"Hati-hati, Karan.” Ailyn mengikuti suaminya yang berjalan cepat menuruni tangga. Baru saja tiba, mereka kembali mendapatkan masalah.
“Apa yang terjadi?” Kusuma mendekat.“Kiran ditemukan di kamar, Pa. Dalam lemari,” jawab Ailyn.“Hah?” Kusuma terkejut, mengikuti keduanya menuju ke parkiran.Sebelum menutup pintu mobil, Karan melihat Yunita mengintip dari jendela kamar. ‘Awas kau! Aku yakin ini pasti perbuatanmu!’ batin Karan, mulai memasuki mobil.“Papa akan menyusul,” kata Kusuma. Karan tak menjawab, melainkan mengemudi dengan kecepatan tinggi.“Kiran, bangunlah, Dik. Aku takut. Kiran!” Ailyn memeluk sambil menepuk pelan pipi itu.“Aku tak akan tinggal diam. Siapa pun yang melakukan ini pada Adikku, aku pasti akan membalasnya!” Karan melirik dari kaca spion.“Telepon Om Alex!” titah Karan, mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menyerahkannya kepada Ailyn.Ailyn mengangguk, langsung menelepoAlex menelepon Karan, bertanya di ruang mana anaknya dirawat. Karan yang tengah menggenggam tangan Kiran, memberitahu bahwa Kiran masih berada di ruang IGD. Buru-buru Alex berlari menuju ke ruang IGD. Dilihatnya sang anak memejamkan mata. Wajahnya memucat, dengan tubuh lebih kurus. “Kiran,” lirihnya, membuat Ailyn dan Karan mengalihkan perhatian. Keduanya kompak berdiri, membiarkan Alex mendekati Kiran. “Maafkan Papa, Nak.” Alex mengelus rambut dan pipi Kiran. Digenggamnya tangan itu sambil mengecupnya. “Om baik-baik saja?” tanya Ailyn, mengingat peristiwa kemarin. Alex hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap Kiran sembari duduk. Anak buahnya menunggu di luar berjaga-jaga. Karan menarik lengan Ailyn agar menjauhi Alex. Pria itu berdiri di antara keduanya agar Alex tak berniat mendekati istrinya. “Katakan padaku, apa yang terjadi? Kenapa Kiran sampai terkunci di dalam lemari? Mengurus anak kecil saja tid
Karan memalingkan wajahnya saat melihat Ailyn keluar dari kamar mandi. Pria itu memasang arloji tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ailyn tahu betul apa yang suaminya rasakan. Semalam ia menolak untuk berhubungan badan karena mendadak Mohan menelepon akan pulang. Jadilah Karan merajuk, tak bicara sejak pulang menjemput mertuanya. “Karan, kau masih marah, hm?” Ailyn memeluk dari belakang. Tak ada reaksi. Karan menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan. Parfum kenanga yang berasal dari idenya ternyata memberi keharuman alami yang membuat rileks. “Karan!” Ailyn mengikuti sang suami yang mengambil tas kantor, lalu menuju ke pintu. Buru-buru Ailyn mencegah. “Kau tidak boleh pergi sebelum memaafkan aku.” Wanita itu merentangkan kedua tangannya. “Aku malas berdebat. Kau juga harus ke kantor, kan. Bersiaplah sana.” Karan hendak membuka pintu, tapi Ailyn menggeleng. “Ckckck!” Karan berkacak pinggang. “Ayolah,
“Panggil Bella ke sini!” titah Karan pada Jovan saat keduanya baru saja memasuki ruangan CEO. Jovan mengangguk, berbalik dan langsung keluar. Langkahnya tegap melewati beberapa orang. Semakin ia mempercepat langkahnya saat berbelok dan masuk ke ruangan Bella tanpa mengetuk pintu. “Tuan? Ada apa? Kenapa tidak memanggil saya saja?” Bella berdiri, menundukkan pandangan. “Tuan Karan memanggilmu ke ruangannya. Sekarang juga!” Jovan membuka pintu lebar-lebar, pertanda ia tak mau ada alasan Bella sampai tak menemui Karan. “Ta-tapi, pekerjaan saya belum selesai. Ah, maksudnya, baru akan saya kerjakan,” ujarnya, memasang alasan. “Apa kau mau aku menyeretmu keluar, baru kau akan pergi? Cepat, Bella!” teriak Jovan. Bukan hanya Bella yang kaget, tapi Farel yang mengintip dari jauh pun tersentak. “Bahaya! Kalau Bella mengadu semuanya, aku dan Mama akan dipermalukan. Setidaknya, aku harus lebih dulu mengambil berkas.” Fa
Farel tengah memerhatikan Bella. Wanita itu malah mengatakan tak mau lagi bekerja sama dengan Farel yang hanya membawa sial. “Kau tidak bisa mengurus Karan, tidak seperti aku.” Bella menambah riasan di wajahnya, lantas memasukkan alat make up ke dalam tas. “Apa, katamu? Kau lupa, aku sudah membayarmu?” Farel mencekik Bella sampai sedikit terangkat. “K-kau tidak bisa melakukan apa pun, tapi aku bisa. Karan mengajakku kencan sebentar lagi. Jadi, a-aku harus segera per-gi!” Bella menepuk tangan Farel hingga dilepaskan. “Bodoh! Apa kau pikir dia akan benar-benar mengajakmu kencan? Dia pasti sudah merencanakan sesuatu. Kuliah di luar negeri, tapi tetap saja bodoh!” rutuk Farel. “Bilang saja kau iri. Aku sudah terlambat. Aku pergi.” Bella meraih tas yang terjatuh, lalu keluar dari ruangan Farel. Setelah berdandan rapi dan berpakaian yang bagus, Farel malah memaksanya bertemu. Pria itu hanya menghambat rencananya pergi kenca
