“MasyaAllah, Nak Arman itu penyayang banget, ya,” kata bulik sambil memandang Arman dan Rania yang tengah berjalan ke tengah lapangan.“Tunggu apa lagi, to, Nduk, nikah saja sama Arman. Sudah anaknya ngganteng, baik, sayang sama kamu dan anakmu, itu yang paling penting.” Tiba-tiba Paklik keluar dari dalam rumah dan ikut berpendapat.Aku tersenyum sembari menarik napas panjang lalu mengikuti Paklik dan Bulik duduk pada dipan bambu yang ada di depan rumah.“Nadia nggak mau berkhianat sama Mas Arya, Paklik, Bulik.”“Bukan berkhianat. Kamu sudah setia sama suamimu sampai akhir hayatnya,” ujar Bulik sambil mengusap punggungku.“Tapi Bulik, kalau Nadia nikah lagi, apa bisa berkumpul dengan Mas Arya di surga nanti?”“Wis, to, Nduk, soal itu pasrah wae sama Gusti Allah. Kalau kamu menikah, paling tidak, ada yang menjadi imam kamu dan menjaga kamu juga Rania. InsyaAllah hidupmu jadi lebih tenang, nyaman, dan menjauhkanmu dari fitnah.” Begitu nasihat Paklik, yang sebenarnya sudah berkali-kali k
“Aku mau pulang besok." Aku mengirim pesan pada Arman.Sudah hampir dua minggu aku menenangkan diri di desa. Healing, kalau kata anak jaman sekarang. Kurasa sudah cukup. Selama di sini, aku sering ikut Bulik dan Paklik ke ladang. Rania sangat senang bermain di ladang. Melihat-lihat tanaman sayur dan buah. Apalagi ketika domba-domba sedang keluar kandang dan diajak merumput. Terkadang, Aldi, anak bungsu Paklik mengajakku dan Rania keluar menikmati kuliner khas. Meskipun begitu, aku tetap menjalankan pekerjaanku sebagai markom kafe secara remote. Tiap hari, Fabian selalu mengirimkan foto-foto terbaru dari kafe untuk kunggah di media sosial.Gosip tentang aku dan Galang juga sudah mereda. Yang kulihat di akun gosip saat ini, justru banyak membicarakan kedekatan Galang dan Malya. Jadi kurasa, situasi sudah aman dan terkendali untukku beraktivitas di luar kembali.“Ok, besok aku jemput.” Tak lama kemudian kuterima balasan pesan dari Arman."Eh hari ini saja ya, pulang kantor, aku jemput."
Aku merasa seharian ini Galang benar-benar menghidariku. Tiap kali kami berjalan di kantor dan hampir berpapasan dia pasti akan berbelok mengambil arah yang lain. Tiap kali tanpa sengaja kami beradu pandang, dia akan langsung memalingkan wajah.Aku lantas mengingat-ingat terakhir kali kami berkomunikasi, memangnya apa yang kami bicarakan hingga dia menghindariku begini. Namun, aku tidak menemukan sesuatu yang aneh.Kumandang azan membuyarkan lamunanku. Sebaiknya aku salat Asar kemudian pulang.Aku masuk ke ruangan karyawan dan membereskan barang-barangku. Setelah itu bergegas ke tempat wudu.Langkahku terhenti saat hendak masuk musala. Kulihat Galang sedang salat. Aku menarik napas lega. Kuputuskan kembali ke ruang karyawan dan menunggu beberapa saat sampai kira-kira Galang telah selesai salat dan meninggalkan musala.☕☕☕Pulang dari kantor, aku menyempatkan ke sekolah Rania untuk bertemu Erna. Sudah pukul empat, anak-anak asuh Erna yang dititipkan ke daycare di sekolah ini biasanya s
Aku menjawab salam sambil berusaha melepaskan cincin dengan panik. Saking paniknya sampai tak kusadari Rania ternyata juga ikut bersamanya.“Eh, Rania datang jemput Mama, ya?” Erna melangkah keluar mendekati Rania. Sementara aku masih di tempat dudukku, berusaha melepaskan cincin yang mendadak jadi sempit padahal tadi saat memakainya biasa-biasa saja.Kuputuskan ikut beranjak saat Rania berteriak memanggil, meski cincin belum berhasil kulepaskan. Sebisa mungkin kusembunyikan tangan yang bercincin di balik tubuhku. Jangan sampai Arman melihat.“Ya, udah deh, aku pulang dulu ya, Er.” Aku lantas memeluk Erna. “Cincinnya nggak bisa dibuka!” bisikku di dekat telinganya.“Mungkin itu pertanda kamu harus terima dia,” balasnya lalu terkekeh pelan. Sialan!Sepanjang perjalanan pulang aku lebih banyak diam dan hanya menjawab singkat beberapa pertanyaan Arman, sambil terus berusaha melepaskan cincin yang terperangkap pada jari manisku.“Kamu kenapa?” tanya Arman yang mungkin menyadari kenaehan
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, aku berkunjung ke makam Mas Arya sendirian.“Mas, maafin aku. Kuharap kamu ngerti mengapa akhirnya aku mau menerima adikmu untuk menjadi suamiku. Kamu akan selalu di hatiku, Mas. Suami yang baik, ayah penyayang, anak yang berbakti. Aku mencintaimu, Mas Arya."Selepas berdoa untuk Mas Arya, aku lantas meninggalkan makam. Baru beberapa langkah tiba-tiba Arman muncul di hadapanku.“Kamu ke sini juga?” tanyanya. “Kenapa nggak bilang? Kan, bisa bareng.”“Nggak apa-apa, lagi pengen datang sendiri.”“Oh, kalau gitu tunggu aku sebentar, ya.”Arman lantas berjalan menuju makam Mas Arya sementara aku memilih keluar menunggu di dekat mobilnya.Tak lama, dia pun keluar dari makam.“Aku panggilin taksi,” katanya.“Kupikir, disuruh nunggu mau dianterin pulang.” Sejak kemarin sore aku sudah kembali ke rumahku sendiri. Suasana sudah cukup kondusif sehingga Arman mengizinkanku pulang. Rania juga sudah mulai masuk sekolah lagi hari ini.“Tadinya begitu, tapi kita
“Astaghfirullah, Bapak panas sekali.” Telapak tangan Galang kurasakan begitu panas. “Saya nggak akan ninggalin Bapak, nggak mungkin. Tunggu sebentar, Pak.”Bergegas aku memanggil Pak Parlan dan memintanya mengantar Galang ke rumah sakit ditemani salah seorang staf.Sementara itu kafé kuputuskan untuk tutup lebih cepat. Untunglah pesanan semua pelanggan yang masuk sudah tuntas semua diselesaikan oleh Galang. Tinggal mengantarkannya saja ke meja-meja.Saat membuka tas hendak mengambil ponsel, aku melihat surat pengunduran diri yang tadi kubuat. Aku menarik napas panjang dan kubuang surat itu ke tong sampah.“Apa itu, Mbak?” Rupanya Fabian melihat ketika aku membuang surat pengunduran diri ke tong sampah. Aku gelagapan. Terdiam sejenak dan menimbang-nimbang, harus kujawab jujur atau bohong.“Surat pengunduran diri,” kataku akhirnya.“Hah, Mbak juga mau pindah ke resto itu?”“Oh, bukan!” Aku menggeleng.“Aku memang ditawari juga bekerja di resto itu, tapi aku menolak. Aku hanya ingin res
“Nikah sama siapa, Pak?”“Ya, maunya, sih, sama kamu! Tapi ternyata kamunya udah milih orang lain,” Galang menjawab ringan. "Nggak bisa direvisi, tuh?”Aku tertawa. “Bapak bisa aja becandanya!”“Nggak bercanda sebenarnya. Serius. Aku patah hati, tapi nggak mau kelihatan sedih di depan kamu.”Aku tersenyum getir, tak tau harus menjawab apa. “Udah makan, Pak?” Aku memilih mengalihkan obrolan ketika melihat sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang masih utuh di meja Galang.“Udah, makan ati!” cetusnya.“Makan dulu, Pak!” Aku mengambil piring makannya. Kulihat juga ada beberapa obat di atas meja.“Nggak lapar,” tolaknya.“Harus minum obat juga, kan! Yuk!” Aku mengulurkan sendok ke arahnya. Ahirnya ia mau juga membuka mulut.Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.“Masuk!” Galang menjawab ketukan itu. Sesosok yang muncul dari balik pintu mengejutkanku.“Kalian hanya berdua di sini?” Tatapan Arman secara silih berganti padaku dan Galang terlihat menahan emosi.Sebelum ke sini, aku memang
“Saya terima, nikah dan kawinnya, Nadia Putri Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Hatiku bergetar saat Arman menjabat tangan Paklik dan mengucapkan kalimat akad dengan lancar. “Hadirin Sah?” tanya penghulu. “Sah…”“Sah…”“Sah…” “Alhamdulilillah.” Dari tempat dudukku kulihat Arman mengusap muka dengan kedua tangannya. Di wajahnya terpancar kelegaan yang luar biasa. “Silakan Mas Arman, cincinnya dipakaikan,” ucap sang pembawa acara akad.Mama menggandeng tanganku dan membimbingku maju menuju tempat Arman berada. Lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdiri menyambut. Kami berhadapan sekarang. Ia tampan dengan mengenakan kemeja putih dan jas berwarna abu-abu tua. Tangan kirinya meraih tanganku, disematkan cincin emas dengan berat sekitar lima gram itu pada jari manis kananku.Setelahnya ia terdiam sejenak sambil tetap mengenggam ujung jariku, membiarkan fotografer yang merupakan adik sepupuku sendiri itu memotret, mengabadikan peristiwa sakral kami. Acara pernikahan kam
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann