Dylan baru akan menelepon Vina saat pintu terbuka. Vina masuk dengan baki di tangan."Kamu sudah bangun?" Vina tersenyum sedikit canggung karena masih terbayang kebersamaan mereka di ranjang semalam."Hm. Dari mana?""Mandi dan ambil sarapan untukmu."Dylan duduk, sementara Vina menyiapkan makanan. Kamar hotel Dylan memang memiliki meja makan kecil."Apa masih pusing?" Vina bertanya selagi menuang susu ke gelas Dylan."Tidak.""Syukurlah.""Kegiatan semalam membuat pusingku hilang." Dylan menyeringai sambil minum susu."Semalam kamu minum obat pereda nyeri." Vina segera menyangkal ucapan Dylan.Dylan terkekeh. Ia makan sambil mengomel tentang kekesalannya saat bangun dan tidak menemukan Vina di sisinya."Lain kali, bangunkan aku."Vina tidak menjawab. Ia ragu ada lain kali lagi seperti malam itu.Mencoba mengalihkan percakapan, Vina bertanya, "Kamu mau jogging sebelum rekaman?""Boleh.""Oke. Aku telepon Genia untuk menemanimu."Mendengar pernyataan Vina, Dylan berhenti makan. Matanya
Dengan cepat, Dylan merebut ponsel Tamara. Ia lalu mengaktifkan alat komunikasi tersebut dan bicara dengan orang yang menelepon.“Vina.” Dylan menyapa sambil menatap Tamara dan Marcel bergantian.“Bagaimana kakimu?” Vina bertanya dengan nada khawatir.“Berdarah. Katanya perlu dijahit. Kami belum sampai rumah sakit.”“Rumah sakit mana?”“Grand Medical.”“Oke. Aku akan menyusul.”Dylan menutup saluran telepon. Ia mengembalikan ponsel pada pemiliknya lalu memicingkan mata pada kedua kakaknya.“Apa perasaanku saja atau memang kalian tidak suka dengan Vina?”“Bukan begitu.” Marcel langsung meralat dugaan Dylan. “Kami pikir kamu terlalu dekat dengan wanita itu.”“Wanita itu punya nama. Vina. Memangnya kenapa kalau kami dekat?”“Aku lihat kamu jadi ketergantungan dengannya, Dylan. Padahal sebentar lagi, Vina akan pergi.” Tamara berkata dengan nada lembut.“Waktu pertama Vina datang, Kak Tama sendiri yang sering memintaku berduaan dengan Vina agar kami dapat berkordinasi dengan baik, bukan?”
Hampir saja ponsel tergelincir dari tangan Vina. Ia terkejut melihat Dylan berdiri dengan tingkat di salah satu tangan."Kak, itu suara Lano, ya? Lano ada di situ?" Suara Rere terdengar melalui ponsel Rere.Vina segera mengendalikan diri. "Aku telepon lagi nanti, ya.""Kak! Please, aku mau lihat keadaan Lano!"Suara teriakan itu terdengar oleh Dylan. Lelaki itu mengangguk memberi kode pada Vina untuk mengaktifkan video call agar Rere dapat melihatnya.Vina mengangguk setengah hati. Ia menuruti keinginan Dylan. Sebelum mengarahkan kamera ke wajah Dylan, Vina berkata pada sang adik. “Jangan norak!”Kamera kini menghadap Dylan. Lelaki itu tersenyum dan melambai pada Rere yang langsung menutup mulutnya dengan tangan.“Lano, aku Goldies. Aku senang kamu baik-baik saja.” Rere bicara dengan nada bergetar. “Jangan sakit, ya.”Dylan terlihat mengangguk. “Terima kasih, Goldies. Aku baik-baik saja.” Dylan lalu mengacungkan jari jempolnya pada Rere.Kini kamera kembali mengarah pada wajah Vina. I
