Share

4.Pinjam Uang

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mendengar kata uang membuat perasaanku tidak enak. Aku menoleh kanan dan kiri, tak ada satu pun orang yang berada di luar. Pintu-pintu rumah itu telah ditutup rapat-rapat. Aku harus segera masuk sebelum mimpi buruk menjadi nyata.

Kran kumatikan, lalu berjalan masuk rumah. Dengan hati-hati kututup pintu berwarna coklat itu.

"Ada apa, Bun?" tanya Mas Ridho saat melihatku seperti dikejar setan.

"Ada setan, Yah." Aku melangkah melewatinya yang tengah menyeruput kopi instan.

"Setan apa?" tanyanya seraya meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja.

"Setan duit, Yah."

"Mana ada setan duit, Bun?"

Aku menghembuskan napas kasar, kesal karena Mas Ridho menghalangiku melangkah menuju ruang keluarga. Awas saja kalau setan duitnya datang, Mas Ridho yang harus tanggung jawab!

"Sebentar lagi datang. Ayah yang harus tanggung jawab." Aku melanjutkan langkah, tak kuhiraukan sorot tanda tanya dari netranya.

Baru saja kujatuhkan bobot di atas sofa, terdengar suara ketukan pintu.

"Bu Salma ... Bu!"

Aku menghela napas, ternyata benar dugaanku, setan duit mulai menjalankan aksinya. Biar saja tak akan kubuka pintu itu. Kalau masalah uang kemari tapi justru aku tak dianggap sebagai salah satu anggota ibu PKK. Menyebalkan.

Pintu terus diketuk disusul suara Bu Susi yang memanggil-manggil namaku. Mimpi buruk benar-benar menjadi nyata.

"Bun, ada tamu itu!" teriak Mas Ridho tapi aku diam, pura-pura tak mendengar. Biar saja Mas Ridho yang membukanya.

Aku berjalan mengendap-endap menuju ruang tamu. Rasa penasaran menuntunku untuk menguping pembicaraan mereka.

Aku mengintip dari balik pintu yang menghubungkan ruang keluarga dan ruang tamu. Bu Susi berada di luar sementara Mas Ridho berdiri di mulut pintu. Aku buka telinga lebar-lebar, agar tahu apa yang mereka bicarakan.

"Salma sedang di belakang, ada apa, ya, Bu?" tanya Mas Ridho.

"Em... Itu... Bisa minta tolong dipanggilkan, Pak? Ini penting."

Telingaku mampu mendengar tapi sayang mata tak bisa melihat bagaimana ekspresi Bu Susi. Wanita itu pasti tegang. Ah, siapa suruh bergaya.

"Mungkin sedang mandi. Memang ada perlu apa?"

Hening, tak ada jawaban dari wanita itu. Apa mungkin ia pulang? Tapi kenapa Mas Ridho masih berdiri di pintu?

"Kalau Bu Salma repot, sama Pak Ridho saja kalau begitu."

Gawat! Jangan sampai Mas Ridho luluh dan memberi setan duit itu pinjaman. Aku tidak ikhlas. Ingin keluar tapi tidak mungkin, kehadiranku justru akan menimbulkan masalah baru. Bisa-bisa aku luluh dan memberinya pinjaman. Tapi diam di sini juga tak dapat menyelesaikan masalah.

"Ada apa, ya, Bu? Kelihatannya sangat penting."

Aduh ... Bagaimana ini? Bu Susi pasti akan mengatakan maksudnya.

"Saya salah menduga, Pak. Saya pikir harga tanaman-tanaman itu tiga ratus ribu. Tapi ternyata tiga juta. Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak. Masnya tidak mau membawa pulang barang yang sudah terlanjur saya pesan."

Ya kali Rp. 300.000,- sama dengan Rp. 3.000.000,-. Bu Susi benar-benar kelewatan. Memangnya tidak bisa lihat harga berapa yang tertera? Astaga!

