa, Han.” Sarah terlihat salah tingkah. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Entah apa itu.Farhana kembali terdiam. Gadis itu bermaksud menanyakan langsung pada Sintya sepulang kajian nanti. Baru saja ia merogoh saku gamisnya, Farhana menyadari bahwa ponselnya tertinggal di atas nakas tadi. Gadis itu tadinya ingin mengirimkan pesan supaya Sintya mau pulang
Esoknya, Farhana keluar dari kamarnya sambil celingukan. Dia harus bertemu Rey untuk memastikan sesuatu.Namun, ia khawatir dengan keberadaan sang ibu yang mungkin saja melarang pertemuan keduanya.Saat melongok ke ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Gadis itu menoleh cepat karena kaget.“Ih, bang Raziq bikin kaget aja.” Farhana sewot. Lalu buru-buru berjalan menuju dapur.“Ngapain, sih, Dek? Pakai celingak-celinguk segala.” Raziq terheran-heran dengan sikap adiknya. Gadis itu sibuk memasukkan beberapa potong pisang goreng lalu menyiapkam kopi instan yang ia seduh di dalam termos berbentuk cangkir. Pisang goreng dan kopi itu ia masukkam ke dalam tas bekal berbentuk kotak.“Ssst! Abang jangn bilang-bilang, yah. Please ....” Wajah Farhana memelas. Berharap sang kakak bisa diajak kompromi. Sudut matanya masih mengawasi sekitar, khawatir jika ibunya tiba-tiba saja muncul dan menanyakan isi tas yang dibawanya itu.“Oke. Tapi elu mau
“Abang akan pura-pura tertarik pada produk skincare yang pernah Sintya tawarkan ke abang. Abang akan undang dia ke mari. Kalau nanti dia hampir tiba, Hana ngumpet dulu di toilet, ya. Gimana?” Tatapan sendu Farhana berubah berbinar. “Abang cerdas. Farhana semakin kagum sama abang.” Pujian yang dilontarkan gadis pujaannya membuat perasaan Rey berbunga-bunga. Selanjutnya lelaki itu mencoba menelpon Sintya. Syukurlah Sintya segera mengangkat telpon darinya. “Sintya menuju ke mari, Neng.” Raut wajah Farhana terlihat begitu senang mendengarnya. Sambil menunggu Sintya tiba, Reyjan dan Farhana menyantap hidangan di hadapannya. Kebetulan perut Farhana belum diisi sarapan. Gadis itu juga mengeluarkan bungkus plastik berisi pisang goreng dan termos cangkir berisi kopi yang sengaja ia siapkan untuk Reyhan. ### “Abang tumben ajak Sintya ke sini.” Gadis seusia Farhana yang mengenakan dress lengan pendek dengan bawahan leging ketat itu duduk di hadapan Reyhan. Ia sedikit heran melihat piring da
"Sebaiknya kufoto dulu. Siapa tahu benda ini berguna nanti," pikir Farhana.Dia khawatir menyebarkan fitnah. Jadi, gadis itu lalu memenuhi tong sampah dengan gumpalan tissu untuk menyamarkan keberadaan benda keramat itu.Setelah selesai, Farhana kembali menemui Sintya. Tapi ia tidak menceritakan apa pun. Karena Farhana sedikit mencurigai gadis itu.Beberapa menit setelah itu Usman muncul. Wajahnya terlihat sedikit tegang, tidak sesantai biasanya. Ia juga datang terlambat mengisi kajian malam ini. Selesai kajian, Usman mengumumkan bahwa dirinya akan pergi ke luar kota untuk berdakwah. Belum jelas waktunya hingga kapan.Farhana mengamati raut wajah Sintya setelah mendengar pengumuman itu. Wajah gadis itu terlihat muram.### Kampung mendadak gempar. Entah bagaimana mulanya, keberadaan benda yang sudah disembunyikan Farhana akhirnya ditemukan. Pasalnya, Mang Oyip sang marbot masjid yang setiap pagi membenahi sampah di sekitaran masjid menemukan testpack yang hasilnya positif itu. Semen
“Aku nggak akan maafin kamu kalau ternyata Bang Rey nggak salah, Sarah!” bisik Farhana dengan nada mengancam. Gadis itu melengang melewati Sarah, berjalan menuju tempat dimana sahabatnya berkumpul. Sarah begitu gugup mendengar bisikan bernada ancaman dari Farhana, apalagi ia tahu gadis itu atlet beladiri. Dari sikap duduknya terlihat begitu gelisah. Wajahnya yang dipoles make up natural tampak begitu cantik. Hari ini ia akan dinikahkan dengan Reyhan karena kasus mereka kemarin. Beberapa warga sudah memenuhi masjid. Mereka hendak menyaksikan pernikahan mendadak ini. Siapa pun tak menyangka bila putri kesayangan Pak RT dan Bu Ratna itu telah dihamili. Apalagi pelakunya Reyhan, preman kampung penjaga pasar. Para pedagang pasar yang sudah mendengar berita pemuda itu menghamili anak gadis pejabat kampung pun ikut hadir. Mereka masih tidak percaya bila pahlawan yang selama ini menjaga mereka dari para preman pasar itu berani berbuat bejat. Kehadiran para pedagang pasar ini jelas membuat p
“Saya datang dan hadir ke masjid ini bukan tidak disengaja. Tapi saya memang ingin menghadiri pernikahan cucu saya.” Kyai Subki memandang Reyhan dan Sarah bergantian. Ia juga menoleh ke arah Sintya dan Farhana bergantian.Mendengar penuturan Kyai Subki, Pak RT dan Bu Ratna merasa melambung tinggi. Keduanya merasa mendapatkan suatu kehormatan. Padahal keduanya belum memahami maksud ucapan sang Kyai. “Ada rahasia besar yang harus dimunculkan dari persembunyiannya.” Kyai Subki berhenti berbicara sejenak. “Perlu semua warga tahu, sepertinya sudah saatnya semua rahasia disingkapkan.” Beberapa warga terlihat mengangguk-angguk, seakan-akan mengerti. Padahal inti pembicaraan belum diutarakan. “Jadi sebenarnya, Reyhan ini adalah cucu kandung saya.” Kali ini semua warga dibuat kaget. Tidak terkecuali Haji Kipli dan Hajah Husna, yang sudah mendengar penjelasan siapa sosok Kyai Subki sebenarnya. Masing-masing warga saling pandang karena tidak menduga sebelumnya. Berita ini sungguh menggemparkan
“Hari ini, saya Kyai Subki, bermaksud meminangkan Farhana binti Haji Kipli untuk cucu saya Reyhan bin Rojali. Apakah Haji Kipli dan Hajah Husna bersedia menerima pinangan ini?” Kyai Subki menatap Haji Kipli. Baik keluarga Reyhan maupun Farhana, semua terperangah kaget. Ini sungguh di luar dugaan. Sementara Sintya terlihat tersenyum-senyum, menahan tawa. Gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu yang ia tahu. “Setuju!” Mpok Romlah berteriak. “Eh, maaf, keceplosan.” Wanita itu buru-buru menutup mulutnya yang spontan menyahut. Tapi justru sahutan spontan Mpok Romlah memicu para warga untuk mendukung keluarga Farhana agar mau menerima pinangan Kyai Subki untuk cucu kandungnya itu. Hajah Husna yang mulanya tidak pernah setuju anak gadis semata wayangnya berhubungan dengan preman kampung itu justru yang paling keras bersuara. “Dengan senang hati, Kyai.” Wajah Hajah Husna penuh senyum sumringah. Farhana dan kedua abangnya terkejut dengan jawaban sang ibu. Kyai Subki, Babeh Rojali dan Reyha
“Astagfirullah. Masak sih, Bu? Emang ada ya ibu yang tega berbuat seperti itu pada anaknya sendiri?” Farhana menyentong nasi dan memindahkannya ke dalam rantang yang disediakam untuk bekal suami dan ayahnya. Ia juga memasukkan lauk pauk dan sayuran ke dalam wadah lainnya.Reyhan masih membantu Haji Kipli di kebun. Sebelum berangkat, lelaki itu sempat mengisi perutnya dengan sebungkus roti dan teh tawar hangat kesukaannya.“Ada, Hana. Banyak malah. Jangan salah. Tidak hanya anak, orang tua pun ada yang durhaka.” Hajah Husna sudah sibuk membolak-balik adonan pisang supaya tidak gosong dan matang merata.“Nauzubillah. Semoga Farhana bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak Farhana nanti.” Dipandangi dan dielusnya perut yang masih rata. Hingga Hajah Husna keheranan. “Kamu udah ngisi, Hana?” Wajah Hajah Husna menilik perut Farhana dengan seksama. “Belum. Hana kan belum makan, Bu. Ini sarapannya juga baru beres, kan.” “Maksudnya, kamu sudah hamil?” “Oh ....” Farhana terkekeh mengetahu
Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d
Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi
“Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?
Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.
Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing
Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai
“Kalian semua, para warga yang berkumpul di sini, harus tahu satu rahasia besar di desa ini!” Sarah berteriak lantang. Sorot matanya tajam menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di lapangan. Tangan kanannya menggenggam sebilah pisau dapur. Sejak tadi takada yang berani mengendalikan Sarah yang dikuasai emosi.Gadis yang tengah berbadan dua itu sedari tadi mencari Reyhan. Raziq dan Hajah Husna yang kebetulan sedang berada di masjid yang tidak jauh dari lapangan itu pun bergegas pulang memanggil Reyhan saat gadis itu terus menerus mencari pemuda itu. Anehnya, kenapa Sarah tidak langsung mencarinya ke rumah Farhana? Ia malah berteriak di tengah lapang seperti orang yang sakit jiwa.Ketika gadis itu mendapati wajah Reyhan di antara kerumunan warga, Sarah segera menghampiri pemuda itu. Reyhan yang melihat dalam genggaman tangan gadis muda itu terdapat pisau, langsung mengambil posisi siaga. Anehnya, Sarah justru tidak lagi marah seperti tadi. Ia justru terlihat begitu lega dan
“Bang,” tegur Farhana sedikit menyentak. Berharap suaminya tersadar dari lamunannya. Perempuan itu belum selesai membersihkan wajahnya dengan micellar water. Kotoran di wajahnya terasa begitu menumpuk sebab beberapa hari ini tak sempat membersihkan wajah apalagi perawatan. Selama menemani Sarah, fokusnya hanya pada sahabat yang masih terpukul dengan segala ujian yang dihadapinya.Benar saja. Reyhan langsung tersadar dengan wajah memerah bak kepiting rebus. Reyhan menyembunyikan perasaan malunya. Tapi tingkah gugupnya terbaca oleh Farhana.“Hayo, lagi bayangin apa sih, Bang?” goda Farhana membuat tawa suaminya pecah seketika.“Ini loh. Abang masih terngiang-ngiang ucapan abang sendiri saat ijab qabul. Sampai sekarang masih tidak menyangka. Perempuan yang abang kagumi setiap hari berada di hadapan abang. Bahkan menemani abang tidur setiap malam.Ternyata Allah itu Maha Kuasa. Dalam sekejap Dia merubah skenario. Abang yang sudah pasrah dengan segala fitnah hingga harus menikahi Sarah,
“Sarah, Bang. Hampir bunuh diri. Hana berhasil menggagalkannya.” Rupanya itu suara Reyhan yang segera menghampiri saat mendengar suara istrinya berteriak meminta tolong. Reyhan mengira telah terjadi sesuatu pada gadis yang baru dinikahinya seminggu lalu. “Astagfirullah, abang cari bantuan dulu. Kamu jaga Sarah di sini. Ini ada kayu putih. Kamu oleskan saja.” Reyhan bergegas berlari menuju rumah Pak RT setelah menyodorkan kayu putih pada istrinya. Dengan telaten, Farhana membalurkan kayu putih ke beberapa bagian tubuh Sarah sebagai efek penenang. Napas tersengal Sarah berangsur-angsur menjadi normal. Kedua mata gadis itu terlihat sembab. “Aku sudah tak sanggup, Hana. Biarkan aku mati saja. Hidup pun takada guna bagiku.” Sarah meronta-ronta sambil mengisakkan tangis. “Istigfar, Sarah! Nggak boleh kamu berbicara begitu.” “Aku sudah berbuat jahat sama kamu, kenapa kamu masih bantu aku, Hana? Biarkan aku mati saja.” Sarah semakin meraung-raung. Diselingi tawa yang tiba-tiba. Entah sa