Mau sekuat apa pun Rian bersikeras untuk masuk, tetapi pada akhirnya ia tetap kalah. Galih sudah memberi arahan pada tim penjaga untuk tidak memberi akses masuk pada siapa pun yang tidak membawa kartu undangan. “Syah... Aku masih berharap ini hanya mimpi buruk, Syah...” Tubuh Rian mulai lelah karena sedari tadi menunggu di depan gerbang. Penampilannya saat ini acak-acakan. la bahkan rela bolos kerja demi menemui Aisyah. Penyesalan saat ini bergulung-gulung dalam relung dadanya. Andai saat itu ia tidak menuruti keinginan Indri, mungkin saat ini dirinyalah yang berbahagia di dalam sana bersama wanita pujaannya. Penyesalan tiada guna itu terus menghinggapi hati pria itu. Rian berdiri sembari menatap ke arah gedung yang masih penuh dengan tamu undangan. Di lihat dari luar saja terlihat jelas bahwa pestanya sangat meriah, apalagi jika masuk ke dalam. Lagi, Rian menghela napas berat. Rian tahu ini adalah wedding dream Aisyah yang dulu pernah ia bantah. 'Nggak usah aneh-aneh lah,
Di tengah kondisi Syahnaz yang sedang hamil, ia justru mengerjakan semua pekerjaan rumah seharian ini. “Mama kamu keterlaluan banget, Mas. Remuk badanku mengerjakan semua pekerjaan rumah seharian ini!” Syahnaz mendengkus kesal. la merasa di perlakukan layaknya babu di rumah sang suami. “Lho, bukannya kamu sendiri yang ingin mengerjakan pekerjaan rumah? Mama kan cuma bilang kalau pembantu sedang cuti karena di rumahnya ada hajatan,” Jawab Arman sama sekali tak merasa kasihan pada istrinya yang tengah mengandung buah hati pria itu. Entah mengapa, sejak mengetahui peringai buruk Syahnaz, cinta yang tadinya menggebu mendadak melebur begitu saja. “lya... Tapi kenapa Mama lama sekali perginya? Aku kira Mama cuma pergi sampai sore, tahunya sampai malam begini!” ujar Syahnaz bersungut-sungut. Arman menghela napas panjang, “Huft... Kan Mama perginya ke Batam, dia menghadiri resepsi pernikahan sepupu kamu itu,” ucap Arman membuat mata Syahnaz membelalak. “Maksud kamu pesta pernikaha
Keesokan harinya... Galih dan Aisyah tengah bersiap menuju bandara. Suasana rumah terasa sedikit ramai, tetapi hangat. Aisyah, dengan senyum penuh semangat, menggenggam tangan Galih erat dan berusaha menenangkan diri. ini pertama kalinya wanita itu akan naik pesawat. Perasaan campur aduk tak bisa ia sembunyikan. “Mas, kamu udah siap kan?” Tanya Aisyah sambil menatap Galih yang tengah memasukkan barang ke dalam koper terakhir mereka. Galih tersenyum kecil, matanya lembut menatap istrinya, “Sudah, Sayang... Kamu gimana? Masih deg-degan ya?” Aisyah mengangguk seraya tersenyum kecil, “Iya, Mas. Belum pernah naik pesawat soalnya, ada sedikit takut gitu rasanya.” Ungkap Aisyah, seumur hidup baru kali ini ia akan naik pesawat. Galih mengusap punggung tangan istrinya pelan, “Jangan khawatir, Sayang. Mas bakal selalu ada di samping kamu. InsyaAIIah semua akan aman...” Ucap Galih menenangkan sang istri. Aisyah mengangguk, meski hatinya masih di penuhi rasa kecemasan yang luar biasa. Tak
Syahnaz, wanita yang sedang mengandung dengan usia kehamilan tiga bulan itu, seharian ini merajuk lantaran Arman belum bisa menuruti keinginan yang di inginkan Syahnaz.Setelah mendengar Aisyah di ajak bulan madu ke London, tentu saja hati Syahnaz terbakar cemburu. la merasa di atas Aisyah dari segi mana pun. Namun, mengapa malah Aisyah yang mendapatkan semua keberuntungan tersebut.“Pokoknya aku mau kita juga bulan madu, Mas! Gak ada alasan bayi atau apa pun. Bahkan bayi ini senang kalau di ajak papa mamanya jalan-jalan,” Pinta Syahnaz sedikit memaksa, membuat Arman mengembuskan napas berat.“Tapi, cutiku sudah habis kemarin, Naz. Nggak mungkin aku minta cuti lagi!” Tolak Arman mencoba mencari alasan yang masuk akal.“Ish, kamu gak ada effort sama sekali, Mas. Harusnya sebelum kita nikah, kamu sudah merencanakan ini semua dong,” Syahnaz kembali mencebik kesal.“Hmm ... nanti aja ya, weekend kita jalan-jalannya,” ucap Arman.Kepala Arman terasa sedikit berat, sehingga malas untuk ribu
Pesawat mendarat di Bandar Udara Heathrow (LHR)...Mata Aisyah melebar, menatap ke luar jendela dengan penuh takjub. Hatinya berdebar-debar, karena ia tahu ini adalah awal dari perjalanan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Mas... Kita beneran di London sekarang??” bisiknya pelan, seakan tak percaya.Galih yang sedang mengamati ponselnya untuk memastikan rencana perjalanan mereka, tersenyum dan mengangguk, “Iya, Sayang... Selamat datang di London. Gimana rasanya akhirnya sampai di sini?” Tanyanya lembut.Aisyah menarik napas panjang, kemudian tersenyum lebar, “Rasanya aku seperti mimpi, Mas... Mimpi yang sangat indah. Tak pernah sekali pun membayangkan aku akan ke luar negeri. Jangankan luar negeri, luar kota aja aku jarang banget.” Ungkap Aisyah masih tak menyangka, saat ini dirinya sudah tiba di London.Galih tertawa kecil dan menggenggam tangan istrinya dengan lembut, “Mas janji... Nanti Mas akan sering membawa kamu dan anak-anak keliling luar negeri...” Ujarnya.Bibir mung
Setelah menghabiskan beberapa waktu menikmati keramaian Piccadilly Circus, mereka memutuskan untuk berjalan santai menuju Covent Garden. Di sana, mereka menikmati pertunjukan jalanan yang unik, mulai dari musik hingga aksi sulap yang membuat Aisyah terus terkagum-kagum.“Mas, mereka hebat banget! Aku belum pernah lihat hal kayak gini,” Aisyah tertawa riang, tepuk tangannya tak berhenti setiap kali ada aksi baru yang memukau.Galih tersenyum melihat kebahagiaan istrinya yang terpancar jelas. “Iya, orang-orang di sini memang kreatif. Dan aku senang bisa lihat kamu sebahagia ini, Sayang...” Ungkap Galih.Aisyah mengapit lengan Galih, menempelkan kepalanya ke bahu suaminya dengan lembut. “Aku bahagia banget, Mas. Semua ini berkat kamu...” “Kamu layak dapetin ini semua sayang...” jawab Galih, suaranya hangat dan lembut. “Mas cuma ingin kamu bahagia. Itu saja yang penting buat Mas...”Perjalanan hari pertama mereka berakhir di tepi Sungai Thames, di mana mereka duduk di bangku taman sambil
“Candu banget ya, Mas... sampai-sampai bikin lututku geter seperti ini?” cetus Aisyah membuat Galih seketika menyemburkan tawa. Galih mencubit gemas pipi istri cantiknya itu. Permainan menyenangkan itu pun tak dapat lagi di hindari. Mereka sama-sama kembali mereguk manisnya cinta yang sedang bermekaran di hati. Tak ada paksaan karena keduanya melakukan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Indah dan penuh kenikmatan. Setiap sentuhan yang di berikan Galih membuat Aisyah nyaman dan merasakan sensasi yang luar biasa. °°°°° Setelah kurang lebih lima hari berada di London, Aisyah benar-benar sangat puas. Semua tempat favorit di London sudah mereka jelajahi bersama. Tak terhitung juga berapa kali Aisyah keramas di sana. Terkadang Aisyah tertawa sendiri saat mengingat betapa beringasnya ia dan sang suami ketika berada di dalam kamar hotel. Dunia seolah tak mengizinkan pasangan suami istri baru itu menyia-nyiakan sedetik pun kesempatan bagi Galih dan Aisyah. “Bismillah... Pulang ke Indone
“Habis aja sudah untung, dia kok suruh kita nambah, rada-rada temenmu itu, Mas,” timpal Aisyah. Sejak tadi ia hanya diam menyimak obrolan dua lelaki di depannya. “Dia memang sangat loyal, Sayang. Gak jauh beda sama aku. Besok kita ke rumahnya ya, kamu kenalan sama istrinya biar bisa saling kenal.“ Pinta Galih. Aisyah mengangguk. Mereka pun mulai makan satu persatu menu yang tersedia. “Keknya kita makan yang mau di makan dulu aja deh, Mas. Jangan di cicip semua ya. Sisanya nanti di bungkus aja, karena sepertinya gak bakalan habis soalnya.” “lya, sayang. Kamu pilih aja mana yang mau di makan sama yang mau di bawa pulang.” Aisyah tersenyum, lalu dengan atusias ia mengambil flying chiken satu ekor yang sering ia lihat di konten mukbang para konten kreator. “Biar aku potekin, Sayang. Ini panas soalnya.” Senyum Aisyah seketika merekah saat Galih dengan sigap memotek ayam satu ekor itu untuk diirinya. Galih tampak juga kepanasan, tetapi ia berhasil memotek dua paha dan dua sayap agar
“Tante selalu mendoakan rumah tangga kamu dan Galih agar senantiasa harmonis, Syah.” ucap Rina seraya menengadahkan tangan, layaknya orang yang tengah berdoa dengan khidmat.Harusnya Galih dan Aisyah mengaminkan doa perempuan paruh baya itu. Namun setelah saling pandang selama beberapa kali, mereka sepakat bahwa Rina tidak tulus mendoakan pernikahan mereka. Tepatnya ada udang di balik batu dari sikapnya yang tiba-tiba sangat baik bak ibu peri itu.“Ada perlu apa Tante dan Syahnaz datang ke sini?” Tanya Galih lebih dulu, mendahului Rina sebelum kembali bertingkah penuh kepalsuan.Muak sekali rasanya jika harus menyaksikan sandiwara dari kedua manusia tidak tahu diri ini.“Aku sama Ibu akan jelaskan semuanya, tapi masa kita ngobrol di sini? Kenapa gak di dalem aja? Di sini panas tau,” keluh Syahnaz mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk mengusir rasa panas.Meski di sekelilingnya memang sejuk, tetapi semua pepohonan yang ada di halaman rumah Galih tidak bisa menghalangi panasnya cah
“Ini beneran rumahnya Galih, Syahnaz?” Tanya Rina masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya itu. Bola mata Rina melebar karena takjub.Syahnaz sendiri sampai mengerjap beberapa kali, juga mengecek kembali alamat yang di berikan wanita tadi padahya.Semuanya benar, tak ada yang salah. Syahnaz semakin menyimpan kedengkian pada Aisyah, karena dari luar saja, rumah tersebut tampak sangat besar dan mewah.Pagar yang tinggi dan kokoh, terkesan angkuh seakan menandakan tidak sembarang orang bisa melewatinya. Syahnaz berkali-kali menelan saliva, membayangkan betapa mewah dan lengkapnya fasilitas yang ada di dalam rumah tersebut.“Bahkan rumah Mas Arman dan keluarganya, masih kalah jauh sama rumah ini, Bu,” Ucap Syahnaz pelan, teringat pada rumah yang di kuasai oleh Tiara.“Itu artinya Galih lebih kaya dari Arman, Naz!” seru Rina setengah memekik.Syahnaz mengangguk, mengakui perkataan ibunya yang memang benar. Kekayaan Arman masih kalah jauh dengan kekayaan yang Galih miliki
“Kita udah banyak ngeluarin biaya buat sampai rumahnya Galuh, Bu. Awas aja kalau nanti kita gak dapat hasil apa-apa,” Ucap Syahnaz ketika berada di dalam angkot.Sungguh, sebenarnya ingin sekali Syahnaz turun dari angkot ini dan memesan taksi online saja, tetapi lagi-lagi uang lah yang menjadi kendalanya.“Iya, kamu jangan terpancing emosi nanti. Kita harus bisa ambil hati Aisyah dulu, terutama Galih. Karena Galih adalah kuncinya. Ibu gak peduli dari mana hartanya itu, mau dari money loundry kek atau hasil ngepet juga. Yang penting Ibu dapat kebagian uang mereka, dan paling pentingnya bapakmu harus bebas, Naz!”Syahnaz mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau perlu nanti kita nangis-nangis aja di depan Aisyah. Gak apa-apa deh ngerendahin diri dikit, asalkan bisa membuat Aisyah luluh sama kita.” Tambah Syahnaz.Rina tersenyum lebar, kali ini rencananya tak boleh gagal lagi.“Eh, Bu. Tapi kok tadi karyawannya Galih mau ngasih tau kita alamatnya ya? Yang lain aja pada diem,” Tanya Syahnaz terh
“Aduh, maaf Bu... Saya gak tau di mana rumah Pak Galih. Saya di sini cuma sebatas kerja aja.” Akhirnya Agus mengucapkan kalimat yang membuat Syahnaz dan Rina tampak kecewa. Dua raut wajah wanita itu juga langsung berubah masam. Namun, Agus sama sekali tidak peduli. Masa bodoh kalau saat ini, mereka kesal pada dirinya. “Bapak jangan bohong sama kita!” Syahnaz menekan kata demi kata. Matanya tajam menatap ke arah sang tukang parkir. “Untuk apa saya bohong?” Agus meninggalkan Syahnaz dan Rina lebih dulu, sebab ada satu mobil pelanggan yang masuk. Memang lebih baik menunaikan pekerjaan, daripada terus berdiri di depan dua wanita, yang sepertinya akan berkata kasar padanya. “Gimana ini, Bu?” Tanya Syahnaz seraya menatap Agus dengan sorot mata yang masih kesal. “Kita masuk ke dalem aja, Naz. Kita desak pegawai yang ada di sana.” Ujar Rina, tak akan menyerah. Syahnaz mengangguk. Sekarang, keduanya benar-benar masuk ke dalam kedai dan menghampiri meja kasir. “Mbak, kasih tau kita di m
“Ini semua karena Aisyah!” Ucap Rina dan Syahnaz tiba-tiba serentak. Rina dan Syahnaz kini saling pandang, paham dengan apa yang mereka pikirkan tanpa mengutarakan yang di rasakan masing-masing. “Nah... Awal permasalahan ini karena Aisyah kan, Bu? Bukan gara-gara aku?” Ucap Syahnaz mempengaruhi Rina agar menyalahkan Aisyah. Rina seketika mengangguk penuh keyakinan, “Kamu betul, Naz. ini semua gara-gara si Aisyah!” timpal Rina begitu geram. “Kalau aja Aisyah nikah sama Juragan Bram, kehidupan kita gak akan sengsara seperti ini! Ibu pasti udah punya rumah bagus, karena Juragan Bram begitu royal sama orang-orang yang ngasih dia keuntungan!” Senyum Syahnaz akhirnya terukir lebar. Baguslah kalau Rina menyadari Aisyah punya andil besar dalam memporak-porandakan keluarga mereka. Dirinya bisa terselamatkan dari kecaman sang ibu yang tak ada habisnya. “Nah iya, Bu. Buat apa si Aisyah nikah sama Galih? Dia memang orang kaya, tapi apa untungnya buat kita? Tambah Syahnaz semakin mengompori a
Di rumah besar itu, Fadil sudah kembali ke pelukan kakak tercintanya. Dengan air mata berlinang, Aisyah langsung memeluk Fadil dengan erat. la sungguh bahagia dan lega, karena adik semata wayangnya itu berhasil selamat dan tak kurang satu apa pun saat kembali ke rumah. “Makasih ya, Mas... Makasih karena kamu udah bawa pulang Fadil dalam keadaan selamat,” Ucap Aisyah tak bisa berkata apa pun lagi. “lya, Sayang, sudah tugasku melakukan yang terbaik buat keluarga kita.” Jawab Galih. Fadil melepas pelukannya pada Aisyah, lalu menatap ke arah Galih, “Mas Galih, aku juga mau bilang makasih. Kalau gak ada Mas Galih_” “Sudahlah, Dil, tidak usah di ingat-ingat lagi kejadian yang tadi,” potong Galih, saat menyadari raut wajah adik iparnya tampak tidak nyaman ketika ingin membicarakan kejadian tadi. Akhirnya Fadil mengangguk dan menerima segelas susu hangat yang di berikan oleh Renita. “Bagaimana bisa Fadil ada di tangan mereka sih, Galih?” Tanya Renita begitu penasaran sekaligus geram buk
Kedua istri Juragan Bram itu sudah berada di kantor kepolisian. Kedatangan mereka ke kantor tersebut, tentu untuk membebaskan sang suami yang saat ini tengah mendekam di balik jeruji besi.“Lakukan apa pun supaya suami kita bebas!” Ucap Arni, istri pertama Juragan Bram dengan tegas.Fira mengangguk saja. Tak perlu di suruh pun, tentu ia akan mengusahakan segala cara agar suaminya bisa di bebaskan dari kantor itu.“Pak, kami mau melihat suami kami yang baru saja di tahan!” Ujar Fira pada polisi yang bertugas.Polisi yang sedang duduk di meja itu mengerutkan kening sebentar. “Suami yang mana, Bu?” Tanyanya.Kemudian Arni menceritakan ciri-ciri juragan Bram pada polisi tersebut, dan menjelaskan atas kasus apa Juragan Bram sampai bisa di tahan. Petugas polisi pun lantas menganggukkan kepala, kemudian meminta Arni dan Fira untuk duduk di ruang tunggu.Tak lama setelah itu, polisi yang tadinya masuk mengecek juragan Bram, kini sudah keluar dan duduk kembali di meja kerjanya.“Maaf Bu... Se
“Ibuu...” Teriak Syahnaz, panik melihat Rina yang tersungkur ke lantai.“Ini semua pasti cuma mimpi kan, Naz? lbu hanya mimpir buruk kan??” Tanya Rina dengan suara lemah, dirinya masih belum bisa mempercayai fakta yang baru saja di katakan putri semata wayangnya.Detik berikutnya, wanita paruh baya itu pun terpejam, Rina pingsan saking terkejutnya dengan fakta perceraian Syahnaz.Syahnaz seketika panik, ia segera meminta tolong pada tetangganya. Membawa sang lbu ke rumah sakit bukan pilihan yang tepat karena pasti nanti akan memakan banyak biaya. Syahnaz memang masih memegang uang, tapi anak itu sangat perhitungan.“Bawa masuk ke dalam kamar saja, Pak! Paling lbu pingsan biasa, biar nanti saya Olesi pakai minyak kayu putih,” Titah Syahnaz.Para tetangga yang berdatangan membantunya pun segera membopong tubuh gempal Rina masuk ke dalam kamar.“Astaga, berat sekali ibumu ini, Syahnaz,” Ketus salah seorang yang membopong Rina, dengan napas ngos-ngosan.“Betul! Kebanyakan dosa kayaknya,”
‘Dasar! Ibu malah makin menjadi-jadi! Harusnya tunggu Mas Arman ngomong duluan, ini malah nyerocos aja kayak gitu! Pasti aku lagi yang kena getahnya!” rutuk Syahnaz sangat sadar, dirinya akan di timpa masalah lain karena ucapan Rina yang sangat menyebalkan dan tinggi hati.“Syahnaz bilang gitu sama Ibu?” Tanya Arman, memastikan kembali.Rina segera mengangguk. “Iya... Bahkan Syahnaz janjiin sendiri sama Ibu dan Bapak, kalo kamu akan merenovasi rumah ini.”Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah ini, Arman baru tersenyum. Namun, jelas bukan senyum bahagia yang terukir, melainkan senyum getir sebab perempuan yang di nikahinya memang punya mulut besar yang senang berucap dan mengumbar janji sembarangan.Perkara ini harus di luruskan dengan secepat mungkin. Tak boleh di biarkan begitu saja. Arman harus menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya pada Rina, agar perempuan paruh baya itu berhenti berharap lebih padanya.“Maaf, Bu... Tapi tujuan saya datang ke sini bukan mau ngasih Ibu dan