"Aduh gimana, ya, Bu."

"Tolonglah, Pak. Kita, kan tetangga, seharusnya kita tolong menolong dalam kebaikan. Saya hanya pinjam lho, Pak. Bukan meminta uang, Pak Ridho."

Kalau kepepet dia ingat tetangga. Kemarin aku tidak dimasukkan dalam grup padahal semua ibu-ibu ada di grup itu. Lalu apa itu namanya tetangga?

Astagfirullah...

Aku elus dada yang bergemuruh. Ternyata rasa marah dan kesal tak juga hilang dari hatiku. Melihatnya menderita justru aku ingin tertawa. Maafkan aku Ya Allah, bukan maksud senang dengan penderitaan orang lain. Namun sikap Bu Susi memang keterlaluan, semoga kali ini ia jera.

Hidup rukun dambaan setiap orang. Bukan hanya rukun dengan keluarga tapi juga tetangga. Namun apakah keinginanku bisa terwujud? Hanya waktu yang mampu menjawab.

"Bisa, kan bantu saya, Pak. Bulan depan Mas Danu pasti ganti, kok."

Aku mencebikkan bibir. Entahlah, kenapa aku mulai tak respect dengan Bu Susi. Sikapnya justru membuatku kesal dan marah.

Ya Allah, buang prasangka buruk yang tiba-tiba menyelinap ini.

"Memangnya butuh berapa?"

Wah, gawat! Jangan sampai Mas Ridho termakan bujuk rayu saiton. Sebuah ide tiba-tiba hadir di kepala. Aku segera berlari ke dapur lalu mengambil panci dan centong sayur.

"Em... Kalau tiga juta ada tidak, Pak? Besok kalau gajian saya kembalikan," ucap Bu Susi kembali terdengar di telinga.

Gumbrang!

"Setan... Setan... Eh, setan!"

"Tunggu sebentar, ya, Bu. Sepertinya ada tikus atau kucing masuk."

"Baik, Pak. Saya tunggu di sini."

Terdengar suara langkah kaki mendekat, cepat-cepat aku berlari menuju dapur, pura-pura membersihkan piring padahal semua piring sudah bersih dan tertata rapi di rak.

"Bunda ini kenapa, to?"

"Nyuci piring, Yah."

"Heleh. Memangnya ayah gak tahu kalau Bunda habis ngintip dari balik pintu.

Ternyata sulit membohongi Mas Ridho. Lelaki itu selalu tahu apa yang ada di kepalaku.

"Bunda tidak mau meminjamkan uang? Bu Susi sedang butuh lho, Bun."

"Biarin aja, Yah. Siapa suruh iri. Bu Susi juga yang membuat aku diasingkan dari komplek ini. Untuk apa kita menolong orang yang jahat pada kita?"

Mas Ridho menempelkan kedua tangannya di pipiku seraya menatap lekat netra ini.

"Kalau keburukan dibalas dengan keburukannya, kapan selesainya, Bun? Lalu apa bedanya Bunda dengan Bu Susi?" ucapnya pelan tapi bagai halilintar yang menyambar diri ini.

Pelan tapi terasa langsung ke hati. Memang benar apa yang suamiku katakan. Namun kenapa terasa berat melupakan apa yang telah ia lakukan?

"Jangan dipinjami tapi beli saja semua tanamannya itu. Bu Susi mana bisa merawat tanaman. Pohon mangga saja mati apa lagi anggrek dan mawar."

Mas Ridho tersenyum lalu memeluk tubuhku erat.

"Makasih, Bun. Love you full," ucapnya lalu mengecup mesra kening ini.

Bunga dan tanaman buah itu segera diturunkan di halaman rumah. Mas Ridho membantu menatanya. Dia cari tempat agar halaman yang tak seberapa ini muat dengan berbagai jenis tanaman.

Aku ikhlaskan uang itu. Lebih baik menyelamatkan makhluk hidup ini sebelum mati di tangan Bu Susi.

