“Bu Divya, saya benar-benar minta maaf karena pertemuan ini menyebabkan masalah pada hubungan dengan suami Anda,” kata Dev yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku. “Tapi jangan khawatir, Bu. Saya akan membantu Anda menjelaskannya padanya.”
Aku menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak Dev. Tapi, saya rasa tidak perlu. Nanti saya yang akan menyelesaikannya sendiri,” ucapku tersenyum ramah.“Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak Dev. Foto yang tadi, dikirim ke saya, biar saya bisa bantu mencari tau,” ujarku lagi sebelum akhirnya berlalu ke kantor.Tiba di ruangan, aku mendaratkan bokong dengan sedikit kasar di kursi kebesaran ini kata orang.Sesekali, mencoba menghubungi Nizar, tapi teleponnya hanya berdering, tak ada jawaban sama sekali.Sudah berulang kali mencoba, tapi hasilnya tetap sama. Tak digubris.“Astaga ... sabar, Divya! Normalisasi suami cemburu karena mungkin sindrom couvade-nya lagi kumat,” ucapku serayaTiba di ruangan setelah mengantar Divya bekerja, aku menghempaskan bokong ke kursi sesekali memutarnya seraya menghela napas yang sedikit berat. Kening yang malah ikut-ikutan berat, kupijat pelan, lalu membuka laptop dan mulai bekerja. Ketika hari mulai beranjak siang, aku bangkit dari dudukku dan berjalan ke dekat dinding kaca. Berdiri di sana seraya menatap suasana cerah ini dari atas ruangan kantorku.Pikiran tentang obrolan dengan Ayah kemarin kembali berdesakan dalam kepala, menganggu ketenangan pikiran ini.“Raymond group dalam masalah, Nizar. Adrian sudah menyebabkan kerugian pada perusahaan,” ungkap Ayah menunjukkan kekecewaan mendalam pada anak tirinya itu.“Dia menggunakan dana perusahaan untuk bermain wanita. Tanpa Ayah tau ternyata dia juga sering membayar wanita yang berbeda-beda ke kantor. Saat ini ... situasi Raymond Group sangat krisis financial,” imbuh Ayah. Aku sama sekali tak terkejut mendengar per
Hanya saja, saat hendak masuk mobil, Divya sudah menarik lenganku dan menghalangi pergerakan ini. Kulihat raut wajahnya tampak begitu cemas. Tatapannya pun penuh permohonan. “Mas, kenapa pergi?” tanyanya berusaha menangkap bola mata ini yang justru berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain seakan enggan menatapnya. “Pergilah, temui Dev!” cetusku dingin. Dari sudut mata yang diam-diam memperhatikan istriku, dia terlihat sedikit terperanjat mendengar nada suaraku yang ketus dan terkesan membentaknya. Karena itu, pegangannya di tanganku sedikit mengendur, meski belum dilepaskan. Aku tahu dia pasti kaget karena dibentak. ‘Ya Tuhan! Aku merasa bersalah padanya.’ “Aku dan dia ketemu untuk membahas pekerjaan, Mas. Bukan hal lain.” Divya mencoba membela diri, setidaknya kulihat bola matanya mulai berkaca. Namun, aku tidak boleh iba padanya kali ini. Aku melepaskan tangannya dariku dan buru-buru masuk ke mobil. Divya mengetuk kaca mobil berulang kali sambil terus be
Aku masih diam seribu bahasa. Enggan menanggapi permintaan maaf Divya yang kulihat sangat tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam, meski tak sedalam cintaku padanya.Walau sebenarnya, aku sangat gak kuat lama-lama marah padanya, apalagi kalau tingkahnya sudah seperti itu.Lihatlah, betapa sangat menggemaskan dirinya, minta disekap seharian di dalam kamar. Hanya saja, aku harus egois, setidaknya beberapa jam untuk membuatnya sadar akan kesalahannya.“Mas Nizar, suaminya Ivy yang tersayang dan tercinta, yang paling ganteng ... maafin Ivy, ya.” Dia mendongak padaku dan sepertinya sengaja mengedipkan mata berulang kali. Dia tahu, kalau aku paling mudah luluh, jika dia sudah seperti itu. Namun, aku sengaja mengalihkan perhatian ke arah lain sambil menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum.Ayolah, aku tak boleh goyah terlalu cepat. Meski rasanya ingin menyeret dia ke hotel terdekat.Tanp
