Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel. "Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho. Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu? "Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut. "Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu. "Maaf, Bu Susi ini Ridho.""Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi. "Maaf, ya,
Sopir pickup itu keluar lalu berjalan mendekat ke arah kami. "Bagaimana ini, Yah?" bisikku. "Balik badan, kita pura-pura tak tahu."Aku dan Mas Ridho sontak membalikkan, kami berjalan perlahan bagai tak mengetahui apa pun. Sejujurnya jantungku berdebar, rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Mereka yang berbuat salah lalu kenapa aku yang gugup? "Mbak! Mas! Tunggu!" teriak lelaki itu lantang. Kami berhenti lalu membalikkan badan. Mas Ridho tersenyum tapi aku memilih diam seraya menahan rasa takut yang tiba-tiba singgah di sini, di hati. "Apa apa, Pak?" tanya Mas Ridho ramah. "Tolong bayar uang jalan tiga wanita dam satu anak lelaki itu."Mas Ridho menautkan dua alis,menatap bingung pada lelaki di hadapannya. Meski aku tahu ia hanya pura-pura. Tapi kurasa acting-nya cukup bagus. "Maksudnya apa, ya, Mas? Saya tidak mengerti.""Jangan bohong, Mas. Kata tiga ibu tadi uangnya Mas dan Mbak yang bayar. Tiga wanita yang barusan turun teman kalian, kan?" Wajahnya lelaki tampak
"Duluan, ya, Bu Susi!" ucapku saat mobil kami melewati mereka. Tak lupa aku lambaikan tangan. "Salma, kurang ajar!" teriak Bu Susi sambil mengepalkan tangan ke atas. "Dorong, Bu!" teriak Bu Tini dari dalam. Ya Allah, maafkan diri ini yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Namun aku tak bisa bohong jika mereka begitu lucu. Hanya kali ini. "Bunda udah ih, gak baik ngetawain orang lain. Tapi kali ini gak apa-apa, Ayah juga mau ketawa."Hampir saja aku marah karena Mas Ridho memintaku berhenti tertawa. Tapi ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di rumah. Segera kami masuk sambil membawa barang-barang. "Sudah dibawa masuk semua, Bun?" tanya Mas Ridho sambil meletakkan barang-barang di dekat sofa. "Sudah, Yah. Ini yang terakhir." Aku letakkan beberapa kotak bakpia di atas meja. Kamu duduk sambil meluruskan kaki yang terasa pegal. Lelah karena perjalanan jauh. Liburan tak hanya membahagiakan tapi juga menguras tenaga dan
Pintu digedor berulang kali. Teriakan memanggil nama Bu Susi menggema. Tak bisakah lebih sopan? Ini sudah malam, menganggu orang lain saja. Namun sebuah logika bertanya, tak mungkin mereka bertindak seperti itu tanpa alasan yang jelas. "Ada apa ini, Pak?" tanya Mas Ridho seraya melangkah mendekat. Aku mengikuti lalu berdiri tepat di belakang Mas Ridho. Sambil bersandar di pagar aku menatap sekitar. Lima orang lelaki berdiri sambil memanggil nama Bu Susi. Semuanya adalah bapak-bapak komplek. "Bu Susi keluar! Kamu harus bertanggung jawab," ujar Pak Rudi sambil mengetuk pintu keras. "Ada apa, Pak?" tanya Mas Ridho lagi. "Bu Susi memberikan oleh-oleh peyek udang dan undur-undur. Setelah kami makan jadi muntah-muntah. Makanan itu pasti sudah tak layak di konsumsi.""Tapi jangan malam-malam begini, Pak. Mengganggu warga yang lain. Lebih diselesaikan besok pagi saja," ucap Mas Ridho. Namun rasa marah membuat masukan Mas Ridho tak dianggap. "Aku bakar rumah kamu, Bu Susi!" teriak Pak Ru
"Ada apa sih, Bun?" tanya Mas Ridho ketika pintu kukunci rapat. "Ayo masuk, Yah!" Aku tarik tangannya masuk ke kamar. "Ada apa sih, Bun?""Jangan buka pintu kalau ada yang ketuk, Yah?""Kenapa?"Aku menghela napas, apa dia tak mendengar teriakan algojo itu. Tandanya akan ada demit yang datang kemari. "Ada setan duit. Pokoknya jangan pernah dibuka. Mengerti!" Mas Ridho mengangguk meski terlihat tak begitu mengerti maksudku. "Ganti baju dulu, Yah. Habis itu kita makan.""Siap, Bos!" Mas Ridho segera melepas koko lalu menggantinya dengan kaos berwarna biru. Aku menatap piring di atas meja. Tumis brokoli masih berada di wajan karena iklan yang tiba-tiba datang. Kuharap makan siang kami tak terganggu dengan ketukan pintu. Tok! Tok! Menghembuskan napas kasar, baru aku pikirkan tapi pengganggu itu sudah datang kemari. "Bun, ada yang ketuk pintu itu," ucap Mas Ridho lalu menjatuhkan bobot di kursi makan. Ruang keluarga dan ruang makan tidak memiliki dinding pembatas. Hanya rak buku
Nada dering ponsel menyita perhatianku. Aku ambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. "Dengan Ibu Salma?" tanya seorang wanita dari seberang. "Iya, saya sendiri.""Hasil laboratorium tes makanan ibu sudah keluar. Bisa diambil sekarang, Bu.""Terima kasih, nanti saya ke sana, Mbak.""Siapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sedari tadi memperhatikanku. "Hasil tes makanan sudah keluar, Yah. Disuruh ambil.""Habis dzuhur kita ambil, Bun. Sekalian beli perabot untuk restoran."Tepat pukul satu kami berangkat dari rumah. Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman. Sempat kulirik rumah tetangga sebelah. Pintu rumah tertutup rapat. Semenjak kejadian itu Bu Susi bak hilang ditelan tumi. Dia memilih berada di dalam rumah, begitu pun Tyo. Komplek terasa damai tanpa ucapan Bu Susi yang tidak berfaedah. Tepat pukul dua kami sampai di laboratorium. Segera aku keluar lalu mengambil hasilnya. Aku sangat penasaran dengan hasil yang tertera di kertas ini.
