“Kenapa? kenapa harus pengacara yang disediakan pihak polisi?” tanya Andi sangat marah sambil menggebrak meja. Di depannya ada seorang pengacara yang akan menangani kasus Andi dalam persidangan yang sudah ditentukan tanggalnya. “Menantuku seorang pengacara hebat! Di mana dia? Biarkan aku bicara dengan istriku!” seru Andi sangat marah. “Tolong tenang dulu, Pak Andi. Aku di sini untuk membantu anda. Jadi tolong kerja samanya,” ucap pria bernama Ery yang memiliki badan tambun. Dia menyeka wajahnya beberapa kali dengan sapu tangan. “Bagaimana aku bisa tenang. Aku tidak bisa tenang, apalagi aku tidak tahu bagaimana kinerjamu. Bagaimana kalau aku kalah dan semakin mendekam di tempat busuk ini!” seru Andi berkacak pinggang. “Hei, di luar sana, cepat hubungi istriku. Aku perlu bicara dengannya, aku butuh pengacara, mana mungkin istri dan anakku tidak ada yang menolongku!” seru Andi terlihat kesal. “Istri anda sudah meningga
“Makan dulu, aku sendiri yang memasak buburnya,” ucap Kaivan. “Pihak rumah sakit sudah menyediakan makanan. Kamu pasti lelah, tidak usah memasak apa pun untukku,” jawab Khayra. “Kenapa? kamu sudah bosan dengan masakanku?” tanya Kaivan. Khayra masih menatap ke arah lain, dia tidak mau melihat ke arah Kaivan. Dan Kaivan sendiri pun sudah merasakan perubahan sikap Khayra itu, tetapi sekali lagi Kaivan hanya bisa membiarkan dan memakluminya. Memang tidak mudah menerima kenyataan pahit ini. “Bukan begitu, aku hanya tidak mau merepotkanmu,” jawab Khayra. “Aku sama sekali tidak repot,” jawab Kaivan. “Makan dulu.” Kaivan duduk di sisi brankar menghadap Khayra. Dia menyendokkan bubur itu dan mendekatkannya ke ujung bibir Khayra. “Buka mulutmu,” ucap Kaivan. Khayra menatap ke arah Kaivan di depannya. Pria itu terlihat pucat dan cukup berantakan, bawah matanya terlihat lingkaran hitam. Khayra tahu kalau Kaivan p
“Khayra, bagaimana keadaanmu?” tanya Adit yang datang bersama teman satu divisinya. “Keadaanku sudah lebih baik, Pak,” jawab Khayra. “Terima kasih karena kalian sudah mau datang ke sini.” “Kami sangat terkejut mendengar kabar tentangmu, Ra,” ucap Sunny. “Aku turut sedih, mendengar kabar tentang janinmu.” “Iya, Ra. Kamu harus kuat, ya,” seru Nita. “Ya, mungkin kami belum diberi kesempatan untuk mendapat momongan,” jawab Khayra. “Kakak iparku juga pernah mengalami keguguran saat hamil anak pertama. Dan kamu tahu, selang beberapa bulan dia hamil, bahkan setiap tahun terus hamil, sampai krucil-krucil itu harus dititip padaku,” tutur Nita berusaha menghibur Khayra. “Benar, biasanya seperti itu. Kalau keguguran, gak akan lama lagi langsung isi. Kamu juga pasti akan begitu,” seru Sunny. Khayra tersenyum mendengar kata-kata temannya yang sedang menghiburnya. “Semoga saja,” jawab Khayra. “Yang p
“Tante Sarah?” seru Ziya cukup terkejut saat melihat orang yang mengunjunginya. Mereka adalah Sarah dan Iwan. Ziya berjalan mendekati meja di mana Iwan dan Sarah menunggunya. Kemudian mengambil duduk di hadapan mereka tanpa mengatakan apa pun. Sarah dan Iwan terkejut melihat Ziya yang dulu anggun dan ceria kini kondisinya cukup berantakan, dan terpuruk dalam penjara. Tante Sarah memandang dengan tatapan tajam dan marah kepada Ziya yang hanya bisa menundukkan kepalanya. “Ziya, sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Bagaimana bisa kamu mencelakai Khayra dan merusak masa depanmu?” tanya Sarah dan Ziya masih juga bungkam. "Bagaimana bisa kamu tega menabrak Khayra hingga dia keguguran? Dia sepupumu sendiri!" teriak Tante Sarah dengan suara yang gemetar oleh amarah. Ziya menatap ke lantai, lalu mengangkat wajahnya yang pucat. "Aku membenci Khayra, Tante. Semua yang ada dalam hidupku hancur karena dia," ucap Ziya dengan nada penuh denda
“Bagaimana udaranya sejuk, bukan?” tanya Kaivan. “Ya, cuaca sore ini sangat indah, warna langit pun begitu cantik.” Khayra tersenyum melihat langit. Sore itu, Kaivan menggandeng tangan Khayra untuk berjalan menuju taman belakang rumah mereka. Taman belakang yang indah dengan berbagai jenis bunga dan pohon yang rindang menjadi tempat favorit Khayra untuk menghabiskan waktu sorenya. Kaivan pun menyadari bahwa mengajak istrinya ke taman merupakan salah satu cara untuk menghibur dan membangkitkan semangat Khayra kembali. Mereka duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu, sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah mereka. Kaivan dengan penuh perhatian melepaskan jaketnya dan memasangkannya di punggung Khayra mem
Khayra berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Pikirannya masih tertuju pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. Wajah wanita itu seolah terpatri dalam ingatan, mengingatkannya pada seseorang yang begitu dekat dan hangat, namun sekaligus menyakitkan. Wajah Khayra tampak murung, kedua alisnya bertemu di tengah-tengah dahi, menandakan betapa bingungnya perasaannya saat ini. Sedikit demi sedikit, ia mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wanita itu sebelumnya, namun semakin ia menggali ingatannya, semakin sulit baginya untuk menemukan jawabannya. Dalam kebingungannya, Khayra duduk di salah satu bangku yang ada di koridor pengadilan. Dia menghela napas panjang, menahan rasa sesak yang mulai menjalar di dadanya. Tangan kanannya bergerak ke arah jantungnya, mencoba meredakan rasa sakit tersebut, namun sia-sia. Tiba-tiba, seorang pria berjalan mendekati Khayra. Pria itu menatapnya dengan ekspresi prihatin, seolah merasakan apa
“Selalu menyenangkan kalau ada di pantai,” ucap Khayra saat mereka menuruni mobil. Kaivan menggandeng tangan Khayra menuju pantai yang telah direncanakan sebelumnya. Udara pantai di pagi hari begitu segar dan deburan ombak yang lembut membawa suasana tenang bagi keduanya. Kaivan menatap Khayra dengan penuh kasih sayang, dia tidak ingin melihat istrinya terus murung dan terbebani dengan masalah yang ada. “Kamu menyukainya?” tanya Kaivan dan Khayra menoleh ke arah Kaivan. “Ya, terima kasih karena sudah mengajakku ke sini,” ucap Khayra. “Berhenti mengatakan terima kasih. Aku melakukan ini bukan karena mau menerima ucapan terima kasih darimu, tapi aku ingin melihatmu bahagia. Melihatmu murung seperti kemarin, jujur saja aku terus mengkhawatirkanmu,” ucap Kaivan membuat tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Um ... ayo kita rasakan ombaknya,” ucap Khayra yang dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Baiklah
“Akhirnya aku bisa keluar dari tempat terkutuk itu!” seru Ziya menghela napas lega. Akhirnya, dia bisa menghirup udara segar setelah terbebas dari tuduhan yang menjeratnya. Jaminan yang telah dibayarkan membuatnya bisa keluar dari tahanan. Langkahnya terasa ringan saat meninggalkan penjara, dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan khawatir. Saat keluar dari gerbang utama tahanan, seorang pria berbadan tegap dengan setelan jas rapi berdiri di samping sebuah mobil SUV hitam. “Apa pria itu datang untuk menjemputku?” gumam Ziya berjalan mendekati pria tersebut. Pria itu tersenyum simpul dan meminta Ziya untuk naik. "Ziya, bos besar sudah menunggu anda. silakan naik, saya akan mengantarmu menemui beliau," ujar pria tersebut dengan suara berat. Ziya menatap pria itu dengan rasa curiga, namun dia memutuskan untuk mengikuti saja. Dia tak memiliki pilihan lain saat ini. Dia pun menaiki mobil SUV hitam itu dan duduk di kursi penumpang. Pri
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia