"Rey, jangan mengambil keputusan disaat emosi," tegur Bu Sur. Kekejaman mulut yang selama ini kerap ia lontarkan di depan banyak orang seketika menguap begitu saja. Bu Sur tidak berdaya menghadapi permasalahan yang terjadi apalagi rumah yang mereka tempati kini berada dalam pengawasan Bank. "Kamu tau kan, Rey, kalau rumah kita dalam pengawasan Bank. Kalau kamu dipenjara, bagaimana Ibu bisa bayar cicilan rumah?"Reyhan menarik ujung bibirnya sinis. Sejak dulu sampai kini, ia hanya dianggap sebagai mesin uang, bukan menantu apalagi anak sendiri. "Gampang, Ibu suruh saja anak Ibu yang cantik itu untuk jual diri," dahut Reyhan enteng. "Bukankah dia cantik, tidak sulit baginya untuk memikat pria-pria hidung belang.""Jaga mulutmu, Mas!" bentak Hesty. "Aku masih punya harga diri, kau pikir aku se-hina itu, hah?!"Bu Sur lagi-lagi mengurut kening yang makin terasa pening. "Rey, pikirkan anak kalian. Dia masih bayi, masih butuh orang tua lengkap.""Ibu ini kenapa sih?" gerutu Hesty tidak sen
"Mbak Hesty yakin kalau Bu Saroh bilang begitu?" Maya pura-pura terkecoh. "Siapa tau kamu salah dengar, Mbak," ucapnya lagi."Aku ini masih muda, Mbak Maya, mana mungkin salah dengar. Nih buktinya aku bela-belain keluar tenaga buat bantu acara syukuran tiga bulanan kamu. Sekarang kamu tau kan, Mbak, bedanya memperkerjakan ART muda sama ART tua," katanya menggebu-gebu.Maya manggut-manggut menatap wajah Hesty yang nampak sekali puas menghasut dirinya. "Bu, Bu Saroh!" Bu Saroh yang terlihat mondar-mandir di ruang tamu pun menoleh. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati Maya dan menelisik Hesty yang berdiri pongah di samping majikannya. "Ada apa, Mbak? Apa suguhannya kurang?" tanya Bu Saroh. Maya menggeleng. "Bu Saroh dari mana saja?"Bu Saroh kaget. Untuk pertama kalinya Asisten Rumah Tangga Maya itu terlihat pucat sebab suara majikannya yang terdengar ketus."Ini kenapa Mbak Hesty dibiarkan bantu-bantu, Bu? Dia tamu loh," ucap Maya. "Loh, anu ... eh, saya ....""Mbak May, sudah ja
Keesokan harinya... "Hes ... Hesty!"Hesty yang baru saja bangun dibuat kaget dengan teriakan Sang Ibu. "Hesty, bangun!" teriak Bu Sur lagi.Dengan langkah malas dia membuka pintu kamar dan mendapati Sang Ibu sudah berdiri dengan rambut acak-acakan serta kedua matanya sembab."Ada apa sih, Bu?" Hesty menggerutu. "Ini masih pagi loh!""Pagi gundulmu!" hardik Bu Sur marah. "Anak orang lain sudah pada berangkat kerja tapi kamu malah baru bangun. Ingat, Hes, sekarang kamu sudah nggak punya suami, siapa yang mau nanggung semua biaya kamu sama anakmu itu!" "Ck!" Hesty berdecak. "Kenapa teriak-teriak, cuma mau bangunin aku dan ngingetin kalau aku harus kerja karena sudah nggak punya suami?"Bu Sur seketika mengingat tujuannya. "Bukan, Hes! Itu ... itu ... kalung sama gelang ibu ... hilang!""Hah?!""I-- iya. Hilang!""Ibu nggak salah naruh kan?" selidik Hesty. "Mungkin ada di lemari.""Justru itu, semua perhiasan memang selalu ada di dalam lemari, Ibu sudah jarang pakai karena takut diambi
Hesty memekik kaget. "Bapak gila? Mobil itu aku beli dengan harga 70 juta dan Bapak lepas cuma 35 juta?!"Pak Bambang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sementara Bu Sur megap-megap mendengar gelang dan kalungnya yang ternyata dicuri suami sendiri."Ya gimana lagi, lakunya cuma segitu, Hes ... Lagipula Bapak dapat ganti mobil baru, ini kredit lima tahun, cicilan perbulannya cuma 4 juta. DP juga murah loh, Hes, 50 juta doang.""Doang?"Napas Hesty memburu. Kepalang malu, dia berkacak pinggang di depan para tetangga menghardik pria yang tidak lain adalah Bapaknya sendiri."Pak, kalau gak bisa cari uang, minimal jangan buang-buang uang!" hardiknya geram. "Bapak tau nggak, mobil itu atas nama Mas Rey, gimana kalau tiba-tiba dia keluar dan mau ambil mobilnya. Gimana?""Ya bilang saja kalau mobil itu sudah jadi hak milik anak kamu. Kamu mau dicerai tanpa mendapatkan harta apa-apa? Pinter dikit lah, Hes," seloroh Pak Bambang. "Langkah Bapak ini sudah benar, nanti kamu tinggal cari duit bu
"Mbak Eti ...." Suara Nabila tergantung di udara Bu Saroh mengangguk lemah. "Eti sudah meninggal, Nak. Tolong, maafkan semua kesalahannya yang sudah menghancurkan rumah tangga kamu. Maafkan anak Ibu," tutur Bu Saroh sendu. "Eti ... dia bunuh diri."Nabila menutup mulutnya dengan dua tangan sementara suaminya menggendong bayi yang kini terlihat sangat aktif sekali dan berkata, "Saya ijin bawa anak-anak keluar sebentar, anak-anak lebih baik tidak mendengar hal-hal yang cukup sensitif. Bicarakan dengan baik-baik semua unek-unek yang masih tersisa di hati kamu, Sayang. Bagaimanapun menyimpan dendam itu tidak baik untuk hatimu. Mengerti?"Nabila mengangguk ragu. Kedua matanya terlihat penuh dengan air mata. "Ayo, Sayang, ikut Ayah!" Anak laki-laki itu mengangguk dan menggandeng jemari pria bertubuh tinggi di sebelahnya. Mereka melangkah beriringan keluar rumah dan bermain di halaman rumah Maya yang memang cukup luas untuk sekedar bermain lari-larian."Jangan duduk di bawah, Bu," pinta M
"Mas kenal sama Mas Reza?" tanya Maya menelisik."Dia teman Mas yang waktu itu undang kita ke acara pernikahan, May.""Oh, yang Mas bilang Bos Showroom itu?" tanya Maya lagi. "Masya Allah, ternyata dunia sempit sekali ya?"Abian dan Reza saling berjabat tangan layaknya teman baik yang lama tidak bertemu sementara Nabila hanya mengangguk sembari tersenyum ke arah Abian."Wah, kamu punya hutang banyak penjelasan ke kami, Za! Andai kita tahu kalau Nabila calon istri kamu, pasti Maya sudah kupaksa berangkat waktu itu," gurau Abian. "Gak, bercanda! Memang kami belum ada waktu, Za. Istriku mabuk berat di awal-awal kehamilannya.""Santai saja, Bro! Lagipula ternyata sekarang kita bisa berkumpul. Ya kan?"Abian mengangguk setuju. Dia mengambil duduk di sebelah Maya dan mempersilahkan tamunya untuk menikmati jamuan makan siang yang sudah Bu Saroh siapkan.Mengingat Bu Saroh, Abian tiba-tiba juga teringat sesuatu."Sudah ketemu Bu Saroh?" Abian berbisik pada Maya. Istrinya mengangguk sambil men
"Si-- siapa kamu?" tanya Hesty gugup. "Ja-- jangan ngomong sembarangan ya, tetanggaku ini pada julid, jangan sampai ucapan kamu memancing rasa kepo mereka!" imbuh Hesty sembari menyindir Bu Hanum dan Dahlia yang berdiri bersisian.Wanita yang berdiri di depan rumah Maya itu tergelak. Dia mengibaskan rambutnya yang tergerai lurus sambil menatap remeh ke arah Hesty yang air mukanya sudah berubah memucat."Biasanya orang akan memperlakukan orang lain sesuai dengan apa yang mereka terima. Kalau para tetangga kau anggap kepo, itu artinya dulu kamu adalah tetangga yang kepo pula. Ingat, apa yang kau tanam itu yang kau tuai," ucap rival Hesty santai. "Nah, seperti hari ini ... kamu sebentar lagi akan menuai apa yang kamu tanam, Hesty. Tidak semua hasil mencuri itu berujung bahagia. Apalagi mencuri suami dari wanita lain."Bu Saroh hendak berbalik. Kejadian di depan mata mengingatkannya pada peristiwa dimana Eti dan Nabila ribut kala itu. Nabila dengan elegan memberikan Satria pada Eti, bahka
"Of course," sahut Laura mantap. "Aku memang sudah mengurus surat perceraian kami. Mbak Hesty yang cantik jelita tidak perlu khawatir. Aku ... tidak membutuhkan pria yang tidak tau diri sepertinya!""Dasar angkuh!" hardik Hesty, "Kalau bukan karena Mas Gading, kamu pasti tidak bisa secantik ini. Lihat, mobil yang kamu pakai, pakaian yang kamu kenakan, perhiasan, dan semua yang kamu nikmati ini dari siapa kalau bukan dari Mas Gading. Tau diri dong, Mbak!""Jaga mulutmu, Hesty!" bentak Gading marah. "Laura istriku, jaga bicaramu!""Ah, no ... no, maaf ... aku adalah Laura Florine, pewaris tunggal Perusahaan Andreas. Aku ... bukan istrimu lagi, Mas!" "Pewaris tunggal? Mimpi!" sergah Hesty. "Kalau kamu dan Mas Gading bercerai, bersiap-siaplah kamu akan kembali pada kehidupan yang susah! Ingat, jangan mengusik tentang harta gono-gini!" ucap Hesty."Ide bagus!" Laura manggut-manggut setuju. "Dengar kan, Mas ... calon istrimu itu menolak harta gono-gini.""Ya, harus itu! Biar wanita sombong