Alicia meneguk salivanya dengan kasar, menatap kakaknya yang kini tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia tahu betul bahwa Regis tidak akan tinggal diam setelah mendengar ceritanya.Perlahan Alicia mengusap air matanya dengan kasar, lalu mengulas senyuman di bibirnya seolah ingin meneguhkan hatinya. Ia menatap kakak dan ayahnya secara bergantian, kemudian berkata, “Pa, Kak, biarkan aku menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku ingin kembali ke London─”“Alicia!” Regis menyela dan menatap adiknya dengan tatapan tajam. “Mereka jelas sangat berbahaya. Aku tidak setuju kamu menghadapi mereka sendirian.”"Kak, aku tahu kamu khawatir. Tapi aku harus membantu Xavier dan memperingatkannya untuk mewaspadai mereka. Orang-orang itu ingin menghancurkan keluarganya. Aku tidak bisa hanya duduk diam di sini."Alicia menatap kakaknya dengan penuh keteguhan, berharap Regis akan mendukungnya. Sayangnya, pria itu tetap bersikukuh dengan keputusannya.“Jangan terus bersikap keras kepala, A
"Ahh!" Anya melenguh saat bibir maskulin itu mulai menyusuri leher jenjangnya. Gesekan cambang tipis pada kulit lehernya memberikan sensasi yang menggelitik dan membuat tubuhnya bergerak dengan gelisah. Namun, hal itu malah membuat bibir maskulin itu semakin bersemangat meninggalkan jejak cinta di sana. Tangan kokohnya juga mulai bergerak menggerayangi tubuh Anya dan membuat wanita itu turut terbawa arus gairah yang tak terkendali. Satu per satu kain yang menghalangi permainan panas mereka sudah teronggok di atas lantai. Tanpa melepaskan ciumannya, pria itu telah membawa Anya naik ke atas ranjang. Pria asing itu sangat lihai memimpin permainan hingga Anya merasa kewalahan, tetapi anehnya, ia malah merasa sangat menikmati sentuhan pria itu. Anya ingin lebih. Akal sehatnya sudah tidak mampu menolak keinginan tubuhnya. "Tampaknya kau sudah tidak sabar lagi, hm?" Pria itu berbisik di telinga Anya, membuat tubuh wanita itu bergetar pelan. Lalu dengan sebuah anggukan dari Anya, kegiat
“Dasar jalang! Apa yang sudah kamu lakukan semalaman di luar sana, hah!?”Anya terhenyak. Air matanya yang berusaha ditahannya pun mengalir perlahan. Meskipun ia memahami kemarahan suaminya, hatinya tetap saja sakit mendengar makian kasar itu. Anya tahu Edwin memiliki alasan untuk melakukannya, meskipun hal itu tidak bisa dibenarkan. “Edwin, aku bisa jelaskan. Tolong dengarkan aku─”Anya masih berusaha menjelaskan perihal keadaan yang menimpanya saat ini. Namun, lagi-lagi suaminya menyela, “Apa lagi yang perlu dijelaskan, Anya? Apa kamu pikir aku buta?”Suara Edwin semakin meninggi. Ia berteriak di depan wajah Anya, membuat wanita itu berjengit.Edwin menarik kerah gaun Anya dengan kuat sehingga robekannya semakin panjang.“Ed–” Suara Anya tercekat. Air matanya meluncur semakin deras.“Lihatlah dirimu! Seperti pelacur saja.”Deg!Anya meremas gaunnya dengan kuat, mencoba untuk menahan diri untuk tidak membalasnya dengan amarah yang sama."Edwin! Apa yang kamu lakukan pada Anya?" Tiba-
‘Apa benar Alicia adalah namaku?’ Anya masih bertanya-tanya di dalam hatinya atas ingatan aneh yang menyusup di dalam kepalanya secara tiba-tiba. Walaupun hanya sekilas dan wajah orang di dalam ingatannya tadi tidak jelas, tetapi Anya sangat yakin jika panggilan itu ditujukan padanya. Air mata di pelupuknya tiba-tiba jatuh tanpa terasa. Anehnya, hatinya terasa sedikit perih dan rasa rindu di dalam dadanya terasa meluap-luap. Meskipun kepalanya masih terasa sakit akibat benturan tadi dan darah masih menetes dari pelipisnya, Anya mencoba untuk berdiri sendiri. Ia pun melangkah pergi dengan sisa harga dirinya yang terakhir. Namun, langkah Anya sempat terhenti ketika salah seorang pelayan melemparkan satu koper di hadapannya. “Pergi saja tetap merepotkanku! Dasar jalang!” maki pelayan itu─dia diminta oleh Edwin untuk mengemas barang milik Anya tadi. Kedua kepalan tangan Anya mengetat. Ia hanya melayangkan tatapan tajamnya kepada pelayan itu dan melirik barang bawaannya yang ter
“Bagaimana mungkin ada kebetulan seperti ini ….” Gumaman pria berwajah tampan nan tegas itu terdengar semakin pelan. Rahang kokohnya terkatup rapat hingga gigi-giginya bergemeratak. Ia berusaha menguasai rasa kaget yang masih memenuhi pikirannya. Ingatan akan malam panas yang dihabiskannya bersama wanita yang terbujur di hadapannya saat ini kembali berputar di dalam kepalanya. Seperti yang diduganya, semua yang dilakukannya semalam bersama wanita itu benar-benar bukanlah mimpi! “Bos, hujan sudah turun semakin deras. Apa tidak sebaiknya kita kembali ke mobil?” Lamunan pria itu beralih sejenak. Sorot mata tajam bak serigala miliknya tertuju pada asisten kepercayaannya yang berdiri di belakangnya sejak tadi. Tanpa mengucapkan sepatah kata, pria itu menyerahkan payung di tangannya kepada bawahannya tersebut. Ia pun mengangkat tubuh Anya di kedua belah tangannya, lalu membawanya menuju mobil yang tidak terparkir jauh dari pemakaman. *** “Bagaimana keadaan lukanya?” Seorang dokter mu
“Kamu tidak mengenalku, Anya Stein?”Netra Anya terbelalak. “A-Anda … laki-laki yang semalam ….”Anya menggigit bibirnya dengan kuat. Degup jantungnya mendadak berpacu cepat ketika mengingat kegilaannya semalam, tetapi ia mengusir ingatan memalukan itu dari dalam kepalanya dan kembali menatap pria asing itu dengan gugup.“Dari mana Anda tahu nama saya, Tuan?” selidik Anya.Tanpa menjawab pertanyaannya, Reinhard mengeluarkan kartu tanda pengenal dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada wanita itu.“Kenapa Anda bisa memegang kartu identitas saya?” tanya Anya, semakin bingung.“Aku membutuhkannya untuk mengisi data pasien,” jawab Reinhard dengan acuh tak acuh.Anya pun tertegun menatap kartu identitasnya. Ia baru menyadari jika ruangannya yang ditempatinya saat ini adalah kamar rumah sakit.“Anda … memasukkan saya ke kamar VIP?” tanya Anya dengan syok.“Apa ada masalah?” Kening Reinhard mengerut.Namun, Anya tidak menjawab. Ia bergegas bangkit dari ranjangnya, tetapi gerakannya tertahan
"Si-siapa Alicia?" Anya bertanya dengan suara yang bergetar. Ia mencoba menginterogasi pria itu dengan harapan dapat menemukan sedikit titik terang atas rasa ingin tahunya.Namun, Reinhard malah menatapnya dengan dingin, pandangannya seakan menjadi tembok tak tertembus yang memisahkan mereka. Anya bisa merasakan suhu ruangan seolah turun beberapa derajat, dan sebuah perasaan asing menyelinap di hatinya—perasaan bahwa ia telah melangkahi batas yang seharusnya tak pernah disentuh.“Mengenai hal yang terjadi semalam, aku tidak ingin kamu menyalahkanku secara sepihak. Kamu yang mendatangiku dan meminta bantuanku, sedangkan aku hanya melakukan yang kamu inginkan.”Alih-alih menjawab, Reinhard malah meluruskan kesalahpahaman wanita itu terhadapnya. Namun, Anya malah memberikan tatapan tajam.“Kamu tahu kan apa pun bisa terjadi di saat seseorang berada dalam pengaruh alkohol?” Reinhard mencoba membela dirinya dan tidak menerima tuduhan yang memberatkannya atas perbuatan yang dilakukan semala
“Edwin Stein, Thalia Vale ….”Hanya dengan mengucapkan nama kedua orang itu saja, amarah di dalam dada Anya terasa menggelegak. Segala rasa sakit, penghinaan, dan kekecewaan yang selama ini Anya pendam, kini berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.Anya merasa ia harus bertindak, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi seseorang yang lemah dan mudah ditindas!‘Tapi, apa yang bisa kulakukan?’Seketika Anya menyadari ketidakberdayaannya. Walaupun ia memiliki tekad dan kebencian yang begitu besar, tetapi ia tidak memiliki dukungan yang dapat diandalkan untuk dapat menuntaskan kebenciannya terhadap Edwin dan Thalia ataupun untuk mengubah keadaannya sendiri.Satu-satunya hal yang dapat Anya lakukan hanyalah menarik kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan Stein selama tiga tahun ini. Namun, hal itu tidak akan cukup untuk membuat Edwin dan keluarganya serta Thalia merasakan penderitaan yang dialaminya selama tiga tahun ini.Anya in
Alicia meneguk salivanya dengan kasar, menatap kakaknya yang kini tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia tahu betul bahwa Regis tidak akan tinggal diam setelah mendengar ceritanya.Perlahan Alicia mengusap air matanya dengan kasar, lalu mengulas senyuman di bibirnya seolah ingin meneguhkan hatinya. Ia menatap kakak dan ayahnya secara bergantian, kemudian berkata, “Pa, Kak, biarkan aku menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku ingin kembali ke London─”“Alicia!” Regis menyela dan menatap adiknya dengan tatapan tajam. “Mereka jelas sangat berbahaya. Aku tidak setuju kamu menghadapi mereka sendirian.”"Kak, aku tahu kamu khawatir. Tapi aku harus membantu Xavier dan memperingatkannya untuk mewaspadai mereka. Orang-orang itu ingin menghancurkan keluarganya. Aku tidak bisa hanya duduk diam di sini."Alicia menatap kakaknya dengan penuh keteguhan, berharap Regis akan mendukungnya. Sayangnya, pria itu tetap bersikukuh dengan keputusannya.“Jangan terus bersikap keras kepala, A
Kesadaran Alicia perlahan kembali, samar-samar ia mendengar suara dering ponsel di dekatnya. Kepalanya berat, pikirannya masih berkabut akibat efek bius yang belum sepenuhnya hilang.‘Di mana aku?’ pikirnya, mencoba memahami situasinya.Dering ponsel itu berhenti, digantikan oleh suara seorang pria yang berbicara dengan nada dingin.“Tenang saja. Aku sudah menangkapnya, Jason. Akan kupastikan dia tidak akan bicara lagi selamanya.”Alicia tersentak. Suara itu… Pria paruh baya yang tadi ia lihat di ruang VIP kelab!‘Dia mau membunuhku?’ batin Alicia yang telah menahan napasnya karena syok.Keheningan menyusul setelah percakapan telepon itu berakhir. Alicia merasakan getaran halus di bawah tubuhnya—mobil sedang melaju. Ia mencoba membuka matanya, tetapi kelopak matanya terasa berat. Namun, suara lain di dalam mobil membuatnya urung melakukannya.“Apa yang harus kita lakukan padanya, Tuan Stewart?”“Mutilasi dia dan buang di tempat sepi.”‘Beraninya dia melakukan hal itu padaku! Dasar Pak
Ruangan mendadak sunyi. Diego, Winny, dan Liliana saling bertukar pandang, mencoba memahami maksud dari kata-kata Alicia."Apa maksudmu, Sayang?" tanya Liliana lembut, tangannya masih menggenggam jemari Alicia dengan erat.Alicia menelan saliva, berusaha mengendalikan emosinya. "Aku ingat ... siapa yang mencoba membunuhku tiga tahun lalu."“Bi-bicara apa kamu, Alicia?” tanya Liliana dengan bingung, sedangkan Winny terlihat sangat syok.“Aku ingat … aku akhirnya ditabrak karena lari dari pembunuh itu,” gumam Alicia, masih mencengkeram erat kedua sisi kepalanya.Diego memicingkan netranya dengan tajam dan bertanya dengan penuh selidik, “Maksudmu kecelakaan waktu itu adalah ulah orang yang mengincar nyawamu?”Alicia menggeleng pelan. “Bukan, Papa. Bukan seperti itu,” gumamnya, masih sangat syok dengan ingatan yang muncul di dalam benaknya.“Lalu, apa maksudmu?” desak Diego.“Benar, Alicia. Ceritakan yang jelas.” Liliana ikut panik. Ia menggenggam erat tangan ibu mertuanya, untuk menenang
“Dari mana kamu mendengar tentang hal itu, Alicia?” Reinhard terdengar kaget dan nada suaranya berubah serius.“Aku … aku punya sumberku sendiri,” jawab Alicia, sengaja tidak menyebutkan nama Rayden karena tidak ingin Reinhard menyalahkan keponakannya tersebut.Reinhard tidak langsung menanggapi, menciptakan jeda yang membuat Alicia semakin gelisah.Akhirnya, pria itu menghela napas pelan dan berkata "Kamu tidak perlu mencemaskan masalah ini, Sayang. Aku sudah memiliki perhitungan sendiri dalam mengatasinya."Alicia memunduk, memanyunkan bibirnya. "Aku tahu kalau aku memang tidak berguna, tidak bisa membantu apa pun," cicitnya."Jangan berpikiran seperti itu," Reinhard langsung menimpali. "Kamu tahu ... bagiku, kamu jauh lebih berharga daripada yang kamu pikirkan, Alicia."Alicia menggigit bibirnya. "Benarkah? Kamu pasti hanya ingin menghiburku saja."Suara kekehan kecil Reinhard terdengar, membuat Alicia berdecak kesal."Jadi sampai sejauh apa masalah ini berkembang di sana, Xavier?"
“Apa kerugiannya sangat parah?” tanya Alicia, lalu menyadari jika tidak seharusnya ia bertanya kepada keponakannya yang tidak mungkin akan mengetahui hal tersebut secara mendetail. Akan tetapi, di luar perkiraannya, Rayden menjelaskan semua yang diketahuinya dengan profesional. Alicia benar-benar terpana dengan kecerdasan keponakannya tersebut. “Bagaimana kamu bisa tahu, Ray? Memangnya Papamu tidak tahu kalau kamu menguping?” tanya Alicia dengan kagum. “Tante terlalu meremehkanku.” Rayden mengangkat satu alisnya dan tersenyum angkuh. “Memangnya apa yang tidak diketahui oleh Zeus, hm?” Alicia mengerutkan dahinya. Perlahan netranya terbelalak besar. “Maksudnya … kamu adalah Zeus?!” Alicia menatap Rayden dengan ekspresi sulit percaya. Keponakannya yang baru berusia belasan tahun ini ternyata adalah peretas handal yang dibayarnya waktu itu?“Kamu bercanda, kan?” desis Alicia, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja didapatnya.Rayden menghela napas dan bersandar di kursinya d
“Kamu kenapa, Alicia?” tanya Amora dengan cemas.Alicia menggeleng pelan, menelan salivanya untuk menahan rasa mual yang tiba-tiba menyerang. “Aku tidak tahu … tiba-tiba saja aku merasa pusing dan mual setelah mencium bunga ini.”Regis mengernyit, mengambil buket tersebut dan mengendus aromanya. "Bunganya tidak ada yang aneh. Hanya terlalu menyengat saja. Mungkin kamu tidak cocok dengan baunya. Sebaiknya suruh Xavier berhenti mengirim bunga ini.”Amora langsung melotot ke arah suaminya, memberi isyarat agar tidak sembarangan berbicara. Namun, Regis hanya mengangkat bahu dengan santai dan kembali menikmati sarapannya.Sementara itu, Alicia masih berusaha menenangkan dirinya. Amora yang khawatir segera mengeluarkan minyak esensial dari saku dress hamilnya dan menyodorkannya kepada Alicia.“Coba oleskan di bawah hidungmu. Ini mungkin bisa membantu,” ucap Amora dengan lembut.Alicia menuruti saran kakak iparnya. Anehnya, setelah menghirup aroma minyak itu, rasa mualnya berangsur berkurang
Noel tidak menjawab. Ia hanya membereskan peralatan medisnya ke dalam tas.Alicia pun tidak ingin menggodanya lebih lanjut karena ia tahu bahwa cinta pertama tidak semudah itu dapat dilupakan.“Ryu ternyata anak yang sangat aktif juga,” ucap Alicia, mengalihkan pembicaraan.“Sifatnya mirip denganmu, Alicia,” celetuk Noel.Alicia memutar bola matanya dengan malas. “Aku tidak seperti itu,” tampiknya.Noel terkekeh pelan. “Kamu tidak ingat? Dulu kamu juga sering membuat para pelayan panik dengan ulahmu dan ayahmu sampai menebang semua pohon di taman belakang itu.”Pipi Alicia langsung memerah. "Kenapa sih yang diingat malah hal-hal memalukan?" gerutunya.Noel tersenyum tipis, lalu perlahan ekspresinya berubah serius. “Sekarang … bisakah kamu menceritakan padaku apa yang terjadi?”Alicia terdiam sejenak, menatap lurus pria itu. Setelah merasa ragu selama beberapa saat, akhirnya ia pun menjelaskan kondisi yang dirasakannya kepada pria itu.Noel mendengarkan dengan seksama tanpa menyelanya.
“Alicia.”Suara lembut yang memanggil namanya terdengar samar di telinganya, tetapi semakin lama semakin terdengar jelas dan menarik kesadarannya kembali. Kelopak mata Alicia berkedut sebelum akhirnya terbuka perlahan.Cahaya lampu ruangan menyambut pandangannya, memberikan efek menyilaukan yang membuat Alicia kembali menutup matanya dengan cepat. Namun, ia membuka matanya kembali dengan perlahan-lahan.Alicia melihat sosok wanita yang tidak lain adalah kakak iparnya, Amora Lysander. Wanita itu tidak sendiri, tetapi bersama Noel yang sedang memeriksa kondisinya dengan peralatan yang dibawanya.“Syukurlah kamu sudah sadar, Alicia,” Amora bergumam dengan penuh kelegaan.Alicia berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Kepalanya masih terasa berat, dan ada sensasi berdenyut yang samar di pelipisnya.“Alicia, bagaimana perasaanmu?” tanya Amora dengan suara lembut.Namun, Alicia tidak menjawab sehingga Amora pun menoleh pada Noel dan bertanya, “Apa ada
Alicia menatap langit-langit kamar, pikirannya tak henti-henti mengembara. Semakin Reinhard memintanya untuk melupakan pertanyaan itu, semakin besar rasa ingin tahunya."Kenapa Xavier tiba-tiba menanyakan kecelakaan itu?" gumamnya pelan.Alicia menghela napas panjang dan berbalik, memeluk bantalnya.Ia tahu Reinhard tidak akan menanyakan hal itu tanpa alasan. Pria itu mungkin menyembunyikan sesuatu darinya dan seperti biasanya, Alicia lagi-lagi merasa berkecil hati.“Ah, tidak! Apa yang aku pikirkan?” Alicia menggelengkan kepalanya dengan kuat, mencoba mengusir rasa khawatirnya yang berlebihan.“Aku harus percaya padanya. Xavier bertanya seperti itu, pasti karena ada sesuatu yang penting yang ingin dipastikannya saja.”Embusan napas kasar bergulir dari bibir Alicia. Ia pun memejamkan matanya kembali, mencoba untuk mencari potongan ingatan yang hilang di dalam memorinya tersebut.Namun, semakin ia mencoba, semakin kuat rasa sakit yang menghantamnya. Seolah ada dinding tebal yang mengha