Pukul tiga sore kedua kakak iparku berpamitan pulang. Kupikir akan menahan mereka untuk menginap karena hari sudah sore dan perjalanan yang cukup panjang tapi Kak Yanto dan Mbak Devi bersikukuh untuk segera kembali."Mendung dan sore Kak, Kenapa tidak menginap saja?""Bukannya kami tidak mau tapi aku ada pekerjaan yang harus kulakukan esok pagi, dan juga bagaimana pula kami akan menginap sementara tidak ada tempat yang tersisa di dalam rumah kecil ini._"Aku tertunduk mendengarnya karena memang demikian adanya rumah kecil milik Inaq hanya terdiri dari 2 kamar dan itu pun masih berlantai tanah. Di manakah aku aku akan menyuruh kedua kakak iparku yang notabene selalu hidup dengan nyaman untuk berbaring dan istirahat?"Kalau begitu Terima kasih atas kedatangannya Kak," jawabku."Sama-sama, aku datang kemari untuk memperbaiki keadaan." Kak Yanto mengulurkan tangannya untuk menyalamiku sebenernya dada ini berdesir dan masih ketakutan tersisa di dalam benakku. Tapi aku berusaha bersikap nor
Melihat tangisan anggota keluarga yang pilu membuat hati ini terenyuh dan tidak tega, aku benar benar melihat penderitaan dan kesengsaraan di mata mereka. Rumah Kak Yanto agak berdekatan dengan rumah ibu, andai tidak tidak segera dipadamkan mungkin api akan melalap rumah orang tua mereka sampai habis."Ya Tuhan, kebakaran semalam menyisakan trauma mendalam.""Ibu di mana?""Di rumahnya," jawab Mbak Devi."Permisi sebentar ya ...."Kususuri jalan menuju rumah ibu dan mengetuknya perlahan. Kudapati beliau terbujur di kasurnya tanpa bergerak sedikit pun. Melihatku datang beliau hanya melirik, mungkin karena menyaksikan ekspresi iba dari wajahku wanita itu melelehkan air mata. "Ibu ya Allah ...." Aku mendekat dan mencium tangannya lalu memeluknya. Wanita dengan bibir dan wajah sedikit meleyot miring itu tersedu dengan suara tertahan. Ucapannya tidak jelas serupa erangan dan keluhan."Ibu, apa ibu merasa kesakitan," tanyaku pelan."Ti-tidak ha-ha-hanha nye-nye-rrii.""Biar saya pijitan
Tentu saja, melihat kekacauan yang terjadi kami langsung panik. Segera aku dan semua yang ada di sana memberikan pertolongan pada kakak iparku yang tubuhnya gosong setengahnya. Kami angkat dia, aroma nanah dan darah menyeruak anyir membuatku mual tapi aku menahannya. Tubuh kak Yanto lengket dan meninggalkan lendir di tanganku yang telah mengangkatnya tadi membuatku merasa ingin cuci tangan, tapi tidak ada wastafel, lagi pula waktunya darurat dan mendesak. Pria itu sudah menangis, melenguh dan merintih-rintih."Ayo bawa masuk lagi," ujar petugas medis."Tidak, aku mau pulang," sela Kak Yanto dengan wajah pucat dan pilu sekali."Luka Anda harus dibersihkan, karena sudah jatuh, dan selang infus harus diperbaiki," ucap perawat tadi."Tidak mau, meski aku harus meregang nyawa detik ini juga, aku ingin hal itu terjadi di rumahku, aku tidak mau mati di rumah sakit!"Mendengar pernyataan Kak Yanto, jangankan kami petugas medis, dokter jaga pun kehilangan kata-kata bahkan Dokter sendiri
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 malam, semua orang di rumah induk sudah terlelap, tinggallah aku sendirian yang masih mondar-mandir memastikan bahwa anggota keluargaku sudah baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa-apa lagi. Ku selimuti ibu dan memastikan Kak Yanto telah memakai di tempat tidurnya. Ku matikan tv dan lampu utama lalu menutup pintunya dan beralih ke rumah.Ku buka pintu rumahku dan kudapati suamiku telah tertidur di ranjang kami yang dulu. Tidak banyak perabot yang tersisa di sana karena aku sudah membawanya pulang ke desa nenekku. Hanya tinggal beberapa barang dan meja serta kursi.Kurbankan diri di sisinya lalu menghela nafas dan mencoba tertidur. Halo tiba-tiba terbesit sebuah ingatan tentang bagaimana jahatnya Kak Yanto dulu. Cepat teringat Bagaimana aku selalu merutuki dan membencinya. Pokoknya dia adalah sumber masalah utama yang selalu membuatku kerepotan dan bersedih.Aku tidak yakin Apakah saat itu aku pernah mengutuknya untuk mendapatkan musibah sepahit in
Tak kusangka, jam tiga pagi aku mendengar suara tangis histeris yang sangat memilukan, karena penasaran dan heran aku segara membuka jendela dan nampak beberapa anggota keluarga masuk ke rumah induk."Kak, kak, bangun Kak," ucapku pada suami."Kenapa Dik?" Tanya Kak Aidil sambil mengucek mata."Ada yang nangis Kak, kurasa ada sesuatu," jawabku."Ya Allah ..." Suamiku langsung bergegas bangkit dan mengambil sarung lalu tak lama ia keluar."Kau mau ikut?""Tidak usah, aku akan menjaga Rima," jawabku yang kebetulan sangat lelah dari pagi tadi dengan pekerjaan yang sudah menumpuk tanpa akhir.Kak Aidil bergegas pergi rumah induk yang Lamat lamat terdengar tangisan yang makin keras dengan tangisan pilu."Dik, segera ke rumah ibu," panggil kak Aidil yang tiba tiba membuatku kaget. Dia terdengar panik dan setengah berlari."Kenapa?"Kak Aidil tak menjawab, mungkin dia sudah terburu lari dari rumah kami. Aku segera mengambil jilbab dan menyusul ke rumah ibu mertua. Alangkah terkejutnya set
Kami kembali dari kuburan dan menemukan Mbak Devi sudah terduduk sedih di ruang tamu sambil mencium bekas pakaian suaminya. Wanita itu tergugu dengan bahu berguncang dan kelihatan hancur sekali.Kami para anggota keluarga dan saudara iparnya hanya bisa saling memandang dan menatapnya dengan penuh rasa bisa dibayangkan Ketika seseorang wanita kehilangan suaminya itu rasanya seperti kehilangan separuh hidup dan semangat jiwa. Sungguh aku sangat prihatin sekali dengan apa yang menimpa kakak iparku.Di sudut lain ketika kami hendak ke dapur, ada ibu yang masih lemas, kata sepupu, tiba tiba beliau demam dan muntah muntah, aku agak kaget, mungkin rasa syok yang memicu asam lambungnya naik sehingga membuat beliau tidak bisa menerima makanan apapun masuk ke dalam mulutnya."Aku akan buatkan bubur," ucapku pada salah seorang kerabat."Sebaiknya sebelum masak dan berkegiatan kau harusnya mandi agar terlihat bersih dan rapi, kau kan baru dari kuburan.""Iya Bi.""Memangnya kenapa kalau dari kub
"Sini kau! Mengapa anakku sampai menilai kau sumber masalah dalam kehidupannya, apa yang sudah kau lakukan?""Saya tidak tahu saya juga tidak paham mengapa mereka semua menyalahkan saya padahal saya tidak pernah ikut campur atau merasik mereka semua.""Mengapa mereka menyebutmu sebagai sumber masalah?""Tidak tahu." Aku bersikeras dengan pendapatku karena memang aku tak tahu apa apa tentang ini. Mengapa juga aku yang disalahkan atas kematian seseorang padahal aku tak membunuh?"Mbak Devi hanya terbawa emosi, Zahra adalah adik ipar kami yang bungsu. Dia anak yang baik dan rajin," ucap kakTania sambil membelaku.Kupandangi wanita itu sementara dia mengangguk menandakan bahwa dia tulus mengatakannya, tidak ada dendam sedikitpun tersisa di hatinya lantaran aku sudah membuat suaminya terjatuh dari motor dan pincang."Tidak mungkin ada asap tanpa api, tidak mungkin Devi menyalahkannya, jika dia tidak bersalah.""Mbak Devi masih terguncang dan dalam keadaan berduka, dia bisa berlantur atau
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Baru sebentar Nek," Jawa Erlin."Dua jam Aku mau memanggil untuk meminta air minum, kenapa kau malah duduk santai di sini?" Dua jam apanya, Erlin bahkan belum duduk selama sepuluh menit. Aneh sekali wanita tua yang semakin hari semakin temperamen ini."Ibu Dia baru saja datang dan sekedar mengobrol denganku sebentar...""Aku juga sudah bilang padanya untuk tidak meninggalkan rumah jauh-jauh dan sulit kujangkau. Aku membutuhkan dia sepanjang waktu."Aduh penting untukku untuk menegaskan batasan tentang ibu yang semakin hari semakin seperti penjajah saja."Ibu dia juga manusia, dia butuh berinteraksi mendapatkan dukungan dari keluarganya dan sedikit pencerahan Apa salahnya jika dia mengobrol dengan salah satu anggota keluarga dan meninggalkan Ibu sebentar saja. Alih alih marah gara gara telat ambilkan air, Kenapa Ibu tidak ambil air sendiri saja lalu semuanya tuntas?'"Tuntas katamu?""Ya.""Ya ampun ...." Ibu mertua hanya menggeleng sambil membuang nafasnya kasar, dia tertawa sih ini
"udahlah jangan terlalu dipikirkan perkara ibu yang minta anak laki-laki darimu beliau tidak tahu seberapa keras kita berusaha hanya saja Tuhan belum mengizinkan, jadi jangan terlalu, dibawa santai saja," jawab Kak Aidil sambil tersenyum."Aku sedikit prihatin dan khawatir tentang keponakan baru kita.""Dia pasti bisa mengatasinya wanita itu punya daya dan keluarga yang mendukungnya jadi kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti juga akan berpikir dua kali untuk menyakiti anak itu.""Yang terjadi hari ini tidak akan kau percayai, Kak, Ibu melempar piring dan menghujat masakan Erlin.""Sungguhkah itu terjadi Apakah ibu melakukannya kepada menantu baru yang keluarganya sangat terpandang dan dihormati?""Aku sudah bilang bahwa Ibu tidak pandang bulu.""Astaghfirullah, biar aku yang bicara nanti.""Sejak kapan ibu akan mendengar kata-katamu, Kak?" Aku tergelap sambil menggelengkan kepala sementara Ia hanya menghela nafas sambil mendecak kecil. Aku tahu bahwa dia sangat dimanjakan ibu tapi jika
"Ah, aku mendengar Ibu, aku paham setiap makna kalimat yang ibu lontarkan.""Bicarakan hal itu kepada Erlin dan lain kali jangan membuat dia membantahku karena kau Aku tidak tahan Aku tidak akan segan-segan untuk menamparnya. Juga aku tidak mau mendengar dia memprotes apapun.""Iya Bu."Ah, hidup di antara lingkungan rumah Nyai hatima seperti hidup dalam penjara, banyak aturan dan tidak bisa bebas sekehendak hati. Sebenarnya aku juga penasaran, kami ini dianggapnya pembantu atau menantu. Kenapa terkadang perlakuan ibu begitu kasar dan sulit diterima oleh akal sehat, sulit diterima oleh hati nurani yang sudah terbiasa mendapatkan perlakuan lembut, tiba-tiba mendapatkan kekasaran Itu menyakitkan sekali."Pergilah!" Ucapnya sambil mengibaskan tangan di udara."Baiklah, Bu, Erlin sedang memasak makanan lain, sudah kutitipkan pesan padanya jika sudah selesai dia harus segera mengantarnya pada ibu.""Cepat sedikit, aku lapar!""Baik Ibu sabarlah sedikit!""Dari dulu hanya kau saja yang se
Usai menyapu bekas pecahan piring, kutemui keponakanku Erlin di dapur, ia tengah memotong daging dengan air mata yang masih membasahi kelopak matanya. Gadis itu terisak dengan kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan.Aku paham, dia belumlah kuat mental sepertiku, dia masih baru di lingkungan ini dan mungkin latar belakang keluarganya yang lemah lembut membuat dia merasa sangat kaget ketika diperlakukan dengan keras. Ah, ibu mertua memang sangat tidak bijaksana."Sabar ya, semua akan membaik.""Tapi, kok Nenek bisa segitunya ....""Ah, sayang, nanti Nenek dengar, sebaiknya kau lanjutkan memasak, lihat tutorialnya di YouTube dan kau pasti bisa. Sementara bibi akan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang.""Bi ... Aku butuh kehadiranmu untuk tetap di sini karena belakangan ini aku merasakan ketegangannya belum pernah ku alami sebelumnya." Wanita muda itu menahan lenganku dengan tatapan membalas dan aku bisa melihat jelas bahwa dia ketakutan dengan ibu mertua."Dengar Nak, sebenarny
