“Sudah siap?” tanya Edgar saat mobil yang ia kendarai sudah berhenti di area parkir. Zola tidak menjawab, rasa ragu mulai menjalar memenuhi relung hati. wajahnya menoleh ke samping, mengunci tatapan mata Edgar. “Apa aku harus melakukannya? bukankah jika aku datang kemari, aku mengakui bahwa memang memiliki masalah mental?” Zola tersenyum tipis, sembari mengubah pandangannya pada bangunan bercat putih. sebuah klinik psikologi dengan tulisan terpasang pada plang bertuliskan deretan kalimat yang begitu menusuk hati Zola. “Solusi sehat mental,” ucap Zola dengan bibir yang sedikit bergetar. “Padahal, aku merasa baik-baik saja.” Lanjutnya sambil memejamkan matanya. “Jika kau belum siap, aku bisa mengubah jadwalnya. aku tidak akan pernah memaksa, tapi…” belum selesai Edgar meneruskan ucapannya, Zola sudah lebih dulu membuka pintu mobil dan turun. Edgar pikir, Zola akan masuk ke klinik itu, nyatanya tidak. Zola lebih memilih duduk di sebuah kursi panjang yang sengaja diletakkan dekat are
“Alih-alih sebagai psikolog, anggaplah saya sebagai sahabat yang paling tahu segalanya tentang anda, nyonya Zola Maharani.” sambut psikolog itu dengan senyum ramahnya. dengan tatapannya yang terlihat datar,Zola melipat tangan angkuh, seperti tidak menyukai kata-kata yang diucapkan oleh psikolog bernama Heni. Zola dapat membaca nama psikolog itu yang terdapat di meja. Heni Putri Wati, nama yang cukup bagus pikir Zola. pasti orang tuanya yang memberikan nama itu. “Tapi, kita baru pertama kali bertemu, rasanya aneh jika aku menganggapmu sebagai seorang sahabat,” Cukup lama reaksi yang ditujukan oleh Heni. Zola pikir, psikolog itu akan marah. nyatanya, Heni justru tertawa lepas dan itu cukup mengejutkan bagi Zola. “Anda terlalu jujur, tapi itu nilai plusnya. anda tidak suka kepura-puraan.” Zola mengangguk setuju, lalu melanjutkan. “Lalu, jika saya tidak menyetujui perumpamaan anda sebagai sahabat saya. lantas, apa yang bisa anda lakukan?” “Kita mulai dari awal. ini tentang masa ke
“Apa katamu, mas? kau akan menumbalkan ku dalam acara itu?” Rosa bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju ke arah Darel yang tengah bersandar pada dinding kamar tamu yang saat ini ditempati oleh Rosa. pria itu tidak terkejut mendengar reaksi marah yang ditujukan oleh Rosa. wajar saja jika Rosa marah, karena Darel memberitahu apa yang tadi sudah ditawarkan Zola padanya. penawaran yang begitu menggiurkan, namun harus diakui Darel jika dampaknya akan mencemari nama baik Rosa. ia tidak ingin pengorbanan yang dilakukan oleh Rosa menjadi sia-sia karena keegoisannya menerima tawaran Zola. Rosa sudah mau dijadikan sebagai selingkuhan selama ini, jadi tentu saja Darel tahu bagaimana sakitnya wanita itu menahan cemburu saat terus di nomor duakan olehnya. beruntunglah, Zola mengetahui perselingkuhannya dan setidaknya ia tidak lagi melihat raut cemburu yang terlihat jelas di wajah kekasihnya itu. bagi Darel, cukuplah sudah pengorbanan Rosa dan kali ini, ia ingin melihat wanita itu bahagia. seand
Dulu, sebelum mengenal Darel. Zola tidak pernah bisa lepas dari Isa, baginya Isa adalah kakak laki-laki yang bisa ia andalkan. tidak ada tempat berbagi paling nyaman, kecuali bersama dengan Isa. Zola tenggelam dalam pikiran, sampai ia tidak menyadari kehadiran Dania yang ikut duduk tepat di sampingnya. “Tidak ke Hotel?” pertanyaan Dania membuyarkan lamunan Zola, seketika wanita berparas cantik itu menoleh ke arah sumber suara. “Ibu?” Dania tersenyum, lalu mengangguk sambil mengelus lembut lengan Zola. “Bagaimana kabar mertuamu?” Dania mengalihkan pertanyaannya, ia yakin jika Zola tidak menyimak baik pertanyaan yang Dania ucapkan pertama kali. “Mama masih dalam masa pemulihan.” “Kau tidak ingin datang kembali untuk menjenguknya?” Zola menggeleng lemah, terlalu sakit jika ia datang saat ini. semuanya sudah ia persiapkan dan Zola tidak ingin karena rasa iba yang ia miliki, justru membuat dirinya merasa bersalah karena rencana yang sudah ia susun rapi ini, dampaknya terhadap Dessy
Darel sengaja datang lebih dulu ke acara pesta yang diadakan oleh mertuanya. tanpa ada rasa bersalah ataupun canggung sedikitpun, Darel terlihat percaya diri untuk memasuki rumah mewah tersebut. terlebih, saat ia disambut baik oleh para penjaga yang ditugaskan untuk menjaga bagian pagar rumah. dan salah satu dari mereka yang terlihat menghormati dirinya tidak lain adalah pengawal Daries yang memukulinya di pantai tempo hari. Hal itu sudah cukup membuat Darel yakin, bahwa mertuanya sudah menerimanya dalam keluarga ini. terlepas dari kasus perselingkuhan yang ia lakukan. Darel dapat melihat, bagaimana suasana semakin ramai dikunjungi oleh para tamu undangan. beberapa dari mereka juga sempat menegur Darel, dan ditanggapi dengan senyuman. tidak ingin membuat orang-orang curiga, Darel berusaha bersikap seperti biasa. Ia merasa menjadi menantu keluarga Joyokusumo ini begitu menaikkan harga dirinya dan status sosialnya.hampir sepuluh menit berlalu, namun Zola belum muncul juga. tidak hanya
Darel menggeleng pelan, namun Zola dapat menangkap raut wajah kegelisahan pada pria tampan itu. Zola mengalihkan pandangannya pada sang ayah yang masih terlihat menyampaikan sambutannya. “Sebelum itu, marilah kita sama-sama menyambut anak semata wayang saya dan suaminya agar bergabung ke depan bersama kami.” Daries mengelus lembut punggung istrinya, lalu menyebutkan nama Zola dan juga Darel. mendengar namanya disebut, Zola gegas menarik tangan Darel agar mengikuti langkahnya untuk mendekat pada Daries yang berada di depan layar proyektor berukuran besar. “Mungkin sebagian dari kalian belum mengenal Darel, karena memang dia adalah menantu kami yang sedikit pemalu,” sambut Daries tanpa mengurangi senyumannya. Darel tidak dapat menampik jika ucapan Daries mampu sedikit menenangkan hati. karena selama ini, Daries sendiri tidak pernah memperkenalkan Darel secara langsung seperti malam ini. Di sudut lain, Rosa nampak begitu asing dan kesepian. Ia hanya mampu menatap orang yang dicintainy
Rosa tidak sanggup lagi jika harus kembali mendapatkan perlakuan mengerikan yang kini tengah dirasanya. bukan hanya dirinya yang bersalah, namun Darel juga. walaupun Rosa tahu ini sudah direncanakan Darel agar mendapatkan kepercayaan Zola, tetap saja rasanya begitu sakit mengingat bahwa harga dirinya dihancurkan dalam waktu singkat. Rosa sadar, saat ini gerombolan wanita yang tengah mengelilinginya ini tengah memotret dan mengambil video untuk disebarkan ke media sosial.“Hentikan!” suaranya terdengar serak bercampur tangis. Zola merasa kasihan melihat wanita itu menangis? tidak sampai sekali. justru, Zola merasa bahagia melihat tangis wanita yang nampak putus asa. Zola menatap ke arah ayah ibunya yang ternyata sudah tidak berada ditempat. tanpa mengatakan sepatah katapun, Zola sudah paham kemana arah pemikiran kedua orang tuanya itu. Darel masih berdiri mematung, seperti syok melihat hal yang baru saja terjadi pada kekasihnya.“Mas, ayo kesini. ada yang ingin aku tunjukkan padamu.” T
“Apa maksudmu, sayang?” Dania menatap ke arah belakang. walau percuma, tetap saja kepalanya tidak bisa melihat kejadian yang tengah berlangsung. Dania tak bisa membayangkan kegilaan apa yang dilakukan oleh Zola di rumah. pemutaran video yang dipertontonkan tadi, sudah mampu membuat perutnya terasa mual dan ingin muntah. “Aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa!” gerutunya tak dapat mengendalikan emosi. Dania duduk di samping Daries dengan keadaan tidak tenang saat suaminya itu mengatakan bahwa putri kesayangannya saat ini tengah mempermalukan selingkuhan suaminya di depan umum. “Lalu, kenapa kita tinggalkan?” Dania masih belum mengerti apa maksud suaminya itu, meninggalkan Zola sendiri. “Pestanya bukan di rumah. saat ini, kita menuju Hotel, para tamu undangan pasti tengah menunggu kedatangan kita.” Dania semakin sulit mencerna perkataan Daries. otaknya terasa buntu tak mampu menjabarkan maksud ucapan suaminya. “Mereka hanyalah orang-orang bayaran. aku yakin, tidak satupun
Hari berlalu begitu saja, tidak ada yang menarik bagi Zola kecuali rasa berkecamuk dalam hatinya. walaupun hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh ayahnya, tetap saja Zola merasa sedikit kecewa. sebentar lagi dunia akan tahu, bahwa ayahnya memiliki wanita lain dan tentu saja, buah hati dengan wanita itu. ya, siapa lagi kalau bukan Isa. pria yang sudah ia anggap sebagai sahabat dan kakaknya itu kini justru berubah statusnya sebagai adiknya. pria itu akan menyandang status sebagai seorang anak Joyokusumo.“Sudah siap, sayang?” Zola mendongak, menatap wajah teduh ibunya yang terlihat begitu cantik dalam balutan kebaya berwarna gold.Zola tersenyum tipis, dadanya masih saja sesak walau ia sudah berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah siap dengan semuanya. tanpa menunggu arahan ibunya, Zola bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar menuju ke tempat Resepsi Pernikahan Isa dan Rumi. Zola memang sengaja tidak menemani Rumi saat acara akad nikah, bukan tanpa alasan. Ia lebi
Zola bersandar pada kursi depan mobil, tepatnya di samping Edgar yang saat ini tengah menyetir. suasana terasa begitu hening sesaat setelah keduanya sampai detik ini tidak ada yang memulai pembicaraan. Zola memejamkan mata, meresapi kejadian yang tadi terekam jelas dalam otaknya, bagaimna telatennya Edgar saat menyuapkan makanan. tanpa Zola sadari, pria di sampingnya terlihat mencuri pandang dan mendapati Zola tersenyum sendiri.“Apa yang sedang kau lamunkan, sayang? kau tersenyum begitu manis dan rasanya tidak adil jika tak kau bagi padaku,” deretan kalimat yang diucapkan oleh Edgar membuat Zola membuka mata dan langsung menatap sang pujaan hati.“Hanya mengingat kejadian yang lucu.” Sahut Zola berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. malu, rasanya jika ia harus jujur pada Edgar soal hal yang baru saja ia lamunkan. jika sampai kekasihnya itu tahu, dapat dipastikan bagaimna Edgar akan berbangga hati dan besar kepala.“Benarkah? tap-”“Sudahlah, jangan diperpanjang!” sela Zola
Zola hanya dapat memandang penuh dengan banyak pertanyaan di kepalanya. saat ini, Zola tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Edgar yang terlihat begitu lahap menyantap makanan yang sudah tersedia diatas meja. sesekali Edgar melirik ke arah Zola yang terlihat diam saja dan belum menyentuh makanannya. Edgar tidak terlalu ambil pusing, ia terus saja menikmati makanannya. "Apa kau sering datang ke tempat seperti ini?" akhirnya Zola memutuskan untuk bertanya. ia sudah tidak tahan lagi melihat ekspresi wajah Edgar yang terlalu menikmati makanan. bukan jijik karena berada ditempat warung lesehan seperti ini, lebih ke rasa penasaran karena Zola sendiri belum Pernah makan ditempat seperti ini. apalagi seorang Edgar Valden, seorang pebisnis kaya raya. "tidak sering, hanya saja orang tuaku pernah sesekali mampir ke tempat seperti ini dan jujur saja, aku merasa lidahku cocok untuk makanan seperti ini. apa ini terlihat aneh?" Zola menggeleng, terlihat dipaksakan dan terkesan aneh dengan sen
Rumi tidak memperpanjang perdebatannya dengan Isa. mungkin untuk saat ini, ia harus sedikit mengalah untuk mengesampingkan kepentingan sahabatnya sendiri. walau Rumi tidak tahu pasti, apa yang membuat Isa merubah sifatnya menjadi lebih membenci Zola. Rumi juga tidak ingin munafik, pernikahannya sudah tinggal menghitung hari dan ia tidak ingin pernikahannya hancur berantakan. katakanlah ia egois, tapi Rumi begitu mencintai Isa. *** Zola menatap layar laptopnya sembari menghela napas kasar. pekerjaan yang menumpuk disertai dengan sekelumit permasalahannya membuat tubuh dan pikirannya seperti diperas habis. ingin sekali rasanya pergi ke suatu tempat yang menenangkan diri, tapi Zola terlalu gengsi jika harus menghubungi terlebih dahulu Edgar. Ia ingin agar pria itu berinisiatif untuk menghubungi dirinya terlebih dahulu. “Hai, apa aku mengganggumu?” Zola mengangkat wajah, menatap tak percaya jika pria yang baru saja menghiasi pikirannya, justru kini berdiri di ruangannya. dengan senyu
Pandangan Zola teralihkan pada ponselnya yang berdering. wanita cantik itu lantas merogoh ponsel yang berada di dalam saku celananya. Zola menatap pada Edgar, seperti meminta izin pada kekasihnya itu untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.“Rumi,” ucapnya pelan yang diangguki oleh Edgar.“Hallo,”‘Zola, maafkan aku.’ sahut Rumi tanpa berbasa-basi.‘aku tahu, pernikahanku ini berdampak pada kehidupanmu. tapi, aku sungguh tidak tahu jika keadaannya sampai seperti ini. Isa baru saja menghubungi diriku dan mengatakan akan membatalkan pernikahan ini. bagaimana ini, Zola? undangan sudah terlanjur tersebar dan…aku malu sekali. aku tidak tahu, apa Masalahnya sampai Isa memutuskan hal ini tanpa berbicara padaku. namun,” ada jeda waktu saat Rumi kembali akan melanjutkan perkataannya. ‘aku yakin, ini berhubungan denganmu.’“Kenapa harus aku, Rumi? bukankah kita sahabat, lantas apa yang mendasari dirimu yakin jika Isa membatalkan pernikahan ini gara-gara diriku?” ucap Zola tanpa mengalihkan
“Aku pikir ayah akan sedikit mengasihi kami, sebagai keluarga. namun, nyatanya kami harus kembali di tampar oleh fakta menyedihkan soal pengkhianatan yang ayah lakukan pada ibu.”PRAK!Daries membanting piring yang ada dihadapannya, membuat piring berbahan keramik itu pecah berantakan di lantai. baru kali ini, Zola melihat wajah kemarahan sang ayah. dan itu semua disebabkan oleh Isa. anak kandungnya yang sudah lama ia rahasiakan. “Cukup Daries, kau membuat Zola ketakutan.” “Sebagai seorang ibu, kau tidak bisa mengajari dan mendidik anak kita! lihat kelakuannya sekarang setelah bercerai, berani sekali mengungkapkan isi hatinya dan berencana meninggalkan rumah ini!”Zola menatap wajah ibunya, berharap agar wanita itu bisa sedikit saja tegas pada ucapan Daries. tapi, kenyataannya tidak seperti yang Zola inginkan. Dania hanya dapat menundukkan wajah tanpa berani menatap langsung wajah Daries.‘setidaknya aku tidak selemah ibuku,’ batin Zola lalu pergi meninggalkan ruang makan. Setelah
Semalaman Edgar tidak tidur dengan tenang. pria berlesung pipi itu terus saja terbayang wajah Zola yang dipenuhi oleh air mata. betapa rapuhnya pondasi hati wanita yang dulu ia kenal begitu tegar dan tak gampang untuk menangis. Zola juga merupakan wanita yang tidak mudah untuk menunjukkan kesedihannya. pasti ada sesuatu yang membuat kekasihnya itu begitu terpuruk dan terlihat begitu putus asa. karena waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan, Edgar bergegas untuk mandi dan melakukan aktifitas seperti biasanya.“Sebaiknya kau pikir ulang untuk menikahi anak Joyokusumo itu,”Edgar menghentikan sendok yang berisi makanan yang sudah hampir masuk ke dalam mulutnya. pernyataan yang baru saja keluar dari bibir Valden membuat suasana hati dan nafsu makan Edgar seketika hilang begitu saja. bukankah slhal ini sudah dibahas berulang kali dan kesepakatannya adalah ia boleh menikahi Zola, yang penting hal itu tidak berdampak buruk pada bisnis keluarga ini. Melihat ekspresi wajah Edgar yang t
“Aku bilang keluar!” teriak Zola tanpa peduli jika suaranya terdengar sampai keluar. walaupun kamar ini kedap suara, namun saat ini pintu kamar Zola tidak ditutup dan bisa saja suaranya terdengar sampai keluar. melihat ekspresi wajah kesal Zola, tidak membuat Isa tergugah untuk pergi. pria itu justru terlihat menyilangkan kaki, santai sekali.“Aku belum berkata sampai point' pentingnya. menyerah saja, kau tidak akan bisa bersaing denganku. dari dulu, kau tergantung pada kemampuan ku untuk mengelola Hotel.”Zola menghela napas kasarnya, berupaya untuk tidak percaya dengan pendengarannya. namun, telinganya masih berfungsi dengan normal.“Maksudmu?”“Bersaing adil denganku tanpa melibatkan Edgar. aku sudah bicara dengan orang tua itu, kau tidak akan dilibatkan dalam proses pernikahan kami. lebih tepatnya, kau akan menjadi bagian dari tamu penting pernikahanku,”“Sejak kapan kau merencanakan ini semua?” tegas Zola, dalam hatinya berharap ini hanyalah ilusinya.“Sejak aku tahu, siapa jati
Zola menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskan secara perlahan-lahan. bagi Zola, seharusnya ayahnya tidak melakukan ini. ia juga anak Daries, untuk apa melakukan hal yang tak masuk akal begitu. menyuruhnya dan Edgar mengurusi hal-hal yang harusnya sudah di kerjakan oleh anggota wedding organizer, jadi tidak masuk akal untuk memaksakan diri mereka untuk…Zola menggeleng cepat, kesal dengan pemikirannya sendiri dan merasa terbebani dengan permintaan sang ayah. saat akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan pintu membuatnya harus menunda keinginannya untuk beristirahat sejenak. saat membuka pintu kamar, betapa terkejutnya Zola saat melihat Isa berada di depan kamarnya. “Boleh masuk?”Zola menggeleng cepat, tidak mengizinkan Isa masuk ke dalam kamarnya. “Ada yang ingin aku bicarakan, anggap saja ini sebagai kado pernikahanku.” Isa masih berusaha untuk meyakinkan Zola.“tap-” belum sempat Zola mencerna perkataan Isa, pria itu langsung menerobos masuk kedalam kamar Zola. “Kau