“Astaghfirullah, Bapak panas sekali.” Telapak tangan Galang kurasakan begitu panas. “Saya nggak akan ninggalin Bapak, nggak mungkin. Tunggu sebentar, Pak.”Bergegas aku memanggil Pak Parlan dan memintanya mengantar Galang ke rumah sakit ditemani salah seorang staf.Sementara itu kafé kuputuskan untuk tutup lebih cepat. Untunglah pesanan semua pelanggan yang masuk sudah tuntas semua diselesaikan oleh Galang. Tinggal mengantarkannya saja ke meja-meja.Saat membuka tas hendak mengambil ponsel, aku melihat surat pengunduran diri yang tadi kubuat. Aku menarik napas panjang dan kubuang surat itu ke tong sampah.“Apa itu, Mbak?” Rupanya Fabian melihat ketika aku membuang surat pengunduran diri ke tong sampah. Aku gelagapan. Terdiam sejenak dan menimbang-nimbang, harus kujawab jujur atau bohong.“Surat pengunduran diri,” kataku akhirnya.“Hah, Mbak juga mau pindah ke resto itu?”“Oh, bukan!” Aku menggeleng.“Aku memang ditawari juga bekerja di resto itu, tapi aku menolak. Aku hanya ingin res
“Nikah sama siapa, Pak?”“Ya, maunya, sih, sama kamu! Tapi ternyata kamunya udah milih orang lain,” Galang menjawab ringan. "Nggak bisa direvisi, tuh?”Aku tertawa. “Bapak bisa aja becandanya!”“Nggak bercanda sebenarnya. Serius. Aku patah hati, tapi nggak mau kelihatan sedih di depan kamu.”Aku tersenyum getir, tak tau harus menjawab apa. “Udah makan, Pak?” Aku memilih mengalihkan obrolan ketika melihat sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang masih utuh di meja Galang.“Udah, makan ati!” cetusnya.“Makan dulu, Pak!” Aku mengambil piring makannya. Kulihat juga ada beberapa obat di atas meja.“Nggak lapar,” tolaknya.“Harus minum obat juga, kan! Yuk!” Aku mengulurkan sendok ke arahnya. Ahirnya ia mau juga membuka mulut.Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” Galang menjawab ketukan itu. Sesosok yang muncul dari balik pintu mengejutkanku.“Kalian hanya berdua di sini?” Tatapan Arman secara silih berganti padaku dan Galang terlihat menahan emosi.Sebelum ke sini, aku memang
“Saya terima, nikah dan kawinnya, Nadia Putri Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Hatiku bergetar saat Arman menjabat tangan Paklik dan mengucapkan kalimat akad dengan lancar. “Hadirin Sah?” tanya penghulu. “Sah…”“Sah…”“Sah…” “Alhamdulilillah.” Dari tempat dudukku kulihat Arman mengusap muka dengan kedua tangannya. Di wajahnya terpancar kelegaan yang luar biasa. “Silakan Mas Arman, cincinnya dipakaikan,” ucap sang pembawa acara akad.Mama menggandeng tanganku dan membimbingku maju menuju tempat Arman berada. Lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdiri menyambut. Kami berhadapan sekarang. Ia tampan dengan mengenakan kemeja putih dan jas berwarna abu-abu tua. Tangan kirinya meraih tanganku, disematkan cincin emas dengan berat sekitar lima gram itu pada jari manis kananku.Setelahnya ia terdiam sejenak sambil tetap mengenggam ujung jariku, membiarkan fotografer yang merupakan adik sepupuku sendiri itu memotret, mengabadikan peristiwa sakral kami. Acara pernikahan kam
“Naik apa kita?” tanya Arman begitu kami sampai di lobbi hotel. “Ya, naik mobil, kamu bawanya mobil kan, masa naik awan kinton.” Arman tertawa lalu mencubit gemas pipiku. “Ih, istriku lucu banget sih.” “Naik mobil udah biasa,” sambungnya. “Tunggu bentar ya!” Ia lalu menghampiri satpam hotel, bicara sesuatu entah apa. Kulihat Pak satpam manggut-manggut lalu memberinya kunci. “Yuk!” Arman menggandeng tanganku. “Motor siapa?” tanyaku ketika Arman menghampiri salah satu motor di parkiran. “Pak Satpam.” Arman nyengir. Ada-ada aja suamiku, pakai pinjem motor segala. “Kenapa nggak pakai mobil sendiri sih? Dingin-dingin gini,” kataku sambil memeluk tubuhku sendiri. “Aku ingin mewujudkan hal-hal yang belum sempat kulakukan bersamamu dulu,” jawab Arman sambil melepaskan jaketnya. “Kamu tahu nggak, waktu SMA, aku selalu ingin mengantarmu pulang dengan motorku.” “Kenapa nggak nawarin dulu?” tanyaku. “Aku menahan diri. Kan bukan mahrom.” Arman tersenyum, aku ikut tersenyum, MasyaAllah