Cinta? Vina mendengus pelan. Sudah lama ia tidak mengingat kata itu. Kata itu sudah terbakar dan menjadi abu bersama kenangan tentang cinta.“Aku bekerja profesional, Kak Tamara. Kedekatanku dengan Dylan terjadi karena kami mulai bisa bekerja sama dengan baik.”Tamara mengembuskan napas panjang lalu duduk di sofa, sementara Vina tetap berdiri dengan wajah menunduk.“Saat kami hiatus hampir empat tahun lalu, aku dan Marcel menikah. Lalu, kami yang awalnya aktif bermusik harus membagi waktu dengan keluarga.” Tamara tiba-tiba bercerita tentang kehidupannya bersama adik-adiknya.“Tapi, tidak dengan Lano. Ia memang hiatus dari dunia musik, tetapi untuk mengembangkan bisnis di berbagai bidang.”“Sangat tidak disangka semua orang, bisnis baru Lano berkembang pesat. Lano mencoba berbagai bidang usaha dan selalu mengulang kesuksesan. Hingga para pengamat bisnis menyimpulkan apa yang disentuh Lano akan menjadi emas, dan itu terbukti.”“Namanya sudah sangat besar. Terlalu besar untukmu, Vina.” T
Vina tidak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak lalu berkata dengan nada malas."Itu Ayla. Mantan sahabatku."Dahi Dylan berkerut. "Sahabatmu yang selingkuh dengan mantan tunanganmu?""Aku cuma punya satu sahabat. Iya, dia yang bersama mantanku.""Akh... begitu. Jadi setelah bertahun-tahun, kamu belum juga move on?""Bukan begitu. Aku sudah merelakan mereka. Tapi, untuk bertemu, rasanya masih sulit."Dylan mengangguk mengerti. "Apa kalian memiliki latar pendidikan yang sama hingga pekerjaan pun sama?""Iya. Kami kuliah di jurusan fashion.""Begitu rupanya."Vina tidak berkomentar lagi. Ia menyibukkan diri dengan merapikan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas besar."Sini, aku yang bawakan." Dylan segera mengambil alih tas berat itu. "Dan jangan sedih, aku akan minta bagian keuangan untuk menyamarkan namanu di laporan keuangan butik.""Terima kasih." Vina tersenyum sedikit.Lalu, Vina menoleh ke belakang. Ia baru sadar mereka hanya berduaan."Lho, kok sudah sepi? Mana yang
“Terkadang, apa yang terlintas di pikiran kita itu sesuai dengan apa kita rasakan. Lirik laguku sebagian besar memang berisi pengalaman hidupku.”Dylan lalu melompat turun dari kap mobil. Ia menjulurkan tangan agar Vina dapat berpegangan padanya saat turun.“Argh.” Vina terpeleset karena kurang cahaya saat melihat ke mana kakinya harus berpijak.“Ups.” Dylan segera menangkap tubuh Vina. “Tenang. Aku pegangi kamu.”Perlahan, Dylan menurunkan Vina. Tubuh mereka masih berdekatan dan saling menatap. Terdorong suasana romantis, Dylan mulai memagut bibir Vina.Hingga akhirnya, Vina memiliki kekuatan untuk melepaskan pagutan itu. Meski mereka masih berdekatan dan saling menatap.“Aku sudah memutuskan untuk tetap mengakhiri kontrak kerja dengan agensimu.”Pernyataan itu seolah membuat Dylan sadar. Ia lalu menangkup wajah Vina dengan kedua tangannya.“Apa? Kenapa?”Vina menjauhkan tangan Dylan dari kedua pipinya. “Rere akan menikah. Kami hanya hidup berdua. Aku ingin membantu persiapan dan ten
Tanpa permisi, Marcel memegang liontin berlian di leher Vina. Ia membalik liontin dan mengusap inisial nama di sana.“O&O. Artinya One and Only. Lano memiliki beberapa koleksi perhiasan dengan inisial ini.” Marcel meletakkan liontin kembali ke dada dan menatap Vina.“Lano tidak pernah memberi perhiasan dengan inisial itu pada siapa pun. Bahkan aku dan Kak Tama tidak tau ternyata liontin itu memilikinya.”“Maaf, aku tidak tau. Kak Tama saat itu hanya bilang kalung ini dari sponsor.”Marcel mengangguk sedikit. “Sebelumnya, Lano juga memiliki cincin berlian hitam dengan inisial yang sama. Lano bilang ia menitipkan cincin itu pada seseorang. Aku curiga ia memberikannya padamu juga.”Marcel menatap Vina tanpa jeda. Mengamatinya dari ujung rambut hingga kaki.“Itu sebabnya kami bingung, apa istimewanya kamu? Dari sekian wanita cantik, terkenal dan terhormat, kenapa ia lebih nyaman bersamamu?”Vina tidak menjawab pertanyaan tersebut. Otaknya sibuk mencerna pernyataan-pernyataan Marcel. Semen
"Huh! Dasar tukang kabur!" Dylan mengendus kasar.Dari balkonnya, Dylan bisa melihat Vina masuk ke dalam taksi dan pergi. Ia menggeleng kesal karena bingung sendiri dengan perasaannya.Lelaki itu berjalan menuju meja dan menatap dua benda di sana. Cincin berlian hitam dan kalung berliontin berlian tergeletak begitu saja.Dylan mengambil cincin dan menyisipkannya di jari kelingking. Ia juga mengenakan kalung berliontin berlian itu di lehernya.Setelah itu, Dylan melangkah ke pojok kamar. Ia duduk di depan piano dan mulai menarikan jari-jarinya di atas tuts."Lano, mau olahraga sekarang?"Dylan tersentak kaget merasakan punggungnya yang dielus. Ia menoleh cepat dan langsung memberengut saat melihat siapa yang ada di kamarnya."Ngapain di sini? Keluar!" Dylan berkata ketus pada Genia."Maaf, kalau kamu kaget. Aku sudah ketuk pintu tadi, tapi sepertinya kamu nggak denger."Dylan hanya merespon dengan mengendus kasar mendengar pernyataan Genia."Kak Tama yang memintaku ke sini dan menemani
Vina terpaku di bawah tangga. Meski dengan masker wajah, ia tau siapa yang berdiri di depan Clara.“Dylan." Vina menggumam amat pelan.“Mommy, Ara mau berangkat, ya.” Dengan tak sabar, Clara menarik tangan Vina.“I – Iya. Sebentar.”Vina melewati Dylan. Ia sampai takut Dylan mendengar debaran jantungnya yang sangat kencang. Vina mengantar Clara masuk ke dalam mobil Anton.“Terima kasih, ya.” Vina berkata pada Anton.“Kamu ada tamu, Vin?” Anton tampak mengamati lelaki yang sedang memperhatikan mereka.“Iya. Orang kantor.”“Oh. Oke. Hati-hati.” Anton berpesan sambil tetap mengawasi lelaki di depan pintu rumah Vina sebelum menjalankan kendaraannya.Setelah beberapa kali pertemuan, Vina dan Anton menjadi dekat. Itu pun karena putri-putri mereka bersahabat. Vina dan Clara bahkan beberapa kali mengantar Allysa menjalani pengobatan kanker.Mobil Anton sudah menjauh. Vina melirik mobil mewah yang terparkir di sebrang jalan dan seorang lelaki tegap berdiri di sampingnya dengan waspada. Vina ke
Dylan mendengar cerita tentang Vina yang berhasil menjual berbagai produk Gold Dy secara online. Tamara juga mendapat kabar, Vina saat ini menjadi salah satu orang yang cukup berpengaruh di dunia fashion.“Rumah Mode Herera bahkan menerapkan sistem ‘waiting list’ untuk bertemu Vina,” ucap Tamara.Empat bulan saja waktu yang dibutuhkan Vina untuk melesatkan karirnya di bidang fashion. Sebenarnya, Dylan sudah mendengar kabar tersebut langsung dari Herera. Tapi, ia tidak menyangka kesuksesan Vina sampai menembus internasional.Tamara yang selama ini dikenal sebagai pengamat mode bahkan kagum dengan pencapaian Vina.“Ternyata selama ini kami memang salah menilai tentang Vina.” Tamara berkata dengan nada menyesal.“Dulu, kami benar-benar khawatir dengan kedekatanmu dengan Vina hingga menghinanya.” Marcel menimpali. “Kami takut ia memanfaatkan ketenaranmu.”Dylan terdiam. Ini saat yang ia tunggu-tunggu. Vina bisa membuktikan dirinya bisa menjelma menjadi seorang wanita yang kuat dan berpres
“Tiup lilinnya... tiup lilinnya.... !”Clara sejenak memejamkan mata dan berdoa. Setelahnya dengan senyum manis, ia meniup lilin angka empat di kue ulang tahun yang berhias boneka-boneka Barbie favoritnya.“Mommy, tadi Ara berdoa supaya dikasi Daddy sama Tuhan.” Clara berbisik pada Vina.Vina tersenyum prihatin dan mengusap sayang kepala sang putri. Ia mencium kedua pipi Clara dan membantunya memotong kue.Selagi Clara membagi-bagikan kue pada teman-temannya, Vina berjalan ke pojok untuk mengambil minuman. Doa Clara tadi tiba-tiba membuat tenggorokannya kering kerontang.“Pesta yang meriah dan sukses.”Vina yang baru meneguk minumannya menoleh. Anton berdiri di sampingnya dengan topi ulang tahun membuat Vina terkekeh.“Topi itu cocok untukmu.”“Masa? Baiklah. Akan aku gunakan terus.”Vina tersenyum dan menatap kerumunan anak-anak yang sedang makan kue sambil tertawa-tawa.“Baru kali ini aku bisa merayakan ulang tahun Clara. Biasanya hanya aku dan Rere saja yang memberinya hadiah kecil
Tanpa menjawab pertanyaan Marcel, Dylan melengos pergi. Sekarang, ia hanya ingin tidur. Hanya dengan tidur, ia bisa melupakan kesialan di hari ulang tahunnya.Seperti biasa, Juan berjaga di dalam kamar. Lelaki tegap itu duduk di sofa menunggui tuannya istirahat.Baru sepuluh menit, Dylan bangun dari ranjang dan menghampiri Juan."Aku nggak bisa tidur." Dylan mendesah kesal.Juan menatap prihatin Tuannya. Sejak Vina pergi, pola tidur Dylan kacau.Selama proses pembuatan album baru, Dylan dapat bertahan dengan kondisi prima karena vitamin dan infus imun tubuh."Carikan aku tempat untuk istirahat," titah Dylan pada Juan.Perintah itu artinya Dylan ingin kabur sejenak. Juan mengangguk singkat dan berkordinasi dengan beberapa orang.Satu jam kemudian, Dylan sudah berada di rumah pantai. Lelaki itu duduk di kursi kayu dan menatap pemandangan di depannya."Bisakah sekarang kamu lepaskan baju pengawal dan menjadi temanku?" Dylan bertanya pada Juan yang duduk di sebelahnya."Aku memang sedang t
Pagi harinya, dengan penampilan kusut, Dylan duduk di kursi. Di depannya, Genia tidur tanpa busana. Hanya selimut tipis yang menutupi sebagian tubuhnya.Dylan akhirnya mondar-mandir di sisi ranjang untuk menghabiskan waktu menunggu Genia bangun. Hingga akhirnya wanita itu menggeliat.“Genia.” Dylan memanggil, membuat Genia memicingkan mata.Dengan rambut berantakan, Genia berusaha duduk. Ia lalu terkejut melihat keadaan dirinya yang tanpa busana.“Ya Tuhan. Apa kita melakukannya semalam?” Wajah Genia bersemu merah jambu.Dylan mengetatkan rahangnya pada Genia. “Kamu lupa kejadian semalam?”“Umm... aku ingat saat kamu memelukku,” ucapnya pelan.“Hanya itu?”Wajah Genia kembali tersipu malu. Dylan mendengus pelan, lalu melempar tablet ke sisi Genia.“Mungkin dengan melihat rekaman itu, kamu akan ingat!”Dengan kening berkerut, Genia menatap layar tablet. Ia melihat dirinya membuka pakaian dan memeluk Dylan yang berusaha menghindar.Tampak Genia semakin dikuasai pengaruh obat perangsang.
“Kamu pikir aku melupakanmu? Sesuatu tentang dirimu tidak akan bisa menghilang dari pikiranku. Ke mana pun aku pergi, aku bisa melihat wajahmu. Kamu pikir aku lupa? Kamu pikir aku lupa? Kamu pikir aku lupa... tentangmu?”Lirik lagu Dylan menggema ruang kantor Vina. Beberapa pegawai bekerja sambil bersenandung. Justru Vina merasa tersindir oleh lirik tersebut.Rere benar. Semua lagu album terbaru Lano memang relate dengan hubungannya Vina dan Dylan.“Vina, ayo ikutan buat video ucapan untuk Lano.”“Eh. Ucapan apa?” Vina tersentak saat teman kerjanya menariknya ke kerumunan yang sedang bersiap di depan kamera.“Hari ini Lano berulang tahun ke tiga puluh. Nanti kita posting dan tag akun agensi Lano.”Akh. Sial. Pantas saja sejak pagi lagu-lagu Dylan selalu diputar di kantor mereka.Kenapa juga Vina sampai lupa bahwa tanggal lahir Dylan hanya berbeda satu hari dengan Clara? Pasti karena akhir-akhir ini ia sibuk mempersiapkan ulang tahun Clara besok.Saat semua bersiap untuk merekam video
Vina berdiri di samping mobil hitam mengkilat. Wajahnya tidak menampakkan kegembiraan, malah terkesan menakutkan.“Bagus, kan?” Herera berkata sambil menatap mobil baru tersebut.“Bagus. Itu sebabnya aku tetap tidak bisa terima.” Dengan keras kepala, Vina menggeleng.Sampai di mejanya, Vina mengetik pesan pada Rere. Menceritakan bagaimana tiba-tiba bos-nya memberikan mobil mewah. Ia mengirim pesan disertai foto mobil tersebut.Rere tidak menjawab. Setelah membaca pesan sang kakak, ia juga melayangkan protes pada Lano melalui akun agensi Lano.“Yaaa kalii pegawai baru dikasi BMW seri terbaru. Yang bener ajaaa! Untung kakakku nggak jantungan!”Hanya selang satu menit, Rere mendapat balasan.“Maunya mobil apa?”Kali ini Rere bingung menjawabnya. Setelah berpikir beberapa saat, ia membalas pesan kembali.“Mobil listrik saja. Biar kami yang pilih.”“Oke.”Begitu mendapat jawaban dari agensi Lano, kini Rere membalas pesan Vina.“Tolak, Kak. Nanti kita cicil mobil listrik saja. Di showroom k
Vina sangat menikmati pekerjaan barunya. Kini, ia memiliki ruang kerja sendiri di rumah tempatnya berkarya.Dengan semangat, Vina tetap selalu bangun paling pagi. Ia menyiapkan sarapan, mengantar Clara sekolah lalu pergi bekerja."Clara, taksinya sudah datang!" Vina berteriak pada sang putri yang masih di kamarnya di lantai atas."Iya, mommy." Anak perempuan cantik itu berlari menuruni tangga.Dengan wajah waspada, Vina memperhatikan sang putri sampai tiba di ujung tangga di bawah. Vina langsung membungkuk menatap mata Clara."Mommy gak mau lihat Clara naik dan turun tangga dengan berlari seperti itu lagi. Bahaya!"Clara mengangguk. "Iya, mommy."Vina membalas dengan mengelus puncak kepala Clara. Ia membawakan tas bekal sang putri dan menunjuk keluar."Yuk berangkat, taksinya sudah datang."Wajah Clara memberengut, lalu menatap Rere. "Enakan naik mobil Uncle Rendra. Kenapa nggak bareng Auntie Rere aja, mom?""Mommy terlambat kalau nunggu Uncle Rendra."Rere mengamati kakak dan keponak
“Saya belum sempat melihatnya, Tuan.” Juan berkata santun.Dylan mengangguk. Mereka kembali ke kamar hotel. Juan juga ikut masuk ke kamar Dylan.Tamara dan Marcel yang melihat langsung menggeleng berbarengan. Juan seringkali diminta tidur di kamar Dylan akhir-akhir ini. Bahkan ekstra bed untuk Juan tidak pernah berpindah tempat.“Apa Lano segitu kesepiannya?”Tamara mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Marcel. Sejak Lano berterus-terang tentang hidupnya, Tamara jadi merasa bersalah.“Rencana kita makan malam dengan keluarga Genia juga batal. Uncle Dennis pun telah membatalkan acara tersebut dengan mengirimkan bingkisan permohonan maaf.”“Untungnya Lano adalah artis besar dan pebisnis sukses, jadi mereka paham dengan alasan Lano sedang sibuk saat ini.”“Tapi, kupikir-pikir, Lano memang sangat tidak menyukai Genia.”“Pernah dengar istilah benci jadi cinta? Siapa tau itu terjadi pada Lano dan Genia.”Kakak-kakak Dylan masuk ke kamar masing-masing. Mereka berjanji untuk kembali