"Ma-maafkan saya bapak-bapak, saya benar-benar tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau banyak itu sudah tidak layak untuk dimakan," ucap Bu Susi ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Dia sangat ketakutan. "Halah,alasan saja. Pokoknya Bu Susi harus tanggung jawab, saya minta ganti rugi." Bu Susi memegangi kepalanya. "Maaf saya tidak punya uang bapak-bapak. Saya akan menggantinya tapi nanti jika saya memiliki uang." "Tidak bisa begitu dong, Bu. Katanya kaya tapi uang ganti rugi tidak mau ganti. Kaya apanya begitu?"Bagaimana mau membayar jika kemarin dua lelaki bertubuh kekar menagih hutang kemari. Salah sendiri hidup dengan topeng. Topengnya hilang, bingung sendiri, kan. Beberapa lelaki terus saja mendesak Bu Susi. Hingga satu persatu penonton meninggalkan halaman rumahnya. "Ayo pulang, Yah."Kami kembali melangkah menuju rumah. Biarlah mereka mengurusi sendiri. Lebih baik melanjutkan makan siang yang sempat tertunda. "Bu Susi pingsan!" teriak seseorang saat kami berada
Aku tajamkan indera pendengaran. Namun lelaki itu tak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya langkah kaki yang terdengar menjauh. Aku tak tahu karena tirai menghalangi pandanganku. Namun aku yakin suara itu benar-benar dia, lelaki yang pergi dan menghilang. "Lihat apa, Bun?" Aku tersentak kemudian menolah ke kanan, tepat menghadap Mas Ridho. "Gak apa-apa, Yah. Bosan, pengen pulang."Aku terpaksa berbohong, bukan untuk menutupi. Hanya ingin kenangan pahit terkubur dalam tanpa seorang pun yang tahu, termasuk suamiku. "Sudah bisa jalan?" Mas Ridho membantuku bangun dari brankar. "Bisa tapi pelan-pelan, Yah."Mas Ridho mengangguk, dengan hati-hati ia membantuku berjalan. Aku menatap sekeliling, mencari sosok lelaki pemilik suara itu. Namun hingga sampai di mobil lelaki itu tak kutemukan. Ah, mungkin aku hanya salah orang. Tak mungkin dia berada di sini. Bukankah ia ada di pulau seberang? "Bunda mikirin apa, sih? Dari tadi nengok sana nengok sini. Bunda cari apa?" "Bukan apa-apa,
"Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu
"STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d
"Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta
Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura
Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m
"Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas
Aku merebahkan tubuh tapi mata tetap terjaga. Berbagai prasangka memenuhi pikiran. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku. Jaga dia hingga sampai di sini. Gita, mungkin anak itu tahu di mana Mas Ridho berada. Ya, kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Kembali aku otak-atik benda pipih itu. Aku hubungi nomor Gita,tapi sama seperti saat menghubungi Mas Ridho, adik iparku tak kunjung mengangkat teleponku. Ya Allah, rasa khawatir semakin memenuhi isi kepalaku. Aku tidak bisa tidur sebelum mengetahui kabar Mas Ridho. Waktu berjalan begitu lambat. Berkali-kali aku melihat layar ponsel berharap ada pesan atau telepon dari Mas Ridho. Namun ternyata nihil. Tak satu pun pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Namun hingga detik ini aku belum juga memejamkan mata. Kini pusing mendera karena semalaman tidak terlelap. "Mas Ridho belum memberi kabar, Mbak?" tanya Alisa setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat. "Belum, Lis. Mbak jad
Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha
"Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R