“Dia pacar kamu?” Suara tidak asing dan benturan pelan di punggungnya membuat Cantika menoleh. Dia mendapati Ben berdiri di belakangnya seraya memegang gelas wine.“Bukan,” jawab Cantika tenang. “Dia temanku.”Ben kemudian menaruh gelasnya di meja dan berkata dengan nada tak terbantahkan. “Ikut aku.”Cantika sedikit ragu, takut Miko mencarinya jika tiba-tiba ia menghilang dari ballroom. Namun akhirnya dia mengikuti Ben karena lelaki itu sudah beranjak pergi. Mereka lalu keluar dari ballroom, menjauhi area yang masih terjangkau dari para tamu undangan.Tumit dan belakang pergelangan kaki Cantika mulai terasa perih karena dia harus melangkah cepat mengikuti lelaki itu.“Ben, mau ke mana, sih?” tanya Cantika menahan sakit. Kulit kakinya yang bergesekkan dengan sepatu high heels terasa panas. Pasti kakinya sudah benar-benar lecet sekarang.“Ben,” panggil Cantika.Tetapi lelaki itu masih terus berderap, hingga mereka tiba di dekat dinding kaca hotel yang besar, menampilkan pemandangan geme
Ben menyugar rambutnya kasar. Terus memaki dalam hati. Kakinya menendang udara dengan frustrasi. Entah kenapa dia menjadi kekanakan begini. Marah hanya karena hal sepele. Padahal dirinya sendiri masih terikat oleh Viona. Tetapi dia malah menumpahkan stres dan seluruh emosinya pada Cantika. Perempuan itu pasti akan benar-benar menjauhinya setelah ini. Berkat rasa tidak percaya yang dimilikinya pada diri sendiri, Ben otomatis melemparkan duri pertahanannya sebelum ia lebih dulu disakiti. Dia kesulitan untuk menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Amarahnya setelah menyaksikan Cantika dekat pada lelaki lain segera memproteksi diri dengan cara menyerang seperti tadi. Menurut Ben, jika bukan dia yang berselingkuh, akan ada kemungkinan sang wanita yang melakukannya. Ben sudah terlalu banyak melihat kejadian serupa selama hidup. Mulai dari orang terdekat yang menjadi figur teladannya. Sang ayah yang telah menikah sebanyak empat kali dan memiliki entah berapa banyak selir di luar sana, mer
Kiara C: Jovin, aku mau kita putus Setelah satu pesan singkat yang dikirimnya, ponsel Cantika segera berbunyi nyaring tanda panggilan masuk. Rasa tegang juga rasa bersalah kini membanjirinya. “Ra, kamu bercanda ‘kan? Kamu lagi main ‘dare’ ya?” Cecar suara di seberang sana, bahkan sebelum Cantika menggucapkan kata “halo”. “Nggak, aku serius.” Cantika tidak pernah merasa bersalah seperti ini saat memutuskan hubungan. Biasanya dia cenderung mengakhiri dengan santai, dengan berpura-pura. Kali ini hatinya berat, sesuatu yang tak terlihat namun besar, begitu mengganjalnya. “Bohong! Masa tiba-tiba?” Genangan suara Jovino masih terdengar tak percaya, gusar, juga tidak terima. “Kita putus aja Jovin.” “Kenapa, Ra? Kenapa?” Cantika mengeratkan jari-jarinya yang menggenggam ponsel. “Nggak pa-pa. Aku cuma ngerasa kita nggak cocok.” “Kenapa tiba-tiba, Ra? Emang aku kenapa? Aku ada salah sama kamu? Aku kurang perhatian? Aku bikin kamu nggak nyaman? Coba kamu bilang, aku bakal berusaha perbaik
Dua kotak besar berondong jagung dan lima gelas lemon tea sudah siap. Tiket menonton yang dipesan secara online oleh Ben sudah dicetak di mesin. Hanya tinggal menunggu pintu studio dibuka. Selagi empat orang lainnya mengobrol, Cantika memberi jarak, memilih berselancar dengan ponselnya ketimbang ikut mengobrol. Iya, akhirnya Cantika terpaksa ikut ke mal bersama tiga sepupunya dan Ben, menonton di bioskop. Sejak datang menjemput hingga sekarang, dua orang dewasa itu tidak mengobrol sama sekali. Seperti tak saling kenal. Ada, namun saling mengabaikan. “Pintunya udah dibuka!” ujar Byana girang. “Byan mau masuk.” “Iya, yuk.” Adik-adiknya masuk ke studio lebih dulu, disusul Ben, terakhir Cantika. Byana, Bianca, dan Brian kemudian menempati bangku di baris yang sama dengan nomor berurutan. Ketika Cantika hendak masuk ke barisan mereka, langkahnya terhenti karena merasakan tarikan pada pergelangan tangannya. “Bukan di situ.” Cantika segera menoleh bingung. Apa karena Ben dendam, Cantik
