"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
Sesudah semua tamu pulang, tak lama kemudian keluarga Satrio juga pulang. Sementara keluarga Isha yang baru pertama kali datang ke rumah mewah itu masih betah di sana. Lina berkeliling sambil mengambil foto dan video di hampir setiap sudut rumah, termasuk di kolam renang yang ada di belakang rumah. Sementara itu Baskoro, Vita, Isha, dan Satrio duduk bersama di ruang tengah karena ruang tamu masih dibereskan. “Apa sebenarnya yang mau kamu bicarakan sama Bang Satrio, Vit?” lontar Isha setelah beberapa saat mereka duduk tapi Vita tak juga berbicara.Baskoro menoleh pada putri bungsunya dengan kening mengerut. Dia sama sekali tidak tahu kalau Vita ingin bicara dengan Satrio. Pria paruh baya itu duduk di sana karena diminta Satrio sembari menunggu istrinya yang masih sibuk mengambil foto dan video.“Kamu ada perlu apa sama Satrio, Vit?” Pria yang mengenakan kopiah warna hitam itu ikut bertanya pada sang putri bungsu.Vita tampak gugup. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya saling terkait
“Bang, hapenya bergetar tuh. Kayanya ada pesan masuk.” Isha memberi tahu Satrio yang sedang menyetir. Mereka sedang dalam perjalanan ke rumah Krisna untuk makan malam bersama sekaligus menginap di sana.“Tolong dibukain, Dek,” pinta Satrio yang tak pernah menyembunyikan apa pun dari istrinya.Isha lantas mengambil ponsel suaminya yang diletakkan di dashboard. Keningnya mengerut kala membaca nama sang pengirim pesan. Dia lantas membaca pesan tersebut dengan keras agar Satrio mendengar. “Bang, setelah seminggu ini berpikir, aku memutuskan menyelidiki Mas Surya. Aku siap dengan segala konsekuensinya. Tolong bantu aku ya, Bang,” ucap Isha.“Itu dari Vita, Dek?” tanya Satrio memastikan.Isha mengangguk. “Iya, Bang. Seingatku Bang Satrio minta Vita hubungi aku kalau dia jadi menyelidiki Surya. Kenapa langsung hubungi Bang Satrio?” Dia merasa heran pada adik tirinya itu.Satrio mengangkat kedua bahunya. “Abang juga ga tahu. Mungkin dia lupa, Dek,” timpalnya.“Baiknya aku balas atau langsung
“Astaghfirullah.” Isha mengucap istighfar berulang kali sambil mengelus dada. Dia syok setelah Satrio mengungkap hasil sementara penyelidikan Surya. “Dek, tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Nanti kalau penyelidikannya sudah selesai, baru kita kasih tahu Vita dengan didampingi Bapak dan Ibu atau salah satu dari mereka karena Vita butuh dukungan dari orang terdekat untuk menghadapi dan menerima kenyataan,” pinta Satrio.Isha mengangguk. “Iya, Bang. Aku ga nyangka ternyata Surya bisa setega itu sama Vita. Padahal mereka udah pacaran lama dan belum lama nikah, tapi kok sudah selingkuh aja. Mana si Vita lagi hamil juga,” cetusnya.“Aku bisa bayangin gimana hancurnya perasaan Vita setelah tahu Surya selingkuh. Aku yang ga ngalamin aja rasanya sakit banget, apalagi dia.” Isha lantas menoleh pada suaminya. “Setiap hari aku selalu berdoa semoga Allah selalu menjaga hati dan pandangan Bang Satrio dari hal-hal yang haram. Dan kita bisa jadi pasangan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhira
“Ya, apa istrimu ga curiga kamu tiap hari pergi?” tanya Ike saat Surya memberi sentuhan di lehernya.Surya sontak menghentikan kegiatannya. Dia mengangkat kepala lantas menatap wanita yang berbaring di bawahnya. “Bisa ga kamu jangan ngomongin dia kalau kita sedang bersama, Ke? Bikin ilang mood aja!” protesnya.Ike tersenyum lantas mengelus wajah Surya dengan tangan kanannya. “Kenapa? Aku ‘kan cuma ngomongin apa yang ada di pikiranku,” timpalnya.“Kalau jadi istrimu, aku pasti curiga karena kamu sering pergi dari pagi sampai malam di hari libur,” sambung wanita yang mengenakan lingerie berwarna hitam itu.Surya menegakkan badan. Dia menyugar rambutnya yang berantakan karena ulah tangan Ike saat mereka tadi berciuman. “Kalau kamu ngomongin itu terus, lebih baik aku pulang saja,” ucapnya.“Eh, mau ke mana?” Ike menahan tangan Surya saat pria itu akan berdiri.“Pulang,” sahut Surya dengan dingin.“Kamu ngambek beneran, Ya?” Ike bangun lalu duduk menghadap Surya. “Ya udah, aku ga akan ngo
“Jadi selama ini kamu bohongi aku, Mas? Pamitnya ketemu teman-teman kuliah buat bahas reuni, tapi ternyata reuni berdua di apartemen?” Vita membuka pembicaraan saat mereka sudah tiba di rumah orang tua Surya. Mereka sengaja bicara di sana agar kedua orang tau Surya juga tahu permasalahan yang ada, tidak hanya orang tua Vita.“Sebenarnya ada apa ini?” tanya mama Surya yang merasa penasaran karena kedua besannya tiba-tiba datang ke rumah berbarengan dengan putranya dan Vita.“Mas Surya selingkuh sama teman kuliahnya, Ma. Aku tadi memergoki mereka di apartemen selingkuhannya,” jawab Vita tanpa mengalihkan tatapan tajamnya pada Surya.“Apa? Selingkuh?” Mama Surya tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Begitu juga papanya.“Surya, apa benar apa yang dikatakan Vita?” Papa Surya langsung bertanya pada sang putra.“Aku khilaf, Pak,” sahut Surya sambil menunduk. Lebih baik dia mencari jawaban yang aman agar tidak mendapat amukan dari kedua orang tuanya.“Apa? Kamu bilang khilaf, Mas? Kalau
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t