“Hai,” Cantika menoleh sekilas saat mendengar suara lembut seorang perempuan menghampirinya. Tetapi mengetahui siapa yang menyapa, dia kembali berkutat dengan ponselnya. “Kamu yang pergi sama Ben waktu itu ‘kan?” Seorang wanita berkulit putih yang berperawakan lebih mungil darinya berdiri di sampingnya. Tersenyum, menatap wajahnya tanpa ragu. “Kamu ingat aku?” tanya wanita itu lagi. Tanpa menatap wajah wanita itu, Cantika menjawab cuek, “Ya.” “Kalau gitu kamu juga tau, aku calon istri Ben?” Viona menekankan kata ‘calon istri’ dalam kalimatnya. Cantika mengetatkan genggaman pada ponselnya. “Iya.” “Ohh ... hebat, ya? Berarti kamu nggak punya malu.” Berbanding terbalik dengan kata-kata sinisnya. Raut wajah wanita itu tampak manis, genangan suaranya ceria. Ingin rasanya Cantika mencakar rubah licik itu, atau mungkin mencekiknya sekuat ia mencengkeram ponsel. Tetapi ia berusaha mengendalikan diri. Mengingat-ingat pelajarannya dengan Olin jika menghadapi wanita ular berkedok kupu-ku
Cantika sudah berciuman dengan Ben. Mereka juga sudah tidur bersama dua kali. Mereka melakukan banyak hal lain lebih dari itu. Lantas, kenapa mengucap kata suka saja bisa jauh lebih menegangkan dan menguras energi? Bukankah mereka memang kekasih? Setelah ia mengaku dengan mulutnya sendiri, semua hal yang pernah dilakukannya dengan Ben kini membuat kerja jantungnya seratus kali lipat lebih cepat saat terulang. Kalau saja Cantika bisa melepas jantungnya sebentar, mungkin dia akan melakukannya agar dentuman itu tidak terlalu mengusik. “Aku ... suka kamu.” Cantika menarik selimut menutupi wajahnya saat teringat mengucapkan kalimat itu semalam. Dia meringis tanpa suara. Menggigiti bibirnya gemas. Apanya yang bisa putus kapan saja? Apanya yang mudah? Kalau begini, dia akan sulit lepas dari lelaki itu. Ben bisa saja menyakitinya, dan ia harus siap menanggung konsekuensi berpacaran dengan pria yang jauh lebih tua darinya. Dengan gerakan pelan, Cantika menurunkan selimut yang menutupi muka
Hari ini Ben menjemput Cantika lagi. Hari terakhir sesi fotonya untuk katalog produk fashion yang cukup terkenal di media sosial. Brand lokal yang awalnya kecil-kecilan itu bahkan sudah merambah membuka toko cabang di beberapa mal Pulau Jawa. Brand tersebut juga menerima pengiriman ke seluruh dunia jika ada permintaan. Ben menunggu di dalam mobil sambil memeriksa to do list dari iPad-nya. Jujur saja dia kepikiran mengenai apa yang dikatakan Viona hingga suasana hati Cantika memburuk kemarin. Tetapi dia sudah berjanji tidak akan menghubungi Viona lagi. Fokus Ben terpecah saat mendengar kaca mobilnya diketuk dari luar. Dia sontak menurunkan kacanya, menemukan Viona berdiri di sisi pintu pengemudi. Sialan. Ben mengira Cantika yang mengetuk jendelanya. Andai saja tidak sedang melamun tadi, dia tidak akan membuka kacanya sedikit pun. “Wah, kamu jemput aku?” Ben mengembuskan napas kasar. “Nggak perlu pura-pura. Aku yakin kamu udah tau alasan aku di sini.” “Jemput mainan baru kamu, hm?”
Delapan tahun lalu. “Yang diberita itu papanya Kiara, ‘kan?” “Jangan deket-deket, dia anak koruptur!” Tahan. “Hati-hati nanti uang kamu diambil sama dia. Katanya sifat itu turun temurun.” Sabar. “Enggak malu ya, masih masuk sekolah. Pasti barang-barang mahal yang dia pake hasil korupsi.” Tahan. Beragam hinaan dan kekerasan verbal terus diterima Cantika di sekolah. Tatapan tajam dan sinis tak ayal mengikuti ke manapun dia melangkah. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang tenang untuknya belajar. Bahkan guru-guru juga mulai mendiskriminasinya. Sejak ayahnya di penjara sebulan yang lalu, rumah dan seluruh harta mereka disita. Cantika dan ibunya terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh lebih sederhana. Bagi seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, terlalu berat untuk menanggung segalanya. Mulai dari cemooh tetangga, perlakuan buruk teman-temannya, serta para keluarga angkat tangan menjauhi mereka. Tidak mau terlibat, begitu katanya. Ibunya yang semula tenang pun mulai ke
“Happy birthday, Brian!” “Selamat ulang tahun, Bri.” “Gimana ujiannya Bri?” Semua saudara yang hadir memberi ucapan selamat pada Brian. Beberapa hari yang lalu remaja itu baru saja berulang tahun. Seperti sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dalam keluarga ibunya, selalu ada acara meriah untuk merayakan ulang tahun sepupu-sepupu dan om-tante Cantika. Suasana hati Cantika yang tak terlalu baik membuatnya semakin enggan mengikuti acara itu. Dia lebih banyak diam atau menghindar, berpura-pura menemani Byana. “Kak Can,” panggil Byana menarik-narik pelan ujung baju Cantika. “Kenapa, sayang?” “Kak Can ulang tahunnya kapan? Kok enggak pernah dirayain.” Cantika terdiam, lalu tersenyum pada Byana. “Masih beberapa bulan lagi. Bikin acara itu ‘kan mahal, Byan.” “Minta sama Papi aja, ‘kan Papi banyak uang.” Tawa Cantika lolos begitu saja mendengar usul Byana yang terlalu polos. “Om Dany ‘kan Papinya Byan.” “Enggak pa-pa, nanti Byan bilang ke Papi.” “Jangan ya, Byan. Lagian Kak Can juga
Olin membasahi bibirnya gugup. Sambil duduk menangkup cangkir kopinya, sambil memerhatikan Bayu yang membaca lembaran kertas berisi perjanjian mereka dulu serta lampiran tambahan darinya. Setelah beberapa tahun hidup dari kucuran dana Bayu, ia terpaksa harus mengambil keputusan ini. Keputusan yang merupakan janjinya pada Cantika. Mungkin bukan sepenuhnya karena Cantika. Sebagian dirinya memang ingin berhenti. Hidup untuk dirinya sendiri seperti yang Cantika katakan. “Kamu yakin sama pilihan kamu, Lin?” tanya Bayu melirik Olin dari map yang dipegangnya. Kali ini, mereka bertemu dalam situasi yang lebih formal sesuai permintaan Olin. Untuk membahas hal yang sangat serius ini, Olin tidak mau membicarakannya di apartemen, apalagi di dalam kamar. Dia bisa saja goyah. Kebiasaan yang sudah melekat selama bertahun-tahun sulit untuk ditinggalkan. Olin mungkin tidak akan bisa langsung terlepas dari pergaulan bebasnya. Tapi setidaknya, ia harus mencoba memangkas akar dari belenggunya. “Saya
Beberapa detik setelah Olin meninggalkan unit apartemennya, suasana berubah sunyi. Cantika yang semula ikutan heboh dan bercicit-cicit riang gembira kini kembali dalam mode suram seperti beberapa hari lalu saat datang padanya. Miko duduk di sofa, sebelah Cantika. Mengamati tatapan kosong perempuan itu ke layar televisi yang menyala. Dan seratus persen ia yakini, Cantika bahkan sama sekali tak sadar film apa yang sedang tayang. “Can, kamu udah mau tidur?” tanya Miko memecah keheningan. Jujur, Miko tidak tahu apa yang terjadi pada Cantika kali ini hingga menghabiskan waktu lebih dari dua hari menginap di apartemennya. “Belum.” Kalau sebelumnya Miko cuek-cuek saja, kali ini dia tidak mengubur mentah-mentah rasa penasarannya. Paling tidak, dia harus tau alasan Cantika meninggalkan rumah sebelum disangka menyekap anak gadis orang. “Udah dua malam kamu di sini. Apa kamu belum ada rencana buat pulang?” “Kamu terganggu ya aku di sini?” Perempuan itu balik bertanya. “Aku bukan terganggu
Cantika sedang bersiap-siap mandi untuk mengikuti kelas siang di kampus, ketika ponselnya berdering keras tak sabar. “Duh, siapa lagi, sih. Tunggu, tunggu ...,” desisnya pada benda persegi yang terus menjerit itu. Tadi pagi, Miko sudah berangkat ke klinik lebih dulu. Kalau bersiap lebih awal, seharusnya Cantika bisa ikut menumpang di mobil Miko. Tetapi hari ini Cantika sedang tidak ingin cepat-cepat datang ke kampus dan menunggu sendirian selama beberapa jam sebelum kelas siangnya dimulai. Nama Olin tertera di layar ketika Cantika meraih ponselnya. Dia lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. “Lo di mana?” serbu suara di sujung telepon, bahkan sebelum Cantika mengatakan ‘halo’. Nadanya terdengar tergesa. “Di apartemen Miko, mau siap-siap ke kampus.” “Tunggu gue. Gue ke situ sekarang.” “E-eh ... tapi gue mandi dulu y—” Bunyi klik menghentikan kalimat Cantika. Perempuan itu menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap dengan bibir mengerucut pada layar yang sudah gelap itu. “Huh