Sepotong croissant dengan segelas capuccino panas, telah tersaji di depan Sofie, tetapi ia belum menyentuhnya sedikitpun. Sementara, Rakha tengah asyik menyeruput espreso panasnya sambil melirik ke arah Sofie, yang memandang tajam ke arahnya."Mbak, jangan ngeliatin aku begitu, nanti bisa bikin aku lama-lama jadi suka," canda Rakha."Eh bukan, kalau suka itu sih sudah dari awal, tapi takutnya jadi jatuh ...""Kalau jatuh, ya berdiri lagi," potong Sofie dengan nada dingin."Kha, jujurly, aku nggak ngerti sama kamu, eh bukan tapi kamu tuh seperti kotak misteri, yang selalu ada kejutan di setiap kotak itu terbuka," lanjut Sofie."Hmm aku nggak ...""But I don't like surprise, Kha.""Kha, tadi malam aku bermimpi dan seingatku mimpinya nggak enak.""Mimpi apa, Mbak?" tanya Rakha."Entahlah, yang jelas aku seperti sedang diinterogasi dan ini semua berhubungan dengan kamu," jawab Sofie.Rakha pun mengernyitkan dahinya dan menajamkan pandangannya, lalu bertanya, "Berhubungan dengan aku? Tenta
Matahari mulai meredup, semburat jingga di lembayung senja, menenangkan hati bagi penikmatnya. Tetapi sedikit berbeda dengan suasana di divisi desain Chokusen, yang sepertinya belum menunjukkan akan berakhirnya masa kerja mereka hari itu. Sofie masih berjibaku dengan deadline proyek Mitsuno, yang harus ia selesaikan dalam waktu kurang dari sepuluh hari untuk presentasi awal. Ia pun mengalami leher yang kaku, setelah berjam-jam menatap layar komputernya. Ia pun melemaskan otot-otot lehernya dengan menggerakkannya ke segala arah dan tiba-tiba, ia merasakan ada sebuah benda hangat di pundaknya. "Eh, apa ini?" tanya Sofie sambil menarik sebuah penghangat silikon seukuran telapak tangannya. "Pakai aja, Mbak. Sekalian istirahat sebentar, ini kopi sama sandwich," ucap Rakha yang tiba-tiba muncul. "Eh, makasih Kha. It's very nice of you," sahut Sofie dengan tersenyum. Setelah Rakha kembali ke mejanya, Sofie pun mengajaknya berbincang. "Kha, nggak sekalian makan?" "Sudah Mbak, silakan
Malam hari disaat Rakha bersiap untuk memejamkan matanya, tiba-tiba terdengar suara dering gawainya. Ia pun bergegas mengangkatnya setelah membaca nama penelponnya. "Rakha, kapan kamu akan pulang?" teriak seorang wanita dari ujung telepon. "Onisan? Ah, pertanyaan itu lagi?" tanya Rakha. "Baiklah kalau kamu tidak menjawab, aku akan datang menemuimu secara tiba-tiba! Matte ne!" seru Haruka yang kemudian segera menutup sambungan teleponnya. "Hee, chotto matte! Onisan?! Onisan!" panggil Rakha berulang. "Nande kore? Kebiasaan banget! Tiba-tiba nelpon, tiba-tiba langsung dimatiin! Aah onisan!" seru Rakha. Haruka kakak satu-satunya yang ia miliki, tiba-tiba menghubungi, berarti ada sesuatu yang penting. Ia pun harus bersiap, karena Haruka bukanlah seorang kakak perempuan yang lembut baginya, melainkan sebaliknya. Ingatan betapa kerasnya Haruka, membuat Rakha memikirkan bagaimana cara agar ia selamat ketika Haruka datang nanti. Masih jelas dalam ingatannya, saat ia berusia lima
"Otouto!" panggil seorang wanita berambut hitam panjang yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih kemerahan. Mata Rakha pun membesar, tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya, sambil lirih bersuara, "Onisan?" "Onisan, ada apa kesini?" tanya Rakha dengan berteriak. "Ta raa, surprise!" seru Haruka. Rakha yang masih tidak percaya akan kedatangan sang kakak, hanya dapat ternganga. "Heh adik nggak sopan! Karena kamu nggak pulang-pulang, makanya aku yang datang nemuin kamu," ucap Haruka. "Eh gomennasai," ucap Rakha. "Nah, gitu dong adik manis. Kamu kemana aja?" tanya Haruka. "Onisan, stop memperlakukan aku seperti anak kecil," protes Rakha. "But you are my little otouto," sahut Haruka sambil mencubit kedua pipi Rakha. Sementara itu, Sofie menyaksikan adegan pertemuan Rakha dengan sang kakak sambil menyeruput kopi panasnya dan tersenyum geli. Tentu saja, Haruka memperhatikan keberadaan Sofie dan tanpa segan langsung menghampirinya dan mengajak berk
"Eh Mbak, bikin kaget aja!" seru Rakha."Maaf, tapi kamu barusan ngobrol sama siapa?" tanya Sofie yang tak melihat siapapun selain dirinya dan Rakha."Oh, ini," tunjuk Rakha pada earpiece yang terpasang di telinganya."Oh telponan. Eh maaf, ngganggu telponnya," ucap Sofie."Nggak kok, Mbak. Ini aku udahan nelponnya," ucap Rakha."Oiya, kok Mbak Sofie disini? Ada apa?" tanya Rakha."Kamu ngilang, makanya aku cari-cari kamu, eh ternyata disini," jawab Sofie."Maaf Mbak, ini tadi ada urusan penting, jadi aku cari tempat yang sepi. Oiya, desain Mitsuno sudah di-approve semuanya?" tanya Rakha."Tinggal satu lagi, setelah oke, kamu nanti langsung bikin 3D-nya, ya," pinta Sofie."Siap, in syaaAllah nanti aku buatin video animasinya, bukan cuma gambar tiga dimensi," jawab Rakha dengan cepat."Jadi penasaran sama hasil akhirnya nanti, nggak salah Ryan nempatin kamu jadi asistenku," ucap Sofie."Yowes, balik yuk. Hari ini kita full di kantor, jadi kerja dan kerja! Ah leherku," lanjut Sofie samb
Setelah keduanya berada di dalam mobil, Sofie mulai mengungkapkan unek-uneknya. "Dari pertama kamu baru interview, cewek-cewek itu sudah pada heboh. Kayak nggak pernah lihat yang bening aja. Makanya bener, jaman now itu adalah jaman dimana manusia sudah kehilangan rasa malunya, terutama perempuan. Padahal perempuan itu dinilai kebaikan akhlaknya dari rasa malu yang ia miliki. Nggak sembarangan SKSD sama laki-laki." "Dan sebenarnya aku pun terpaksa untuk kembali bekerja karena hanya kemampuan ini yang aku miliki yang dapat menghasilkan dollar perbulannya. Kalau aku punya pilihan lain, aku akan memilih bekerja dari rumah dan fokus pada pendidikan Raffa," jelas Sofie panjang lebar. "Yowes kalau begitu, Mbak Sofie kembalilah ke rumah, aku yang akan membiayai kehidupan Mbak dan Raffa," ucap Rakha. "Eh mana bisa begitu? Kamu bukan siapa-siapaku, kamu tidak mempunyai kewajiban atasku," tolak Sofie dengan halus. "Mbak, jadikan aku siapa-siapamu kalau begitu," ucap Rakha. "Ini masih sore
Di malam yang hening, Sofie masih terjaga walaupun rasa kantuk telah menghampiri, tetapi ia masih belum dapat memejamkan matanya. Rasa penasaran akan asistennya itu yang berhasil membuatnya terjaga.Tadi ketemu sama kakaknya, trus setelah itu kenapa dia jadi aneh? Kenapa jadi dingin banget? Ah, anak ini memang penuh misteri! Apa aku harus jadi detektif, biar bisa menguak siapa identitas Rakha?Lagian, Rakha juga nama yang nggak umum dipakai sama blasteran Jepang dan Inggris, sama orang Indonesia aja nggak banyak dipakai. Aku yakin, itu bukan nama aslinya. Aku yakin dia nutupin sesuatu!Batin Sofie yang terusik akan asisten tampannya ini semakin menjadi, sehingga ia mulai mencarinya di internet, dengan mengetik nama lengkap Rakha. Sayangnya, setelah mengetik nama lengkap Rakha pada laman pencarian, Sofie tidak ditemukan apapun tentangnya."Kok aneh? Sampai medsos juga nggak ada? Emang masih ada orang yang nggak eksis di medsos?" lirih Sofie."Nggak bener nih anak! Siapa sih kamu, Kha?"
