BAB 1
“Lisna, aku talak kamu mulai detik ini. Haram bagiku untuk menggaulimu.” Ucapan bagai petir menggelegar itu membuatku termangu. Kami tidak bertengkar. Tidak berselisih paham. Namun, kenapa suamiku tiba-tiba mengikrarkan talak yang semestinya tak pernah dia ucapkan?
Aku yang tengah menyiapkan sarapan untuknya langsung tertegun hebat. Kutatap pria yang tengah duduk manis di kursi makan tersebut dengan ekspresi yang tak habis pikir.
“Kamu kenapa, Mas?” tanyaku dengan bola mata yang turun naik. Kuselidiki tampang suamiku. Namun, rautnya datar. Seakan tak sedang terjadi apa pun di antara kami.
“Ya, hari ini aku sudah menalakmu. Kita cerai secara agama. Aku akan segera urus berkas-berkasnya ke pengadilan.”
Aku masih saja tercengang. Tanganku yang baru saja menaruh piring berisi tempe mendoan ke atas meja makan, kini gemetar hebat. Perempuan mana yang tidak terkejut saat suami yang baru dinikahinya dua tahun, tiba-tiba saja mengajukan talak lisan.
“Apa maksudmu?” Aku bertanya lagi. Kurasa sekarang mukaku sudah pucat pasi.
“Apa omonganku kurang jelas, Lis? Kamu bukan lagi istriku. Kamu kutalak. Silakan kemasi barang-barangmu. Kutunggu dalam waktu maksimal dua kali dua puluh empat jam.”
Jantungku rasanya mau copot. Aku oleng. Buru-buru kutarik kursi dan aku terduduk di hadapan Mas Bintang. Otakku sibuk mengingat-ingat. Apa salahku? Apa dosaku?
Aku tidak pernah bermain sosial media apalagi mengobrol lewat aplikasi chatting dengan siapa pun, kecuali sesekali menghubungi Ibu-Ayah bila tak sempat mengunjungi mereka dalam akhir pekan. Aku juga hanya berdiam di rumah, sesuai perintah suamiku. Lantas, salahku di mana?
“Jangan bertanya-tanya tentang alasanku, Lis. Laki-laki berhak untuk menceraikan istrinya kapan pun. Dan itu adalah keputusan absolutku.” Mas Bintang yang tadi subuh masih membangunkanku untuk salat dan meminta untuk dibuatkan tempe mendoan serta sambal kecap sebagai menu sarapan itu, tiba-tiba berucap lantang sekaligus ketus.
Hatiku rontok. Seakan aku memiliki sebuah salah besar dan dosa tak termaafkan. Mas Bintang, apakah kamu sudah memiliki penggantiku? Berselingkuhkah kau di belakangku, Mas?
Kuangkat kepalaku. Kutahan laju air mata yang kini terasa menggumpal di sudut pelupuk. Lalu, kutatap tajam Mas Bintang selaku pria yang menikahiku dua tahun silam dengan jalan taaruf. Senyumku kini menyeringai tipis di bibir.
“Katakan alasanmu, Mas. Setidaknya agar aku bisa menerima dengan lapang dada,” kataku dingin.
“Laki-laki tidak perlu alasan untuk bercerai. Kalau aku sudah katakan cerai, ya artinya kita pisah!” Mas Bintang membentak. Pria yang sudah rapi dalam balutan seragam kerja itu memukul meja.
Aku tak gentar, tapi aku memilih sabar. Baiklah, Mas. Aku akan keluar dari rumahmu detik ini juga.
“Kamu yang memintaku ke rumah untuk menjadikanku istri, Mas. Kita kenal baik-baik, bahkan tanpa proses pacaran. Aku tahu kamu juga bukan dari sembarang orang, melainkan dari guru agamaku di SMA yang tak lain adalah pamanmu sendiri.”
“Jangan terlalu banyak omong kosong, Lisna. Apa maumu? Cepat katakan. Nggak usah banyak mutar-mutar!” Mas Bintang yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru laut dengan tatanan rambut pendek yang rapi berpomade itu menatap sengit. Aku tak sangka, pria yang selalu dielu-elukan oleh seluruh keluarga besarnya ini ternyata menyimpan kepribadian yang sungguh di luar nalar. Dia kasar dan seenaknya. Bahkan perubahan itu terjadi dalam sedetik, secepat membalikan telapak tangan.
“Aku ingin kamu yang mengantarku ke rumah. Pulangkan aku ke Ayah-Ibu dan bicaralah baik-baik, seperti kamu dulu memintaku pada mereka.”
Mas Binta mendengus. Pria itu terlihat merogoh saku celananya. Entah apa yang dia cari. Hanya kupantau gerak-geriknya dengan mata yang nyalang.
Lelaki 30 tahun itu mengeluarkan dompet. Terlihat dia mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dan melemparkannya ke atas meja. Aku terkesiap. Ini bukan Mas Bintang yang kukenal. Jangankan melempar uang, mempelototiku saja selama dua tahun ini belum pernah.
“Satu juta. Lebih dari cukup untuk ongkos naik taksi buat pulang ke rumahmu. Sisanya silakan belikan beras dan minyak goreng. Siapa tahu ibumu butuh.”
Aku marah. Dadaku mendidih rasanya. Ini sudah keterlaluan. Sampai orangtuaku juga dia hina. Seakan-akan uang yang dia lemparkan itu mampu untuk menjatuhkan harga diriku.
“Terima kasih banyak, Mas,” sahutku lembut.
Aku bangkit dari dudukku. Kuraup semua uang yang berhamburan di atas meja bahkan melompat ke dalam piring mendoan dan bakul nasi.
“Sudah kuduga. Segampang itu ternyata mengendalikanmu. Itu karena kamu bukan siapa-siapa, Lisna. Hanya perempuan muda yang kebelet kawin karena ekonomi. Menceraikanmu jelas semudah saat meminangmu.”
Aku semakin tersenyum lebar. Uang yang sudah berhasil kuhimpun di tangah itu pun lalu kulemparkan tepat di muka Mas Bintang. Lelaki itu kaget. Dia mengelak dengan raut yang syok. Namun, sayang. Sudah mengelak pun, uang itu tetap menampar wajahnya.
“Makan uangmu yang tidak seberapa itu, Mas! Kamu pikir, baru saja jadi staf operasional di pabrik, kamu bisa menginjak-injak aku? Aku memang cuma tamatan SMA, Mas. Umurku juga masih 20 tahun. Namun, ini bukan berarti kamu yang sudah 30 tahun dan baru ngasih aku makan selama 2 tahun belakangan, bisa ngeludahin harga diriku. Nggak, Mas. Maaf. Aku juga udah nggak sudi jadi istrimu.” Kuraih piring mendoan di atas meja dan kulemparkan seluruh isinya ke arah Mas Bintang. Lelaki berkulit sawo matang dengan kumis tipis itu langsung menjerit.
“Perempuan kurang ajar! Semoga hidupmu melarat setelah kuceraikan! Jadi gembel aja sana kamu kaya orangtuamu.”
Aku gegas meninggalkan pria itu di meja makan. Piring bekas mendoan tadi sebelumnya kubanting di lantai ruang makan hingga pecah berderai. Kalau kamu bisa menghinaku dengan kata-katamu, aku juga bisa menghinamu dengan perbuatan tanganku, Mas.
Mas Bintang, kau pikir aku akan melarat setelah bercerai darimu? Maaf, Mas. Bukan sampean yang punya dunia. Ada Allah yang akan membagiku rejeki.
(Bersambung)
BAB 2 Pagi itu juga, aku langsung mengemasi barang-barangku dari kamar pengantin kami. Meski hatiku sesak, tapi aku pantang untuk menangis. Maaf saja. Lisna memang bukan anak orang kaya, tapi Lisna tidak boleh diinjak-injak harga dirinya apalagi oleh lelaki macam Mas Bintang. Dasar lelaki tak tahu diri. Pantas saja dia gagal menikah tiga kali sebelum jadi denganku. Alasannya dulu karena pihak perempuan yang membatalkan tanpa alasan jelas. Omong kosong! Sekarang aku jadi tahu, apa alasan perempuan-perempuan tadi membatalkan rencana pernikahan mereka. Sayangnya, semua itu terungkap setelah dua tahun kuarungi rumah tangga bersama anak pertama dari dua bersaudara itu. Semua baju-baju yang kubeli sebelum menikah dengannya kumasukan ke
BAB 3 “Sekarang, kamu tenang ya, Sayang. Semuanya akan berjalan sesuai yang kamu inginkan. Aku nggak kasihin dia sepeser harta pun. Biar aja dia mampus hidup melarat. Bisa apa sih, dia kalau udah cerai dari aku? Masih bocil ingusan, paling-paling dia jadi cewek michat yang open BO buat cari makan.” Aku termangu. Benar-benar kaget bin syok mendengar omongan dari si mulut got itu. Biar pun aku ini dilarang menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, maupun TikTok supaya tidak terkontaminasi hal-hal buruk, tapi aku masih menonton televisi dan tahu perkembangan zaman. Cewek michat? Open BO? Dasar kambing ompong! Mudah sekali dia mengataiku begitu. Mengira aku bakalan menjual diri hanya untuk bisa makan dan berta
BAB 4 Langsung kutinggalkan Mas Bintang sendirian di depan teras rumahnya yang sederhana itu. Aku pun berjalan dengan hati yang puas usai mencaci maki pria tak tahu diri itu. Meskipun telah berstatus janda di mata agama, aku tak gentar. Hidup bagiku adalah senda gurau semata. Sekarang menangis, besok akan tersenyum lagi. Masalah rejeki, tak perlu takut. Masih ada Allah yang akan memberikanku makan dan minum sesuai kebutuhan. Saat aku menyusuri jalanan komplek yang terbilang tak begitu lebar itu, tetangga depan yang kebetulan baru pulang dari pasar dengan motor matiknya berhenti di depanku. Namanya Mak Jubaidah. Janda tiga anak yang usianya sudah memasuki angka 50 tahun. Dia seperti kaget melihatku berjalan dengan membawa dua tas segala. 
BAB 5POV BINTANG “Dasar perempuan miskin! Dia pikir aku betah hidup sama dia? Goyang aja nggak becus, nggak bisa ngejepit pula. Emang istri nggak guna. Muka macam daki anoa aja belagu ngatain mulutku bau, gigi palsuku harus diganti. Hah! Hah! Emang bau apa? Engga, ah!” Aku ngomel-ngomel sakit hati di depan teras sambil mencium uap mulutku sendiri. Sialan bocah kemarin sore itu. Bisa-bisanya dia menghina lelaki yang udah bekerja keras banting tulang buat nafkahin dia selama ini. Apa dia bilang? Aku jelek? Bau mulut? Enak saja! Buktinya, Siska yang jauh lebih seksi dan punya jepitan maut seperti pintu masuk kantor kelurahan itu mau sama aku! Dia malah ngebet dan tergila-gila minta dikawini saban hari. “Emang nggak salah aku lebih memilih Siska ketimbang Lisna! Siska itu cantik, montok, semo
