"...Tolong restui kami."Ikhwan menatap Davie dengan tajam. Sangat berbeda jauh dari sebelumnya. Ikhwan benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa Davie adalah anak dari seorang pembunuh. "Kalau Om bilang enggak, ya enggak! Kamu tuli ya?!""Ayah, tolong jangan kayak gini. Davie itu orang baik. Dia nggak sama kayak Papanya," lirih Ileana.Ikhwan tetap pada prinsipnya. Sekali tidak, tetap tidak. Sifat keras kepalanya kembali terlihat. "Enggak! Kamu masuk ke rumah, Ilea!""Tapi, Yah-""Masuk!" teriak Ikhwan.Ileana menatap Davie dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Davie hanya bisa memberi isyarat dengan anggukan kepala agar Ileana menuruti ucapan Ikhwan. Setelah itu, Ileana berlari masuk ke dalam rumah sambil menangis.Sedangkan Davie masih tetap berdiri di tempatnya. "Om, kasih Davie kesempatan buat buktiin semuanya. Davie mohon.""Nggak ada istilah kesempatan. Kamu pergi sekarang dan jangan pernah datang ke rumah ini lagi," usir Ikhwan. "Dan satu hal lagi, Ileana nggak akan
Davie memelankan sedikit laju mobilnya saat berbelok ke kiri. Benar kata Ileana, rumah Aldi berada di tepi jalan dan tidak jauh dari pertigaan itu. Davie menghentikan mobilnya di tepi."Ini rumahnya, Sayang?" tanya Davie sambil memperhatikan rumah mewah itu."Iya. Dia adik kandungnya Ayah.""Oh, gitu." Davie manggut-manggut. "Ya udah, yuk kita turun.""Tunggu dulu, Davie."Davie mengernyit heran. "Loh, ada apa, Sayang? Tadi kan kamu yang minta ke sini."Ileana hanya diam sambil menatap rumah mewah dengan halaman yang cukup luas itu. Entah mengapa langkahnya merasa ragu. Jantungnya berdegup kencang sekali."Sayang," panggil Davie.Wanita itu terhenyak. Ia menatap Davie dengan mata yang berkaca-kaca. Seketika Davie terkejut dan merasa bingung saat melihat Ileana mulai bersedih seperti itu."Sayang, kamu kok nangis? Ada apa? Cerita sama aku," ujar Davie sambil menyentuh pipi Ileana."Aku cuma takut, Om nggak mau terima aku. Soalnya, aku udah lama nggak ketemu sama Om Aldi."Davie mengusa
Sudah seminggu berlalu, Nisaka masih tetap menunggu Ileana pulang ke rumah. Setiap hari, Nisaka selalu menangis dan merasa kecewa pada Ikhwan karena telah membiarkan Ileana pergi. Bahkan Ikhwan enggan mencari Ileana.Ikhwan juga membiarkan Nisaka tidak masuk sekolah. Pria tua itu tak peduli dengan aksi protes yang dilakukan Nisaka. Benar-benar keras kepala.Nisaka melirik jam tangannya. Waktu sudah hampir senja dan seseorang yang ditunggu tak kunjung datang. Harus kemana lagi ia mencari Ileana? Bahkan Nisaka tidak bisa menghubungi nomor ponsel Ileana karena tidak aktif."Tante dimana? Nisa kangen sama Tante," lirih Nisaka di sela isak tangisnya."Ngapain kamu tangisi anak nggak tahu diri itu, hah? Dia nggak akan balik ke sini."Ucapan Ikhwan semakin menyayat hati Nisaka. Ia tidak percaya kakeknya akan bersikap seperti itu pada Ileana, anak kandungnya sendiri.Nisaka menghapus air matanya dengan kasar sambil berdiri dan berkata secara lantang, "Kakek jahat! Kakek tega sama anak kandung
Ileana tampak gugup saat memasuki ruang tamu untuk bertemu dengan pria yang beberapa saat lalu telah resmi menjadi suaminya. Davie mengucapkan ijab qabul dengan baik, tanpa perulangan sedikitpun. Ileana begitu bahagia saat mendengar suara Davie dari dalam ruangan lain. Bahkan Ileana sampai menangis bahagia.Kini, Ileana duduk di hadapan Davie, lalu mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Setelah itu, Davie mencium mesra kening Ileana. Kemudian, Davie memasangkan cincin pernikahan yang dijadikan sebagai mahar, lalu kalung dan selanjutnya memberikan sebuah kunci mobil pada Ileana."Makasih, Mas," ucap Ileana terharu. Kini, ia harus memanggil suaminya dengan sebutan itu."Sama-sama, Sayang," balas Davie diiringi senyuman penuh kebahagiaan.Selanjutnya, Davie dan Ileana menandatangani beberapa dokumen yang diperlukan, terutama buku nikah mereka. Beberapa saksi yang datang tampak mengabadikan momen bahagia itu dengan kamera ponsel mereka masing-masing. Dua orang photographer d
