Hari ini Ben menjemput Cantika lagi. Hari terakhir sesi fotonya untuk katalog produk fashion yang cukup terkenal di media sosial. Brand lokal yang awalnya kecil-kecilan itu bahkan sudah merambah membuka toko cabang di beberapa mal Pulau Jawa. Brand tersebut juga menerima pengiriman ke seluruh dunia jika ada permintaan. Ben menunggu di dalam mobil sambil memeriksa to do list dari iPad-nya. Jujur saja dia kepikiran mengenai apa yang dikatakan Viona hingga suasana hati Cantika memburuk kemarin. Tetapi dia sudah berjanji tidak akan menghubungi Viona lagi. Fokus Ben terpecah saat mendengar kaca mobilnya diketuk dari luar. Dia sontak menurunkan kacanya, menemukan Viona berdiri di sisi pintu pengemudi. Sialan. Ben mengira Cantika yang mengetuk jendelanya. Andai saja tidak sedang melamun tadi, dia tidak akan membuka kacanya sedikit pun. “Wah, kamu jemput aku?” Ben mengembuskan napas kasar. “Nggak perlu pura-pura. Aku yakin kamu udah tau alasan aku di sini.” “Jemput mainan baru kamu, hm?”
Delapan tahun lalu. “Yang diberita itu papanya Kiara, ‘kan?” “Jangan deket-deket, dia anak koruptur!” Tahan. “Hati-hati nanti uang kamu diambil sama dia. Katanya sifat itu turun temurun.” Sabar. “Enggak malu ya, masih masuk sekolah. Pasti barang-barang mahal yang dia pake hasil korupsi.” Tahan. Beragam hinaan dan kekerasan verbal terus diterima Cantika di sekolah. Tatapan tajam dan sinis tak ayal mengikuti ke manapun dia melangkah. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang tenang untuknya belajar. Bahkan guru-guru juga mulai mendiskriminasinya. Sejak ayahnya di penjara sebulan yang lalu, rumah dan seluruh harta mereka disita. Cantika dan ibunya terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh lebih sederhana. Bagi seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, terlalu berat untuk menanggung segalanya. Mulai dari cemooh tetangga, perlakuan buruk teman-temannya, serta para keluarga angkat tangan menjauhi mereka. Tidak mau terlibat, begitu katanya. Ibunya yang semula tenang pun mulai ke
“Happy birthday, Brian!” “Selamat ulang tahun, Bri.” “Gimana ujiannya Bri?” Semua saudara yang hadir memberi ucapan selamat pada Brian. Beberapa hari yang lalu remaja itu baru saja berulang tahun. Seperti sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dalam keluarga ibunya, selalu ada acara meriah untuk merayakan ulang tahun sepupu-sepupu dan om-tante Cantika. Suasana hati Cantika yang tak terlalu baik membuatnya semakin enggan mengikuti acara itu. Dia lebih banyak diam atau menghindar, berpura-pura menemani Byana. “Kak Can,” panggil Byana menarik-narik pelan ujung baju Cantika. “Kenapa, sayang?” “Kak Can ulang tahunnya kapan? Kok enggak pernah dirayain.” Cantika terdiam, lalu tersenyum pada Byana. “Masih beberapa bulan lagi. Bikin acara itu ‘kan mahal, Byan.” “Minta sama Papi aja, ‘kan Papi banyak uang.” Tawa Cantika lolos begitu saja mendengar usul Byana yang terlalu polos. “Om Dany ‘kan Papinya Byan.” “Enggak pa-pa, nanti Byan bilang ke Papi.” “Jangan ya, Byan. Lagian Kak Can juga
Olin membasahi bibirnya gugup. Sambil duduk menangkup cangkir kopinya, sambil memerhatikan Bayu yang membaca lembaran kertas berisi perjanjian mereka dulu serta lampiran tambahan darinya. Setelah beberapa tahun hidup dari kucuran dana Bayu, ia terpaksa harus mengambil keputusan ini. Keputusan yang merupakan janjinya pada Cantika. Mungkin bukan sepenuhnya karena Cantika. Sebagian dirinya memang ingin berhenti. Hidup untuk dirinya sendiri seperti yang Cantika katakan. “Kamu yakin sama pilihan kamu, Lin?” tanya Bayu melirik Olin dari map yang dipegangnya. Kali ini, mereka bertemu dalam situasi yang lebih formal sesuai permintaan Olin. Untuk membahas hal yang sangat serius ini, Olin tidak mau membicarakannya di apartemen, apalagi di dalam kamar. Dia bisa saja goyah. Kebiasaan yang sudah melekat selama bertahun-tahun sulit untuk ditinggalkan. Olin mungkin tidak akan bisa langsung terlepas dari pergaulan bebasnya. Tapi setidaknya, ia harus mencoba memangkas akar dari belenggunya. “Saya