Aku diantar Mak Jubai hingga ke terminal bus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer dari rumah Mas Bintang. Sebenarnya, transportasi yang bisa kugunakan untuk tiba ke rumah orangtuaku tak hanya menggunakan bus saja. Naik taksi pun bisa, tapi tarifnya lebih mahal. Maklum saja, jaraknya sekitar 40 kilometer. Lumayan jauh kalau menurutku. Namun, sebisa mungkin setiap akhir pekan aku meminta pada Mas Bintang untuk mengantarku ke sana dengan mengendarai motor. Jika dia sedang beralasan letih, aku diberi ongkos naik bus pulang pergi sekadar untuk melepas rindu pada kedua orangtuaku. Ya, bisa jadi pas aku pergi ke rumah ortu saat weekend dan Mas Bintang kebetulan tidak ikut, lelaki bermuka tong sampah itu pasti mendatangi lubang WC umum. Dasar aku saja yang bodoh sebab tak pernah mencurigai gerak gerik suamiku. “Lis, salam buat bapak ibumu, ya,” ucap Mak Jubai saat mengantarku ke depan pintu masuk bus
BAB 7 Satu jam naik bus, akhirnya aku tiba juga di terminal daerah tempat orangtuaku tinggal. Aku cepat turun dari bus dan mencari ojek yang mangkal tak jauh dari pintu keluar terminal. Setelah mendapatkan tumpangan, aku pun yakin untuk mendatangi kediaman Ayah dan Ibu. Jantungku berdegup keras sepanjang perjalanan. Dari terminal, tukang ojek harus mengendara sekitar 15-20 menit untuk menuju rumahku yang berada tak jauh dari areal pesawahan. Iya, orangtuaku itu dua-duanya petani. Mereka menggarap lahan sendiri yang luasnya tak seberapa. Hasil panen mereka istilahnya hanya cukup untuk makan. Sedang untuk kebutuhan lain seperti sekolah anak-anak, orangtuaku mengandalkan hasil kebun berupa sayur mayur yang mereka tanami di pekarangan belakang rumah. Kami itu bukan tergolong keluarga yang miskin-miskin amat. Rumah punya, sawah ada walaupun luasnya tidak puluhan hektar. Ya, cukuplah untuk sekadar hidup sederhana. Cuma akunya aja yang
BAB 8 “Korea? Korengan kali maksumu, Min!” umpatku kesal. Jelas-jelas bentukannya Mas Bintang bagai pinang dibelah kapak kalau dibandingin sama jempol cantengannya Lee Min Ho. Bisa-bisanya dia ngatain mantan suamiku itu artis Korea, pula. Memang dasar lambe prengus kamu, Mince! Sama aja kaya si Bintang ternak. “Aih, nggak usah merendah gitulah, Lis. Aku jadi nggak enak. Jadi, gimana? Kalian berantem?” Mince malah semakin mengulik kehidupanku. Kaya dia aja yang ngebiayain tukang foto kawinanku. Ribet amat sih kamu, Min! “Nggak, tuh. Nggak berantem. Dibilangin orang cuma mau main sambil healing. Namanya juga orang kota. Sekali-kali pengen juga kan, menikmati aroma sawah dan bau keringatnya petani. Emang salah?” tanyaku nyolot. Bibirnya si Mince langsung tersungging sinis. “Halah, kaya lahirmu di mana aja, Lis! Orang dari orok sampai gede juga hari-hari nyiumin bau keteknya petani!” Di saat Mince semakin keki, aku pun
BAB 9 “Nggak tahulah, Bu. Dia mungkin selingkuh sama perempuan yang syaraf hidungnya udah putus kali. Ya, mungkin selama ini aku juga udah bego mau sama dia, Bu. Aku minta maaf sekali lagi, Bu. Dulu aku yang minta-minta supaya cepetan dinikahin. Eh, nggak tahunya, hidupku malah nggak jauh lebih makmur pas masih tinggal sama Ayah dan Ibu.” Jawabanku malah membuat Ibu semakin tersedu-sedu. Kasihan beliau. Pasti Ibu bakalan stres berat gara-gara masalah ini. Maafin Lisna ya, Bu. Lisna memang perempuan paling bodoh sedunia. Milih suami dulunya nggak pakai mata, tapi pakai dengkul. “Iya, Lisna. Nggak apa-apa. Ibu akan mencoba buat ikhlas.” Ibu mengeratkan pelukannya. Beliau mengusap-usap pundakku. Aku langsung tenang. Hatiku damai dalam pelukannya Ibu. Saat kami sudah saling melepaskan pelukan, aku pun mulai bercerita pada Ibu. “Bu, Mas Bintang itu jahat. Nggak seperti yang aku bayangkan. Dia selama ini hanya pura-pura
BAB 20ENDINGENAM BULAN KEMUDIAN ….“Mbak Lisna aku mau pop esnya dua, ya. Cokelat sama taro. Terus, mau bakwannya sepuluh.”“Aku juga, Mbak. Aku mau es teh gula batu. Satu aja. Terus sama tempe mendoannya tiga, bakwannya tiga.”Warungku baru buka, tapi serbuan bocah-bocah yang ingin jajan langsung membeludak. Aku sih, sebagai pedagang yang selalu happy kiyowo every time every day, senang-senang aja pas dapat pembeli cilik yang kebetulan sedang libur sekolah karena hari Minggu. Cuma, yang suka keki itu para bu-ibu julid sekitar rumah yang kadang suka ngeluh jajan anaknya jadi kebablasan gara-gara warung dekat rumah. Ya, itu mah risikonya situ. Lisna kan, cuma pengen cari nafkah aja. Daripada aku open Bo terus suami mereka yang kecantol. Nah, lho, lebih repotan mana?“Iya, iya. Sabar ya, adik-adik yang budiman. Yang nggak budiman, terserah mau sabar atau nggak,” ucapku sambil cengar-cengir.Belum selesai aku melayani dua bocah lelaki yang usianya sekitar 9-10 tahunan itu, tiba-ti
BAB 19Makan malam selesai, aku pun masuk ke kamar bersama adikku. Agak kaget saat melihat ponsel yang tergeletak di ranjang, bergetar berulang kali. Bukan main syoknya saat aku melihat nama si Bintang ternak muncul di layar ponsel. Panggilan masuk darinya! “Kenapa Mbak?” Ita maju. Dia melongok ke arah ponsel yang ada di genggamanku.“Telepon dari si curut,” ucapku jengkel.“Angkat aja! Biar kita hajar berjamaah.” Ita yang gregetan. Dia hampir menyambar ponselku, tetapi cepat kualihkan.“Biar aku aja,” sanggahku.Kuangkat telepon tersebut dengan perasaan berdebar. Ita pun langsung mendekat. Berusaha menguping dan mepetk ke arah ponsel.“Halo. Kenapa lagi, sih? Nggak bisa move on, Nyet?!” Kusemprot si kunyuk itu habis-habisan sebelum dia membuka percakapan. Hatiku soalnya sudah panas luar biasa.“Maaf mengganggu, Bu. Ini dari pihak kepolisian. Suaminya sedang di kantor polisi, Bu.”Aku tergemap. Seketika kaki ini sudah terasa tak lagi berpijak ke bumi. Apa? Si Bintang di kant
BAB 18POV BintangSetelah lelah bergumul dengan pertengkaran aku versus Siska, akhirnya kami berdua pun kembali ke rumahku saat Magrib menjelang. Sialnya, saat itu jalanan di komplek perumahan kami yang masuk ke gang itu ramai sekali orang. Di gapura masuk saja para bapak-bapak masih nongkrong dengan gayanya yang sok kecakepan. Bahkan di sana ada Cak Sadikin yang mulutnya macam kaleng rombeng itu. Gimana nggak kaleng rombeng, orang aku masih hidup aja dibilang sudah mampus. Memang gila dia!“Lho, Mas Bintang, baru pulang?” tegur salah satu bapak-bapak kawannya Cak Sadikin. Namanya Pak Totok. Bekerja sebagai kuli pabrik rokok. Lagaknya selangit. Masa dia kemarin sudah bisa beli mobil baru buka bungkus? Padahal, jabatan dia cuma kuli, lho. Beda dengan aku yang sudah staf. Palingan juga main babi ngepet dia. Pantas badannya Pak Totok makin hari makin subur makmur kaya makan pupuk NPK.“Iya, Pak!” sahutku setengah berteriak sambil mengencangkan laju sepeda motor. Siska bahkan sampai m
