Bella dan Farel keluar dari persembunyiannya setelah Karan pergi. Mereka yakin terjadi sesuatu pada Karan.
“Aku akan mengikutinya,” ujar Bella, tapi Farel langsung menahan wanita berpakaian seksi itu. Sejak dipecat, Bella semakin dendam saat ternyata tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimanya.Karan yang semakin berkuasa dan memiliki banyak rekan bisnis, ternyata meminta agar mem-blacklist Bella, jika wanita itu melamar pekerjaan.“Dasar bodoh! Kau lupa apa yang terakhir kali terjadi? Sekolah tinggi, tapi akal tak pernah dipakai!” cemooh Farel.Ia merasa kesal karena Bella selalu melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa.“Aku perlu balas dendam, Farel! Aku tidak mau hanya diam sepertimu.” Bella menghentakkan kaki, merasa ingin sekali memukul.“Aku tidak hanya diam. Aku berhasil mencuri berkas dan menjualnya pada pesaing. Sebentar lagi, Karan akan tamat.” Farel menyungging senyum.“Kita tidak hanya berdKaran tertawa renyah. Dia yakin saat ini Alex pasti mengamuk, entah di mana. Dilihatnya Ailyn masih terpejam dengan napas mulai teratur. Ini adalah kekalahan terbesar Alex setelah berhasil menikahi wanita yang diincar ayah tirinya itu. Karan tersenyum. Siapa sangka, di usia 25 tahun dia sudah memiliki istri. “Setelah pulang, aku akan mengajaknya membeli hadiah untuk Kiran. Aku hampir lupa ulang tahunnya.” Karan membetulkan posisi selimut hingga kini menutupi kaki sampai ke leher. Bukannya memberi waktu istrinya beristirahat setelah bekerja, Karan malah mengajaknya berhubungan badan. “Tidur yang nyenyak, Sayang.” Karan mengecup kening istrinya, lalu ikut memejamkan mata. Seperti dugaan Karan, Alex berteriak keras sambil memukul-mukul kemudi. Napasnya tak bisa dikendalikan. Rasa marah, kecewa, benci, serta dendam memenuhi hatinya. Semua gara-gara Karan! Pria muda itu berhasil membuatnya merasa seperti pecundang.
Karan dan Ailyn keluar dari mobil menuju ke rumah membawa paper bag. Gara-gara tadi Karan ikut masuk ke kamar mandi, mau tak mau Ailyn membiarkan suaminya mandi lagi bersamanya. Saat memasuki rumah, keduanya mendapat tatapan tajam dari Yunita dan Farel. “Kalian dari mana?” tanya Yunita. “Kenapa? Apa kami harus laporan dari mana atau mau ke mana?” Karan menjawab dengan pertanyaan, menggandeng tangan Ailyn menaiki tangga. “Papamu cemas, Karan! Kenapa kau bersikap kekanak-kanakan?” Yunita berdiri, menatap keduanya yang kini mendekati pintu kamar. “Papa yang cemas, kenapa Tante yang marah?” Sudut bibir Karan terangkat, tak peduli pada ekspresi Yunita yang tampak ingin memakannya. “Karan, kau ini.” Ailyn menggelengkan kepalanya, menutup pintu kamar. “Lama-lama aku bisa stress kalau wanita itu di sini. Dia pasti berhasil memengaruhi Karan. Sebentar lagi Papa juga akan terpengaruh. Tidak bisa!” Yunita mondar-
“Tiga kontrak kerja sama kita sudah berhasil disetujui, tinggal menunggu waktu. Menurut kalian, berapa persen kenaikan omset kita dibandingkan tahun lalu?” Karan bertanya sembari duduk. Tangannya menggulir layar smartphone khusus kantor. Suasana rapat cukup hening saat ia menunggu jawaban. Beberapa anggota tampak berpikir. Ada yang memeriksa presentasi di laptop, ada yang berdiskusi, juga ad yang malah tersenyum masam. Tentunya orang itu adalah Farel. “80%,” jawab seseorang, membuat semua menoleh, termasuk Karan dan Jovan. “80%? Dari mana kau dapat informasi itu? Apakah valid atau hanya praduga saja?” tanya Jovan. Karan memeriksa detail. Jauh dari apa yang sudah ia teliti. Kenaikan omset mereka tahun ini tak sampai 50 persen karena beberapa kendala. Beberapa perusahaan memilih mundur tanpa ada alasan yang jelas. Mendadak saja ada celah K2 Company yang mulai dipertanyakan. “80% lebih rendah. Apa Tuan Karan t
Karan dan Ailyn pergi ke acara ulang tahun Kiran. Keduanya mengenakan pakaian terbaik sebab tak ingin dipermalukan saat acara nanti. “Kakak!” Kiran yang mengenakan gaun ala princess, berhambur memeluk keduanya seolah tak pernah bertemu. “Cantiknya, Princess Kiran.” Ailyn menyentuh pipi tambun itu setelah menyerahkan kado. Kiran hanya tersenyum, menarik tangannya menuju ke dalam. Tampak beberapa orang sudah datang, termasuk teman-teman sekolah Kiran. Di sana, Alex tengah berbincang santai dengan pria berwajah seram. Ailyn yakin, pria itu pasti mafia juga, sama seperti ayah tiri Karan. Dari cara bicara dan pakaiannya saja sudah jelas siapa pria itu. “Kalian datang?” sapa Alex, tersenyum penuh misteri. Hanya gumaman yang menjadi jawaban. Karan malas bicara. “Dengar, semua.” Alex menepuk tangan, membuat semua mengalihkan perhatian padanya. “Acara ulang tahun Kiran akan dimulai. Ayo, Sayang. Lusi, bawa kuenya!”
“Kau pandai berdansa, ya,” puji Ailyn, mengikuti alunan musik dan langkah kaki sang suami yang tampak luwes. “Aku sering berdansa di Amerika,” jawab Karan, memutar tubuh Ailyn. Digenggamnya tangan kanan, sementara tangan kirinya berada di pinggang sang istri. Jadilah acara ulang tahun Kiran bertukar menjadi pesta dansa. Jelas tak seperti perayaan pada umumnya yang pasti mengutamakan si empunya acara yang tak lain anak-anak. “Oh, ya? Siapa saja yang pernah berdansa denganmu? Apa wanita itu juga?” Ailyn teringat pada Bella yang sudah lama tak terdengar kabarnya. “Siapa yang kau maksud?” Karan sedikit mengintimidasi, memeluk dari belakang. Beberapa orang tampak melakukan hal yang sama. Lampu yang bersinar agak redup, membuat Alex merasa lebih leluasa mendekat. Ditambah topeng pada wajahnya, ia menyamarkan diri dengan membuka jas. “Wanita yang mengecupmu itu,” ujar Ailyn, melepaskan tangan Karan di pinggangnya.
Karan merasa ada yang aneh sejak pulang dari rumah Alex. Ailyn banyak termenung dan terkesan menjauhi. “Sayang, kau baik-baik saja? Apa ada masalah? Atau kau memikirkan apa yang wanita-wanita itu katakan?” Karan menghampiri Ailyn yang berdiri di balkon, memandangi area taman dan kolam di bawahnya. Semilir angin petang menampar wajahnya pelan. Ailyn diam. Mustahil dia memberi tahu apa yang sudah Alex lakukan. Itu bukan hanya sekadar kecupan belaka. Dia yakin akan ada hal lain terjadi. “Aku hanya lelah. Aku mau pulang. Bisakah kita menemui Ayah? Sudah beberapa hari Ayah tidak bisa dihubungi. Aku khawatir,” kata Ailyn. Karan mengangguk, mengecup lengan Ailyn dengan mesra. Pria itu memeluk dari belakang. “Tidak ada masalah lain?” tanyanya. Ailyn menggeleng. Ditepuknya pelan kepala sang suami. Semua bisa dilewati dan dihadapi sendiri tanpa melibatkan Karan walaupun dia suaminya. “Ayo, kita ke sana.” Karan mengge
Ailyn merasa semakin tak nyaman saat di dekat Yunita. Wanita itu membuatnya merasa aneh dan sedikit canggung. Saat hendak duduk, sang mertua malah memberi perintah tanpa menoleh. “Ailyn, ambilkan air dingin! Aku haus.” Yunita sibuk menggulir layar ponsel dengan kaki menyilang. “Baik, Ma.” Terpaksa ia berdiri lagi dan menuju ke dapur. Dibukanya lemari pendingin, lalu menuang air ke dalam gelas. Pelayan tua yang melihatnya berada di dapur, hanya tersenyum. “Tidak syuting, Non?” tanyanya. Wanita itu meletakkan pisau di atas meja beserta buah-buahan. “Tidak, Mbok. Kemarin sudah syuting sampai malam. Lelah sekali, makanya hari ini cuti.” Ailyn tersenyum, lantas keluar untuk memberikan apa yang Yunita perintah. “Ma, airnya.” Tak ada jawaban. Yunita sedikit melirik. “Astaga! Apa kau tidak tahu definisi dari air dingin? Apa kau pikir air dingin hanya berarti air putih yang dingin?” Yunita meletakkan ponsel di
Krishna memasuki kantor Athena Corporation bersama Farel. Keduanya disambut tatapan sinis para karyawan yang memang terkenal judesnya. “Selamat siang. Kami dari PT Sanjaya dan K2 Company, ingin bertemu dengan CEO. Apa beliau ada?” Krishna berusaha tersenyum pada wanita yang kebetulan berbincang dengan beberapa orang. Namun, senyuman itu hanya dibalas tatapan. “Hari ini CEO ada rapat sampai sore, tidak bisa diganggu. Silakan kembali Minggu depan,” ujar seorang wanita, memerhatikan ponsel setelah memberi perintah pada yang lain untuk pergi. “Apa? Minggu depan? Lama sekali.” Farel mengeluh. Ia tak punya banyak waktu untuk segera mendapatkan kerja sama dengan Athena Corporation sesuai kesepakatan. “Memang kau siapa? Kau CEO di tempatmu bekerja?” Wanita itu meneliti setiap ekspresi Krishna dan Farel yang langsung gelagapan. “Ah, ti-tidak. Kami hanya Sekretaris,” jawabnya, meringis. Wanita itu langsung pergi tanpa bicara la