Haedar terpaksa setuju datang ke Anttara Group demi bisnis. Ingin tahu juga seperti apa perusahaan yang baru didengarnya itu. Semenjak menginjakkan kaki memasuki perusahaan, tampak biasa saja. Tak ada yang istimewa.
“Suruh CEO kalian menemuiku. Waktuku tak banyak. Aku harus segera pergi.” Haedar duduk di ruang tunggu. Memeriksa jam tangan yang sudah menunjukkan waktu makan siang. “Baik, Tuan. Tunggu sebentar.” Rohan bergegas menuju ke ruangan CEO yang ternyata kosong. Saat bertanya pada salah satu karyawan, mereka mengatakan bahwa CEO baru saja keluar. Rohan mendengus. Kalau tidak bertemu atasannya, yang ada nanti Haedar buru-buru ingin pergi. Untuk mengakali, ia merencanakan sesuatu. Kembali Rohan menuju ke ruang tunggu, di mana Haedar tengah melihat-lihat foto di dinding. “Tunggu sebentar, Tuan. CEO masih ada rapat di perusahaan cabang,” katanya. “Kau ini siapa? Wakil? Sekretaris? Atau????” Haedar membMelinda merasa semakin bingung. Kondisi Lily semakin memburuk. Diare yang dialami sudah seminggu lebih, tapi tak juga membaik. Melinda merasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada anaknya itu. Untuk mengetahui kondisinya lebih lanjut, dia dan sang suami membawanya ke dokter. Di rumah sakit, dokter mulai memeriksa keadaan Lily yang kebetulan tengah tidur. “Bagaimana, Dok?” tanya Gerald. “Nyonya memberinya susu formula yang sesuai? Sejak kapan diberi susu formula? Apa ASI-nya tidak keluar dengan lancar?” tanya dokter. Melinda dan sang suami saling berpandangan. “Tidak, Dok. Sejak lahir, anak kami tidak diberi susu formula. Saya menyusuinya karena kebetulan ASI sangat lancar,” jawab Melinda. “Tapi, menurut pemeriksaan saya, bayinya tidak cocok susu formula yang dikonsumsi, makanya diare akut. Apa mungkin baby sitter yang memberi susu formula?” Dokter yakin pada apa yang telah
Jiddan diperintahkan untuk menjemput Haedar di Bandara karena Radit ditugaskan ke luar kota. Namun, keadaan jalan macet total karena ada perbaikan jalan. Pria itu mencoba untuk menghubungi Haedar, tapi terkendala sinyal. Hari semakin siang, tapi dia berada di tengah-tengah kemacetan yang menyukarkannya untuk mencari celah meloloskan diri. “Aku pasti kena marah. Lama sekali.” Jiddan menoleh ke belakang, di mana antrian panjang tampak bagai ular. Sementara di Bandara, Haedar menunggu sembari menatap arloji. Sudah setengah jam, tapi Jiddan belum juga datang. Dicobanya menghubungi, tapi tak diangkat. Pria itu menjinjing tas kantor berwarna hitam. “Membuatku darah tinggi!” Haedar merasa semakin dongkol. Bukan apa, melainkan dia ada janji dengan klien setelah kemarin ke luar kota. Waktu yang terbuang sia-sia selama menunggu membuatnya semakin gelisah. Malas menunggu lebih lama, Haedar memutuskan untuk mencari
“Kalian saling kenal?” tanya Haedar, membuyarkan lamunan keduanya yang bertatapan. “Tidak. Dia wanita aneh yang saya temui di taman. Sekitar setahun yang lalu, mungkin.” Jiddan memerhatikan wanita yang mengaku atlet lari itu malah berseragam pelayan restoran. “Oh!” Haedar hanya manggut-manggut. “Kau buat apa di sini?” tanya Jiddan. “Jangan-jangan kau mengincar Tuan Haedar, ya? Awas saja kau mengganggunya!” Jiddan langsung memberi ultimatum. “Apa sih! Aku kerja di sini,” jawab Dea, mencibir. “Kerja di sini? Apa kau gagal jadi atlet lari, lalu banting setir jadi pelayan restoran?” ejek Jiddan, menyentuh lengan baju Dea yang langsung ditepis. “Sembarangan bicara! Aku kerja paruh waktu di sini! Ah, sudahlah. Minggir! Kau menggangguku!” Dea mendorong Jiddan ke samping hingga nyaris terjatuh. “Dasar wanita aneh!” Jiddan merutuki Dea yang berlalu dengan cepat. “T
