Satu kata untuk Darel 🤔
Setelah cukup lama Zola mengendarai mobil, akhirnya ia sampai disini. Tempat dimana Darel tengah menunggu kedatangannya. tempat ini memang tidak asing bagi Zola, ini adalah tempat kali pertama keduanya melakukan kencan pertama saat menjalin hubungan. Cafe ini, memang didesain khusus untuk pecinta alam, karena jika kita sudah berada di dalamnya, bukan pemandangan kota yang kita lihat melainkan hamparan luas pantai yang begitu indah. Zola mengamati sekitar, mencari keberadaan suaminya. Benar saja, Darel berada di bangku paling ujung. Tempat favorit keduanya, kala itu. Zola melangkahkan kakinya, menuju ke arah meja yang ditempati oleh Darel. Semilir angin pantai yang lumayan kencang, membuat anak rambutnya bergerak lincah sedikit menutup wajahnya. “Kau datang?” suara Darel terdengar begitu parau. jika diperhatikan, pria itu juga tampak habis menangis. kedua matanya memerah, entah sudah berapa banyak air mata yang dikeluarkannya. Zola memaksakan untuk tersenyum, sebelum mendudukkan tu
“Aku tahu, telingamu masih berfungsi dengan normal.” Zola masih menimbang-nimbang, kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Edgar. Ia tidak mungkin, mengatakan hal yang tidak ada hubungannya dengan pria yang kini tengah berkonsentrasi menyetir mobil. “Ini semua, bukan urusan anda. Bagi saya, anda hanyalah orang asing dan hubungan kita hanyalah sebatas rekan kerja. Jadi, saya tidak harus menjawab pertanyaan anda. Lagi pul-” Zola menghentikan kata-katanya, ia baru menyadari mobil laju mobil kian melambat dan akhirnya berhenti di bahu jalan yang sedikit sepi. “Apa aku harus mengingatkan bahwa sebelum ini, kita hampir saja berhubungan?” Edgar mengalihkan pandangannya, mengunci kedua mata indah Zola yang nampak bergerak gelisah. “Kau menolak perjodohan bisnis yang dilakukan oleh orang tua kita. Sekarang, kau ingat?” Zola melipat kedua bibirnya kedalam, hendak bersuara namun bingung harus bagaimana. pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan terkesan menuntut agar dirinya kembali ke ma
Zola tak menyangka jika tangan Edgar masih terulur untuk bisa berjabat tangan dengan dirinya. sekali lagi, ia menatap lekat wajah pria yang duduk disampingnya itu. saat pandangannya bertemu tatap dengan Edgar, Zola dapat melihat iris mata pria itu berwarna hitam pekat. tatapannya begitu tajam dan terkesan menuntut Zola agar mengikuti arah gerak bola matanya. wanita itu, seperti terhipnotis dengan keindahan mata yang dimiliki oleh Edgar. “Kita sudah berkenalan, tidak perlu seperti ini. lebih baik, sekarang antarkan saja aku pulang karena kau sendiri yang dengan bersuka cita ingin menjadi sopirku.” Zola harus mengakhiri ini. Ia tidak ingin terhipnotis oleh pesona pria tampan ini. Edgar menarik uluran tangannya, lalu kembali menyalakan mobil. “Ke rumah orang tuamu?” tanya Edgar, saat mobil telah membelah jalanan kota. Zola hanya menjawab dengan anggukan. bayangan wajah suaminya kembali menghiasi pikirannya. sakit yang diderita Darel saat ini, adalah ulah dari perbuatannya sendiri. Jad
“Maaf Tante, kedatangan saya kemari justru membuat-” “Tidak, dan jangan memakai bahasa formal seperti itu. kau sudah aku anggap keluarga, jadi bersikaplah seperti biasa, ya walaupun aku tahu sedikit sudah untuk memulainya.” Potong wanita berhijab itu. keduanya kini tengah berada di ruang tamu. kebetulan Daries Joyokusumo, suaminya sedang berada di luar Negeri. tentu saja jika pria itu mengetahui kedatangan Edgar, ia pasti juga akan berpendapat sama seperti Dania. “Jadi, kau tidak sengaja bertemu dengan Zola dan suaminya di Cafe dan mereka sedang bertengkar, begitu?” sekali lagi, Dania menuntut jawaban Edgar. mungkin saja, jika orang lain yang melihat hal ini akan beranggapan bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Tapi tidak untuk Dania, ia sangat yakin ini bukanlah suatu kebetulan saja. Belum sempat Edgar kembali menjawab pertanyaan, Dania dan Edgar menoleh bersamaan ke arah tangga, dimana alas kaki yang digunakan oleh Zola beradu dengan lantai tangga sehingga menimbulkan suara. Zola
Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab. itulah kata-kata yang tepat untuk Darel saat ini. mengikuti hawa nafsunya, akhirnya ia berakhir di tempat ini. sebenarnya, banyak kesempatan untuk bisa menjadi lebih baik lagi, namun dirinya justru dengan sadar terjun bebas ke lumpur yang membuatnya sesak tak dapat bernafas. Menikah dengan wanita cantik, populer dan kaya adalah impian semua pria. Darel sudah mendapatkan kesempatan itu, tapi hal itu dalam hitungan hari akan sirna begitu saja karena kebodohannya. “Sebelum mengambil urine anda, ada baiknya anda harus berpikir positif.” Dokter yang memiliki postur tubuh sedikit berisi itu, kembali mengingatkan Darel. Ya, saat ini Darel sudah berada di Klinik khusus Pria untuk melakukan serangkaian tes agar mengetahui perihal tentang penyakit yang dideritanya saat ini. “Semalam, saat saya berada di Cafe. hal itu, kembali terulang dan nanahnya cukup banyak,” Darel nampak begitu gelisah, ada rasa takut untuk melakukan tes ini. “Dimana istr
“Setelah melakukan serangkaian tes, kita bisa melihat hasilnya. dan benar saja, anda positif sakit Gonore, hal ini disebabkan oleh sebuah bakteri dan tentu saja, karena aktivitas seksual yang anda lakukan bersama pasangan anda.” Ucap dokter yang menangani Darel. “La-lalu, apa yang harus saya lakukan agar bisa sembuh dok? saya masih muda dan tidak ingin cepat mati!” Darel menatap nanar dua lembar kertas yang kini sedang digenggamnya. kertas itu, adalah hasil tes urine dan juga beberapa tes yang sudah ia jalani. “Saya akan memberikan antibiotik yang akan anda minum selama tujuh hari. namun ingat satu hal, dalam proses penyembuhan ini anda tidak boleh melakukan hubungan seks terlebih dahulu. ini untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.” Lanjut sang dokter dengan sabar, serta telaten memberikan masukan untuk Darel. “Tidak masalah dok, yang penting saya bisa sembuh.” Darel begitu bersemangat, saat mendengar kata-kata dokter. “Satu hal lagi, kalau bisa anda membawa pasangan a
Zola menatap jam yang melekat pada pergelangan tangannya. pergerakan Zola juga tidak luput dari perhatian Edgar. “Maafkan karyawanku, aku pastikan dia akan mendapatkan balasan yang setimpal karena keterlambatannya. sebagai gantinya, akan aku antar kau berkeliling Hotel. bagaimana?” Zola mengangguk mengiyakan tanpa harus berpikir panjang. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. ada baiknya, Doni terlambat sehingga ia mendapat kesempatan ini. Jika dulu, Zola naif dengan pikirannya bisa berdiri dikaki sendiri saat sudah memiliki Hotel, kini pikirannya lebih terbuka lagi. Seharusnya ia lebih banyak belajar lagi soal bisnis, namun yang dilakukannya kala itu adalah merajut cinta beralas kepercayaan yang sekarang dipatahkan oleh orang yang ia cintai. “Ini ruang meeting yang kami sediakan.” Edgar membuka sebuah ruangan yang cukup luas. deretan kursi berjejer rapi, melingkari meja berbentuk bundar. Zola juga dapat melihat sebuah proyektor yang sengaja dipasang untuk mempermudah jalannya s
“Apa yang sudah kau lakukan pada wanita ini?” tanya seorang pria berpenampilan rapi yang saat ini tengah memeriksa keadaan Zola.Doni melirik sekilas ke arah Edgar, tanpa berani berkata-kata. ia memilih bungkam dan sebenarnya tidak ingin berada di ruang Edgar, namun ia dipaksa. catat, dipaksa dan bukan karena penasaran sebabnya Zola jatuh pingsan. Edgar hanya mengedikkan bahu, tidak memberikan penjelasan apapun.hal itu, membuat pria yang memeriksa Zola, mendesah pasrah dan kembali melakukan hal yang harusnya ia lakukan, seperti dokter pada umumnya.“Mungkin sebentar lagi, dia akan bangun. aku harap, kau tidak melakukan hal yang sama lagi. wanita ini, nampaknya syok berat dan hal itu yang membuatnya jatuh pingsan.”Doni menajamkan pendengarannya, sesekali kembali melirik ke arah Edgar yang masih nampak duduk tenang di kursi kebesarannya. Doni menyimpulkan, jika Edgar sudah berani bermain kasar pada Zola. kalau tidak, mana mungkin wanita itu langsung pingsan begitu saja?“Apa kau mengaj
Hari berlalu begitu saja, tidak ada yang menarik bagi Zola kecuali rasa berkecamuk dalam hatinya. walaupun hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh ayahnya, tetap saja Zola merasa sedikit kecewa. sebentar lagi dunia akan tahu, bahwa ayahnya memiliki wanita lain dan tentu saja, buah hati dengan wanita itu. ya, siapa lagi kalau bukan Isa. pria yang sudah ia anggap sebagai sahabat dan kakaknya itu kini justru berubah statusnya sebagai adiknya. pria itu akan menyandang status sebagai seorang anak Joyokusumo.“Sudah siap, sayang?” Zola mendongak, menatap wajah teduh ibunya yang terlihat begitu cantik dalam balutan kebaya berwarna gold.Zola tersenyum tipis, dadanya masih saja sesak walau ia sudah berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah siap dengan semuanya. tanpa menunggu arahan ibunya, Zola bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar menuju ke tempat Resepsi Pernikahan Isa dan Rumi. Zola memang sengaja tidak menemani Rumi saat acara akad nikah, bukan tanpa alasan. Ia lebi
Zola bersandar pada kursi depan mobil, tepatnya di samping Edgar yang saat ini tengah menyetir. suasana terasa begitu hening sesaat setelah keduanya sampai detik ini tidak ada yang memulai pembicaraan. Zola memejamkan mata, meresapi kejadian yang tadi terekam jelas dalam otaknya, bagaimna telatennya Edgar saat menyuapkan makanan. tanpa Zola sadari, pria di sampingnya terlihat mencuri pandang dan mendapati Zola tersenyum sendiri.“Apa yang sedang kau lamunkan, sayang? kau tersenyum begitu manis dan rasanya tidak adil jika tak kau bagi padaku,” deretan kalimat yang diucapkan oleh Edgar membuat Zola membuka mata dan langsung menatap sang pujaan hati.“Hanya mengingat kejadian yang lucu.” Sahut Zola berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. malu, rasanya jika ia harus jujur pada Edgar soal hal yang baru saja ia lamunkan. jika sampai kekasihnya itu tahu, dapat dipastikan bagaimna Edgar akan berbangga hati dan besar kepala.“Benarkah? tap-”“Sudahlah, jangan diperpanjang!” sela Zola
Zola hanya dapat memandang penuh dengan banyak pertanyaan di kepalanya. saat ini, Zola tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Edgar yang terlihat begitu lahap menyantap makanan yang sudah tersedia diatas meja. sesekali Edgar melirik ke arah Zola yang terlihat diam saja dan belum menyentuh makanannya. Edgar tidak terlalu ambil pusing, ia terus saja menikmati makanannya. "Apa kau sering datang ke tempat seperti ini?" akhirnya Zola memutuskan untuk bertanya. ia sudah tidak tahan lagi melihat ekspresi wajah Edgar yang terlalu menikmati makanan. bukan jijik karena berada ditempat warung lesehan seperti ini, lebih ke rasa penasaran karena Zola sendiri belum Pernah makan ditempat seperti ini. apalagi seorang Edgar Valden, seorang pebisnis kaya raya. "tidak sering, hanya saja orang tuaku pernah sesekali mampir ke tempat seperti ini dan jujur saja, aku merasa lidahku cocok untuk makanan seperti ini. apa ini terlihat aneh?" Zola menggeleng, terlihat dipaksakan dan terkesan aneh dengan sen
Rumi tidak memperpanjang perdebatannya dengan Isa. mungkin untuk saat ini, ia harus sedikit mengalah untuk mengesampingkan kepentingan sahabatnya sendiri. walau Rumi tidak tahu pasti, apa yang membuat Isa merubah sifatnya menjadi lebih membenci Zola. Rumi juga tidak ingin munafik, pernikahannya sudah tinggal menghitung hari dan ia tidak ingin pernikahannya hancur berantakan. katakanlah ia egois, tapi Rumi begitu mencintai Isa. *** Zola menatap layar laptopnya sembari menghela napas kasar. pekerjaan yang menumpuk disertai dengan sekelumit permasalahannya membuat tubuh dan pikirannya seperti diperas habis. ingin sekali rasanya pergi ke suatu tempat yang menenangkan diri, tapi Zola terlalu gengsi jika harus menghubungi terlebih dahulu Edgar. Ia ingin agar pria itu berinisiatif untuk menghubungi dirinya terlebih dahulu. “Hai, apa aku mengganggumu?” Zola mengangkat wajah, menatap tak percaya jika pria yang baru saja menghiasi pikirannya, justru kini berdiri di ruangannya. dengan senyu
Pandangan Zola teralihkan pada ponselnya yang berdering. wanita cantik itu lantas merogoh ponsel yang berada di dalam saku celananya. Zola menatap pada Edgar, seperti meminta izin pada kekasihnya itu untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.“Rumi,” ucapnya pelan yang diangguki oleh Edgar.“Hallo,”‘Zola, maafkan aku.’ sahut Rumi tanpa berbasa-basi.‘aku tahu, pernikahanku ini berdampak pada kehidupanmu. tapi, aku sungguh tidak tahu jika keadaannya sampai seperti ini. Isa baru saja menghubungi diriku dan mengatakan akan membatalkan pernikahan ini. bagaimana ini, Zola? undangan sudah terlanjur tersebar dan…aku malu sekali. aku tidak tahu, apa Masalahnya sampai Isa memutuskan hal ini tanpa berbicara padaku. namun,” ada jeda waktu saat Rumi kembali akan melanjutkan perkataannya. ‘aku yakin, ini berhubungan denganmu.’“Kenapa harus aku, Rumi? bukankah kita sahabat, lantas apa yang mendasari dirimu yakin jika Isa membatalkan pernikahan ini gara-gara diriku?” ucap Zola tanpa mengalihkan
“Aku pikir ayah akan sedikit mengasihi kami, sebagai keluarga. namun, nyatanya kami harus kembali di tampar oleh fakta menyedihkan soal pengkhianatan yang ayah lakukan pada ibu.”PRAK!Daries membanting piring yang ada dihadapannya, membuat piring berbahan keramik itu pecah berantakan di lantai. baru kali ini, Zola melihat wajah kemarahan sang ayah. dan itu semua disebabkan oleh Isa. anak kandungnya yang sudah lama ia rahasiakan. “Cukup Daries, kau membuat Zola ketakutan.” “Sebagai seorang ibu, kau tidak bisa mengajari dan mendidik anak kita! lihat kelakuannya sekarang setelah bercerai, berani sekali mengungkapkan isi hatinya dan berencana meninggalkan rumah ini!”Zola menatap wajah ibunya, berharap agar wanita itu bisa sedikit saja tegas pada ucapan Daries. tapi, kenyataannya tidak seperti yang Zola inginkan. Dania hanya dapat menundukkan wajah tanpa berani menatap langsung wajah Daries.‘setidaknya aku tidak selemah ibuku,’ batin Zola lalu pergi meninggalkan ruang makan. Setelah
Semalaman Edgar tidak tidur dengan tenang. pria berlesung pipi itu terus saja terbayang wajah Zola yang dipenuhi oleh air mata. betapa rapuhnya pondasi hati wanita yang dulu ia kenal begitu tegar dan tak gampang untuk menangis. Zola juga merupakan wanita yang tidak mudah untuk menunjukkan kesedihannya. pasti ada sesuatu yang membuat kekasihnya itu begitu terpuruk dan terlihat begitu putus asa. karena waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan, Edgar bergegas untuk mandi dan melakukan aktifitas seperti biasanya.“Sebaiknya kau pikir ulang untuk menikahi anak Joyokusumo itu,”Edgar menghentikan sendok yang berisi makanan yang sudah hampir masuk ke dalam mulutnya. pernyataan yang baru saja keluar dari bibir Valden membuat suasana hati dan nafsu makan Edgar seketika hilang begitu saja. bukankah slhal ini sudah dibahas berulang kali dan kesepakatannya adalah ia boleh menikahi Zola, yang penting hal itu tidak berdampak buruk pada bisnis keluarga ini. Melihat ekspresi wajah Edgar yang t
“Aku bilang keluar!” teriak Zola tanpa peduli jika suaranya terdengar sampai keluar. walaupun kamar ini kedap suara, namun saat ini pintu kamar Zola tidak ditutup dan bisa saja suaranya terdengar sampai keluar. melihat ekspresi wajah kesal Zola, tidak membuat Isa tergugah untuk pergi. pria itu justru terlihat menyilangkan kaki, santai sekali.“Aku belum berkata sampai point' pentingnya. menyerah saja, kau tidak akan bisa bersaing denganku. dari dulu, kau tergantung pada kemampuan ku untuk mengelola Hotel.”Zola menghela napas kasarnya, berupaya untuk tidak percaya dengan pendengarannya. namun, telinganya masih berfungsi dengan normal.“Maksudmu?”“Bersaing adil denganku tanpa melibatkan Edgar. aku sudah bicara dengan orang tua itu, kau tidak akan dilibatkan dalam proses pernikahan kami. lebih tepatnya, kau akan menjadi bagian dari tamu penting pernikahanku,”“Sejak kapan kau merencanakan ini semua?” tegas Zola, dalam hatinya berharap ini hanyalah ilusinya.“Sejak aku tahu, siapa jati
Zola menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskan secara perlahan-lahan. bagi Zola, seharusnya ayahnya tidak melakukan ini. ia juga anak Daries, untuk apa melakukan hal yang tak masuk akal begitu. menyuruhnya dan Edgar mengurusi hal-hal yang harusnya sudah di kerjakan oleh anggota wedding organizer, jadi tidak masuk akal untuk memaksakan diri mereka untuk…Zola menggeleng cepat, kesal dengan pemikirannya sendiri dan merasa terbebani dengan permintaan sang ayah. saat akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan pintu membuatnya harus menunda keinginannya untuk beristirahat sejenak. saat membuka pintu kamar, betapa terkejutnya Zola saat melihat Isa berada di depan kamarnya. “Boleh masuk?”Zola menggeleng cepat, tidak mengizinkan Isa masuk ke dalam kamarnya. “Ada yang ingin aku bicarakan, anggap saja ini sebagai kado pernikahanku.” Isa masih berusaha untuk meyakinkan Zola.“tap-” belum sempat Zola mencerna perkataan Isa, pria itu langsung menerobos masuk kedalam kamar Zola. “Kau