Aku menghela napas panjang, memandang rumahku dan Mas Arya yang akan kutinggalkan. Hari ini aku datang ke rumah untuk mengemasi barang, lalu membawanya ke rumah baru yang sudah dipersiapkan Arman untuk tempat tinggal kami. “Kenapa, Sayang?” Arman mengelus pundakku. “Man, aku kok sedih mau meninggalkan rumah ini.” Aku menjawab jujur. “Apa kau ingin kita tinggal di sini saja?” Aku menoleh menatap wajah tulus suamiku “Nggak Man. Kita tetap tinggal di rumahmu.” Tinggal di rumah ini bersama Arman kurasa bukan keputusan yang bijak. Disamping aku harus menghargainya yang sudah mempersiapkan tempat tinggal kami, di rumah ini terlalu banyak kenangan bersama Mas Arya. Aku takut malah tak bisa move on. “Rumah kita sayang, bukan rumahku.” Arman meralat. “Iya rumah kita.” Aku tersenyum seraya mengusap pipinya. “Lalu bagaimana rumah ini. Masa kita biarkan saja. Mau dikontrakkan atau dijual, kok aku berat ya. Kamu juga punya hak atas rumah ini Man, sebagai salah satu ahli waris Mas Arya.” “Ak
Aku terkejut ketika seseorang tiba-tiba memeluk pundakku dan mencium pucuk kepalaku dari belakang. "Eh, A-Arman," ujarku gugup saat menoleh. Bikin malu saja, memperlihatkan kemesraan di depan umum, apalagi ini di depan Galang. Ehm. "Pak Galang habis ada acara di Solo terus mampir nengok kafe." Aku menjelaskan tanpa diminta. Rania yang semula duduk di pangkuan Galang melompat turun. Berlari kecil menuju papinya, gadis kecil itu menunjukkan boneka dino berwara hijau. "Papiii, boneka Lan baluu. Bagus nggak? Dari Om Alang!" Kulihat Arman tersenyum samar. "Bagus," jawabnya lalu melirik ke arahku. "Pulang sekarang, Sayang?" "Oh, iya acaranya udah selesai, kok." Aku beranjak dari kursiku. "Pak, saya pulang." Galang yang kupamiti tersenyum lalu ikut berdiri. "Silakan Nadia, weekend memang seharusnya waktu bersama keluarga, terimakasih sudah meluangkan waktumu untuk kafe ini." "Salim Om, salim!" Rania mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan Galang. "Anak pintar." Galang meng
Mataku masih terasa berat ketika samar kudengar Arman berbisik di telingaku, "Sudah Subuh, Sayang." "Hmmm," jawabku yang masih enggan membuka mata. "Ayo mandi, terus salat berjamaah." "Kamu duluan aja, Sayang, yang mandi. Aku masih ngantuk." Arman terkekeh lantas mencium kepalaku. "Bagaimana mau mandi, kalau aku jadi tawananmu seperti ini." Hah? Mendengar ucapannya rasa kantukku hilang seketika. Saat membuka mata, aku baru sadar kepalaku tengah terbenam nyaman di dadanya lalu kedua tanganku melingkar sempurna di tubuhnya. "Eh sorry!" kataku seraya melepaskan pelukan. Sedikit bergeser mundur menjauhinya, selimut yang menutupi tubuhku kugenggam erat. Namun Arman malah kembali menarikku dalam dekapannya. "Kok sorry, sih. Aku betah aja dipeluk kamu seharian, kayak gini, Sayang, tapi kita salat dulu ya," ujarnya membuatku tersipu malu. "Sayang, ih nggak usah ngeledek, deh." Aku mendorong tubuhnya. "Tadi kupikir kamu itu guling, makanya kupeluk-peluk." "Eh, ternyata suami," samba
"Mas ... Mas Arman, kok nggak ada suaranya sih. Halo, Mas!" Perempuan itu terus saja memanggil nama Mas Arman. Sementara lidahku terasa kelu sehingga tak sepatah katapun sanggup kuucapkan. Cepat-cepat kumatikan sambungan telepon dan meletakkan ponsel di tempat semula ketika kudengar suara flush, lalu tak lama Arman keluar dari kamar mandi. "Sudah siap, Sayang?" tanyanya sembari tersenyum. Cukup lama aku terpaku mencoba menemukan apakah ada yang ia sembunyikan di balik senyumnya? "Honey-mu sudah menunggu di rumah." Tiba-tiba terngiang lagi suara perempuan dari ujung telepon tadi. Rumah? Rumah siapa? Aku bertanya-tanya dalam hati. "Hmm, sayang, nanti aja deh kita check outnya, aku masih ingin di sini dulu sama kamu." Kucoba mengulur waktu, ingin tahu bagaimana responnya. "Kenapa, Sayang?" Arman berjalan mendekatiku. "Masih ingin berdua-duaan sama aku, ya?" Tangan kanannya mencubit pelan daguku. Sejenak ia melihat jam tangannya. "Sampai jam sebelas, ya. Habis Zuhur aku ada janji sam
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann