Malam itu, langit Jakarta terhampar dengan gemerlap lampu kota yang membuat suasana semakin indah. Satya, dengan sopan, membuka pintu mobil untuk Dinda dan Rika. Setelah memastikan keduanya nyaman di dalam mobil, Satya masuk dan duduk di samping supir pribadinya.Dalam perjalanan pulang ke rumah, suasana hening terhanyut dalam kelelahan. Namun, pikiran Rika melayang. Penghinaan dari mantan suaminya, masih terngiang di benaknya.Di sebelahnya, Dinda tertidur pulas. Napasnya yang tenang dan wajahnya yang damai memberikan sedikit ketenangan bagi Rika. Namun, keheningan itu terputus ketika Satya tiba-tiba memulai percakapan. "Rika, apakah kamu baik-baik saja?"Rika mengangguk dengan senyum tipis "Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih atas makan malamnya. Maaf, kalau terjadi kekacauan," sesalnya berkata lirih. “Itu, bukan salahmu. Oh ya, Rika, kapan pernikahan mantan suamimu di langsungkan?"Rika menggigit bibirnya sejenak, "Minggu depan, Pak," sahutnya pelan. "Oke, mungkin kita bisa menc
“Ah, masa aku jatuh cinta? Secepat ini, padahal aku sudah sering mencoba dekat dengan wanita yang direkomendasikan papa dan mama, dan itu sia-sia. Dengannya kenapa perasaanku berbeda?” batin Satya. Satya mengambil ponselnya lalu mulai mengetik dan mengirimkan pesan kepada Rika. Dia mengirimkan alamat butik untuk didatanginya nanti. “Rika, aku sudah mengirimkan alamat butik langgananku. Datanglah ke sana nanti siang, aku akan datang dari kantor. Aku tunggu di jam makan siang, ingat jangan terlambat!” ucapnya tegas, memecah keheningan. Rika langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu membuka pesan dari Satya. Hembusan nafas keluar dari mulut Rika. “Iya, Pak. Saya mengerti, tapi Pak—“Rika menjeda ucapannya, menatap Satya ragu. “Tapi apalagi?” potong Satya. Rika diam sejenak berpikir hingga akhirnya dia berkata “Begini, Pak. Sebenarnya, saya masih khawatir. Saya tahu niat Bapak membantu saya agar saya punya kekuatan untuk menghadapi orang-orang di pesta itu. Hanya saj
Desainer terkenal yang merancang gaun Rika, dengan wajah penuh harap, mendekati Satya yang berdiri memandanginya. "Bagaimana pendapat Anda tentang gaun ini, Pak Satya?" tanya desainer dengan senyum ramah.Satya, yang selama ini hanya terfokus pada kekaguman terhadap pribadi Rika, sejenak terdiam. Matanya memandang Rika yang memakai gaun itu dengan seksama, seolah-olah meresapi setiap detailnya. Desainer itu menunggu dengan penuh ketegangan, ingin tahu apakah karyanya memenuhi harapan.Sementara itu, Rika yang berdiri di depan Satya mulai merasa canggung. Tatapan intens dari Satya membuatnya merasa seperti terpapar di bawah sorotan yang tajam. Dia mencoba tersenyum dengan anggun, tetapi dalam hatinya ia merasa gugup. "Apakah pakaian ini sesuai dengan selera, Pak Satya?" tanyanya dengan penuh harap.Satya tetap diam, membiarkan ketegangan menggantung di udara. Desainer itu menelan ludah, menunggu keputusan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Satya akhirnya berbicara de
“Hey! Aku datang ingin menemuimu. Hanya saja mencari waktu yang tepat. Namun, ternyata takdir berkata lain. Kita dipaksa bertemu cepat, mungkin Tuhan tidak mau memisahkan kita,” ujar wanita cantik itu dengan nada manja. Tubuhnya sedikit membungkuk hingga wajahnya dekat dengan wajah Satya.Rika merasa tidak nyaman berada di sana. “Apakah ini mantan istri Pak Satya?” tanya Rika dalam hati. Satya melirik Rika yang sedang menatap Raisa dengan intens. Ya, namanya Raisa. “Kapan kamu kembali ke sini?” tanya Satya dingin.Senyuman lebar terlihat di wajahnya. “Beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini kabar baik untukmu, untuk kita!” ucapnya bersemangat. Satya mengernyitkan keningnya, “Untukku?” Satya menatapnya tajam.“Iya, untukmu. Karena sekarang aku sudah bercerai dengan suamiku. Jadi kita sama,” ucapnya dengan raut wajah senang. Satya tersenyum kecut mendengar ucapan wanita cantik yang berdiri dekatnya itu. “Aku boleh duduk di sini dan bergabung dengan kalian?” tanya wanita tersebut melirik
Hatinya berdebar kencang, Rika mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba. Bagaimana mungkin dia tidak kaget? Ini bukanlah sesuatu yang biasa terjadi di kehidupan sehari-harinya.Rika berusaha menemukan kata-kata yang tepat, namun mulutnya terasa kering dan lidahnya terasa kelu. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam bagi Rika. Satya masih menatapnya lekat-lekat. Menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Rika.“Eh, saya nggak pernah membayangkan itu, Pak. Saya nggak berani membayangkan hal sejauh itu. Bapak dan saya sangat jauh berbeda,” sahut Rika pelan. Tatapan mereka bertemu, jantung Rika berdetak cepat. “Maaf, Pak. Kita ke mana?” tanya supir membuyarkan ketegangan.Satya langsung mengalihkan pandangan. “Kita cari restoran yang dekat sini, Pak. Perutku sudah lapar,” titah Satya. Rika menatap jalanan dengan jantung yang masih berdebar cepat.“Aduh, pertanyaan itu benar-benar bikin aku nggak bisa menjawab. Sudah Rika, jangan berkhayal terlalu tinggi. Dia itu hanya menganggap
“Iya, deh. Kita tunggu kabar baiknya,” celetuk salah seorang temannya Dinda, diiringi tawa kecil dari ketiga teman lainnya. “Eh, Dinda sopirku sudah jemput. Aku duluan ya teman-teman. Tante kapan-kapan kita lanjutin ngobrol ya. Aku ingin tanya soal tulisan, ada beberapa buku yang aku baca dari tulisan Tante,” kata salah satu teman Dinda yang sudah di jemput sopirnya. “Oh iya, tentu saja. Terima kasih sudah baca karya Tante, Sayang,” sahut Rika.Teman Dinda tersenyum seraya melambaikan tangan meninggalkan mereka. “Aku juga pulang dulu ya. Tante Rika, ayo kita pulang!” pamit Dinda kepada ketiga temannya yang belum dijemput. Setelah berbasa-basi dengan teman-temannya, Rika dan Dinda melangkah keluar dari area sekolah elit tersebut.“Dinda, kenapa kamu berbohong pada teman-temanmu?” tanya Rika ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Dinda menunduk dalam-dalam, “Aku tahu, Tante pasti akan menanyakan hal ini. Aku juga tahu, Tante pasti nggak suka aku bohong. Aku hanya … hanya, benar-be
Rika terjatuh di atas tubuh Satya. Detakan jantung mereka seolah menjadi satu, dan dunia di sekitar mereka tampak berhenti sejenak."Ma-maaf, Pak," gumam Rika dengan wajah yang memerah, mencoba untuk bangkit. Namun, Satya dengan cepat menahannya, tangannya yang hangat menyentuh lembut lengan Rika."Nggak apa-apa. Tunggu sebentar," ucap Satya sambil tersenyum penuh makna. Wajahnya yang dekat dengan Rika, menghasilkan keintiman yang membuat denyut jantung Rika semakin tak beraturan.Seketika itu pula, Satya merasa ada kekuatan yang mendorongnya, memandang bibir Rika yang terbuka lebar di depannya. Tanpa ragu, Satya melanjutkan dengan mengambil kesempatan yang tak terduga ini. Ia menahan Rika dengan lembut, membuat wanita itu tak dapat bergerak."Bisakah aku bertanya sesuatu?" ucap Satya dengan mata yang penuh kelembutan. Meski terkejut, Rika hanya bisa mengangguk, matanya masih terfokus pada wajah pria di depannya."Sudah lama aku ingin melakukan ini," ucap Satya pelan, lalu dengan lemb
Rika membalas pesan. “Nggak apa-apa, Pak. Saya mengerti, nggak perlu di bahas lagi. Lupakan saja, itu bukan sesuatu yang penting.” Setelah membalas pesan, Rika kembali pada aktivitasnya membungkus makanan menjadi bingkisan untuk dibawanya ke panti.Mata Satya melebar tak percaya saat pesan singkat dari Rika terpampang di layar ponselnya. "Aku rasa kita bisa melupakan saja kejadian tadi," bunyi pesan itu. Satya merasa seakan dunianya runtuh seketika. Baru saja, ciuman mereka terjadi. Kini, Rika seolah merendahkan momen itu dengan satu pesan sederhana.Tentu saja, Satya tidak dapat menahan kekecewaan dan kesal di dadanya. "Apa maksudnya ini?" desisnya sendiri sambil menggerutu. "Lalu, ciuman itu hanya main-main baginya? Mungkin bagimu itu hanya momen biasa, tapi buatku, itu adalah sesuatu yang bermakna. Aku nggak bisa meredam perasaanku begitu saja." Satya menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Sial! Kenapa dia begitu padaku?” Satya menatap langit-langit kamarnya dengan kening me
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p
"Rika," gumam Satya, suaranya lembut, "Tunggu sebentar di kamarmu, ya? Aku akan menemui papa dan mamaku terlebih dahulu."Rika mengangguk sopan, siap untuk menunggu. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik lengan ringan Rika, menahannya."Tunggu," ucapnya pelan, lalu memeluknya dengan lembut. Rika merasakan hangatnya pelukan itu, bagai sebuah perlindungan yang tidak pernah dirasakannya. Rika merasakan detak jantung Satya yang seiring dengan detaknya sendiri.Setelah sesaat, Satya melepas pelukannya perlahan-lahan, dengan senyum hangat di wajahnya. Rika tersenyum balas, matanya berbinar oleh kehangatan yang ia rasakan. "Aku akan menunggumu," ucapnya dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja Satya.Satya mengamatinya sejenak, melihat langkahnya yang ringan menjauh. Kemudian, dengan langkah mantap, dia melangkah ke ruang keluarga di mana papa dan mamanya baru saja tiba.Dengan hati yang gelisah, Satya melangkah masuk ke ruang keluarga di mana pa
Satya membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti, diikuti oleh Rika yang sedikit ragu. Ruangan itu tenang, hanya suara keributan dari luar yang terdengar samar-samar. Satya menoleh pada Rika dengan senyum hangat."Rika, tolong tutup pintu ruang kerja ini?" Rika menatap Satya dengan ekspresi ragu. Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan serius. "Apakah kita seharusnya menutup pintu? Ini terasa sedikit aneh..." gumam Rika.Satya tersenyum, menangkap kebingungan Rika. Dia menghampiri pintu dan dengan lembut menutupnya. "Kita memang tidak biasa menutup pintu ini saat kita bicara pekerjaan, tapi terkadang privasi itu penting, bukan?"Rika mengangguk pelan, tetapi kebingungannya masih terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Satya berbalik dan tersenyum, membuat Rika terkejut. "Kenapa kaget, Rika? Apa yang kamu pikirkan?""Oh, nggak apa-apa. Aku hanya nggak nyangka pintu akan ditutup begitu tiba-tiba." Satya tersenyum lebih lebar lagi, melihat kebingungan Rika. "Aku m
“Eh, maksud Papa juga melanjutkan ngobrol. Hemm, tapi urusan Papa bukan hanya ngobrol saja, kok. Hemm, itu urusan pekerjaan juga. Biografi Papa dan menanyakan perkembanganmu,” jawab Satya sedikit gugup. Rika mengulum senyum melihat kegugupan Satya.“Oh, gitu. Iya, aku ngerti kok, Papa.” Dinda tersenyum ceria sok mengerti, namun hal itu membuat Satya lega. “Oke, Papa ke kamar dulu,” pamitnya melempar senyum lega pada Rika dan Dinda. Anggukan kecil terlihat dari Rika dan Dinda. Satya bergegas keluar dari kamar Rika.“Astaga anak itu buat aku bingung saja. Lagi pula kenapa datang di saat seperti itu sih. Mengganggu saja. Lho, kok aku kesal pada Dinda sih! Aduh bisa gila kalau begini,” Satya membatin sambil melangkah menuju kamarnya.Satya segera memasuki kamarnya dengan langkah cepat, sorot matanya penuh ketegangan. Dia mengambil ponselnya dan segera mencari nomor Raisa. Setelah menemukannya, dia menekan nomor tersebut. Setelah beberapa kali dering, suara Raisa akhirnya terdengar di sebe