Tepat pukul 18.00 sore, para tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa orang-orang yang akan membersihkan piring-piring kotor dan lain sebagainya.Davie dan Ileana masih berada di ruang tamu, mengobrol bersama Aldi, Diana dan Nisaka. Jian sendiri sudah pamit pulang sejak tadi karena ada urusan penting. Kedua pengantin baru itu masih mengenakan busana pengantin. Mereka tampak serasi sekali. Berulang kali Diana memuji kecantikan wajah Ileana yang jarang sekali tampil tanpa make up."Ilea, kamu cantik banget loh hari ini. Tante sampai nggak bisa kedip waktu lihat kamu tadi," ucap Diana."Ah, Tante bisa aja. Aku jadi malu, Tante."Semua yang ada di sana tertawa melihat reaksi Ileana. Yang paling keras tertawa yaitu Nisaka. Ileana sampai salah tingkah karena ditertawakan seperti itu."Dia tuh kalau dipuji emang kayak gitu, Tante," celetuk Davie. "Tadi aku juga puji dia karena dia cantik banget. Eh dianya malu. Kan gemes jadinya.""Mas, udah dong," rengek Ileana.Aldi
Pukul 05.20 pagi, Ileana terbangun dari tidur lelapnya. Ia menggeliat sebentar sambil meraba sisi kanan tempat tidur. Terasa dingin dan tidak ada siapapun di sana. Ileana memaksakan kedua matanya untuk terbuka, meskipun sangat berat sekali. Ileana berusaha untuk duduk sambil bersandar di tempat tidur. Tubuhnya terasa pegal sekali. Ia memijat pundaknya sendiri sambil memperhatikan ke sekitar kamar. Tidak ada siapapun di sana."Mas," panggil Ileana.Namun tidak ada sahutan sama sekali. Ileana mencoba untuk turun dari tempat tidur. Ia merasa heran dengan kepergian suaminya di pagi buta seperti ini. Wanita itu duduk di kursi rias sambil menatap ke cermin. Menyisir rambut panjang yang tergerai itu secara perlahan.Seketika, ia menyadari sesuatu. Ileana menatap pakaiannya saat ini dari pantulan cermin. Seingatnya, malam tadi, ia masih mengenakan handuk kimono dan Davie juga hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Mereka sudah terlalu lelah hanya untuk sekedar mengganti pakaian.
Saat jam makan siang, Aldi memutuskan untuk berkunjung ke rumah kakak kandungnya yang tak lain ada Ikhwan. Tujuannya berkunjung ke rumah itu hanya untuk menyampaikan perihal pernikahan Ileana dengan Davie. Sekaligus menyadarkan pria tua itu agar berhenti bersikap keras kepala dan segera memberi restu pada Ileana dan Davie.Mobil mewah yang Aldi gunakan pun sampai di pekarangan rumah Ikhwan. Setelah mematikan mesin, Aldi keluar dari mobil lalu mengunci pintunya secara otomatis. Aldi melihat ke sekeliling rumah. Rumah itu adalah rumah peninggalan mendiang orang tuanya dulu. Harusnya rumah dan tanah dibagi dua dengan Aldi, sesuai dengan ketentuan yang tertulis di surat wasiat dari mendiang orang tuanya.Tapi karena keserakahan Ikhwan, akhirnya Aldi harus bisa mengikhlaskan itu semua. Aldi tidak ingin bertengkar hanya karena harta warisan."Assalamu'alaikum."Beberapa detik kemudian, muncullah seseorang dari dalam rumah. "Wa'alaikumsalam."Aldi tersenyum saat Ikhwan menatapnya. Ia mengham
Selesai berkeliling dan makan siang, Davie dan Ileana pun bergegas pulang ke rumah Aldi dan Diana. Namun di tengah perjalanan, mendadak Ileana mengajak Davie untuk pergi ke rumah Ikhwan."Mas, kita ke rumah Ayah dulu yuk," ajak Ileana.Davie terkejut dan sempat menoleh sebentar untuk menatap istrinya. Setelah itu ia berkata, "Buat apa, Sayang? Yang ada kita malah diusir sama Ayah. Kan kita belum dapat restu.""Justru ini saat yang tepat buat minta restu dari Ayah, Mas. Kalau dia lihat kita udah nikah, pasti dia bakal restuin kita," ujar Ileana merasa percaya diri."Sayang, nggak semudah itu loh. Aku nggak yakin Ayah bakal kasih restu secepat itu. Mending kita pulang aja ya. Kasihan Nisa udah ketiduran tuh."Ileana menoleh ke belakang. Ternyata suaminya benar. Nisaka sudah memejamkan mata dengan kepala bersandar di kursi. Keponakannya itu tampak kelelahan karena sejak pagi ikut berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan.Ileana pun menatap suaminya kembali. "Sebentar aja, Mas. Aku janji ngga
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan