"Pihak kepolisian akhirnya melepaskan tembakan gas air mata ke arah kerumunan massa yang melakukan pelemparan batu ke arah polisi. Aksi demo yang berujung dengan ...." Suara berita di televisi pun dimatikan oleh Ryan dan tentu saja mengundang protes anak buahnya. Tetapi berbeda dengan protes yang dilayangkan oleh Sofie, "Kok dimatiin? Ryan kamu nggak boleh melakukan pembunuhan terhadap suara TV!" "Sue me after this, of you want," sahut Ryan, yang kemudian langsung memberikan pengumuman kepada seluruh staff desain. "Attention please, barusan vwog menjamin keamanan di dalam gedung ini." "So, saya nggak minta kalian lembur, anggap aja lagi office gathering. That's why, kalian boleh order makanan untuk malam ini. Tentukan menunya dan seperti biasa, Diana yang akan mengurusnya," lanjut Ryan dan kemudian ia kembali masuk ke dalam ruangannya. Tanpa menunggu lagi, para staf desain segera menghubungi keluarganya masing-masing di rumah, termasuk Sofie. Tetapi, sebelum Sofie berucap, sang
Setelah berjibaku dengan kepadatan lalulintas, akhirnya Sofie sampai juga di tujuan dan tak lupa ia mengucapkan beribu terimakasih kepada Ryan. "Makasih, Bang. Maafin aku ngerepotin di hari pertama aku masuk." "Ngerepotin apa? Udah buruan masuk, kasian yang sudah nungguin," sahut Ryan. "Yowes, makasih sekali lagi. Eh, salam buat mbak Nita, makasih udah minjemin suaminya buat jadi supir," canda Sofie. "Sof, kamu mending..." Tanpa menunggu Ryan menyelesaikan kalimatnya, Sofie segera bergerak cepat untuk keluar dari mobil dan menutup pintunya. Lalu tak lupa ia melambaikan tangannya sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumsalam." Keesokan paginya, saat Sofie tengah bersiap untuk pergi bekerja, Raffa memandanginya dengan wajah sedih. Sofie segera menyadari akan ekspresi putra semata wayangnya itu, ia pun berbalik menghadap Raffa dan berdiri dengan kedua lututnya untuk mensejajarkan dengan putranya. Lalu, ia menggenggam tangan putranya dan membelai rambut lurus yang
Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat, Sofie telah menyelesaikan masa percobaan tiga bulannya dan telah menandatangani kontrak kerja tiga tahunnya, sebagai desainer senior di Chokusen. "Bang, kok aku langsung jadi desainer senior? Kan aku baru masuk?" tanya Sofie kepada Ryan. "Kamu memang baru tiga bulan disini, tapi pengalamanmu sebelumnya di Chokusen selama hampir empat tahun sudah cukup membuatmu menjadi senior." "So, nikmati gaji bulananmu yang fantastis," lanjut Ryan. Sofie cukup terkejut dengan angka nominal pendapatannya yang akan dia dapatkan dalam sebulan, dimana gaji pokoknya belum termasuk pendapatan proyek yang dimasukkan dalam bonus per semester. Dimana besaran bonus itu dapat mencapai tiga hingga lima kali gajinya, semua itu tergantung pada berapa nilai proyek setiap desainer Chokusen dapatkan, sehingga setiap desainer akan mendapatkan bonus yang beragam sesuai dengan nilai proyek yang mereka tangani. "Makasih, Bang! Aku back to work, ya," ucap Sofie yang berseger
Di tengah keramaian para staf desain, datanglah tuan bijak, bapak manajer tercinta yang tampan rupawan yang dengan kehadirannya menyulap suasana yang ramai menjadi tenang dengan seketika. Ryan melihat ke sekelilingnya dan menemukan para desainer sedang melihat ke arahnya dengan wajah serius dan penuh tanya. "Ada apa? Kenapa kalian ngumpul kayak gitu?" tanya Ryan. "Yan, siapa tadi yang baru diwawancarai?" Mata Ryan pun menyelidik ke seluruh staf desain dan dilihatnya Sofie tetap asyik di duduk di kursinya dan tak terusik sama sekali dengan keramaian rekan kerjanya. Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan untuknya tentang staf baru, Ryan berjalan menghampiri Sofie dan berucap, "Mulai hari Senin, kamu akan memiliki asisten. Jadi kamu bisa mendapatkan cukup waktu untuk menyelesaikan semua proyek." Dengan mengerutkan keningnya dan melihat ke arah Ryan, Sofie pun bertanya, "Asisten? Aku dikasih asisten? Why?" "Trust me, you'll need him, very much," jawab Ryan. Lalu, Ryan kem
Kehadiran Rakha yang memiliki visual diatas rata-rata, membuat para wanita di staf desain berulangkali mencuri pandang ke arahnya. Tentu saja Rakha tidak memperdulikannya bahkan ia tidak mengetahuinya, berbeda dengan Sofie yang merasakan hal tersebut, tetapi memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Hingga, lama kelamaan Sofie merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan mengajak Rakha untuk menemaninya ke proyek. "Kha, ikut aku ke Mitsuno." "Hah, Mitsuno?" "Iya, bank Mitsuno, dia mau renovasi, jadi kita harus ke sana buat survei dan ambil data," jawab Sofie sambil merapikan mejanya. "Minta meteran ke Diana, trus ... hmm batre HP aman, nggak?" "Aman?" tanya Rakha yang tidak mengerti akan maksud pertanyaan Sofie. "Masih banyak, nggak?" "Oh, masih Mbak. Eh mbak Diana itu ...?" "Tuh yang mejanya di depan ruangan manajer. Diana itu sekretaris dan bendahara departemen," jawab Sofie. "Oke," sahut Rakha yang kemudian segera melakukan apa yang diminta oleh Sofie dan setelahnya, ia mengik
Matahari perlahan tenggelam, membuat cahaya terangnya menyurut. Langit biru telah menjadi kemerah-merahan dan perlahan mulai kehilangan cahayanya, layaknya hati Sofie yang kelabu. Mood Sofie kembali tidak karuan setelah kunjungannya ke Bank of Todayo Matsuno. Betapa tidak, Rakha yang baru saja diterima bekerja sebagai asistennya, tampak lebih memimpin dan dihormati saat berada di BOTM. Siapakah Rakha sebenarnya? Itupun telah menjadi tanda tanya besar dalam hati Sofie. Percuma nanya langsung ke Rakha, dia nggak bakalan jawab. Kalau memang dia bekerja di Chokusen tidak menggunakan identitas aslinya, itu urusannya dia dengan perusahaan. Yang penting urusan proyek lancar tanpa kendala, batin Sofie sambil memainkan pulpennya. "Mbak, kok diam aja dari tadi?" tanya Rakha yang membuyarkan lamunan Sofie. "Hmm lagi males ngomong aja. Oiya, hasil pendataan tadi sudah kamu masukin ke komputer?" "Sudah, Mbak. Barusan aku kirim ke e-mailnya Mbak Sofie," jawab Rakha. "Makasih, nanti aku cek.
Keesokan paginya, aktivitas para desainer Chokusen telah dimulai seperti biasa. Semua sibuk di depan layar monitor masing-masing. Tidak terkecuali, Sofie dan Rakha yang tampak serius di depan gambar desain mereka. Tetapi, ditengah-tengah kesibukannya, beberapa kali Rakha terciduk mencuri pandang ke arah Sofie oleh Felix, yang membuat kecurigaannya akan asisten baru ini. "Kha, sini sebentar," panggil Felix setengah berbisik. "Ada apa, Koh?""Udah sini dulu," jawab Felix sambil terus memanggil Rakha dengan gestur tangannya. Rakha pun mendekat dengan meluncur menggunakan kursi kerjanya. "Ada apa, Koh?""Kamu mulai kepincut Sofie?" bisik Felix yang membuat Rakha mengernyitkan dahinya. "Apaan kepincut?""Suka, kamu mulai suka Sofie?" tanya Felix lagi. "KOH! Pertanyaan macam apa itu?!" protes Rakha. Tetapi, rasa penasaran Felix membuatnya terus bertanya, "Tinggal jawab aja, sih?""Nggak lah! Mana berani!" sanggah Rakha dengan cepatnya. Tetapi telinga Sofie dan para desainer terlalu
Matahari mulai tenggelam, langit biru berganti dengan semburat jingga dan merah. Kepadatan lalulintas ibukota kembali bergeliat dengan kumpulan manusia yang berusaha kembali ke peraduannya.Tetapi, seperti biasa, hal tersebut tidak terjadi pada staf Chokusen yang masih sibuk di depan layar komputernya masing-masing. Begitu juga dengan Sofie yang masih berjibaku dengan rancangan proyeknya. Melihat Sofie yang sangat fokus pada pekerjaannya, membuat Rakha berinisiatif untuk membawakan kopi dan panganan kecil, yang selalu tersedia di snack area di dekat pantry."Mbak, istirahat sebentar, minum dulu.""Hmm makasih, taruh aja di meja," ucap Sofie tanpa sedikitpun melihat ke arah Rakha ataupun yang dibawakannya.Rakha pun mendengus kasar dan berucap, "Kopinya kalau dingin, nggak enak. Ini sandwich croissant juga segera dimakan, jangan dianggurin kayak aku."Dengan memutar kursinya ke arah Rakha, Sophie merespon, "Trus kamu maunya diapain? Kalau nggak mau dianggurin, apakah kamu mau diapelin?
"Mbak, ingat Rain nggak?" tanya Shafa.Sambil mengernyitkan keningnya, Sofie balik bertanya, "Rain Korea suaminya Kim Tae Hae?""Mbaaaak, sejak kapan aku kenal sama Rain yang ono? Rain, temen SMP aku itu lho, yang blasteran ...""Oh yang ganteng itu! Yang kamu suka tapi dianya jual mahal itu, kan?" goda Sofie sambil terkekeh."Idih, bener," sahut Shafa yang membuat Sofie terbahak."Keknya puas banget nih kakak satu," tambah Shafa."Sorry, sorry. Anyway, ada apa sama Rain ganteng?" goda Sofie lagi."He's a lawyer, mungkin mbak Sof butuh jasanya, maybe someday gitu?""Hmmm dia sudah nikah belum, kamu lamar gih, biar kamu segera pindah dari sini," goda Sofie lagi sambil terbahak."Sungguh menyesal aku bertanya," sungut Shafa.Shafa pun beranjak dari hadapan Sofie untuk kembali ke kamarnya, tetapi Sofie menahan pintunya sambil berucap, "Iya deh, maaf. Jangan ngambek dong, duduk lagi sini, sok cerita.""Udah nggak mood," sahut Shafa datar."Aduh, adik manis jadi ngambek. Cini-cini, mbak m
Matahari pagi menjelang siang di kota Bogor telah bersinar terang, tetapi udara dinginnya masih terasa menerpa kulit. Keheningan di salah satu sudut kota, dimanfaatkan oleh Rain dan Shafa untuk menikmati hidangan ringan khas kota Bogor. Keduanya pun larut dalam perbincangan yang telah lama tidak mereka lakukan. "Jilbab kamu tambah panjang aja, Shaf and you look great," puji Rain. "Kamu tambah makmur ..." "Hei, aku cuma nambah beberapa kilo ..." "Aku nggak bilang kamu gendutan, cuma bilang tambah makmur, it's compliment," jelas Shafa. Sambil menyeruput kopi hangatnya, Rain bertanya, "Well thanks, but anyway, kamu ngapin disini?" "Belanja," jawab singkat Shafa, sambil menunjukkan tas belanjaannya. "I can see that, tapi kok disini? Sejak kapan kamu pindah ke sini?" "Pingin tenang aja, capek di Jakarta. Macet, panas, apa-apa mahal, dimana-mana belanja harus pakai kris," jawab Shafa. "Padahal kalau pakai pisau dikira mau ngerampok ..." "Shafaaa! Aku tuh serius, eh k
Dua puluh empat jam setelah Ryuji sadar, ia telah dijadwalkan untuk menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit oleh tim dokter yang menanganinya. Pemeriksaan MRI kepala, darah lengkap dan prosedur pemeriksaan kesehatan lengkap lainnya dilakukan secara bertahap dan menyeluruh. Sementara itu, Harumi dan Ryuzaki menunggu dengan penuh harap akan hasilnya. Keduanya mendampingi Ryuji dalam setiap pemeriksaan, termasuk saat pemindaian otak menggunakan MRI yang memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Setelahnya, mereka masih harus menunggu sekitar setengah jam untuk mendapatkan hasilnya. Dokter radiologi harus membacanya dengan seksama, sebelum memberikan kesimpulan atas apa yang terpindai pada otak Ryuji. Jauh di bagian timur bumi, angin dingin berhembus perlahan di kaki gunung Salak, Jawa Barat. Gemericik air terdengar jelas dari aliran curug Ngumpet dengan kolam alami di bawahnya. Langit lembayung senja, tampak syahdu dengan kehadiran burung-burung yang berterbangan dan
Hari berganti, pekan pun dilalui, Ryuzaki belum mendapatkan titik terang akan keberadaan Sofie dan keluarganya, yang seakan hilang ditelan bumi.Tetapi, hilangnya Sofie kemudian tergantikan dengan berita baik mengenai Ryuji, dimana tanda-tanda akan kesadarannya mulai tampak. Dokter pun meminta agar Ryuzaki dan Harumi untuk lebih intensif dalam mengajaknya berbicara dan memberikan semangat untuk pulih, karena pasien dalam kondisi tidak sadar, masih tetap dapat mendengar suara-suara di sekelilingnya."Ryu, bangunlah. Coba buka matamu, papa dan mama ada disini. Ayo nak, buka matamu. Kamu akan kehilangan momen turunnya salju, jika kamu tidak bangun juga," ujar Harumi.Tetapi, tetap tidak ada sedikitpun gerakan dari Ryuji. Hal ini membuat Harumi kembali terduduk pasrah. Kesedihan dan kelelahan hati tampak jelas di wajah Harumi. Wanita di usianya telah lebih dari separuh abad itu biasanya masih nampak segar dan ayu, tetapi dengan cobaan yang menimpa keluarganya, sinar wajahnya perlahan men
"Maaf Tuan, Sofie dan keluarganya melarikan diri, dia menghilang. Semua kamera cctv yang terpasang di teras rumahnya sudah tidak aktif. Kami rasa ia telah mematikannya. Maafkan kelalaian kami!" ujar Ken.Kening Ryuzaki berkerut dan tangannya mengepal kuat. Kemudian ia menarik nafas panjang sambil menutup kedua matanya, seolah ia menahan sebuah emosi yang dalam.Lalu, ia bertanya, "Bagaimana dengan alat detektor yang terpasang di mobilnya?""Itu juga tidak aktif. Maafkan kami!""Hmm ternyata benar dugaanku, dia sangat cerdas, tapi aku tahu satu hal, dia orang baik dan begitu juga dengan keluarganya. Aku percaya dia menghilang karena apa yang Ryuji dan kita semua telah perbuat kepadanya. Biarkan dia menghilang, aku yakin itu tidak akan lama. Kalaupun iya, biarkanlah. Sepanjang Ryuji tidak mencarinya, buat apa kita pusing memikirkannya," ucap Ryuzaki."Kalau begitu, kalian bisa kembali ke Tokyo. Ken, urusi semua kepindahan kalian. Sampai di Tokyo, hubungi Tanaka, dia akan memberikan peke
Suatu pagi di kota London, di dalam sebuah rumah mewah, di kamar yang dilengkapi dengan peralatan kesehatan, terdengar suara mesin yang menunjukkan denyut jantung Ryuji per menit. Sementara pemandangan di luar, dipenuhi dengan daun-daun mulai berguguran, menunjukkan telah memasuki musim gugur, dimana suhu udara mulai perlahan menurun ke angka belasan derajat celsius. Perubahan suhu, tidak membuat perubahan dalam kondisi Ryuji, yang masih belum menampakkan perkembangannya. Kekhawatiran Harumi akan kondisi putra tunggalnya membuat dirinya murung dan tak jarang menitikkan airmata. Segala do'a ia panjatkan di sepertiga malam terakhir. Tetapi sepertinya Yang Maha Perencana masih mempunyai rencana lain Ryuji. "Ryu, bangunlah Nak. Kenapa kamu tidur terus? Bukalah matamu sebentar saja, ibu ingin kamu melihat ibu. Ibu ingin kamu melihat kamu tersenyum, bukan diam seperti patung. Ayolah Nak, bangunlah! Apa kamu nggak kangen sama Sofie? Kamu nggak kangen motormu?" Tak peduli berapa kalimat
Seluruh emosi pun bercampur menjadi satu, kemarahan, ketidakpahaman akan apa yang sebenarnya terjadi, membuat Sofie mencari jawaban melalui sang pengawal."Abe! Abe, cepat kesini!" panggil Sofie setengah berteriak.Mendengar namanya dipanggil, dengan berjalan tergopoh-gopoh, Abe menghampiri Sofie dan bertanya, "Ada apa, Mbak?""Kamu lihat ini! Lihat ini semua!" seru Sofie penuh emosi.Lalu, dengan suara dan tangan yang gemetar, Sofie menunjukkan foto-foto yang tersimpan di dalam laptop Ryuji sembari bertanya, "Ini apa, Be? Kenapa Ryu melakukan ini? Ini kan sama saja dengan menguntit?"Abe tidak segera menjawabnya karena ia tidak menyangka jika Sofie dapat membuka kode rahasia laptop Ryuji. "Be, cepat jawab! Kalian semua pasti tahu akan ini semua, kan? Kalian sendiri yang bilang kalau Ryuji dipantau selama dua puluh empat jam setiap hari. Jadi kalian pasti tahu ini apa?!" Rasa serba bersalah meliputi Abe dan dengan suara yang lirih ia menjawab, "Maaf Mbak, tapi ...""Oke, cukup, cu
Seluruh emosi pun bercampur menjadi satu, kemarahan, ketidakpahaman akan apa yang sebenarnya terjadi, membuat Sofie mencari jawaban melalui sang pengawal."Abe! Abe, cepat kesini!" panggil Sofie setengah berteriak.Mendengar namanya dipanggil, dengan berjalan tergopoh-gopoh, Abe menghampiri Sofie dan bertanya, "Ada apa, Mbak?""Kamu lihat ini! Lihat ini semua!" seru Sofie penuh emosi.Lalu, dengan suara dan tangan yang gemetar, Sofie menunjukkan foto-foto yang tersimpan di dalam laptop Ryuji sembari bertanya, "Ini apa, Be? Kenapa Ryu melakukan ini? Ini kan sama saja dengan menguntit?"Abe tidak segera menjawabnya karena ia tidak menyangka jika Sofie dapat membuka kode rahasia laptop Ryuji. "Be, cepat jawab! Kalian semua pasti tahu akan ini semua, kan? Kalian sendiri yang bilang kalau Ryuji dipantau selama dua puluh empat jam setiap hari. Jadi kalian pasti tahu ini apa?!" Rasa serba bersalah meliputi Abe dan dengan suara yang lirih ia menjawab, "Maaf Mbak, tapi ...""Oke, cukup, cu
Hari berganti, pekan pun dilewati. Setelah berlibur selama sepuluh hari di Danau Toba dan juga ke berbagai daerah di Sumatera Utara, tiba saatnya untuk kembali ke Jakarta.Sementara itu, kedua orangtua Ryuji juga telah menyelesaikan ibadah umrohnya dan tak lupa untuk membeli buah tangan untuk Sofie dan putranya.Tetapi, dari semua itu, tetap ada satu yang tidak berubah, yaitu kondisi Ryuji yang masih tetap dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Selama kami pergi, apakah ada sedikit perkembangan dari kondisi Ryuji?" tanya Ryuzaki kepada dokter yang merawat Ryuji."Maaf, tetapi kondisi Ryuji masih tetap seperti saat ia sampai disini," jawab dr. Smith."Apa tidak ada cara untuk membangunkannya?" tanya Harumi."Sampai saat ini, kami belum mempunyai kemampuan untuk itu. Dari beberapa kasus sadarnya pasien yang mengalami koma, belum ada satupun yang merupakan hasil dari keilmuan kedokteran ini. Hanya benar-benar kuasa Sang Pencipta," jawab dr. Smith."Tetapi jangan patah semangat untuk member