Siang yang terik, di mana, Karan dan Ailyn yang baru pulang dari kantor sedang dalam perjalanan pulang. “Kau mau jalan-jalan?” tanya Karan. “Ke mana?” Ailyn mengelus dada suaminya. “Ke suatu tempat. Tuan Louis berbaik hati memintaku menginap di risort baru miliknya.” Karan mengecup kening Ailyn, membaui aroma rambut yang wangi. “Oh, ya? Di mana itu?” Ailyn tampak antusias. Terakhir bersenang-senang hanya saat ke Jepang. Itu pun berakhir dengan insiden baku tembak. “Di Bogor. Kita ke sana sekarang? Mumpung masih siang.” Karan memeriksa arloji yang jarumnya menunjuk angka 13.08. “Boleh. Aku sudah lama tidak bersantai. Uuuhh! Menjadi model ternyata susah juga. Untung saja Hadid mau jadi managerku.” Ailyn merasa lega. Sesaat ia lupa pada pria bernama Alex yang selalu punya rencana untuk mendapatkannya. Sudah seminggu ini Hadid bekerja sebagai manager Ailyn. Hitung-hitung, sebagai tanda terima kasih telah m
Yunita mengadu pada Kusuma tentang sikap Karan yang berubah. Semenjak peristiwa pelecehan terhadap Ailyn oleh Farel, ditambah apa yang Kiran alami, Karan semakin menjauhinya. “Pa, lakukan sesuatu. Mama tidak mau ada dinding pemisah di antara kami. Kita kan keluarga.” Yunita mengambilkan secangkir kopi yang ia letakkan di meja. “Maumu apa? Kau kan tahu sendiri, Karan keras kepala. Emosinya juga belum stabil.” Kusuma menyeruput kopi hingga menimbulkan suara. Diserahkannya cangkir pada Yunita. “Sepertinya, Karan merencanakan sesuatu, Pa. Percaya pada Mama,” kata Yunita. “Kau jangan sembarangan bicara. Nanti malah jadi fitnah. Yang kau bicarakan ini Anakku.” Kusuma mengingatkan. “Ih, Papa. Masa tidak tahu? Kemarin Mama dengar, berkas kontrak dengan PT Prima dialihkan pada berkas Karan. Apa dia bicara dulu pada Papa?” “Karan belum bicara apa pun, selain Bella yang menggodanya.” Kusuma tampak berpikir. Selalunya
Ailyn yang memang tak menaruh kecurigaan apa pun, mengikuti Jauhar dan Firman menuju ke sebuah rumah yang letaknya agak ke dalam hutan. “Di sini jauh dari para tetangga, ya?” tanya Ailyn, tak melihat satu pun orang sejak tadi. Yang ia lihat hanya hutan, sejauh mata memandang. “Iya, Non. Hanya ada satu rumah, itu pun rumah tua. Itu dia.” Firman menunjuk ke rumah mungil di depannya yang kurang lebih berjarak 50 meter. “Wah, ini sih estetik. Halamannya luas, ya.” Ailyn masih mengikuti sampai Jauhar membukakan pintu untuk mereka agar masuk. “Silakan, Non. Maaf kalo kurang nyaman.” Firman mempersilakan wanita itu untuk duduk. Ailyn hanya tersenyum, memandangi banyak foto dipajang di dinding. Ailyn berpikir mungkin itu foto para pemetik teh yang bekerja di perkebunan, mengingat Firman mengaku sebagai mandor. “Lila, buatkan minum. Ada tamu, Sayang,” panggil Firman, lantas duduk di depan Ailyn, di sebelah Jauhar. L
Dilihatnya seorang wanita keluar rumah mengenakan daster. Wanita yang tak lain adalah Lila, langsung bisa menebak apa yang mereka lakukan sampai ke rumahnya. Wajahnya yang sempat tegang, pura-pura menampilkan senyuman. “Ada apa ini, ramai-ramai?” tanyanya. “Pagi, Bu. Apa Ibu melihat wanita berjalan di sekitar hutan? Mungkin dia tersesat saat mengambil foto,” tanya Karan. Dicobanya menunjukkan foto Ailyn di ponsel, lalu memberikannya pada Lila untuk dilihat. Lila mengambil ponsel, bersikap seperti tengah berpikir. “Maaf, saya tidak lihat. Saya baru keluar setelah masak. Mungkin di sekitar hutan sebelah sana.” Lila menunjuk hutan yang lebih gelap karena ditumbuhi pepohonan rindang. Karan menoleh sambil menelan ludah. Tidak mungkin Ailyn sampai ke sebelah sana, pikirnya. “Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih.” Karan tersenyum, kembali melanjutkan pencarian. “Tuan, sepertinya ada yang aneh. Sek
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka