Ben sedang berkutat dengan software AutoCAD, sibuk menyusun bangunan sesuai sketsa, ketika suara nyaring dari ponsel memecah konsentrasi. Manik matanya bergulir ke arah layar ponsel yang menyala-nyala di bawah layar iMac-nya. Wajah pria itu berubah malas melihat sebaris nama yang tertera. Pada awalnya dia memutuskan untuk membiarkan panggilan tersebut. Tetapi si penelepon sama sekali tidak peduli dengan penolakannya. Dengan keras kepala mengulang panggilan seolah tahu Ben sengaja tidak menggubrisnya. Mau tak mau, akhirnya Ben memutuskan untuk menekan tombol hijau tanpa berkata apa-apa. Hingga suara di seberang lebih dulu terdengar. “Ben, nanti malam kamu diundang dinner ke rumahku.” “Nggak bisa,” jawabnya langsung dan singkat. “Tapi Mami aku udah siapin semuanya.” Suara gadis itu memelas di ujung sana. Namun, sama sekali tidak berpengaruh pada Ben. “Nggak bisa. Aku lembur.” Seenaknya saja ingin mengacaukan jadwal orang, keluh Ben dalam hati. Dia jelas lebih memilih bertemu Cantika
“Can, aku udah nggak pengin nonton lagi.” Ben mengambil alih gelas di tangan Cantika dan meletakkannya kembali di meja. Sebelah tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Cantika merenggang. Berpindah meraih jemari lentik itu. Dikecupnya lembut punggung tangan gadis di depannya sembari melirik ke wajah jelita yang tampak resah. Sepasang mata husky milik Ben menatap lekat Cantika seolah meminta persetujuan. Sementara Cantika? Jangan ditanya. Napasnya mungkin sekarang sedang tersangkut di paru-paru. Dia kaku tidak bergeming. “Kamu ... mau apa?” Gerakan canggung dari Cantika tanpa sengaja membuat lutut mereka bersinggungan. Gadis itu buru-buru menarik kakinya. Sejak kapan bersenggolan lutut saja bisa menghantarkan listrik bertegangan tinggi? Rasanya, barusan Cantika seakan tersetrum. “Kamu tau jawabannya,” jawab Ben tersenyum simpul. Perlahan, nyaris tak terlihat, dia menggeser duduknya maju mendekat. “Aku masih punya pacar,” peringat Cantika. “Tapi mau putus.” Rasanya Cantika
Mengenakan crop top, tank top, sportswear, dan bikini sudah menjadi hal yang biasa untuk Cantika saat dia menerima produk endorsement demi menyambung kelangsungan uang sakunya. Saat ini bahkan pakaiannya masih utuh lengkap meski tank topnya sedikit tersingkap mengekspos perut ratanya yang mulus. Tetapi dibandingkan itu semua, Cantika menanggung malu berkali-kali lipat lebih banyak. Bukan hanya karena pakaiannya tidak rapi seperti semula. Mulai dari dirinya kini berada di rumah pria dewasa sendirian, tubuhnya yang entah sudah berapa lama terperangkap di sofa di bawah tubuh atletis Ben, juga pagutan panas—yang harus dia akui—yang baru pertama dirasakannya seluar biasa ini. Mungkin otaknya sudah kacau. Tapi, sungguh ... pria itu amat pandai melakukannya. “Kiara Cantika, you’re the most beautiful woman I’ve ever met,” erang Ben sembari menghujani lehernya dengan kecupan. Cantika tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah penolakan pertamanya. Dia lebih memilih pasrah dan menerima meski se
Untung saja Cantika memilih membawa kunci cadangan. Jadi dia tidak perlu menunjukkan wajah kepiting rebusnya pada siapa-siapa saat masuk ke kediaman pamannya. Cantika menaiki tangga pelan-pelan. Meski lampu di dalam rumah sudah padam, tetapi di sisi kanan dan kiri anak tangga ada lampu-lampu kecil yang menerangi langkahnya.Tadi Ben bilang apa? Cantika agresif?Apanya yang agresif kalau Cantika saja cuma mencetak angka sekali, sedangkan Ben menyentuhnya berkali-kali? Itu namanya curang.Mau mengikuti alur? Jangan bodoh, Cantika! Kalau dia benar-benar membiarkan lelaki itu tadi, bisa-bisa mereka sudah bersetubuh di garasi.Tapi, ini kali pertama Cantika menyisipkan perasaan dalam ciumannya. Dia tidak membencinya. Sebaliknya, Cantika merasa perutnya di hinggapi kupu-kupu. Ben mahir melakukannya. Berbeda dengan yang selama ini dilakukannya dengan para lelaki yang pernah dikencaninya. Hambar. Cantika membalas mereka hanya sebagai formalitas.Setelah kakinya menginjak lantai tiga, Cantika
“Gue nggak bisa Mik, hari itu. Kenapa lo nggak bawa gebetan lo aja?” Suara Olin sudah terdengar waktu Cantika membuka pintu ruang kantor wanita itu.“Kalo ada yang bisa diajak, gue nggak bakal ngajak lo.”Menyadari kehadiran Cantika, Olin sempat melirik sebentar sebelum tatapannya kembali mengarah pada Miko. “Eh, sama Cantika aja gimana?”“Huh? Kenapa sama gue?”“Miko dapat undangan pesta pernikahan, tapi berasa ngenes gitu kalo dateng sendirian. Dia minta gue jadi partnernya, tapi gue nggak bisa. Barangkali lo bisa jadi partner Miko.” Panjang lebar Olin menjelaskan, menggantikan Miko.Cantika menarik bangku dan duduk menyerong menatap lelaki yang hari ini pun tampan seperti biasanya. “Kapan, Mik?” Dia selalu betah melihat wajah kinclong Miko, dengan mata sipit dan perawakannya yang macho. Ada tahi lalat di dekat bibir yang membuat lelaki itu tampak lebih manis lagi.“Lusa. Nggak pa-pa kalau nggak ada yang bisa. Paling gue datang setor muka dan setor angpao, terus pulang.”“Aku nggak
“Kamu kok udah jemput? Kan belum jam sembilan?” “Habisnya aku keburu excited mau ketemu kamu.” Ben tersenyum, menoleh sekilas pada Cantika seraya memutar roda kemudinya. Cantika terhenyak. Kenapa laki-laki itu harus bicara semanis itu, dengan senyum dan wajah menawannya? Dada Cantika jadi bergejolak hebat begini sekarang. “Sorry, kamu jadi buru-buru pulang karena aku, ya? Padahal kalau kamu masih mau ngobrol, aku bisa nunggu,” lanjut Ben. Cantika menggeleng pelan. “Aku yang nggak enak kalau kamu nunggu kelamaan.” “Tadi katanya kamu sama temen-temen, kok cuma berdua pas keluar?” “Yang satu udah pulang.” “Ooh ....” Sewaktu Olin bilang kalau Ben sedang menunggunya di depan, Cantika kaget bukan main. Dia tidak bermaksud menyembunyikan Ben dari Olin. Namun rasanya, tadi itu terlalu mendadak. Bayangkan saja, Cantika baru akan memulai sesi curhatnya, tapi yang dibicarakan malah muncul duluan. “Kalo bener, mungkin orang yang lagi di luar studio itu cowok yang lo maksud,” kata Olin saa
Ben menatap pesan masuk di ponselnya dengan wajah memberengut. Suasana hatinya sudah tidak baik sejak pagi karena klien rewel yang terus menerus meminta revisi desain. Dia juga harus membantu Barry di kantornya. Ditambah lagi pesan dadakan yang diterimanya sebelum menjelang makan siang.Kiara C: Ben, sorry ...Kiara C: Aku nggak bisa besokKiara C: Aku lupa udah ada janji duluan sama temanMelihat pesan itu, Ben berdecak kesal. Dan mengetik balasan dengan singkat.Ben: Ok“Hey, muka lo kenapa ditekuk aja, Bro?” Seseorang menepuk pundak Ben dari belakang. Dia langsung menoleh mendapati sang kakak berdiri di belakangnya.“Nggak pa-pa, besok ada undangan dari Leovin, partner gue tiba-tiba bilang nggak bisa.”“Bukan Viona, ya?” tanya Barry tepat sasaran.“Bukan. Terpaksa ajak dia.”“Masih aja lo sama dia.” Pria berwajah Asia yang tidak begitu mirip dengan Ben itu berkomentar.Ben tidak menggubrisnya dan mengalihkan, “Gimana kabar Mama Delia?”“She’s good.” (Dia baik-baik aja)Sembari meny
“Dia pacar kamu?” Suara tidak asing dan benturan pelan di punggungnya membuat Cantika menoleh. Dia mendapati Ben berdiri di belakangnya seraya memegang gelas wine.“Bukan,” jawab Cantika tenang. “Dia temanku.”Ben kemudian menaruh gelasnya di meja dan berkata dengan nada tak terbantahkan. “Ikut aku.”Cantika sedikit ragu, takut Miko mencarinya jika tiba-tiba ia menghilang dari ballroom. Namun akhirnya dia mengikuti Ben karena lelaki itu sudah beranjak pergi. Mereka lalu keluar dari ballroom, menjauhi area yang masih terjangkau dari para tamu undangan.Tumit dan belakang pergelangan kaki Cantika mulai terasa perih karena dia harus melangkah cepat mengikuti lelaki itu.“Ben, mau ke mana, sih?” tanya Cantika menahan sakit. Kulit kakinya yang bergesekkan dengan sepatu high heels terasa panas. Pasti kakinya sudah benar-benar lecet sekarang.“Ben,” panggil Cantika.Tetapi lelaki itu masih terus berderap, hingga mereka tiba di dekat dinding kaca hotel yang besar, menampilkan pemandangan geme
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y