Akhir bulan Syawal pun tiba, ferdi yang sudah tak sabar lagi untuk segera meminang kekasihnya akhirnya diluluskan keinginannya oleh ibu mertua untuk menikah lebih cepat, menikah sebelum musim penghujan dan sebelum orang orang akan repot dengan urusan pekerjaan dan kebun mereka.Seminggu setelah pernikahan, Ferdi memboyong sang istri Erlin untuk pindah ke lingkungan kami. Ke rumah induk tentunya, bersama dengan ibu mertua. Sebenarnya aku sudah ngeri membayangkan apa yang akan terjadi namun, aku mencoba berpikir positif dengan segala logika dan harapan terbaik, semoga ibu mertua bersikap baik pada cucu menantu.Hari-hari bergulir, kebiasaan dan adat rumah ini mulai terlihat, mantu mulai kaget dan heran akan pembagian kaku air yang harus dijatah setiap harinya. Setiap pagi, setiap kali aku mengantarkan jatah makanan dari gudang gadis itu akan mengernyit dan tidak paham tentang apa yang terjadi. dia selalu memasang wajah tak nyaman dengan sekeranjang makanan yang kini jadi tugasku untuk
Aku kembali dari rumah induk dengan perasaan hati yang sudah tidak menentu. Aku khawatir kejadian yang pernah kualami akan terulang pada gadis lain yang baru bergabung ke rumah ini.Namun Gadis itu adalah wanita kaya dan juga anak orang baik-baik, ibu mertua akan berpikir dua kali untuk menyakiti dan mengerjainya, jadi kurasa kekhawatiranku sama sekali tidak beralasan. "Tapi, bagaimana jika itu terjadi. Dia akan dijatah dengan makanan yang harus belajar ia cukupkan dan seember air setiap harinya? Apakah dia bisa?" Konon menjatah anak menantu dengan seember air adalah kebiasaan dari para tetua keluarga ibu mertua yang ingin membimbing menantu mereka untuk hidup disiplin dan pandai menjaga harta serta mengelola hidup.Aku tak mau mencampuri atau berkomentar miring tentang kebiasaan itu, semuanya adalah hak orang tua untuk melakukannya, tapi, pada posisi tertentu, misalnya, di saat melahirkan atau sakit rasanya seember air itu sangat tidak cukup. Sanggupkah nanti, calon istri Ferdi yang
Bersama dengan itu, dua belas tahun berlalu, kini anakku sudah duduk di bangku kelas enam SD ya, rima berangsur tumbuh menjadi anak remaja yang cantik dan cerdas. Anak anak Kak Yanto dan Dani sudah dewasa juga, mereka sudah duduk di bangku kuliah. Bahkan Ferdi anak sulung Kak Yanto dan Mbak Devi sudah lulus universitas dan bekerja mengabdikan diri di kantor desa kampung kami. Dia tumbuh jadi pemuda baik santun, pintar dan bijak.Suatu hari ia temui kami yang sedang asyik menggelar rujak dan kue di pelataran rumah ibu. Tanpa banyak basa basi ferdi langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi kekasihnya."Mama, nenek, Tante, aku ingin menikah dengan Erlin pacarku, kami sudah lama bersama dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya," ucapnya."Boleh saja, tanyakan pada kekasihmu kapan kamu boleh bertandang untuk melamar," ujarku dengan penuh semangat."Wah Alhamdulillah," ujar Mbak Devi dan Kak Tania serempak."Kau tahu kan, aturan keluarga ini, anak laki laki harus memboyong ist
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p
"Aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan Mbak Devi," ucapku di ambang pintu rumah kakak ipar tertuaku. Para anggota keluarga intinya beserta anaknya menoleh dan sedikit gak setuju dengan kedatanganku."Untuk apa?""Untuk meluruskan segalanya.""Aku tak butuh bicara.""Kalau begitu dendamnya akan tetap lekat di hati Mbak Devi. Kita harus bicara.""Tentang apa lagi?""Agar aku dan Mbak Devi tidak bermusuhan lagi terlepas bahwa kita akan hidup satu lingkungan atau Aku akan pergi dari tempat ini kita harus tetap bicara.""Kalau begitu bicara saja secara langsung"Mbak tidak khawatir anggota keluarga mendengarnya?""Buat apa aku khawatir jika yang terjadi di antara kalian sudah seperti rahasia umum?""Mbak, kau bicara begitu seakan aku dan kak Yanto punya skandal atau hubungan rahasia padahal kami tidak ubahnya hanya seperti orang asing yang nyaris tidak pernah saling akur." "Lalu apa kabarnya ketika aku dan dia pergi mengunjungimu ke desa? Apakah itu bukan menunjukkan bahwa kami p