Beberapa detik setelah Olin meninggalkan unit apartemennya, suasana berubah sunyi. Cantika yang semula ikutan heboh dan bercicit-cicit riang gembira kini kembali dalam mode suram seperti beberapa hari lalu saat datang padanya. Miko duduk di sofa, sebelah Cantika. Mengamati tatapan kosong perempuan itu ke layar televisi yang menyala. Dan seratus persen ia yakini, Cantika bahkan sama sekali tak sadar film apa yang sedang tayang. “Can, kamu udah mau tidur?” tanya Miko memecah keheningan. Jujur, Miko tidak tahu apa yang terjadi pada Cantika kali ini hingga menghabiskan waktu lebih dari dua hari menginap di apartemennya. “Belum.” Kalau sebelumnya Miko cuek-cuek saja, kali ini dia tidak mengubur mentah-mentah rasa penasarannya. Paling tidak, dia harus tau alasan Cantika meninggalkan rumah sebelum disangka menyekap anak gadis orang. “Udah dua malam kamu di sini. Apa kamu belum ada rencana buat pulang?” “Kamu terganggu ya aku di sini?” Perempuan itu balik bertanya. “Aku bukan terganggu
Cantika sedang bersiap-siap mandi untuk mengikuti kelas siang di kampus, ketika ponselnya berdering keras tak sabar. “Duh, siapa lagi, sih. Tunggu, tunggu ...,” desisnya pada benda persegi yang terus menjerit itu. Tadi pagi, Miko sudah berangkat ke klinik lebih dulu. Kalau bersiap lebih awal, seharusnya Cantika bisa ikut menumpang di mobil Miko. Tetapi hari ini Cantika sedang tidak ingin cepat-cepat datang ke kampus dan menunggu sendirian selama beberapa jam sebelum kelas siangnya dimulai. Nama Olin tertera di layar ketika Cantika meraih ponselnya. Dia lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. “Lo di mana?” serbu suara di sujung telepon, bahkan sebelum Cantika mengatakan ‘halo’. Nadanya terdengar tergesa. “Di apartemen Miko, mau siap-siap ke kampus.” “Tunggu gue. Gue ke situ sekarang.” “E-eh ... tapi gue mandi dulu y—” Bunyi klik menghentikan kalimat Cantika. Perempuan itu menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap dengan bibir mengerucut pada layar yang sudah gelap itu. “Huh
“Masuk?” Cantika menggeleng pelan. “Cuma mau ambil maket.” “Sebentar.” Lelaki itu kemudian masuk tanpa menutup pintu. Kalau bukan karena pertanyaan Hilda, Cantika mungkin baru akan mengingat tugas maketnya pada saat hari pengumpulan. Pikirannya bercabang-cabang tak menentu. Berkat banyak hal, ia semakin tidak bisa fokus pada tugas kuliah. Maka dari itu, Cantika tidak ingin mengambil risiko dengan membiarkan atau bahkan mengulang maket yang jatuh tempo pengumpulannya kurang dari empat puluh delapan jam itu. Mau tak mau ia harus menebalkan muka dan merendahkan diri. Jika biasanya Ben yang menghubungi lebih dulu, mengejarnya dengan gigih, kali ini pria itu sama sekali tak mengirim pesan sejak insiden dengan Viona. Cantika tidak terkejut bila lelaki terpandang seperti Ben berubah pikiran untuk mengencaninya. Untuk wajah dan golongan sekelas Ben, tak perlu repot-repot mengejar rakyat jelata sepertinya. Hal itu hanya akan buang-buang waktu dan tenaga. Selang dua menit, Ben kembali den
Beberapa jam sebelumnya, dini hari. “Sialan! Lo emang super berengsek!” Olin melempar keras bantalnya ke arah pria yang masih tertidur di sebelahnya. Sayup-sayup, lelaki yang dikenal Olin bernama Ben membuka mata. “Apa-apaan ini maksudnya?! Lo tau gue temennya Cantika!” jeritan keras Olin berhasil mengusik lelaki itu. Ben berdecak. Ada jeda panjang guna meraih kesadarannya sebelum berkomentar, “Iya, tau.” “Lo sembunyiin di mana dia?!” “Siapa?” “Cowok yang semalem bareng gue itu enggak mungkin lo!” “Tau dari mana?” “Yang bener, deh! Ngaku lo?! Nggak mungkin ‘kan setiap kali ada masalah sama Cantika, ternyata lo lari ke gue? Ini nggak masuk akal banget!” Sementara Olin sudah geram setengah mati, Ben masih berbaring sambil mengusap-usap matanya. Santai dan tampak sama sekali tak acuh. “Jawab gue! Lo bukan sengaja hancurin hubungan gue sama Cantika ‘kan?! Setelah isu-isu punya calon istri, sekarang apa? Lo pake gue buat pengalihan lo?! Bener dugaan Cantika sebelumnya, lo cowok m
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y