Saat ini, di sebuah restoran barat kelas atas, terlihat beberapa pemuda pemudi yang berpakaian mewah sedang mengobrol sambil minum-minum."Kak Ariana, aku iri sekali padamu. Tuan Ernest mengangkatmu menjadi putrinya. Selamat, ya!" ujar seorang wanita berpakaian merah sambil tersenyum ramah. Wanita ini tidak lain adalah Gretel, keturunan resmi Keluarga Fabiano yang merupakan salah satu dari 8 keluarga terkaya di Midyar."Dengar-dengar, Tuan Ernest terus berperang selama bertahun-tahun ini, jadi nggak punya anak. Dia mengangkatmu sebagai putrinya jelas karena kamu berbakat!" ujar seorang pria yang memiliki riasan di wajahnya. Namanya Loris, pacar Gretel. Pria ini selalu mengandalkan wajah tampannya dan mulut manisnya."Kak Ariana, coba ceritakan bagaimana kalian bisa saling mengenal?" tanya Gretel dengan penasaran.Ernest selalu hidup menyendiri dan berkarakter dingin, tidak pernah bergaul dengan orang lain. Akan tetapi, dia tiba-tiba datang ke ibu kota provinsi kali ini, bahkan mengangk
Setengah jam kemudian, ketika Gretel dan Ariana masih asyik mengobrol, ponsel Gretel tiba-tiba berdering.Gretel menerima panggilan, lalu terdengar suara Loris yang terisak-isak. "Huhu ... Gretel, aku dipukul. Cepat bantu aku, bocah ini sombong sekali!""Apa? Kamu juga dipukul? Kok bisa? Bukankah aku menyuruhmu membawa 2 pengawal ke sana?" tanya Gretel sambil mengerutkan dahinya. Semua pengawal Gretel dipilih dengan cermat, mustahil bagi preman untuk melawan mereka."Mereka terlalu lemah. Mereka baru maju, tapi sudah kalah. Benar-benar nggak berguna! Gara-gara mereka, aku juga dipukul," sahut Loris dengan kesal."Kamu sudah menyebut nama keluargaku belum?" tanya Gretel."Sudah, tapi aku malah dipukul dengan makin kejam!" timpal Loris."Apa? Berani sekali orang itu mengabaikan Keluarga Fabiano! Preman saja bisa sesombong ini! Kamu tunggu di sana, aku akan segera membawa pengawal datang!" seru Gretel."Oke, cepat ya! Aku akan menahannya sebisa mungkin," ucap Loris."Nona Gretel, sepertin
Para pengawal itu mendorong siapa pun yang menghalangi jalan mereka. Setelah ada jalan untuk lewat, muncullah Gretel yang merias diri dengan begitu cantik. Parasnya yang menawan, ditambah dengan pakaian mewahnya dan karismanya, membuat siapa pun yang melihatnya tahu dia memiliki latar belakang yang tidak biasa."Gretel! Akhirnya kamu datang!" Mata Loris sontak berbinar-binar. Dia bergegas menyambut untuk mengadu, "Lihat, lihat wajahku! Dia memukulku sampai babak belur begini! Kamu harus memberinya pelajaran!""Hm?" Gretel mengulurkan tangan dan memegang dagu Loris. Setelah mengamati sesaat, wajahnya sontak menjadi suram. Dia bertanya dengan galak, "Siapa yang memukulmu sampai begini?"Pria yang menjadi kekasihnya harus mencapai 3 standar, yaitu tampan, bisa memuaskannya, juga bisa menyenangkan hatinya. Kini, wajah tampan Loris menjadi babak belur. Ini sama saja dengan merusak aset pribadinya. Gretel tidak akan bisa menoleransinya!"Dia!" Loris menunjuk Luther, lalu berkata, "Dia yang m
"Kurang ajar!""Lancang sekali!"Begitu ucapan itu dilontarkan, Loris dan lainnya sontak memaki dengan murka. Berani sekali pria ini bersikap tidak hormat kepada Nona Besar Keluarga Fabiano! Benar-benar cari mati!"Ka ... kamu berani mengusirku?" Setelah termangu sejenak, Gretel yang gusar sekaligus malu sontak berseru, "Dasar rakyat jelata! Kurang ajar! Hari ini, aku pasti akan memberimu pelajaran! Pengawal, tangkap dia!""Baik!" Tanpa berbasa-basi, beberapa pengawal di belakang langsung menyerbu ke arah Luther. Saat berikutnya, terlihat sebuah sosok berkelebat. Para pengawal tadi pun terhempas dan menghantam tanah dengan keras hingga akhirnya jatuh pingsan."Eh?" Kejadian mendadak ini membuat semua orang tercengang. Semua terjadi terlalu cepat, tidak ada yang sempat bereaksi. Dimulai dari Gretel memberi perintah, lalu para pengawal menyerbu dan jatuh pingsan, semua hanya memakan waktu 3 detik.Kerumunan bahkan tidak sempat melihat apa yang terjadi, tetapi pertarungan sudah berakhir.
Luther biasanya tidak bersikap perhitungan dengan wanita. Namun, hal ini berbeda jika lawannya adalah wanita yang bersikap tidak masuk akal.Semua orang tercengang melihat Gretel yang ditampar oleh Luther. Apakah pria ini sudah gila? Bukan hanya memukul pengawal Keluarga Fabiano, tetapi juga memukul keturunan resmi Keluarga Fabiano? Mereka jelas memiliki kekuasaan besar di Midyar! Apakah pria ini ingin memberontak atau memang tidak takut mati?"Kamu berani memukulku?" tanya Gretel sembari memegang pipinya yang terasa perih dan menatap dengan tidak percaya. Sejak kecil, dia tidak pernah dipukul oleh siapa pun, apalagi di khalayak ramai seperti ini. Ini sungguh penghinaan besar baginya!"Kenapa kalian terus-menerus melontarkan kalimat yang sama? Membosankan sekali!" Luther mulai kehilangan kesabarannya."Kamu ... aku akan membunuhmu!" seru Gretel dengan suara melengking. Kemudian, dia menerjang ke arah Luther dengan ganas."Gretel! Tenang, tenang sedikit!" seru Loris yang terperanjat mel
"Apa yang kalian berdua bicarakan?" tanya Ariana dengan heran saat melihat Bianca yang kadang tersenyum dan kadang menghela napas. Apakah wanita ini sudah gila?"Bukan apa-apa, aku salah mengenali orang, maaf sekali," sahut Bianca sambil tersenyum. Kemudian, dia memilih untuk mundur. Lagi pula, dia tidak mungkin bersikap perhitungan terhadap orang yang otaknya sedang bermasalah, 'kan?"Aneh," ujar Ariana sambil mengerutkan dahinya. Meskipun tidak mengenal Bianca, entah mengapa dia merasa kesal saat melihat wanita ini.Ariana melirik Bianca, lalu tatapannya tiba-tiba tertuju pada Luther. Dia berkata, "Eh, kamu kelihatan familier. Apa kita pernah bertemu?"Ucapan singkat ini langsung membuat Bianca menjadi berwaspada kembali. Bukannya Ariana hilang ingatan? Kenapa tiba-tiba ingat pada Luther? Jangan-jangan dia hanya berakting?"Kamu ingat aku?" tanya Luther yang tertegun sekaligus merasa heran."Oh, aku sudah ingat, kamu sales asuransi itu!" Setelah merenung sesaat, Ariana akhirnya mengi
Ariana sudah berinisiatif menjadi pelerai. Asalkan pria ini menuruti perkataannya, nyawanya pun masih bisa diselamatkan. Jadi, mengapa harus keras kepala seperti ini? Apakah gengsi lebih penting dari harga diri?"Ucapanmu sudah jelas sekali, aku juga sudah mengerti. Tapi, kalian sudah salah akan satu hal. Aku sama sekali nggak takut pada Keluarga Fabiano. Sebaliknya, seharusnya Keluarga Fabiano yang takut padaku," ujar Luther dengan ekspresi datar.Begitu ucapan ini dilontarkan, orang-orang sontak tertawa dan mulai mengejek."Keluarga Fabiano takut padamu? Hahaha! Kamu nggak salah makan obat? Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?""Hanya sales asuransi, tapi berani bicara selancang ini. Benar-benar nggak tahu diri!""Dasar bodoh! Sepertinya dia masih belum tahu siapa yang sudah disinggungnya."Semua orang menggeleng sambil mencela. Mereka menatap Luther layaknya menatap seorang pria idiot."Dasar kepala batu. Aku sudah memberimu kesempatan. Lupakan saja kalau kamu memang nggak mengh
Dalam perjalanan pulang, Luther mengemudikan mobil, sedangkan Bianca duduk di samping kursi pengemudi. Adapun Junifer dan Becca, keduanya sama-sama duduk di jok belakang."Becca, beri tahu saja aku kalau ada yang menindasmu lagi lain kali. Aku pasti akan memberi mereka pelajaran. Oke?" Sambil berbicara, Bianca mengeluarkan tisu basah untuk membantu Becca menyeka noda di wajahnya."Um." Becca mengangguk dengan serius."Becca, gimana kalau aku mengajarimu ilmu bela diri besok? Kamu hajar saja siapa pun yang berani menindasmu. Kamu juga boleh menghajar siapa pun yang kamu inginkan!" ujar Luther dengan serius."Hei, sembarangan saja kamu ini!" tegur Bianca. Kemudian, dia meneruskan, "Becca pasti lelah kalau belajar ilmu bela diri. Lagi pula, mana ada wanita yang kerjaannya bertarung terus? Becca seharusnya belajar melukis dan piano!""Justru bagus kalau Becca punya banyak keahlian. Belajar ilmu bela diri nggak akan salah, Becca bisa melindungi diri kalau bertemu bahaya," jelas Luther.Berl