‘Sepertinya ide si Maesaroh gak buruk juga,’ cicitku dalam hati, sambil mengetuk-ngetuk dagu mempertimbangkan saran yang diberikan Sarah tadi. ‘Nizar mana bisa nolak kalau disuguhkan barang bagus? Ya kan? Hihi!’ Aku tertawa cekikikan dalam diam. Seketika itu juga bergidik geli membayangkan diri ini meliuk-liuk manja kayak cacing kepanasan di hadapan suami tersayang dan tercinta yang sekarang lagi ngambek. Ketika suara gemericik air dari dalam kamar mandi sudah berhenti, aku bergegas cepat untuk menyiapkan baju ganti untuk Nizar. Ah, karena terlalu larut dalam lamunan, aku nyaris lupa menyiapkannya pakaian ganti untuknya. Untungnya, karena walaupun sedang marah, dia tetap memakai baju yang kusiapkan. Jadi, setidaknya, aku masih patut bernapas lega dan merasa senang. Sedikit menyunggingkan senyum semanis gulali ini diam-diam. Ya, suamiku itu memang paling bisa menghargai usaha ora
“Mas, kamu udah ngantuk apa belum?” tanyaku. Sebenarnya, bertanya untuk basa-basi saja. Berharap banget kalau Nizar belum ngantuk. Karena aku ingin menyelesaikan masalah kesalahpahaman kami.“Sedikit. Kenapa emang?” tanya Nizar dengan suara seraknya. “Masih pengen keringatan bareng?”Aku terkekeh pelan. Mencubit perutnya hingga ia meringis pura-pura kesakitan agaknya. “Bukan. Tapi, aku mau diskusi dulu sama kamu. Boleh, gak?” Aku yang saat ini tengah menyender di dadanya, sedikit mengangkat kepala untuk melihat raut wajah suamiku yang tampan itu.Seharusnya, dia sudah tak marah lagi karena tadi aku sudah menyuapnya dengan hal yang dia sukai.Kalaupun masih marah, semestinya amarahnya tinggal sedikit.Ah, palingan juga pura-pura marah. Kapan coba seorang Nizar Ghifari bisa marah lama-lama pada Divya?“Apa yang perlu didiskusikan, hm?” Dia balik bertanya. Nada suaranya terdengar masih sedikit ketus, tapi tatapan
Aku terhenyak, meski tak begitu kaget mendengar perkataan Nizar. Kesalnya lagi karena mereka ngotot sekali ingin mengakuisisi perusahaan keluargaku?Bahkan, di tengah badai keuangan yang tengah melanda, mereka masih tetap nekat mengakuisisi TalentVista?Apa yang mereka pikirkan? Bagaimana mungkin TalentVista bisa berkembang di tangan mereka, sedangkan perusahaan mereka juga tengah down?Tapi, sebenarnya gak heran juga, karena melakukan akuisis akan memiliki banyak keuntungan. “Hm.” Aku berdehem singkat, menatap Nizar serius. “Jadi, kamu mau jadi investor Raymond Group?” tanyaku dengan nada yang sedikit kecewa. Ya, aku mungkin akan kecewa kalau Nizar melakukannya.Tapi, di sisi lain, aku juga harusnya gak boleh kecewa. Karena walau bagaimanapun juga, semua orang juga pada tahu kalau ayahnya Nizar alias ayah mertuaku adalah bagian dari Raymond Group.Boleh jadi mungkin Nizar tergerak hatinya untuk membantu peru
“Aku melihat peluang besar di sana, dan aku yakin dengan adanya akuisisi ini akan membawa KreatifLumina ke level yang lebih tinggi,” imbuh Nizar. “TalentVista juga akan mendapatkan eksistensinya kembali dan tentu masalah finansial akan kembali stabil.”“Kalau akuisisi ini berhasil, tim kita akan sama-sama bekerja keras untuk mengelola dan mengembangkan TalentVista yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.”“Dan alasan yang paling mendasari, karena aku gak mau TalentVista Management jatuh ke orang yang gak tepat. Bisa hancur masa depan TalentVista, Sayang.”Aku tersenyum tipis, melihat semangat dan kepercayaan diri Nizar yang serasa menular padaku.Aku memeluknya lagi, menyandarkan kepala di dadanya, sesekali memejamkan mata mendengar detak jantungnya yang beraturan. “Kalau begitu, aku percaya sama kamu. Papa pasti akan sangat senang kalau tau kamu memutuskan mengakuisisi TalentVista.”Nizar berdehem pelan. “Memangnya kamu sendiri gak senan
Pagi harinya, aku duduk di tepi ranjang, mengamati dengan saksama dan dalam tempo yang tidak singkat foto yang dikirim Dev padaku kemarin. Aku tak sempat melihatnya tadi malam karena sedang berusaha membujuk suami yang lagi ngambek.Sesekali jempol dan telunjuk ini memperbesar gambar itu guna mencari tahu sosok yang berada di gambar itu, tapi aku belum bisa mengenalinya sama sekali. Tapi, anehnya ... karena aku merasa tak asing dengan gambar tersebut. Kayak pernah melihat, tapi aku bingung kapan dan di mana?Gambarnya terlalu buram, kayak masa lalu.Aku sedikit terkejut, ketika tiba-tiba Nizar melingkarkan tangan di pinggang ini dan meletakkan dagu di bahuku. Tak meninggalkan kesempatan untuk menghirup aroma tubuhku melalui ceruk leher. “Gimana perasaan kamu? Udah enakan? Kalau dirasa masih deg-degan perkara tadi malam, kamu istirahat aja dulu di rumah.”“Aku udah baik-baik aja, Mas. Dan gak bisa l
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa