Share

Ban 195

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 23:33:47

“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.

Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.

“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.

Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.

“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.

Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.

“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.

“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 1

    "Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan di kontrakanku ini!?" Teriakan seorang pria membangunkan Isha dan Satrio yang tertidur di ruang tamu."Bisa-bisanya kalian berzina di sini!" tuduh sang pemilik kontrakan sambil berkacak pinggang.Kesadaran Isha dan Satrio langsung terkumpul begitu mendengar tuduhan tersebut. Keduanya sontak berdiri. Satrio membenarkan ikatan sarungnya yang tidak sempurna, sementara Isha mengancingkan bagian atas kemeja yang terbuka dan menutupnya dengan hijab yang tadi tersingkap.Kedua orang itu membelalakkan mata begitu menyadari beberapa warga melihat mereka dengan sorot mata tajam dan penuh amarah. Membuat Isha jadi bergidik."A-apa?! Zina? Itu tidak benar, Pak! Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!" sahut Isha dengan panik.“Jangan mengelak! Buktinya sudah jelas! Lihat! Kamu saja memakai baju Satrio!” Pemilik kontrakan itu menunjuk kemeja yang dikenakan Isha.Gadis berusia 25 tahun itu melihat pakaiannya. Dia baru ingat memakai kemeja Satrio karena kem

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 2

    “Apa? Menikah?” teriak Isha dan Baskoro bersamaan.Satrio sebenarnya juga sangat terkejut, tapi dia tetap terlihat tenang. Pria berambut ikal hanya melirik Isha dan Baskoro tanpa bersuara.“Iya, Nak Isha dan Nak Satrio harus menikah sekarang. Kalau tidak kalian harus pergi dari sini,” sahut Pak RT.Isha menggeleng berulang kali. “Aku tidak mau menikah, Pak,” ucapnya pada Baskoro.“Pak RT dengar sendiri apa yang dikatakan anak saya! Dia tidak mau menikah. Saya juga tidak setuju Isha menikah dengan pengangguran seperti Satrio,” timpal Baskoro seraya menunjuk pemuda berambut ikal itu dengan dagunya.“Kalau begitu Nak Isha dan Nak Satrio akan diarak dan diusir dari kampung ini,” sahut Pak RT.“Harusnya Satrio saja yang diarak dan diusir! Selama ini anak saya baik-baik saja dan tidak pernah macam-macam. Kalau tidak karena pengangguran itu, mana mungkin anak saya seperti ini.” Baskoro membela anaknya.“Tetap saja Isha melakukannya dengan Satrio. Tidak adil kalau Satrio saja yang dihukum. Me

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 3

    Pria berambut ikal sebahu itu seketika menoleh pada pemilik kontrakan. Satrio pikir masalahnya selesai begitu menikah dengan Isha, ternyata masih saja ada. Di mana dia dan istrinya akan tinggal kalau begini?“Bawa barang-barangmu ke sini! Kalian lebih baik tinggal di sini daripada harus mencari kontrakan lagi.” Belum sempat Satrio menimpali, Baskoro sudah berbicara terlebih dahulu dengannya.“Ya, Pak. Terima kasih.” Satrio menghela napas lega karena masalah tempat tinggal sudah mendapat solusi.“Is, bantu Satrio berkemas,” titah Baskoro pada putrinya. Walau sebenarnya masih tak rela Isha menikah dengan Satrio, tapi dia tidak tega membiarkan putri sulungnya itu tidak punya tempat tinggal.Isha mengangguk kemudian ikut Satrio ke kontrakan. Tak banyak barang milik pria itu. Hanya pakaian dan alat makan saja. Barang eletronik juga tak punya. Jadi tak butuh waktu lama untuk berkemas.“Ini kuncinya, Pak. Terima kasih sudah mengizinkan saya mengontrak di sini. Mohon maaf atas segala salah da

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 4

    “Dek, bagaimana?” Pertanyaan Satrio membuat kesadaran Isha kembali. Gadis itu kembali menatap Satrio. Dia masih merasa bimbang. “Apa Dek Isha ragu?” Satrio berusaha menyelami perasaan gadis di depannya melalui mata bening yang memandangnya. Isha mengangguk pelan. “Maaf, Bang. Semua ini terlalu mendadak. Aku—aku belum bisa memutuskan,” ungkapnya sambil menunduk. Satrio menghela napas panjang. “Abang ngerti, Dek. Pernikahan kita mendadak. Kita juga tidak saling cinta. Apalagi pekerjaan Abang tidak jelas. Wajar kalau Dek Isha merasa ragu.” “Maaf, Bang.” Isha jadi merasa tak enak hati. “Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, Dek? Anggap saja kita baru jadian dan sekarang sedang pacaran.” Satrio menawarkan opsi baru. “Abang tidak akan meminta hak sebagai suami sampai Dek Isha yakin dengan pernikahan kita,” imbuhnya. Isha berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi Bang Satrio jangan terlalu berharap sama aku.” Pria berambut ikal itu mengulum senyum. “Terima kasih, Dek.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 5

    Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya. "Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu. Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya. "Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri. "Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio. Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio. Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya. Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal. Satr

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 6

    "Ibu boleh tahu karena itu bukan rahasia. Tapi sekarang sudah malam, jadi ditunda besok saja sekalian sama Bapak. Dek Isha juga capek karena baru pulang dari kerja. Kami permisi ke kamar dulu, Bu." Satrio menarik tangan sang istri lantas mengajaknya masuk kamar. "Itu tadi Bang Satrio ngasih ibu uang sepuluh juta?" Isha memastikan saat mereka sudah di dalam kamar. Satrio mengangguk. "Iya, Dek. Buat berbagi makanan sama belanja." "Kebanyakan itu, Bang. Nanti sisanya pasti diambil Ibu," protes Isha seraya meletakkan tasnya di atas meja rias. "Gapapa. Anggap saja uang lelah buat Ibu yang sudah mengurus semuanya." Satrio kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sana. "Ini untuk ganti uang yang tadi Abang pinjam, Dek." Dia menyerahkan uang itu pada Isha. "Tidak usah dikembalikan, Bang. Lagian aku juga tidak punya kembalian." Isha tidak mau menerima uang tersebut. Satrio menggeleng. Dia meraih tangan Isha lantas meletakkan uang itu di atas

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 7

    Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya. Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya.“Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya.Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya.“Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Ap

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 8

    Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-28

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Ban 195

    “Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 194

    Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 193

    Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 192

    "Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 191

    “Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 190

    "Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 189

    "Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 188

    “Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 187

    “Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status