Cantika menegang saat Ben berjalan ke arahnya. Ia memutar kepala ke seluruh ruangan mencari pertolongan, dilihatnya Miko sedang mengobrol dengan beberapa kerabat. Dalam sekejap keringat dingin membanjiri pelipisnya.“Cuma teman? Gay? Kebohongan yang luar biasa.” Nada sinis yang tajam itu membuat Cantika tersentak kaget.Tidak ada waktu untuk menghindar karena Ben sudah menarik pergelangan tangannya yang memegang buket bunga lily putih segar. “Dalam waktu sebulan, tiba-tiba aku lihat pacarku di sini, pakai gaun pengantin, sama cowok lain yang katanya cuma teman—tapi pernah sekamar. Hebat,” Ben tersenyum masam. “Betul-betul hebat permainan kamu.”Cantika menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Perasaan takut merayap naik ke pembuluh darahnya. Takut kalau Ben yang nekat akan melakukan sesuatu di sini. Siapa yang mengira Ben akan datang ke pesta pernikahannya? Seingat Cantika, nama lelaki itu tidak tercantum dalam daftar undangan. Bahkan tidak satu pun temannya yang diundang dalam acara in
Berengsek.Lagi-lagi orang itu menghalanginya. Pria yang katanya memiliki orientasi seksual pada sesama jenis, tetapi menikah dengan Cantika. Dia selalu muncul di tengah-tengah mereka. Kehadirannya menyebalkan. Ketika Cantika menyebut nama lelaki itu maupun membelanya, atau saat lelaki itu menyentuh Cantika dengan tangan sialannya. Segala tentang lelaki itu membuat Ben menggeram marah.Ayahnya menyuruh Ben memperbaikinya, tetapi ia tidak punya kesempatan itu, semua berjalan di luar rencananya. Dia kehabisan waktu. Karena apa yang seharusnya ia pertahankan sejak awal telah disia-siakan. Sekali lagi dia harus merasakan kecewa. Ditinggal oleh wanita yang mulai membuat perasaannya hanyut tak tentu arah.“Woi, udah, jangan minum lagi.” Theo merebut botol dari tangan Ben. “Lo inget terakhir kali mabuk malah bikin takut anak orang?”Bagaimana bisa Ben melupakannya? Momen di mana pertama kali ia melihat Cantika. Meski dalam situasi yang memalukan, Ben bersyukur pulang dalam keadaan mabuk kare
“Ya udah, gue balik dulu. Nanti kapan-kapan gue ke sini lagi,” kata Olin menyelipkan kakinya ke dalam sandal berhak tujuh senti.Cantika baru saja akan menyusul, mengganti sandal rumah empuk berbulu dengan selopnya, tetapi Olin menghentikannya. “Gue sendiri aja ke parkiran, enggak perlu dianter. Siapa tau enggak sengaja ketemu yang gemesh-gemesh.” Sambil berkedip dengan gaya centil.Reaksi Miko mendengus dan sedikit mengejek, sementara Cantika terkekeh tanpa suara. “Ya udah. Bye, Lin. Safe drive. Thank you, ya udah mampir.”“Selamat menikmati hari-hari jadi pasangan baru.” Olin melambaikan tangan dari depan pintu. “Kalo enggak mau kebablasan, jangan lupa main aman.”“Apaan, sih?” rutuk Cantika. “Kita ‘kan bukan pasangan beneran. Mana mungkin ngelakuin itu. Ya ‘kan, Mik?” Disikutnya lengan Miko sambil cengar-cengir, berharap menerima jawaban yang sependapat dengannya. Namun selama beberapa detik, tidak ada respons dari Miko. Atmosfir malah berubah aneh. “Mik?”Lelaki itu mengusap belak
“Aku bukan gay.”Kalimat itu terus menggema dalam kepalanya.“Aku terpaksa suruh Olin bilang kayak gitu karena awal kita kenal, dia terus nyinggung soal pacaran sama kamu,” jelas Miko gusar. “Ini bukan karena aku benci atau gimana sama kamu, sama sekali bukan.” Lelaki itu memejamkan mata sebentar, melipat kedua bibirnya seakan sedang mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma ... waktu itu aku nggak tertarik soal relationship. Dan aku nggak mau bikin pertemanan kita bertiga nggak nyaman dengan nolak kamu. Sumpah, kamu ... lebih dari sekedar cantik. Bohong kalau aku bilang nggak tertarik sebagai cowok. Tapi ... aku cuma nggak bisa. Aku bener-bener nggak bisa waktu itu.”Dari perkataannya, Miko terus mengulang kata lampau. Waktu itu. Dia mengatakannya lebih dari sekali, Cantika tergelitik untuk bertanya. “Kamu bilang waktu itu. Kalau sekarang, apa ada perubahan? Apa ada yang beda?”“Perjanjian nikah kita, biar pun kamu anggap ini cuma bentuk kesepakatan, tapi aku nggak begitu. Mamaku juga
“Jadi, kalau ... suatu saat nanti perasaan kamu berubah, tolong langsung kasih tau aku.”Cantika tercengang. Tidak tahu harus berkata apa. Saat berubah pikiran. Apakah maksudnya tentang pernikahan ini? Perjanjian nikah mereka?“Mik, itu ... maksudnya ....” Kalimat Cantika menggantung. Miko juga tidak berkata apa-apa lagi. Lelaki itu kembali ke bangkunya. Mungkin dia sedang memberi waktu untuk Cantika mencerna semuanya. Atau mungkin, sudah tidak ada lagi yang ingin dikatakan lelaki itu.“Aku bener-bener nggak tau harus gimana, Mik.” Kata Cantika akhirnya. “Nggak pernah sekalipun nyangka, kalau aku bakal di ...” Cantika mencari kata-kata yang tepat, tapi tidak ada satu pun yang bisa mengganti kata itu. “Di ... jodohin semuda ini. Di umur-umur aku sekarang, masih banyak hal yang pengin dilakuin. Ngejar mimpi, misalnya.”Bicara soal mimpi, memang apa mimpinya? Apa dia bahkan punya cita-citanya? Selam
Kehidupan Cantika dan Miko berjalan damai. Seperti teman serumah, juga seperti dua orang yang sedang pendekatan. Melakukan kontak fisik sederhana mulai dari pegangan tangan dan merangkul saat duduk bersama maupun keluar rumah. Mereka tampak serasi, seperti pasangan pada umumnya. Yang berbeda hanya perasaannya.Bukan sekali dua kali Cantika punya pacar. Hal semacam itu sangat biasa buatnya. Kalau sebelumnya dia bahkan menerima ciuman dari para mantan pacar yang tidak disukainya, status Miko lebih dari itu. Mereka pasangan suami istri. Meski kenyataannya, Cantika masih menganggapnya sebagai teman—teman serumah.Miko tidak seperti para lelaki di kampusnya, pemuda labil egois yang masih dalam masa puber. Dia dewasa dan bersikap sesuai umurnya. Tahu kapan waktunya santai, tahu kapan waktunya serius, tahu kapan waktunya bersikap manis, dan terpenting, tahu kapan waktunya menyentuhnya.Cantika sampai terpukau dengan sikap Miko. Sekali lagi meyakinkan diri,
Cantika merasa segalanya berjalan lebih baik. Hubungannya dengan Miko, kuliah, dan terutama pencarian tempat magang. Dengan nilai pas-pasan, masih ada kantor yang memanggilnya untuk wawancara setelah mengirim tujuh lamaran. Cantika merasa bersyukur. Dia bahkan mendapat dua panggilan wawancara dan diterima di kantor yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.Tidak ada waktu untuk patah hati. Cantika hanya perlu fokus pada kuliahnya dan cepat lulus. Membuka awal yang baru untuk masa depannya, juga untuk hubungannya.Cantika berjalan penuh semangat memasuki area kantor yang akan jadi tempat magangnya selama enam bulan ke depan. Bangunannya cukup unik, bentuk trapesium di bagian depan dengan salah satu sudut atap lebih tinggi dan runcing. Desainnya terkesan minimalis dan bersih, warna putih mendominasi bagian luar dipadu-padan sentuhan hijau tanaman rambat di balkon lantai atas dan hamparan rumput pekarangan yang mengelilingi bangunan.Jalan menuju pintu utama kan
“Udah makan?”Cantika yang sedang duduk menonton televisi menoleh ke asal suara. Ke tempat Miko menghempaskan diri di sofa sebelahnya. Ia menatap Miko yang tersenyum. Begitu saja, sampai menyadari ia sudah mendorong diri bersandar pada Miko.“Aku baru pulang, belum mandi.” Bahkan Cantika bisa merasakan senyum pada genangan suara Miko.“Kamu nggak keringatan, kok,” sahutnya masih bersandar.Cantika telah berjanji pada diri sendiri, untuk berperan sebagai istri yang baik. Belajar menyukai Miko mulai sekarang, dan tidak mengecewakan lelaki itu. Keintimanlah, cara tercepat yang dipilihnya untuk mengubah hati. Tapi seberapa dekat pun, sebanyak apa pun berciuman, mereka belum memakai kamar yang sama. Sebatas teman tapi mesra, tapi lebih dari teman. Sehingga sulit mendefinisikan hubungan mereka.Tapi ketika satu pertanyaan yang mengarah pada sejuta maksud dan punya ribuan jawaban tertuju padanya, Cantika membeku.
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y