Film anak yang seharusnya penuh haru, menghibur, dan menyenangkan, sama sekali tidak dapat fokus ditonton oleh Cantika. Selama lebih dari satu setengah jam, dia hanya sibuk bertahan, menjaga jarak dari Ben, berontak, dan sebagainya. Sepanjang film diputar, mereka sibuk sendiri, bertengkar, mengelak, perang napas, dan adu mulut. Maksudnya adu mulut dalam konteks benar-benar beradu mulut ala Ben. Ketika lampu studio mulai menyala lagi, keadaan Cantika terlihat berantakan. Dia juga kekurangan oksigen. Bagaimana tidak kekurangan oksigen kalau ia jarang sekali diberikan kesempatan untuk sekadar bernapas oleh pria yang kini memandanginya aneh? Entah apa maksud dari tatapannya, Cantika tidak peduli. Yang jelas, dia sangat lega karena satu setengah jam telah berlalu dan akhirnya dia bisa terlepas dari jerat siksaan yang sejak tadi diterimanya. Cantika mengeluarkan ponsel dan sisir dari dalam tas untuk memeriksa penampilannya, dia cukup kaget. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya merah, sudah pas
“Kak, besok lari pagi?” Tiba-tiba Brian melongokkan kepala dari luar pintu kamar adik-adiknya.“Kenapa Bri? Kamu mau ikut?” tanya Cantika merasa langka dengan pertanyaan Brian.“Nggak, sih. Nanya aja.” Remaja laki-laki itu tampak berpikir sejenak sebelum lanjut bertanya, “Kak Can besok kuliah, ya?” Tangannya masih memegang kenop pintu. Posisinya juga masih mengintip dari luar kamar.“Iya, kuliah. Ada apa Bri? Besok Kak Can tetap bisa jemput les, kok. Kamu mau pergi sama teman?”“Nggak ...,” jawab Brian pelan.Karena Brian tidak berkata apa-apa lagi, Cantika mengira Brian sudah selesai. Cantika lanjut mengerjakan tugas kuliahnya, dengan Bianca dan Byana yang ikut menggambar di kertas masing-masing. Sesekali mereka membantu Cantika mengambilkan penghapus atau pulpen.Namun sesaat kemudian, panggilan Brian terdengar lagi. “Kak Can.”“Hm? Apa Bri?”“Jadinya besok Kak Can jogging, nggak?” Anak laki-laki itu kini memegangi ponselnya.Jarang sekali Brian banyak tanya begini. Semenjak beranjak
“Maaf,” ucap Ben. “Maaf buat apa?” Perasaan Cantika berkecamuk, mendadak meleleh oleh satu kata magis yang diucapkan Ben, tapi sebagian dirinya tidak terima bila langsung memaafkan pria ini begitu saja. “Buat semuanya,” jawab Ben seraya bersandar di pantry. “Kata-kata aku waktu itu, tingkah childish aku, semuanya.” Dia memberi jeda sesaat. “Aku betul-betul kesal sejak hari sebelumnya. Mood aku nggak bagus, kerjaan di kantor dan hal lain yang bikin aku stres, belum lagi baca chat kamu yang batalin janji. “Waktu di pesta lihat kamu batalin janji karena jalan bareng cowok lain semakin menyulut aku. Akhirnya aku malah limpahin semua emosi aku ke kamu.” Tidak ada niat untuk Cantika menimpali kata-kata Ben karena sepertinya laki-laki itu belum selesai bicara. Dia masih berdiri berseberangan dengan Ben, menunggu lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Sorry, I was being a jerk,” sesal Ben. “Tapi ... kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa sama cowok itu?” Baru saja Cantika merasa tersentuh,
Cantika melirik ponselnya yang bergetar, notifikasi pengingat muncul di layar ponselnya. Seperti biasa, dia membuat pengingat kapan harus menjemput anak-anak, atau melakukan hal lainnya karena dia pelupa akut. Masalah dengan Ben sudah diselesaikan pagi tadi, mereka berbaikan, Cantika membuka blokir nomor pria itu. Tadinya Ben menawarkan untuk mengantarnya ke kampus hari ini sebagai tanda permintaan maaf dan rayuannya seperti biasa. Tetapi selesai kuliah, ada tugas yang harus di laksanakan Cantika. Menjemput Byana dan Bianca ke sekolah. Sehingga dia harus ke kampus dengan mengendarai mobil yang biasa dipakai menjemput anak-anak. Terpaksa tawaran Ben ditolaknya dengan berat hati. “Kiara.” Suara seseorang yang dikenalnya menghentikan langkah Cantika. Dia mengangkat kepala dari layar ponselnya, memastikan siapa yang memanggilnya sambil menyimpan ponsel ke saku celana. Meski sebetulnya, sudah bisa dipastikan siapa si pemilik suara. “Ya, Jov?” “Ra, aku nggak mau putus.” Adalah kalimat ya
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y