"P-- Pak Abian?" gagap Satria saat menyadari Abian dan Maya sudah berdiri di depan mejanya. Abian bersedekap dada, rencananya hari ini dia akan merombak total semua pekerja pilihan Satria, agar tidak ada hal yang ia takutkan terjadi. Seperti sekarang. Pria itu tanpa rasa bersalah justru dengan mudahnya keluar dan masuk ke dalam Restoran."Sepertinya aku perlu ukur, apakah tembok ini jauh lebih tebal dari mukamu," sindir Abian sarkas. "Kau tidak lupa kalau Restoran ini milik siapa kan?"Satria gugup. Sesekali dia melirik ke arah dimana seorang wanita cantik duduk di sebelahnya sambil menggendong bayi dan menyuapi satu anak kecil berusia sekitar empat tahun. "Ah, itu, Pak ... bisa saya bicara berdua dengan Pak Abian?""Tidak perlu, angkat kakimu dari Restoran kami sekarang juga!" sela Abian tegas. "Ingat, Sat, waktu yang kuberikan untukmu hanya tersisa empat hari, jika kebaikanku selama satu minggu belakangan tidak kau manfaatkan dengan baik dan tidak segera kau kembalikan semua uang y
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Abian dan Maya sepakat memperkerjakan semua pekerja tanpa ada yang dia keluarkan tidak hormat mengingat kinerja mereka memang benar-benar bagus. Pun Edo, dia melaksanakan titah Satria karena mengira jika pria itu adalah orang paling berkuasa dan paling dipercaya oleh pemiliknya Restoran. "Kalian semua saya ijinkan kembali bekerja tapi dengan satu syarat," ucap Abian tegas. "Jangan pernah biarkan Satria masuk ke Restoran ini lagi. Mengerti?!""Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau kami gagal mengenali Bos kami yang sebenarnya," ucap Edo."Alhamdulillah, doa Emak saya di kampung diijabah Allah," sahut pekerja yang lain sambil merebak."Terima kasih banyak, Pak ... Bu ... kami akan bekerja dengan lebih baik lagi," ucap yang lainnya pula.Abian dan Maya mengangguk percaya. Setelah memastikan semua pekerja Restoran kembali pada posisi mereka masing-masing, Abian dan Maya berjalan bersisian menuju tempat dimana dua orang satpam berada."P-
"Gila! Darimana aku uang sebanyak itu, Mbak Eti!" pekik Hesty. "Kalau mau pinjam, kira-kira dong! Dua ratus juta itu nggak sedikit!" Eti melengos kesal. "Kalau sedikit aku nggak perlu susah cari pinjaman, Hes," sahut Eti. "Bagaimanapun caranya aku harus bisa bebaskan Mas Satria, atau tetangga baru itu merasa menang dan merasa paling kaya disini.""Sudahlah, Mbak Eti, lagipula untuk apa berkorban demi suami yang ternyata punya istri selain kamu. Buang-buang tenaga, biarkan saja dia di penjara.""Kalau nggak bisa kasih pinjaman jangan hina suamiku dong!" Eti nyolot. "Lagipula istri pertama Mas Satria itu jelek, bentar lagi juga dicerai, jadi siapa yang harusnya berkorban kalau bukan aku?" "Ya itu kamunya aja yang bodoh, Mbak," cibir Hesty.Eti yang semula duduk di teras rumah Bu Sur seketika berdiri dan berkacak pinggang. Kedua matanya melotot menatap Hesty yang sedang menggendong putrinya di depannya."Jaga mulutmu, Hesty!" bentak Eti lantang. "Kalau nggak punya duit sebanyak itu, bi
Maya menggenggam ponselnya dengan erat. Entah apa yang Sarah pikirkan, setelah tiga bulan kematian Nabil, wanita itu justru menolak pergi dari rumah mertuanya dengan dalih bayangan Nabil masih selalu mengikuti.Setelah meredam emosi sehabis membaca pesan Sarah, Maya menekan nomor Abian dengan risau. Satu kali ... dua kali ... bahkan hingga dering yang kesekian kalinya panggilan Maya belum mendapat jawaban.Tidak habis akal, Maya beralih menekan nomor Dama dan mengatakan sesuatu sampai membuat pria di seberang sana mendelik kaget."Oke, kamu tenang saja, May. Aku akan cari tau semuanya," tutur Dama sebelum menutup sambungan telepon.Maya mengangguk cepat meskipun tau jika anggukan kepalanya tidak bisa Dama lihat. Hampir sepuluh menit lamanya dia menunggu kedatangan Abian namun suaminya itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak dalam dada. Takut jika Abian terperangkap dalam permainan Sarah dan meninggalkan Maya yang sedang menunggunya.Wanita ca
"Mbak, semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap Pak RT. "Ayo bubar, bubar semuanya! Ada tetangga ribut kalian malah diam saja, bubar!"Sorak sorai para tetangga membuat Maya geleng-geleng. Eti menangis, menjerit sambil memegangi kepalanya yang hampir botak membundar karena tarikan tangan Nabila terlampau kencang sedangkan Bu Saroh memeluk putrinya seolah tengah melindungi istri kedua Satria itu dari penjahat."Maaf atas keributan yang saya ciptakan, Pak. Kedatangan saya kesini hanya untuk mengabarkan kalau surat gugatan cerai sudah saya kirim ke Pengadilan Agama, itu saja," jelas Nabila tenang. "Tapi dia memang wanita tidak tau diri, sudah lah merebut suami orang, menghancurkan mimpi-mimpi anak saya, eh ternyata nggak punya muka pula," cibir Nabila sengit."Mana ada pelakor yang punya muka," imbuh Bu Sur mengompori. "Harusnya timpuk saja kepalanya pakai batu!""Jaga mulutmu, Sur!" teriak Bu Saroh sengit. "Urusan kita sudah selesai, jangan kau ikut-ikutan masalah anakku lagi!"Bu Sur me
"Mas, itu kenapa mobil kita yang di belakang berhenti?" tanya Maya ketika menyadari mobil mereka yang berisi para tetangga justru menepi setelah lampu lalu lintas berubah hijau. "Berhenti, Mas!" pinta Maya. "Takut ada yang kenapa-kenapa, barangkali mabok kendaraan," khawatirnya lagi.Bu Puji dan Bu RT serta dua tetangga yang lain ikut menoleh. Mereka saling pandang dan mengernyit ketika melihat mobil yang berisi Bu Sur dan kawan-kawan menepi di sisi trotoar."Lah, itu keluar semua. Mau pada kemana mereka?" tanya Bu Puji heran. "Loh ... Loh, itu bukannya ...."Maya dan Abian menghentikan langkah sementara Bu Puji, Bu RT dan dua tetangga yang lain berlari menyusuri trotoar menuju ke tempat dimana para tetangganya berkerumun."Itu Hesty kan, Mas?" selidik Maya. "Aku nggak salah lihat kan, itu Hesty sama suaminya kan, Mas?"Abian mengedikkan bahu kemudian kembali melangkah mendekat untuk memastikan apa yang sedang terjadi."Ya ampun, Hesty ... kami enggak nyangka kalau kamu ternyata jadi
"Astaghfirullah, benar-benar mental pengemis itu Hesty," cibir Bu Puji sambil geleng-geleng. "Pantas bisa bebelian ini itu, nggak taunya hasil minta-minta," imbuh Bu Hanum."Gila ya, jadi pengemis bisa sampai beli mobil," sahut Ibu-ibu yang lain. Hesty melengos ketika mendapati para tetangga menatapnya penuh selidik. Mau tidak mau, ia menerima bingkisan dari wanita tua itu dan berlalu tanpa mengucapkan terima kasih.Setelah Hesty pergi, wanita dengan pakaian sederhana itu berbalik dan kembali melanjutkan jalan untuk pulang."Eh, Bu ... maaf, anu ... sering ya ngasih uang ke wanita itu?" tanya Dahlia kepo. Wanita tua di depannya menoleh ke arah dimana telunjuk Dahlia mengarah. "Oh, pengemis yang bawa anak itu? Kalau ada rejeki ya saya kasih, Mbak," jawabnya jujur. "Ya ... mau gimana lagi, saya ini penjual kue keliling, dapat upah juga enggak seberapa, jadi kalau ada uang atau sembako lebih ya saya kasih, itung-itung bantu dia biar bisa makan," paparnya iba.Dahlia dan para tetangga s
Mobil mereka sampai di depan rumah Ibu. Rumah yang biasanya terlihat berpenghuni kini seolah menunjukkan tidak ada kehidupan di dalam sana. Sepi.Lampu teras masih menyala. Daun-daun dari pohon mangga di halaman rumah berserakan dimana-mana serta gorden yang terlihat masih menutupi semua jendela."Sepi sekali, Bian," celetuk Ibu heran. "Sepertinya Sarah nggak pulang ke rumah ini," lanjutnya.Maya membuka pintu mobil. Dia berjalan mendekati ibu-ibu yang terlihat sedang bercengkerama di depan rumah tetangga yang jaraknya tidak jauh dari rumah Ibu."Permisi, Ibu-ibu ....""Eh, Mbak Maya. Mau ambil baju Ibu ya?" sapa tetangga yang memang mengenal Maya. "Tadi itu saya mau lihat keadaan Ibu, Mbak, cuma mobil yang bawa Ibu sama Mbak Sarah buru-buru pergi," jelas tetangga Ibu bernama Bu Kela."Baju?" tanya Maya sembari memicing. "Bu Kela yakin itu Ibu? Soalnya ... ibu ada sama saya dan Mas Abian. Itu di dalam mobil," tunjuk Maya.Bu Kela nampak mengingat-ingat apa yang dia lihat lalu berseru
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru
"Oek ... oek ...."Suara tangis bayi memecah ketegangan dalam ruangan. Maya terengah, sementara Abian berulang kali mengecup pelipis Sang Istri tanpa lupa mengucap syukur atas kelahiran bayinya."Alhamdulillah, bayi laki-laki yang sehat dan lahir dengan kondisi tubuh lengkap tanpa kurang satu apapun. Berat sekitar 3,3 kg," papar suster menjawab rasa penasaran Abian.Maya tersenyum lega. Dia diberi kesempatan untuk memeluk bayinya sebelum Suster yang bertugas membersihkan Sang Bayi ke dalam ruangan khusus. "Bisa saya adzani dulu, Sus?""Tentu saja, Pak. Mari, silahkan!"Suster mengangguk dan mengarahkan telinga bayi tampan itu tepat di bibir Abian. Abian hampir saja tergugu jika dia tidak segera menguasai emosinya. Bayi mungil dengan wajah Maya membuat hatinya terenyuh. Penantian mereka akhirnya terbayar dengan memuaskan."Terima kasih," kata Abian. Suster mengangguk ramah dan segera membawa bayi Maya menuju ruangan terpisah. Sementara Maya sedang terbaring lemah dan mendapatkan pena
. . Dua bulan berlalu, perut Maya sudah semakin membuncit dan seminggu lagi adalah jadwal bayinya dilahirkan. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, pagi ini ... istri Abian itu merasakan mulas yang teramat sangat. Celana tidur yang ia pakai sudah basah karena air ketuban yang pecah. Maya memanggil-manggil Abian yang sedang berada di dalam kamar mandi. "Kenapa, May?" Abian keluar hanya memakai handuk, bahkan buih sabun masih menempel di tubuhnya. Pria itu panik, takut jika ada apa-apa dengan istrinya menjelang melahirkan."Mas, sshhh ... perutku," keluhnya.Mata Abian melotot tatkala melihat sprei yang sudah basah ditambah dengan celana yang istrinya kenakan pun sama basahnya."Sepertinya mau lahiran," adu Maya sambil meringis.Abian mengusap sisa sabun di tubuhnya tanpa membilas lebih dulu menggunakan air. Dengan gerakan cepat, ia berganti pakaian tanpa peduli apakah Maya melihat
Laura hanya menoleh sekilas, lalu menatap bungkusan cilok yang ada di tangan keponakannya."Sudah beli jajannya? Ayo!"Abigail mengangguk. Dia berlari menuju dimana mobil Tantenya berada sementara Gading memanggil-manggil nama Laura membuat wanita itu terpaksa menghentikan langkah."Ba-- bagaimana kabar kamu?" tanya Gading basa-basi. Mantan istrinya terlihat begitu cantik dengan baju yang sedikit kedodoran."Menurut kamu?" sahut Laura balik bertanya. "Akta perceraian sudah aku kirim ke rumah istri kamu, sudah kamu terima kan?"Gading mengangguk. Kini, penyesalan terasa begitu menusuk ke dalam relung hatinya. Melepaskan Laura sama halnya dengan melepas berlian yang tengah bersinar indah."Maafkan aku, Ra!"Laura yang hendak berbalik kini lagi-lagi menghentikan langkah."Aku sadar kalau aku banyak salah, maaf sudah menyakiti kamu, Ra. Maaf sudah mengkhianati pernikahan kita dulu. Maafkan aku ...."Jantung Laura berdegup kencang. Perlahan tangannya mengusap perut yang masih rata. Entah.