***

Pagi-pagi aku selalu disibukkan dengan kegiatan rumah. Menulis akan kulakukan setelah semua tugas terselesaikan. Menulis memang menjadi pekerjaanku saat ini. Namun aku tidak mau pekerjaan itu membuat aku melupakan tugas seorang istri yang sebenarnya.

"Yah, tanamannya kapan terakhir kali dipupuk?"

Mas Ridho membalikkan badan, telepon yang ada dalam genggaman ia letakkan. Mas Ridho melangkah lalu berhenti tepat di hadapanku.

"Kenapa? Mas lagi sibuk, kenapa diganggu? Hem!"

"Maaf-maaf, aku hanya bertanya kapan terakhir kali tanaman-tanaman ini di pupuk?"

"Mas lupa, mungkin tiga minggu yang lalu."

"Kalau begitu tolong ambilkan pupuknya, Mas." Mas Ridho mengangguk lalu pergi menuju belakang.

Sambil menunggu aku mulai mencabuti rumput sambil jongkok.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Bukan Mas Ridho melainkan orang yang hendak lewat di jalan depan rumah.

"Kasihan, ya, Bu Susi. Dia minjemin uang tiga juga pada Bu Salma."

"Gayanya sih sok kaya. Sudah tahu suaminya pengangguran tapi justru memborong tanaman."

"Memang keterlaluan dia!"

DEG!

Aku meminjam uang pada Bu Susi, apa tidak kebalik itu?

Bab terkait

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   5. Liburan

    Telinga kubuka lebar-lebar, tiap kata yang kelar dari dua wanita itu sungguh menyiksa hati.Orang yang kita tolong tak selamanya berterimakasih. Nyatanya ada saja yang menusuk dari belakang. Sudah ditolong tapi justru memutar balikkan fakta. Menghela napas, kuatur dada yang bergemuruh, hampir meledak. Beristighfar pelan agar amarah perlahan menghilang. "Kenapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sudah berdiri di sampingku. Lelaki yang menemaniku lima tahun itu menatap heran saat air bah turun dari kedua netra. Tangisku pecah kala ia menarik tubuh ini ke dalam pelukannya. "Kenapa?" Aku diam tapi tangisku semakin menjadi. "Malu dilihat orang, Bun. Nanti Ayah dikira KDRT lagi." Mas Ridho menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Cengeng memang, tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa sakit hati. "Ayo, masuk! Tidak enak dilihat orang." Mas Ridho menuntunku masuk ke rumah. Pupuk yang sempat ia ambil tergeletak di halaman begitu saja. "Duduk dulu, Bun." Mas Ridho mem

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   6.Tertinggal

    "Bu Tini," ucapku pelan. "Bu Salma liburan di sini juga? Kok bisa kebetulan, ya?"Aku rasa ini kebetulan. Kalau pun kebetulan, mana mungkin wanita itu tahu kamarku. Apa jangan-jangan.... Ah, kenapa aku jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja ini kebetulan. Namun kenapa harus di sini? Saat aku ingin bebas dari mereka tapi kenyataan menolaknya. "I-iya, Bu.""Sebentar lagi Bu Susi, Tyo dan Bu Santi akan ke sini. Biasalah kami selalu piknik bersama. Namanya juga orang kaya, duitnya ada di mana-mana.""Putri Ibu tidak diajak?""Dia sudah SMP, jadi tidak suka pergi dengan emak-emak.""0...." Hanya itu yang kukatakan. "Kita juga bisa berlibur bersama lho, Bu Salma. Eh, tapi kalau Ibu punya uang." Dia menutup mulut seakan mengejekku. Astaga, kenapa ada orang seperti itu. Menilai sesuatu dari materinya. "Saya permisi, selamat berlibur.""Bu Salma, tunggu...."Segera kututup pintu rapat-rapat. Tidak kuhiraukan Bu Tini yang kembali mengetuk pintu. "Siapa, Bun? Kok ditutup pintunya

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   7.Bu Susu Kena Bully

    Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel. "Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho. Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu? "Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut. "Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu. "Maaf, Bu Susi ini Ridho.""Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi. "Maaf, ya,

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Mogok

    Sopir pickup itu keluar lalu berjalan mendekat ke arah kami. "Bagaimana ini, Yah?" bisikku. "Balik badan, kita pura-pura tak tahu."Aku dan Mas Ridho sontak membalikkan, kami berjalan perlahan bagai tak mengetahui apa pun. Sejujurnya jantungku berdebar, rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Mereka yang berbuat salah lalu kenapa aku yang gugup? "Mbak! Mas! Tunggu!" teriak lelaki itu lantang. Kami berhenti lalu membalikkan badan. Mas Ridho tersenyum tapi aku memilih diam seraya menahan rasa takut yang tiba-tiba singgah di sini, di hati. "Apa apa, Pak?" tanya Mas Ridho ramah. "Tolong bayar uang jalan tiga wanita dam satu anak lelaki itu."Mas Ridho menautkan dua alis,menatap bingung pada lelaki di hadapannya. Meski aku tahu ia hanya pura-pura. Tapi kurasa acting-nya cukup bagus. "Maksudnya apa, ya, Mas? Saya tidak mengerti.""Jangan bohong, Mas. Kata tiga ibu tadi uangnya Mas dan Mbak yang bayar. Tiga wanita yang barusan turun teman kalian, kan?" Wajahnya lelaki tampak

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Tamu Tengah Malam

    "Duluan, ya, Bu Susi!" ucapku saat mobil kami melewati mereka. Tak lupa aku lambaikan tangan. "Salma, kurang ajar!" teriak Bu Susi sambil mengepalkan tangan ke atas. "Dorong, Bu!" teriak Bu Tini dari dalam. Ya Allah, maafkan diri ini yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Namun aku tak bisa bohong jika mereka begitu lucu. Hanya kali ini. "Bunda udah ih, gak baik ngetawain orang lain. Tapi kali ini gak apa-apa, Ayah juga mau ketawa."Hampir saja aku marah karena Mas Ridho memintaku berhenti tertawa. Tapi ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di rumah. Segera kami masuk sambil membawa barang-barang. "Sudah dibawa masuk semua, Bun?" tanya Mas Ridho sambil meletakkan barang-barang di dekat sofa. "Sudah, Yah. Ini yang terakhir." Aku letakkan beberapa kotak bakpia di atas meja. Kamu duduk sambil meluruskan kaki yang terasa pegal. Lelah karena perjalanan jauh. Liburan tak hanya membahagiakan tapi juga menguras tenaga dan

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Keracunan

    Pintu digedor berulang kali. Teriakan memanggil nama Bu Susi menggema. Tak bisakah lebih sopan? Ini sudah malam, menganggu orang lain saja. Namun sebuah logika bertanya, tak mungkin mereka bertindak seperti itu tanpa alasan yang jelas. "Ada apa ini, Pak?" tanya Mas Ridho seraya melangkah mendekat. Aku mengikuti lalu berdiri tepat di belakang Mas Ridho. Sambil bersandar di pagar aku menatap sekitar. Lima orang lelaki berdiri sambil memanggil nama Bu Susi. Semuanya adalah bapak-bapak komplek. "Bu Susi keluar! Kamu harus bertanggung jawab," ujar Pak Rudi sambil mengetuk pintu keras. "Ada apa, Pak?" tanya Mas Ridho lagi. "Bu Susi memberikan oleh-oleh peyek udang dan undur-undur. Setelah kami makan jadi muntah-muntah. Makanan itu pasti sudah tak layak di konsumsi.""Tapi jangan malam-malam begini, Pak. Mengganggu warga yang lain. Lebih diselesaikan besok pagi saja," ucap Mas Ridho. Namun rasa marah membuat masukan Mas Ridho tak dianggap. "Aku bakar rumah kamu, Bu Susi!" teriak Pak Ru

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   11. Bu Susi Sial Berkali-kali

    "Ada apa sih, Bun?" tanya Mas Ridho ketika pintu kukunci rapat. "Ayo masuk, Yah!" Aku tarik tangannya masuk ke kamar. "Ada apa sih, Bun?""Jangan buka pintu kalau ada yang ketuk, Yah?""Kenapa?"Aku menghela napas, apa dia tak mendengar teriakan algojo itu. Tandanya akan ada demit yang datang kemari. "Ada setan duit. Pokoknya jangan pernah dibuka. Mengerti!" Mas Ridho mengangguk meski terlihat tak begitu mengerti maksudku. "Ganti baju dulu, Yah. Habis itu kita makan.""Siap, Bos!" Mas Ridho segera melepas koko lalu menggantinya dengan kaos berwarna biru. Aku menatap piring di atas meja. Tumis brokoli masih berada di wajan karena iklan yang tiba-tiba datang. Kuharap makan siang kami tak terganggu dengan ketukan pintu. Tok! Tok! Menghembuskan napas kasar, baru aku pikirkan tapi pengganggu itu sudah datang kemari. "Bun, ada yang ketuk pintu itu," ucap Mas Ridho lalu menjatuhkan bobot di kursi makan. Ruang keluarga dan ruang makan tidak memiliki dinding pembatas. Hanya rak buku

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   12. Bu Susi Sial Berkali-kali

    Nada dering ponsel menyita perhatianku. Aku ambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. "Dengan Ibu Salma?" tanya seorang wanita dari seberang. "Iya, saya sendiri.""Hasil laboratorium tes makanan ibu sudah keluar. Bisa diambil sekarang, Bu.""Terima kasih, nanti saya ke sana, Mbak.""Siapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sedari tadi memperhatikanku. "Hasil tes makanan sudah keluar, Yah. Disuruh ambil.""Habis dzuhur kita ambil, Bun. Sekalian beli perabot untuk restoran."Tepat pukul satu kami berangkat dari rumah. Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman. Sempat kulirik rumah tetangga sebelah. Pintu rumah tertutup rapat. Semenjak kejadian itu Bu Susi bak hilang ditelan tumi. Dia memilih berada di dalam rumah, begitu pun Tyo. Komplek terasa damai tanpa ucapan Bu Susi yang tidak berfaedah. Tepat pukul dua kami sampai di laboratorium. Segera aku keluar lalu mengambil hasilnya. Aku sangat penasaran dengan hasil yang tertera di kertas ini.

Bab terbaru

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Ending

    "Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pindahan

    "STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Salma Murka

    "Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pemakaman

    Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   53 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   52 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    "Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Bab 51 Kecelakaan

    Aku merebahkan tubuh tapi mata tetap terjaga. Berbagai prasangka memenuhi pikiran. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku. Jaga dia hingga sampai di sini. Gita, mungkin anak itu tahu di mana Mas Ridho berada. Ya, kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Kembali aku otak-atik benda pipih itu. Aku hubungi nomor Gita,tapi sama seperti saat menghubungi Mas Ridho, adik iparku tak kunjung mengangkat teleponku. Ya Allah, rasa khawatir semakin memenuhi isi kepalaku. Aku tidak bisa tidur sebelum mengetahui kabar Mas Ridho. Waktu berjalan begitu lambat. Berkali-kali aku melihat layar ponsel berharap ada pesan atau telepon dari Mas Ridho. Namun ternyata nihil. Tak satu pun pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Namun hingga detik ini aku belum juga memejamkan mata. Kini pusing mendera karena semalaman tidak terlelap. "Mas Ridho belum memberi kabar, Mbak?" tanya Alisa setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat. "Belum, Lis. Mbak jad

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   50. Melahirkan

    Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   49.Kontraksi

    "Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R

DMCA.com Protection Status