"Belum selesai, baru sekitar tujuh-delapan puluh persen," sahut Rakha."It's okay, I wanna see it," pinta Ryan dan Rakha segera menunjukkan gambar tiga dimensi proyek Mitsuno.Beberapa saat kemudian, dengan wajah berseri dan penuh kepuasan, Ryan memberikan tepukan tangan untuk hasil kerja Rakha, seraya berseru, "Very good, absolutely good. I love it! So, hurry up! Can't wait to see the whole design!" "Give me three days, in syaaAllah saya akan menyelesaikannya dalam tiga hari," ucap Rakha dengan penuh percaya diri."All right! Keep up your good work, well done! Ugh, love this team so much!" seru Ryan."Ryan pilih kasih, masa' timnya Sofie aja yang disukai?!" sahut Melisa."Hold a second! Bukan itu maksudnya, saya menyukai semua tim desain yang ada, but kalian kan tahu, setiap saya puas dengan hasil kerja kalian, saya nggak setengah-setengah untuk memberikan pujian," jelas Ryan."So, tidak ada anak tiri dalam tim kita. You are all my precious. So, let's keep up the good work!" tambah
"Mbak, ingat Rain nggak?" tanya Shafa.Sambil mengernyitkan keningnya, Sofie balik bertanya, "Rain Korea suaminya Kim Tae Hae?""Mbaaaak, sejak kapan aku kenal sama Rain yang ono? Rain, temen SMP aku itu lho, yang blasteran ...""Oh yang ganteng itu! Yang kamu suka tapi dianya jual mahal itu, kan?" goda Sofie sambil terkekeh."Idih, bener," sahut Shafa yang membuat Sofie terbahak."Keknya puas banget nih kakak satu," tambah Shafa."Sorry, sorry. Anyway, ada apa sama Rain ganteng?" goda Sofie lagi."He's a lawyer, mungkin mbak Sof butuh jasanya, maybe someday gitu?""Hmmm dia sudah nikah belum, kamu lamar gih, biar kamu segera pindah dari sini," goda Sofie lagi sambil terbahak."Sungguh menyesal aku bertanya," sungut Shafa.Shafa pun beranjak dari hadapan Sofie untuk kembali ke kamarnya, tetapi Sofie menahan pintunya sambil berucap, "Iya deh, maaf. Jangan ngambek dong, duduk lagi sini, sok cerita.""Udah nggak mood," sahut Shafa datar."Aduh, adik manis jadi ngambek. Cini-cini, mbak m
Matahari pagi menjelang siang di kota Bogor telah bersinar terang, tetapi udara dinginnya masih terasa menerpa kulit. Keheningan di salah satu sudut kota, dimanfaatkan oleh Rain dan Shafa untuk menikmati hidangan ringan khas kota Bogor. Keduanya pun larut dalam perbincangan yang telah lama tidak mereka lakukan. "Jilbab kamu tambah panjang aja, Shaf and you look great," puji Rain. "Kamu tambah makmur ..." "Hei, aku cuma nambah beberapa kilo ..." "Aku nggak bilang kamu gendutan, cuma bilang tambah makmur, it's compliment," jelas Shafa. Sambil menyeruput kopi hangatnya, Rain bertanya, "Well thanks, but anyway, kamu ngapin disini?" "Belanja," jawab singkat Shafa, sambil menunjukkan tas belanjaannya. "I can see that, tapi kok disini? Sejak kapan kamu pindah ke sini?" "Pingin tenang aja, capek di Jakarta. Macet, panas, apa-apa mahal, dimana-mana belanja harus pakai kris," jawab Shafa. "Padahal kalau pakai pisau dikira mau ngerampok ..." "Shafaaa! Aku tuh serius, eh k
Dua puluh empat jam setelah Ryuji sadar, ia telah dijadwalkan untuk menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit oleh tim dokter yang menanganinya. Pemeriksaan MRI kepala, darah lengkap dan prosedur pemeriksaan kesehatan lengkap lainnya dilakukan secara bertahap dan menyeluruh. Sementara itu, Harumi dan Ryuzaki menunggu dengan penuh harap akan hasilnya. Keduanya mendampingi Ryuji dalam setiap pemeriksaan, termasuk saat pemindaian otak menggunakan MRI yang memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Setelahnya, mereka masih harus menunggu sekitar setengah jam untuk mendapatkan hasilnya. Dokter radiologi harus membacanya dengan seksama, sebelum memberikan kesimpulan atas apa yang terpindai pada otak Ryuji. Jauh di bagian timur bumi, angin dingin berhembus perlahan di kaki gunung Salak, Jawa Barat. Gemericik air terdengar jelas dari aliran curug Ngumpet dengan kolam alami di bawahnya. Langit lembayung senja, tampak syahdu dengan kehadiran burung-burung yang berterbangan dan
Hari berganti, pekan pun dilalui, Ryuzaki belum mendapatkan titik terang akan keberadaan Sofie dan keluarganya, yang seakan hilang ditelan bumi.Tetapi, hilangnya Sofie kemudian tergantikan dengan berita baik mengenai Ryuji, dimana tanda-tanda akan kesadarannya mulai tampak. Dokter pun meminta agar Ryuzaki dan Harumi untuk lebih intensif dalam mengajaknya berbicara dan memberikan semangat untuk pulih, karena pasien dalam kondisi tidak sadar, masih tetap dapat mendengar suara-suara di sekelilingnya."Ryu, bangunlah. Coba buka matamu, papa dan mama ada disini. Ayo nak, buka matamu. Kamu akan kehilangan momen turunnya salju, jika kamu tidak bangun juga," ujar Harumi.Tetapi, tetap tidak ada sedikitpun gerakan dari Ryuji. Hal ini membuat Harumi kembali terduduk pasrah. Kesedihan dan kelelahan hati tampak jelas di wajah Harumi. Wanita di usianya telah lebih dari separuh abad itu biasanya masih nampak segar dan ayu, tetapi dengan cobaan yang menimpa keluarganya, sinar wajahnya perlahan men
"Maaf Tuan, Sofie dan keluarganya melarikan diri, dia menghilang. Semua kamera cctv yang terpasang di teras rumahnya sudah tidak aktif. Kami rasa ia telah mematikannya. Maafkan kelalaian kami!" ujar Ken.Kening Ryuzaki berkerut dan tangannya mengepal kuat. Kemudian ia menarik nafas panjang sambil menutup kedua matanya, seolah ia menahan sebuah emosi yang dalam.Lalu, ia bertanya, "Bagaimana dengan alat detektor yang terpasang di mobilnya?""Itu juga tidak aktif. Maafkan kami!""Hmm ternyata benar dugaanku, dia sangat cerdas, tapi aku tahu satu hal, dia orang baik dan begitu juga dengan keluarganya. Aku percaya dia menghilang karena apa yang Ryuji dan kita semua telah perbuat kepadanya. Biarkan dia menghilang, aku yakin itu tidak akan lama. Kalaupun iya, biarkanlah. Sepanjang Ryuji tidak mencarinya, buat apa kita pusing memikirkannya," ucap Ryuzaki."Kalau begitu, kalian bisa kembali ke Tokyo. Ken, urusi semua kepindahan kalian. Sampai di Tokyo, hubungi Tanaka, dia akan memberikan peke
Suatu pagi di kota London, di dalam sebuah rumah mewah, di kamar yang dilengkapi dengan peralatan kesehatan, terdengar suara mesin yang menunjukkan denyut jantung Ryuji per menit. Sementara pemandangan di luar, dipenuhi dengan daun-daun mulai berguguran, menunjukkan telah memasuki musim gugur, dimana suhu udara mulai perlahan menurun ke angka belasan derajat celsius. Perubahan suhu, tidak membuat perubahan dalam kondisi Ryuji, yang masih belum menampakkan perkembangannya. Kekhawatiran Harumi akan kondisi putra tunggalnya membuat dirinya murung dan tak jarang menitikkan airmata. Segala do'a ia panjatkan di sepertiga malam terakhir. Tetapi sepertinya Yang Maha Perencana masih mempunyai rencana lain Ryuji. "Ryu, bangunlah Nak. Kenapa kamu tidur terus? Bukalah matamu sebentar saja, ibu ingin kamu melihat ibu. Ibu ingin kamu melihat kamu tersenyum, bukan diam seperti patung. Ayolah Nak, bangunlah! Apa kamu nggak kangen sama Sofie? Kamu nggak kangen motormu?" Tak peduli berapa kalimat
Seluruh emosi pun bercampur menjadi satu, kemarahan, ketidakpahaman akan apa yang sebenarnya terjadi, membuat Sofie mencari jawaban melalui sang pengawal."Abe! Abe, cepat kesini!" panggil Sofie setengah berteriak.Mendengar namanya dipanggil, dengan berjalan tergopoh-gopoh, Abe menghampiri Sofie dan bertanya, "Ada apa, Mbak?""Kamu lihat ini! Lihat ini semua!" seru Sofie penuh emosi.Lalu, dengan suara dan tangan yang gemetar, Sofie menunjukkan foto-foto yang tersimpan di dalam laptop Ryuji sembari bertanya, "Ini apa, Be? Kenapa Ryu melakukan ini? Ini kan sama saja dengan menguntit?"Abe tidak segera menjawabnya karena ia tidak menyangka jika Sofie dapat membuka kode rahasia laptop Ryuji. "Be, cepat jawab! Kalian semua pasti tahu akan ini semua, kan? Kalian sendiri yang bilang kalau Ryuji dipantau selama dua puluh empat jam setiap hari. Jadi kalian pasti tahu ini apa?!" Rasa serba bersalah meliputi Abe dan dengan suara yang lirih ia menjawab, "Maaf Mbak, tapi ...""Oke, cukup, cu
Seluruh emosi pun bercampur menjadi satu, kemarahan, ketidakpahaman akan apa yang sebenarnya terjadi, membuat Sofie mencari jawaban melalui sang pengawal."Abe! Abe, cepat kesini!" panggil Sofie setengah berteriak.Mendengar namanya dipanggil, dengan berjalan tergopoh-gopoh, Abe menghampiri Sofie dan bertanya, "Ada apa, Mbak?""Kamu lihat ini! Lihat ini semua!" seru Sofie penuh emosi.Lalu, dengan suara dan tangan yang gemetar, Sofie menunjukkan foto-foto yang tersimpan di dalam laptop Ryuji sembari bertanya, "Ini apa, Be? Kenapa Ryu melakukan ini? Ini kan sama saja dengan menguntit?"Abe tidak segera menjawabnya karena ia tidak menyangka jika Sofie dapat membuka kode rahasia laptop Ryuji. "Be, cepat jawab! Kalian semua pasti tahu akan ini semua, kan? Kalian sendiri yang bilang kalau Ryuji dipantau selama dua puluh empat jam setiap hari. Jadi kalian pasti tahu ini apa?!" Rasa serba bersalah meliputi Abe dan dengan suara yang lirih ia menjawab, "Maaf Mbak, tapi ...""Oke, cukup, cu
Hari berganti, pekan pun dilewati. Setelah berlibur selama sepuluh hari di Danau Toba dan juga ke berbagai daerah di Sumatera Utara, tiba saatnya untuk kembali ke Jakarta.Sementara itu, kedua orangtua Ryuji juga telah menyelesaikan ibadah umrohnya dan tak lupa untuk membeli buah tangan untuk Sofie dan putranya.Tetapi, dari semua itu, tetap ada satu yang tidak berubah, yaitu kondisi Ryuji yang masih tetap dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Selama kami pergi, apakah ada sedikit perkembangan dari kondisi Ryuji?" tanya Ryuzaki kepada dokter yang merawat Ryuji."Maaf, tetapi kondisi Ryuji masih tetap seperti saat ia sampai disini," jawab dr. Smith."Apa tidak ada cara untuk membangunkannya?" tanya Harumi."Sampai saat ini, kami belum mempunyai kemampuan untuk itu. Dari beberapa kasus sadarnya pasien yang mengalami koma, belum ada satupun yang merupakan hasil dari keilmuan kedokteran ini. Hanya benar-benar kuasa Sang Pencipta," jawab dr. Smith."Tetapi jangan patah semangat untuk member