***
Lelaki dengan perawakan tinggi itu berjalan mendekati Anita. Dia bersimpuh di depan wanita yang baru sehari menjadi istrinya tapi teror bahkan sudah mulai bertebaran. Digenggamnya jemari Anita yang terasa begitu dingin. Perlahan-lahan Anita mengangkat kepala menatap kedua mata Bagas yang terlihat sayu. "Kamu tidak akan percaya pesan murahan itu kan, Mas?"
Bagas mengulas senyum tipis sambil mengusap-usap punggung tangan Anita. Rasa percaya untuk istrinya memang terisi penuh, tapi tetap saja mendapat teror di hari pertama dia menjalani peran sebagai suami membuat otak Bagas sedikit tidak bisa menahan emosi.
"Apa aku terlihat meragukan kamu, Sayang?"
Anita bergeming sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Bahkan jika pesan misterius itu benar sekalipun, bukankah itu hanyalah sebagian dari masa lalu kamu?"
Luruh sudah air mata Anita di depan suami dan semua keluarganya. Entah mengapa, ucapan Bagas seolah memberikan rasa per
***Sea menggelengkan kepalanya samar mendengar tuduhan yang keluar dari mulut Bagas. Halimah gegas menarik lengan putranya dan ....Plak ....Satu tamparan mendarat sempurna hingga mencetak bekas kemerahan. Dada Bagas naik turun menahan emosi karena sikap Halimah yang terkesan tengah membela Sea saat ini. Sementara Anita menutup mulutnya menyembunyikan teriakan karena terkejut."Ibu tidak pernah mendidik kamu menjadi pria yang kurang ajar, Bagas!" Suara Halimah mendominasi di ruangan. Haryati dan Leha selaku wanita paling tua di rumah ini hanya bisa menatap nanar keributan yang terjadi. Fisik mereka yang ringkih membuat emosi mudah sekali terkuras. "Apa kamu punya bukti jika Sea adalah pelaku teror ini, hah?""Ibu membela dia?""Tidak ada yang Ibu bela disini!" sahut Halimah sedikit berteriak. "Kamu punya bukti jika Sea adalah pelakunya? Punya, Nak?"Bagas membuang muka. Mendapat teror yang tiba-tiba membuat pikirannya menjadi kacau. "Jika ingin menyerang seseorang, minimal cari bukt
***"Kamu sudah bawa yang kuminta, Fred?"Fredi mengangguk ketika Bagas menanyakan sesuatu yang harus dia beli. "Ada di dalam mobil, Pak. Lebih baik kita bicarakan ini di dalam rumah. Pelaku teror bisa dari orang-orang terdekat sekalipun," kata Fredi sambil melirik keadaan sekitar rumah Bagas. Bagas mengangguk. Dia mempersilakan Fredi duduk di ruang tamu bergabung bersama dia dan Anita. "Teror seperti apa yang Bapak dapatkan?"Bagas menyerahkan kotak berisi lingerie berdarah ke hadapan Fredi. Lelaki itu membuka tutup kotak dan betapa terkejut melihat lendir berwarna merah yang mewarnai baju tipis ala pengantin baru itu."Apa maksutnya, Pak?"Bagas menggeleng bingung. "Entah. Yang jelas dalam kotak itu ada sepucuk surat yang mengatakan hal buruk tentang Anita."Fredi memungut selembar kertas yang Bagas maksut. Lagi-lagi lelaki yang sudah menjadi orang kepercayaan Bagas itu membelalak. "Bu Anita punya mantan?""Ya. Jauh sebelum berhubungan dengan Mas Bagas, Fred," aku Anita. "Tapi dia
***"Menginap saja di sini, Se. Lagipula Tirta belum ada tanda-tanda akan pulang."Sea nampak berpikir hingga kemudian dia bersuara. "Lain kali saja, Ma. Tadi belum sempat pamit Ibu kalau mau kesini. Ya?"Astri mengangguk kalah. Dia tidak punya hak penuh untuk menahan Sea tinggal bersamanya barang sehari. Tentu saja Gina dan Tomi tidak mengijinkan mengingat Sea adalah putri satu-satunya yang begitu dilindungi."Minimal temani Mama sampai nanti malam, Mama bosan sendirian di rumah.""Baiklah," sahut Sea tidak masalah. Toh di rumah pun dia tidak ada kesibukan lain, yang ada justru bayangan wajah Tirta berkelebatan di matanya. "Sebelum jam 20.00 malam aku harus pulang. Mama tidak masalah?""Tentu, Nak. Nanti Mama antar, tidak boleh menolak!"Sea terkekeh. Dia terpaksa mengangguk untuk yang kesekian kalinya terhadap paksaan Astri. Keduanya terlihat seperti Ibu dan anak kandung, padahal tidak ada hubungan darah sedikitpun diantara mereka.Menjelang sore hari, Sea membersihkan diri setelah
***|Pengendara berhenti tepat di depan rumah Bu Diah. Sikapnya mencurigakan, tapi belum ada tanda-tanda ....|Ucapan Fredi terhenti saat kedua matanya menatap sesosok pria dengan jaket dan helm hitam melekat di tubuhnya itu mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. |Fokus kalian semua!| ucap Bagas menegang. Vano tiba-tiba ikut duduk di sebelah putranya seraya menatap layar laptop yang sejak tadi terlihat memantau pergerakan orang di luar sana.|Target semakin mendekat. Ada kotak berwarna hitam di tangannya, Pak. Apa kita keluar sekarang?||Lakukan sesuai rencana, Fred. Aku mau kalian menangkap dia hidup-hidup agar kita tau siapa dalang di balik ini semua|Percakapan mereka terhenti. Lelaki berperawakan tinggi dengan otot kekar yang disembunyikan di balik jaketnya terlihat celingukan memantau keadaan sekitar. Ada beberapa pengendara yang lain namun tidak mencurigakan bagi mereka. Kini fokus anak buah Bagas hanyalah pada sosok yang ternyata ....|Brengsek! Dia ke rumah Bu Diah. Bukan
***"Bawa kotak yang sempat dilemparkan ke depan rumah. Bawa kesini secepatnya," pinta Vano pada salah satu anak buah sewaannya."Baik, Pak!" Lelaki bernama Riki itu berlari menuju rumah Vano, tepat di halaman rumah teronggok sebuah kotak dengan ukuran yang lumayan besar. Melihat ada orang lain yang menginjakkan kaki di depan rumah, Anita sontak keluar dan bertanya. "Apa itu juga salah satu bentuk teror mereka?"Riki mengangguk. "Sepertinya begitu, Bu. Saya diperintahkan Pak Vano untuk membawa kotak ini kesana." Dia menunjuk rumah Diah, dimana di sana sedang berdiri beberapa lelaki dan juga Bu Diah yang terlihat gemetaran takut. Saat Anita hendak melangkah keluar, Halimah mencekal pergelangan tangan menantunya dan menggeleng samar. Menurut, Anita berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. Jika Halimah melarang, maka tentu wanita paruh baya itu memiliki alasan yang kuat."Ibu tidak ingin tau siapa yang sudah memberikan teror kepada kami?"Halimah duduk di sebelah Haryati sementara Leh
***"Ma, kayanya aku butuh waktu. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tidak setuju ....""Buang pikiran buruk kamu, Se," tegur Tirta sinis. "Aku tau aku bukan laki-laki baik, tapi demi kamu aku akan berusaha menjadi lelaki yang bertanggung jawab, aku pastikan Ayah pasti setuju.""Tapi ...."Astri menggenggam jemari Sea dengan erat. Ketiganya kini tengah menyusuri jalanan menggunakan mobil Tirta menuju rumah Sea. Jantung wanita cantik itu berdegup semakin kencang, tangannya mendadak berkeringat dingin kala membayangkan lelaki yang dia cintai meminta restu untuk meminangnya. Berkali-kali Sea terlihat menarik napas panjang. Berulang kali pula wanita itu mengembuskannya perlahan berharap ketakutan di dalam dada berangsur lebur seiring dengan bergantinya udara di dalam rongga."Gugup?" tanya Astri gemas. "Hal seperti ini memang sudah biasa terjadi pada semua wanita, Se. Tenanglah, Mama percaya kalau Tirta pasti memperjuangkanmu."Sea mengangguk setuju. Tirta pasti memperjuangkan dirinya bagaiman
***Tubuh Tirta tergeletak dengan luka lebam di sekujur tubuh dan wajahnya, sementara Astri pingsan di kursi belakang karena belum juga sempat dia keluar untuk mengikuti langkah Sea yang terseok-seok, salah seorang preman sudah lebih dulu membekuknya hingga tidak sadarkan diri. Hampir dua menit lamanya keduanya terjebak dalam ketidaksadaran. Tirta menggeliat, tubuhnya terasa remuk redam akibat pukulan demi pukulan dia terima. Belum lagi bibirnya yang pecah, pelipisnya yang berdarah juga kepalanya yang terasa nyut-nyutan ketika kedua mata dipaksa untuk terbuka."Mama ...."Tirta menoleh ke kanan dan kiri. Kesadarannya pulih seketika saat dia menatap jalanan sekitar yang masih juga sepi tanpa pengendara satupun yang lewat.Aneh, batin Tirta. "Ma ...." Tirta meringis saat berusaha berdiri. Matanya membelalak ketika menangkap sosok wanita paruh baya tergeletak di dalam mobil dengan posisi pintu yang terbuka."Ck! Brengsek kamu, Nay!" umpatnya lirih. Kedua matanya memanas saat dirinya ti
***"Sebenarnya ini bukan jam kerja kita, Gas. Hanya saja karena Vano adalah teman baik kami, mau tidak mau kami datang untuk mengurus cecunguk ini," celetuk Nando sarkas. "Kita bisa langsung jebloskan dia ke penjara karena ada banyak bukti dan saksi."Lelaki yang terduduk lemah itu menggeleng samar. "Tolong ... anak dan istri saya hanya berdua di rumah. Tolong lepaskan saya, Mas Bagas ... saya ... saya hanya menjalankan misi karena tergiur dengan bayaran tinggi."Rahang Bagas mengeras. Jika pelaku begitu khawatir dengan keluarganya lalu bagaimana bisa dia mempunya pikiran untuk menghancurkan keluarga orang lain?"Ck, pengecut! Pria macam apa yang memberi makan anak dan istri dengan uang haram?" sindir Bagas. "Jangan memelas, kami bukan kalangan orang-orang yang mudah terpedaya. Penjarakan saja, Bang. Setelah dia, aku pastikan otak dari teror ini akan tertangkap!""Oke," sahut Nando tanpa basa-basi. Dia membawa orang suruhan Seila ke dalam mobil polisi. Pria itu meraung-raung meminta
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,