Siapa yang nungguin Galang-Kinara ngacung duluuu.
“Apakah Arash?” tebak Galang. Marini hanya tersenyum miris. “Sudahlah, Lang, tak usah sibuk menerka-nerka.” “Seseorang melihatmu masuk ke apartemen Arash, sebulan sebelum kau datang padaku dan mengaku hamil. Apakah dia orangnya?” desak Galang. Bang Joel yang mengungkapkan kalau ia melihat ada foto istrinya bersama Marini di ponsel. Saat diselidiki, foto itu diambil sekitar sebulan sebelum Marini menemui Galang di Semarang. Istri Bang Joel lalu bercerita bahwa selepas mereka foto bersama di dekat lift, ia melihat Marini masuk ke apartemen Arash. Tentu saja ini membuat Galang menjadi curiga. Marini menghela napas. “Aku tak mau berurusan lagi dengan Ayah bayi ini. Aku mengaku salah padamu, Lang, aku menyesal. Aku hanya ingin kembali padamu. Kalau kau tak menginkan anak ini, aku mengerti, dia memang bukan anakmu. Tunggu sampai aku melahirkannya dan kita titipkan saja dia ke panti asuhan.” “Astagaaa!” Galang sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Marini. “Jangan ngelantur. Apa yang s
Saat membuka mata, sudah ada Galang di hadapan Kinara, berjongkok sambil membersihkan telapak kakinya yang kotor dengan sapu tangan. Lelaki itu tersenyum yang terlihat begitu menyebalkan di mata Kinara, meski diam-diam ia senang juga lelaki itu menyusulnya. "Sepatunya sudah dibawakan oleh Pangeran, nih!" Kinara menghentakkan kaki, ketika Galang meraihnya hendak memasangkan sepatu. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” “Tanganku bersih, Flo!” lelaki itu memamerkan kedua telapak tangannya yang lebar di depan mata Kinara. “Kelihatannya bersih, tapi sebenarnya kotor! Cih!” Kinara membuang muka. “Kamu kenapa sih, Flo!” “Lang, aku bukan anak kecil yang nggak ngerti apa-apa. Aku lihat lho, perempuan tadi keluar dari kamar dengan rambut basah!” “Astaga … Lihat nih Flo, rambutku aja kering. Aku nggak keramas, belum mandi malah!” Galang mengacak rambutnya. “Itu lebih menjijikkan lagi, jadi kamu masih dalam kondisi ju-nub?” Kinara begidik. “Pikiranmu nih, yang harus dikeramasin!”
Seperti janjinya kemarin, hari ini Galang akan menemani Kinara berburu keperluan kuliah yang masih kurang. Pukul sembilan, mobil Galang yang disupiri Pak Said sudah menepi di depan kosan Kinara.“Lang, kok kamu pakai baju ini?” tanya Kinara saat Galang turun dari mobil dan melihat lelaki itu mengenakan kaos couple yang dibelikannya.“Nanggung, baru dipakai sebentar, kupakai lagi aja.” Dih Galang udah kayak anak kos aja, ngirit-ngirit baju biar nggak kebanyakan nyuci. Padahal kan ada Mbok War yang ngurusin semua bajunya.“Masalahnya aku pakai baju yang sama.” Kinara membuka sedikit blazernya sehingga terihat t-shirt bertuliskan “The Real Boss” yang dikenakannya.“Wah sehati, dong!” celetuk Galang.“Yaudah deh, kuganti dulu.” Kinara balik badan hendak kembali ke kamar kosnya untuk berganti pakaian tapi Galang memanggilnya.“Flo, nggak usah! Biar aja gini kenapa
Kinara menusuk-nusuk steak di depannya dengan kasar. Ia membayangkan steak itu adalah Galang yang rasanya ingin dia cekik dan cabik-cabik saat ini juga. Tega sekali lelaki itu meninggalkannya begitu saja. Ia bahkan tak bertanggung jawab atas ke-bar-baran fans yang menyebabkan Kinara sampai terjatuh dan terinjak. Sakitnya dobel, di badan juga di hati. Belum lagi malunya. "Dari tadi kau hanya menusuk-nusuk dagingnya, Kinara." Arash yang duduk di hadapan Kinara tersenyum lalu menggeser hot plate milik Kinara lebih dekat dengannya. "Biar aku yang potongkan." Tiba-tiba saja Kinara menggebrak meja lalu mengomel, "Galang itu emang ngeselin ya Kak, dari dulu nggak berubah!" Arash hanya menoleh dan tersenyum sambil tetap melanjutkan aktivitasnya memotong-motong daging. "Aku tuh dari awal ketemu lagi sama Galang udah males banget sebenarnya. Kalau nggak karena butuh duit, nggak bakal aku mau jadi asistennya. Hih, amit-amit!" "Tapi menurutk
"Sugar Enemy? Apakah itu, emm Galang?" Kinara mengangguk. "Siapa lagi enemyku kalau bukan dia, Kak." Arash manggut-manggut. "Kalau sugar itu maksudnya, karena dia yang menggajiku. Itu saja, nggak ada maksud apa-apa." Kinara menerangkan tanpa diminta. Arash yang mendengarnya hanya tersenyum sambil menggeleng kecil. "Beneran Kak, suer!" Kinara mengacungkan dua jari membentuk huruf V. Mencoba meyakinkan Arash yang sepertinya punya kesimpulan sendiri terhadap sikapnya pada Galang. "Iya Kinara, oke, aku percaya," ujar Arash seraya tertawa. "Ayo, cepat habiskan makanannya. Aku takut Galang marah, aku menculik the real boss-nya terlalu lama, hahaha.".."Pulang kosan saja, Kak," ujar Kinara sebelum ia menaiki motor Arash yang akan mengantarkannya pulang. Ini hari libur, jadi ia pikir tak perlu kembali ke rumah Galang. Saat motor berhenti di depan kosan, Kinara kaget melihat lelaki yang sedang dihindarinya sudah duduk teras. Setengah jam yang lalu Galang mendatangi kos Kinara, namun ga
Hari ini Kinara sudah berencana untuk mogok bicara pada Galang. Mogok kerja jelas tidak mungkin, ia masih sungkan pada Diandra. Jikalau dulu yang merekrutnya hanya Galang, tanpa campur tangan Diandra hal itu mungin ringan saja dilakukannya. Rumah Galang terasa sepi ketika ia datang. Galang yang biasanya sudah duduk di ruang makan atau paling tidak bersantai di ruang tengah sambil memainkan ponselnya, kali ini tak ada. Kinara mencoba untuk tidak peduli, yang penting ia sudah datang tepat waktu, pikirnya. Namun setelah tiga puluh menit, lelaki itu tak muncul, Kinara memutuskan untuk ke dapur menanyakannya pada Mbok War. “Mbok, Galang mana sih?” Mbok War yang sedang asik merajang sayuran menoleh. “Eh Mbak Kinara, akhirnya nyariin Mas Galang juga.” “Hah?” Kinara mengerutkan kening. “Mas Galang sakit, Mbak.” “Lho, kok nggak ngasih tau dari tadi?” “Mas Galang bilang, jangan kasih tau Mbak Kinara sebelum Mbak nanyain sendiri.” Kinara berdecak kesal. Ada-ada saja si Galang. Dia jadi
Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Diandra kembali Kinara menyodorkan sup yang sedari tadi dianggurkan begitu saja oleh Galang. “Lang, makan dulu. Nggak usah aneh-aneh deh kalo sakit. Di sini nggak ada Kak Diandra yang bisa nyuapi kamu makan dan nemenin tidur.” Kinara duduk di bibir tempat ranjang, mengaduk sebentar sup yang masih mengepulkan uap, lalu diambilnya satu sendok disodorkan pada Galang. “Nih, kusuapin sekali, habis itu makan sendiri, ya.” “Pelit amat sih, Flo!” ucap Galang lantas menerima satu suapan dari Kinara. “Galaaaang!” Tiba-tiba sebuah lengkingan suara diiringi derap langkah membuat mereka menoleh. “Lo sakit apa Lang?” Malya langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Galang yang pintunya memang terbuka lebar. “Panas banget gini sih, ya ampuuun.” Kedua tangannya menyentuh pipi Galang, lalu “Sini, biar gue yang suapin.” Direbutnya mangkuk sup dari tangan Kinara. “Nggak ada syuting, Mal?” tanya Galang dengan suara lemah. “Syutingnya diundur siang. Kita mau pen
"Pulang naik apa?" tanya Andini. Gadis itu berjalan beriringan dengan Kinara keluar gedung auditorium FISIP usai acara pra orientasi mahasiswa baru hari itu. "Hem, mungkin bus atau ojek." Kinara masih menimbang-nimbang. Pak Said yang mengantarnya saat berangkat tadi sudah ia minta untuk pulang, khawatir jikalau Galang membutuhkan bantuannya. "Kamu?" ia balik bertanya. "Aku dijemput sama ... Nah itu dia, penjemputku datang." Tampak Andini melambaikan tangan pada seseorang di atas motor. Motor itu terlihat familiar di mata Kinara, lalu ketika pengemudinya membuka helm, astaga dia kan ... Andini berlari-lari kecil dengan wajah sumringah. Saat tiba di depan lelaki yang menjemputnya, tanpa canggung ia memeluk laki-laki itu. Kinara melongo, laki-laki itu ... Arash, apakah pacarnya Andini? tanyanya dalam hati. Cepat-cepat Kinara membalikkan badan, ingin rasanya ia menghilang saat itu juga, namun panggilan Andini membuatnya urung melangkah. "Kinara, sini aku kenalkan!" ujar gadis itu ri
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann