Ditinjau dan ditelisik dari segi paras, pria bernama Dev ini lumayan ganteng, walau kegantengan suamiku masih belum tersaingi. Sama sekali tak ada kesan misterius di wajah Dev, berbeda aura dengan di media sosialnya yang kalau gak ambil angle miring, pasti ditampakkan belakangnya doang. Jiah! Sudah kayak peramal yang ngomongin aura-aura segala, gak sih?Pria tinggi tapi gak setinggi cintaku pada Nizar itu sontak berdiri. Mengulurkan tangan yang langsung kusambut sebagai salam perkenalan. “Bu Divya, ya?” tanyanya yang spontan kuangguki sebagai jawaban. “Pak Nizar sudah banyak cerita tentang perusahaan Anda. Dan sekarang, saya bisa melihat pelayanan kantor Anda memang cukup baik. Saya belum lama di sini, Bu, tapi sudah disuguhi kopi. Lincah sekali sepertinya karyawannya TalentVista”Aku mengulum senyum. “Terima kasih pujiannya, Pak Dev. Itu sudah jadi tradisi perusahaan kami, melayani tamu dan minimal membuatnya merasa nyaman ketika berk
[Apanya yang mampus, Saroh? Sekata dia sendiri yang bikin bayi, tapi kasian tau dia lemas gak berdaya gara-gara bayi hasil karyanya sendiri.][Hahaha! Burung Pipit, gue mules ketawa baca chat lu, bjir!][Makasih, gue emang selucu itu.][Iyain, daripada nangis. Tapi, gini ya Burung Pipit gue yang tersayang. Emang ada beberapa kasus tuh, istrinya hamil suaminya yang ngidam. Konon katanya, kalau suami ngidam pas istri hamil, itu cintanya suami ke istrinya gede. Lebih gede daripada utang negara. Jadi, lu paham kan sesayang apa Nizar ke lu?][Masa?][Di dapur.][Tau ah!][Komunikasi efektif aja sama suami lu. Dengarin curahan hatinya dan kasi perhatian lebih. Berikan feedback-nya jika dia ingin sesuatu. Saling mendukung sih intinya, ya. Semangat sampai launching hasil keringat kalian. Haha.]Pesan terakhir Sarah hanya kuberi react love karena melihat Nizar sudah keluar dari kamar mandi. Aku bangkit dari sof
Sepupuku itu sontak menoleh. Namun, buru-buru membuang pandangan ke arah lain barangkali karena tak ingin aku melihat wajahnya yang memerah, juga basah karena air mata. Hanya saja, walaupun ia susah payah menyembunyikan tangis, tapi ak tak tuli. Jelas-jelas, tadi aku mendengar isakannya. Bahkan, tubuhnya yang saat ini terlihat kurus itu pun sedikit terguncang. Tidak mungkin kam terguncang tanpa sebab?Pelan, aku mendekati Alana. Harap-harap cemas kalau kali ini tak mendapatkan penolakan seperti yang lalu-lalu. Di mana, dia seolah tak mau melihatku, sampai menganggap diri ini sebagai penyebab luka hati dan batinnya. Padahal, jika ditelisik, aku lebih terluka karena ulahnya. Tapi, ah sudahlah! Aku tak ingin membahas masalah itu lagi. Sekarang, aku sudah sangat bahagia bersama Nizar. Dan sudah kututup perihal Adrian dari hidup ini sedari ia berkhianat tanpa belas kasih. “Alana, apa yang kau lakukan di sini sendirian?” tanyaku s
BRAK!Seorang pria tiba-tiba datang dan menarik tubuh Adrian hingga terpental beberapa meter dan langsung tersungkur ke lantai.Aku mengatur napas ketakutan sampai Nizar yang sejatinya gak kutahu kenapa bisa berada di sini mendekatiku.Raut cemas tercetak jelas di wajahnya.“Kamu gak apa-apa kan, Sayang?” tanyanya khawatir sambil mengusap-usap pipi ini. Aku menggeleng pelan, sontak memeluknya dengan sangat erat. Paling tidak, hati ini sedikit tenang karena menemukan perlindungan darinya. Dapat kurasakan, tangan Nizar bergerak mengusap-usap kepalaku. Sesekali mencium daun telinga ini.“Jangan takut. Aku sudah ada bersamamu, Sayang,” lirih Nizar.Usut punya usut, api pertengkaran yang kupikir sudah padam, justru kembali disiram bensin oleh Adrian.Dia menarik tubuh Nizar dengan kasar hingga terpaksa lepas dari pelukanku. Karena tak siap dengan serangan Adrian, sehingga Nizar tak bisa mengendal
Di rumah, sepulang dari kantor, Ibu mertua syok melihat wajah anak semata wayangnya babak belur. Dengan raut cemas, Ibu bertanya. “Astaga, Nak. Kenapa muka kamu jadi babak belur begini?”“Berantem tuh anak Ibu,” jawabku langsung duduk di sofa. Tanpa segan mencomot potongan apel pada piring di pangkuan Putri.“Ini cuma luka memar dikit, Bu. Gak perlu cemas gitu, ah,” simpul Nizar tak mau membuat sang ibu cemas berlarut-larut. Demi menyakinkan surganya itu, ia melepaskan tangan sang ibu dari wajahnya dan menuntun wanita itu untuk duduk. “Kadang-kadang, pria kalau punya masalah menyelesaikan kudu baku hantam, Bu.”“Halah! Sok-sokan menyelesaikan masalah dengan baku hantam. Uncle udah babak belur begitu. Gimana coba kalau matanya keluar sebiji?” Putri geram, “amit-amit punya uncle matanya juling.”Nizar mendelik tajam ke arah keponakannya itu. “Heh, ngomong sembarangan kamu!”“Udah, jangan berantem mulu.” Ibu menengahi kuc
“Huft!”Aku meletakkan kepala pada sandaran kursi sambil menghela napas pelan, sesekali memijat tengkuk paling tidak untuk meredakan pegal. Barangkali karena terlalu banyak menunduk, jadi leher terasa seperti ingin patah. Semenjak hamil, memang tubuhku kadang-kadang terlalu cepat lelah. Walaupun nyatanya yang paling banyak merasakan efek kehamilan pertamaku ini justru Nizar.Pusing, mual, sampai kram dialaminya di trimester pertama ini. Dan konon katanya, trimester kedua akan mereda, lalu berlanjut kembali di trimester tiga. Untungnya, Nizar orangnya sabar. Jadi, gak banyak ngeluh walaupun mukanya keliatan pasrah banget. “Hm. Capek banget,” ucapku pelan, beralih mematikan laptop. Tangan ini kemudian terulur mengusap-usap perut yang agaknya juga semakin membuncit. “Sayang, kamu yang kuat di dalam, ya. Temani Bunda kerja, Nak.”Iseng, aku meraih ponsel yang tergeletak di meja setelah melihat jam hampir masuk
Kala pertanyaannya tak kunjung dijawab, Nizar seketika menyeringai sinis. “Mau nyakitin Ibu lagi?!” bentaknya. Tatapannya menukik tajam bagai kucing yang hendak menerkam mangsa. “Apa Ayah belum puas sudah menghancurkan Ibu?”Kami diam saja melihat Nizar memarahi ayahnya sendiri, mungkin kali ini suamiku itu memang hendak melampiaskan unek-uneknya terhadap Ayah Adinata yang telah mengkhianati keluarga.“Tidak, Nak. Ayah ke sini sama sekali tak berniat untuk menyakiti Ibumu,” kata Ayah mertua. Dari raut wajahnya, setidaknya aku bisa melihat perasaan bersalah dan sebuah penyesalan. Namun, sekali lagi aku tak begitu pandai membaca ekspresi jadi tidak bisa menyimpulkan kebenaran. “Lalu apa? Mencari maaf Ibuku?” tanya Nizar lagi, tapi tak dijawab oleh sang ayah. “Setelah dimaafkan, kau memintanya kembali padamu?”“Tidak Ayah! Aku gak akan pernah rela ibuku kembali pada laki-laki pengecut sepertimu.”“Pulangla
“Bu Divya, saya benar-benar minta maaf karena pertemuan ini menyebabkan masalah pada hubungan dengan suami Anda,” kata Dev yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku. “Tapi jangan khawatir, Bu. Saya akan membantu Anda menjelaskannya padanya.”Aku menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak Dev. Tapi, saya rasa tidak perlu. Nanti saya yang akan menyelesaikannya sendiri,” ucapku tersenyum ramah. “Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak Dev. Foto yang tadi, dikirim ke saya, biar saya bisa bantu mencari tau,” ujarku lagi sebelum akhirnya berlalu ke kantor.Tiba di ruangan, aku mendaratkan bokong dengan sedikit kasar di kursi kebesaran ini kata orang. Sesekali, mencoba menghubungi Nizar, tapi teleponnya hanya berdering, tak ada jawaban sama sekali. Sudah berulang kali mencoba, tapi hasilnya tetap sama. Tak digubris. “Astaga ... sabar, Divya! Normalisasi suami cemburu karena mungkin sindrom couvade-nya lagi kumat,” ucapku seraya
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa