Aku tajamkan indera pendengaran. Namun lelaki itu tak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya langkah kaki yang terdengar menjauh. Aku tak tahu karena tirai menghalangi pandanganku. Namun aku yakin suara itu benar-benar dia, lelaki yang pergi dan menghilang. "Lihat apa, Bun?" Aku tersentak kemudian menolah ke kanan, tepat menghadap Mas Ridho. "Gak apa-apa, Yah. Bosan, pengen pulang."Aku terpaksa berbohong, bukan untuk menutupi. Hanya ingin kenangan pahit terkubur dalam tanpa seorang pun yang tahu, termasuk suamiku. "Sudah bisa jalan?" Mas Ridho membantuku bangun dari brankar. "Bisa tapi pelan-pelan, Yah."Mas Ridho mengangguk, dengan hati-hati ia membantuku berjalan. Aku menatap sekeliling, mencari sosok lelaki pemilik suara itu. Namun hingga sampai di mobil lelaki itu tak kutemukan. Ah, mungkin aku hanya salah orang. Tak mungkin dia berada di sini. Bukankah ia ada di pulau seberang? "Bunda mikirin apa, sih? Dari tadi nengok sana nengok sini. Bunda cari apa?" "Bukan apa-apa,
Beberapa saat kami berbincang hingga Gio, putra Bu Aini datang meminta uang. Dengan berat hari wanita itu meninggalkan rumahku. Aku duduk di teras sambil menulis cerita di aplikasi online. Sudah dua hari aku tak menulis karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Bahkan beberapa pembaca mengirim pesan agar segera melanjutkan cerita yang berhenti di saat-saat menegangkan. Tangan menari di keyboard dengan bayangan kejadian menari di kepala. Menulis seperti menonton sebuah kejadian lalu dituangkan dalam sebuah tulisan. Sebuah mobil berhenti mengalihkan fokusku. Aku menoleh ke arah sumber suara. Namun terhalang oleh tembok pembatas rumah kami. Kembali aku menatap layar laptop merangkai kata agar enak dibaca. Menulis bukan sekedar merangkai kata. Namun menuangkan rasa dalam kata. Tak lama mobil itu pergi dari depan rumah Bu Susi. Kali ini aku tak menoleh ke arah sumber suara. Lelah dan bosan mulai menyapa, belum lagi kesehatan yang belum sepenuhnya kembali. Aku beranjak, melangkah
"Papa!" teriak Bu Susi sambil melangkah mendekat. "Jangan teriak-teriak, Ma. Pusing Papa dengernya.""Apa? Pusing? Kamu tidak salah bicara, kan?" Bu Susi menatap tajam lelaki di sampingnya. Tatapan yang membuatku menggelengkan kepala berkali-kali. Semarah-marahnya aku dengan Mas Ridho tak sekali pun aku membentaknya. Apa lagi bertengkar di depan umum. Itu sangat memalukan. "Bu Susi dan Pak Adit tolong selesaikan masalah kalian cr di rumah. Maaf, saya masih ada perlu."Aku memutar badan. Enggan meladeni pasangan yang tak memiliki urat malu. Apa mereka tak melihat beberapa pasang mata sudah mengawasi tempat ini? Mereka mencari bahan untuk menggosip. Seperti yang Bu Susi biasa lakukan terhadapku. "Berhenti!""Susi hentikan! Jangan memperkeruh suasana. Aku kemari hanya untuk berterima kasih karena meminta air panas beberapa hari lalu." Seketika kuputar tubuh 180 derajat. Mas Adit menarik tangan Bu Susi agar berhenti melangkah. Namun usahanya sia-sia, wanita itu menepis tangan suaminy
"Bu Salma jadi pelayan di sini?" tanya Bu Aini dengan raut kebingungan. Berbeda dengan Trio wek-wek yang menatap sinis. "Iya, Bu. Silakan duduk," ucapku ramah. Sekuat tenaga kutahan emosi yang hampir meledak. Sekali-kali mengalah tak masalah, kan? Aku tak ingin citra restoran ini buruk karena ulah Bu Susi dan kawan-kawannya. Mereka tak akan percaya jika aku pemilik restoran ini. Bu Aini dan ketiga wanita bar-bar itu duduk di kursi. Mereka terlihat bingung mau memilih menu apa. Daftar menu makanan berulang kali di balik. Namun belum ada satu menu yang mereka pesan. "Mau pesan apa ibu-ibu?" tanyaku karena sudah mematung beberapa menit di sini. "Sabar dong Bu Salma. Ingat, ya, pembeli adalah raja. Kami di sini raja, sedang kamu hanya pelayan. Jadi jangan banyak protes atau kulaporkan kepada pemilik restoran ini agar Bu Salma dipecat!" ucap Bu Tini jumawa. Aku kepalkan tangan di samping, manahan emosi hampir meledak. Aku ingin lihat bagaimana reaksi mereka jika tahu akulah pemilik r
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Mereka saling pandang lalu tersenyum ke arahku. Senyum merendahkan lebih tepatnya. "Kamu ngapain di sini, Bu Salma?" ucap Bu Tini dengan pongahnya."Kami mencari pemilik restoran ini, bukan kamu." Bu Susi mengarahkan jarinya tepat di depan wajahku. "Pelayan.""Iya benar, kami mau mengucapkan terima kasih pada pemilik restoran ini. Bukan pada pegawai rendahan seperti kamu."Aku menghembuskan napas perlahan, mengeluarkan amarah yang menyesakkan rongga dada. Setiap kata yang mereka ucapnya tak ubahnya belati yang menyayat hati. "Sudah-sudah, jangan bertengkar. Bu Susi, Bu Tini dan Bu Santi gak baik bicara seperti itu. Biar bagaimana pun kita ini hidup bertetangga. Pasti saling membutuhkan satu dan lainnya."Bu Aini yang dari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. Namun perkataannya dianggap angin lalu saja. Trio wek-wek justru kian menjadi. Cacian dan hinaan mereka lontarkan untukku. Nada suaranya yang tinggi memancing beberapa pasang mata me
Aku mengejapkan mata perlahan. Kembali kututup saat cahaya menyilaukan mata. Sosok Mas Ridho pertama kali kulihat saat kesadaran terkumpul sepenuhnya. "Yah, " panggilku lirih. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Bun." Mas Ridho mendekat, membantuku bersandar di headboard. "Ya Allah, Bu Salma... Saya benar-benar khawatir Ibu jatuh pingsan tadi. Saya langsung menelepon Pak Ridho biar cepet pulang. Untung Ibu gak kenapa-napa," terang Bu Tini. Lagi-lagi bau jengkol menyebar, memenuhi indra penciuman. Tanpa diminta rasa mual pun hadir kembali. "Aku pengen muntah, Yah."Dengan sigap Mas Ridho memapahku hingga ke kamar mandi. Aku muntahkan semua isi perut, meski hanya cairan bening yang keluar. Karena tak ada makanan yang tersisa di lambung. "Bu Salma tidak apa-apa, kan?""Jangan bicara, Bu. Bau mulut Bu Tini membuat saya ingin muntah. Tolong tutup mulutnya rapat-rapat."Seketika Bu Tini menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian mundur dan meninggalkan kamarku. Aku pun bernapas lega kala
"Siapa, Bun?"Aku memberikan ponsel kepada Mas Ridho. Lama ia terdiam menatap tulisan di layar smartphone itu. "Dari Pak Adit?" tanyanya sambil menatapku tajam. Senyum seketika lenyap,kini wajah merah menahan amarah yang terlihat jelas di sana. Aku memang tidak tahu siapa pemilik nomor itu, begitu pula Mas Ridho. Namun kami yakin Mas Adit yang menghubungiku. Apa mau dia sebenarnya? Tidak istri, tidak suami... Sama-sama memancing emosi. "Aku tidak tahu, Yah. Kami putus kontak setelah ia pergi. Ketemu lagi kemarin itu, waktu meminta air panas.""Maafkan aku, Bun. Aku cemburu." Sudut bibirku tertarik ke atas, kupeluk Mas Ridho erat. "Kita pindah rumah saja, Yah.""Belum bisa, Bun. Tabungan kita sudah habis untuk pembuatan restoran itu."Aku lepas pelukan ini. Ternyata tak semudah itu keluar dari komplek mawar."Di tempat lain bukan tidak mungkin ada Bu lainnya. Jadi kita harus adaptasi dulu.""Ah, bilang saja belum ada uang." Aku mendengus kesal lalu masuk ke mobil. "Bunda... Bun
"Ayo cepet! Aku mau jemput Tyo!" Bu Susi kembali menengadahkan tangan. "Ibu yang menghalangi saya, kan?""Halah, jangan alasan kamu, Salma! Pokoknya kamu harus ganti rugi! Aku tidak mau tahu!" teriaknya lantang. Dalam sekejap semua mata tertuju pada kami. Ini memang bukan yang pertama. Namun rasanya masih sama. Malu. "Berapa?" "Tiga ratus.""Sebentar."Aku berjalan ke kamar mengambil uang ganti rugi. Tetapi hanya ada dua lembar uang berwarna merah. Biarlah, toh ini lebih dari cukup. "Mana!""Ini, hanya ada 200 ribu.""Kok cuman dua lembar? Saya mintanya tiga lembar."Bu Susi masih tidak terima, Rp. 200.000,- lebih dari cukup untuk mencucikan rok itu di laundry depan gang. "Kalau tidak mau saya ambil lagi."Belum sempat kutarik, Bu Susi lebih dulu memasukkan uang itu ke dalam saku. "Ya sudah. Permisi."Bu Susi pergi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. "Katanya kaya uang 300 ribu aja gak punya," ucapnya tapi masih mampu kudengar dengan jelas. Menggeleng pelan sambil menge
"Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu
"STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d
"Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta
Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura
Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m
"Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas
Aku merebahkan tubuh tapi mata tetap terjaga. Berbagai prasangka memenuhi pikiran. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suamiku. Jaga dia hingga sampai di sini. Gita, mungkin anak itu tahu di mana Mas Ridho berada. Ya, kenapa tidak terpikirkan dari tadi. Kembali aku otak-atik benda pipih itu. Aku hubungi nomor Gita,tapi sama seperti saat menghubungi Mas Ridho, adik iparku tak kunjung mengangkat teleponku. Ya Allah, rasa khawatir semakin memenuhi isi kepalaku. Aku tidak bisa tidur sebelum mengetahui kabar Mas Ridho. Waktu berjalan begitu lambat. Berkali-kali aku melihat layar ponsel berharap ada pesan atau telepon dari Mas Ridho. Namun ternyata nihil. Tak satu pun pesan masuk di aplikasi berwarna hijau milikku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Namun hingga detik ini aku belum juga memejamkan mata. Kini pusing mendera karena semalaman tidak terlelap. "Mas Ridho belum memberi kabar, Mbak?" tanya Alisa setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat. "Belum, Lis. Mbak jad
Perawat dengan hati-hati memasang selang infus di tangan kanan. Tak lama brankar yang kutiduri didorong ke ruangan bersalin.Dua orang bidan dengan cekatan membantuku. Aku mengikuti semua instruksi yang mereka berikan. Dalam hati terus berdoa agar Allah memberi kelancaran dalam proses kelahiran meski tanpa suamiku di sini. Owek... Owek.... Sebuah lengkungan tergambar di wajah. Rasa lega ini tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Sakit yang tadi kurasa hilang bersamaan dengan tangis bayi itu. Tetes demi tetes cairan bening jatuh dengan sendirinya. Bahagia, hingga aku mengeluarkan air mata. Tangis ini yang bertahun-tahun aku nantikan. Akhirnya Tuhan berikan seorang malaikat kecil dalam kehidupan kami. "Selamat Ibu, bayinya laki-laki," ucap Bidan itu semakin membuatku bahagia. "Bukan cewek ya, Bu?""Bukan, lelaki.""Alhamdulillah," ucapku sambil menjatuhkan air mata. Bahagia bukan karena aku baru saja melahirkan tapi Allah memberikan seorang bayi laki-laki pada kami. Dari awal ha
"Apa-apaan ini, Bu? Kenapa saya ditampar?" Bu Susi melotot, matanya seakan mau copot. "Biar mulutnya tahu sopan santun, gak bicara yang tidak-tidak. Ingat ya, Bu Susi. Setiap kata yang keluar dari mulut itu doa. Ibu pengen ada pelakor di rumah tangga ibu?"Wanita itu diam tapi sorot kebencian tergambar jelas di sana. Terlihat dari kepalan tangan kanannya. Apa dia pikir aku akan takut? Tidak! Aku sudah muak dengan kelakukan wanita bar-bar itu. Lelah selalu mengalah hanya untuk hidup tenang. Namun dia selalu saja mengibarkan bendera perang. "Kamu!" Jari telunjuknya mengarah padaku. "Apa? Bu Susi pikir aku takut... Gak, aku sudah gak takut sama Bu Susi. Kalau Bu Susi terus gangguin kami. Maka aku tidak segan-segan lapor polisi.""Sial!" Wanita itu menghentak-hentakkan kaki pergi dari hadapanku. Pergi dan jangan pernah kembali. ***Aku menggulingkan badan ke kanan dan kiri. Beberapa kali melihat benda bulat yang menempel di dinding. Namun waktu terasa begitu lambat. Ah, tak ada Mas R