BAGIAN 17Klik! Sambungan telepon langsung kumatikan. Bye, Sekar! Terserah saja kamu mau lapor polisi. Emangnya gue pikirin? Yang ada malah si kebon binatang alias Bintang liar itu yang bakalan kami laporkan ke polisi. Awas saja! Nanti juga bukti-bukti perselingkuhannya aku dapatkan dengan gampang, kok. “Mbak Lisna, gimana?” tanya Ita sambil mendekat ke arahku. Dia pun langsung duduk di sebelahku dengan raut yang penasaran.“Si kucrut itu ngancam mau lapor polisi gara-gara video yang di Facebook!” kataku sambil melemparkan ponsel ke tangan Ita.“Dih, najong! Enak aja lapor polisi. Dia duluan ntar yang kulaporin!” Si Ita mana mau kalah. “Dia nggak tahu sih, kita punya orang dalam!”“Hush! Jangan berbangga hati gitu dulu, Ta! Ini bukan masalah punya orang dalam atau nggak. Yang salah jelas-jelas si Bintang Muklis Mukidi! Dia yang bikin gara-gara duluan sama aku. Hitungannya juga sudah melakukan KDRT secara verbal. Kan, sialan dia! Kalau masalah diviralin, mana bisa mau nuntut penc
BAGIAN 16POV BINTANGSiska keasyikan belanja hingga lupa waktu. Cewek yang ternyata sangat matre dan mata duitan itu pun akhirnya menyudahi kegiatan belanja tepat pukul 13.05 siang. Bisa dibayangkan bukan, rasa lelahku sudah seperti apa? Kakiku gempor abis. Seperti habis memacul ratusan hektar sawah tetangga.Untung saja, si Arif benar-benar mengirimkan uang pinjaman kepadaku. Dia tak hanya memberikan satu juta, tetapi dua juta. Dia bilang, saat gajian aku harus menggantinya dengan nominal tiga juta. Masa bodohlah dia mau meminta ganti berapa pun. Paling-palingan juga nanti tak akan kubayar. Enak saja si Arif. Masa minjamin dua juta, minta ganti tiga juta? Sudah mau alih profesi jadi lintah darat, dia? Apa nggak cukup hanya menjadi buaya darat doang? Dasar kemaruk!Siska dengan tentengan belanjaan yang seharga satu juta setengah itu pun berjalan dengan penuh jemawa. Dadanya yang sebesar melon itu pun dia busungkan ke depan. Lagaknya seperti ibu-ibu sosialita yang baru saja habis d
BAB 15POV BINTANGDengan muka yang cemberut dan kusut, Siska langsung naik membonceng saat aku mulai menyalakan mesin motor. Aku yang habis kena ludahi itu pun cuma bisa mengheningkan cipta. Nyesek. Mau marah, takut tambah diludah. Mau meludah balik, bisa-bisa leherku patah jadi dua sama Siska. Mending membisu begini. Cari aman, pikirku. Padahal, hatiku sudah gregetan dari tadi. Geram. Yang salah dia, yang galak dia.“Kamu itu jangan kurang ajar, Mas! Bisa-bisanya kamu ngegangguin aku yang lagi lobi-lobi.” Terdengar suara kesal dari bangku belakang. Siska malah menabok pundakku lagi dari belakang. Aku tersuruk. Untung tidak kebanting ke jalanan. Gila memang dia.“Sis, aku kan, cemburu wajar. Tandanya aku cinta. Sayang,” jawabku. Aku terus beralasan. Sebenarnya pengen ngelawan dengan kata-kata kasar dan kotor. Sayang sekali, si Siska ini tidak pernah mau mengalah sedikit pun.“Wajar apanya? Cinta? Sayang? Ah, bullshit, Mas! Kita nggak kenyang makan cinta. Aku ini juga butuh tambah
BAB 14POV BINTANGSarapan pagi pakai bakso ternyata nggak seindah yang aku bayangkan. Sudahlah harganya mahal, eh, aku harus mendapati kenyataan kecut sekecut ketekku kalau siang hari, yaitu Siska yang sekarang hobi larak-lirik lelaki lain yang lebih ganteng.Dadaku nyesek rasanya. Kaya lagi terkena asma dan asam lambung plus digebukin warga satu kabupaten. Sedih. Pengen nangis, tapi takut diketawain orang. “Mas, ayo kita lanjut belanja lagi!” kata Siska sambil bangkit dari kursinya. Dia santai saja setelah menghabiskan semangkuk besar bakso beserta pretelannya yang tidak main-main. Banyak sekali Siska makan hari ini. Macam besok dia nggak bakalan bisa makan lagi coba.“Oke, Sis.”“Mana dompetmu?” Siska mendesak dengan bentakan yang tidak main-main. Luar binasa memang perempuan ini. Selalu saja ucapannya berhasil membuatku sport jantung.“Dompet, ya?” Aku malah balik bertanya. Belum ikhlas kalau memberikan dompet kepadanya. Kan, sudah kubilang isinya sisa dua ratus ribu doang.
BAB 13POV BINTANG“Cepet Mas kita cari tempat yang lebih terhormat! Banyak anak alay di sini. Kan, udah aku bilang tadi. Aku maunya bakso, bukan makan sarapan tenda begini!” Siska merepet kaya knalpot blong. Membuatku semakin merah muka di depan dua sejoli goodlooking itu. Muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu pun hanya menatap kami berdua dengan muka jijik. Iyalah. Pasti mereka jijik banget sama omongannya si Siska. Jangankan mereka. Aku aja sebenarnya malu banget plus geli. Ya Allah, Sis. Emangnya selama ini kita makan di mana, sih? Di rumahnya presiden? Di pinggir got, Sis! Ingat-ingat itu.“Iya, Sayang,” lirihku pasrah.Tentu saja aku mengalah. Daripada disembur sama Siska habis-habisan. Lekas kumundurkan motor dan menghidupkan mesin kembali. Apes banget. Mana uang di dompet Cuma sisa dua ratus ribu. Itu juga sebenarnya untuk sampai minggu depan. Huhft, nasib.“Lagu ketinggian. Minimal mandi, kek! Muka kaya keset kamar mandi aja laguannya nggak mau makan di tenda.” Celetuk
BAB 12POV BINTANG Aku terhenyak. Diam seribu bahasa. Kok, bisa-bisanya Siska setega ini, sih? Dia sayang nggak sama aku sebenarnya? Masa duit aja mau dia kuasai semua? “Mas, jangan diam aja kaya orang sembelit!” Siska membentak. Kakinya yang semlohay itu dia hentakkan ke atas lantai. Aku jelas kaget. Gegas aku terduduk di atas kasur dengan perasaan letoi. “Denger nggak, Mas Bintang? Jangan kaya orang tuli beruang gitu, dong!” Siska berkacak pinggang. Terlihat dengusan di bibirnya yang seksi dan tebal itu. “I-iya, Sis. Siap. Pokoknya, semua gajiku untuk kamu. Cuma untukmu, Sayang,” sahutku semanis tebu. Padahal, perasaanku sudah tongkol banget. Salah, maksudnya dongkol. Teraduk-aduk dan gonjang-gajing. Bagaimana ini? Bisa-bisa Mamah-Papah marah ke aku kalau tahu gaji dikuasai Siska semua. Ah, masa bodohlah. Yang penting aku bahagia. “Nah, gitu dong!” Siska senyum semringah. Seperti habis mendapat lotre