“Sial!” Gerald langsung masuk dan mematikan radio mini itu, membuat jogetan terhenti. Naura mengumpat dalam hati. Sang suami mengganggunya yang sedang pura-pura tenang. “Mas, apa yang kau lakukan?” Naura meletakkan gelas berisi bir di atas meja dengan kasar. “Seharusnya, aku yang bertanya. Apa yang kalian lakukan malam-malam di rumahku sambil menyalakan musik sekeras itu? Kalian pikir ini klub malam, begitu?” Gerald berkacak pinggang. “Jangan lupa, ini juga kamarku. Aku berhak melakukan apa pun yang aku mau,” ujar Naura. “Terserah kalian mau melakukan apa pun di rumah ini, tapi harus tahu batasan. Gara-gara kalian, Lily jadi menangis, tidak bisa tidur. Apa kalian tidak berpikir orang akan terganggu dengan perbuatan kalian ini?” Gerald tak habis pikir. Dalam beberapa hari terakhir, istrinya semakin berulah. Membangkang dan tak bisa diatur. “Kalau kalian merasa terganggu, pindah saja. Masih
“Lepaskan aku, Sialan!” Naura menjambak rambut Melinda dengan kuat, sama seperti yang wanita itu lakukan. “Tidak akan! Kau duluan yang menariknya. Biar saja rambutmu rontok dan gundul!” Melinda erat memegangi rambut Naura dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang tangan Naura. “Kau memang wanita pembawa sial! Aku juga tidak akan kalah darimu.” Naura berusaha menginjak kaki madunya, tapi Melinda berkelit dan bergerak ke samping. “Nyonya, hentikan!“ Suzy menjerit, berusaha melerai. Namun, keduanya malah semakin gencar untuk berkelahi. Suzy yang berdiri di tengah, berusaha menjadi penghalang agar perkelahian berhenti. Sayangnya, Naura malah melayangkan pukulan yang tepat mengenai wajahnya. “Aaa!!” Susy memekik. “Nyonya!” Suzy memegangi pipinya yang terasa nyeri. Kembali berusaha untuk menjadi penengah. Bersamaan dengan itu, Saroon dan Rani muncul. Keduanya terkejut de
Naura meletakkan gelas dengan kasar di dekat Melinda yang tengah menggendong Lily. Alhasil, bayi itu melonjat kaget mendengar suara yang lumayan keras. Menangis ia, membuat Melinda langsung berdiri. “Apa rumah ini sesempit itu sampai kau meletakkan gelas di sini?” katanya, berusaha menenangkan Lily yang menangis. “Kenapa? Kau terganggu? Baguslah kalau begitu.” Naura menyungging senyum licik, melipat kedua tangannya ke dada. Pertengkaran mereka seminggu yang lalu masih memanas. Belum mereda karena setiap hari Naura selalu berulah. Ia merasa berkuasa atas semua yang ada di rumah itu. “Bicara dengan orang tidak waras hanya akan membuatku ikut kehilangan akal,” balas Melinda, berlalu meninggalkan Naura yang mengepalkan tangan seperti akan memukul. Melinda memilih keluar. Entah mengapa dia lebih suka Naura berangkat syuting daripada di rumah karena jelas akan mengganggu ketenangannya. “Kalau k
Gerald berdiri menatap tangga. Sepi? Tak ada suara tangisan Lily ataupun sang istri. Bahkan Suzy dan Rani pun tak ada. Mendadak bulu kuduknya meremang, takut terjadi sesuatu. “Tidak ada siapa pun, Tuan,” kata Jiddan, mendekat setelah memeriksa seluruh rumah. “Aku juga tak dapat menelepon Melinda. Ke mana semua orang?” Gerald mengusap dagu. Pikirannya langsung berperang, takut Naura melakukan sesuatu pada Melinda dan bayinya. “Aku tak tahu. Mungkin dia bersenang-senang.” Suara Naura membuat Gerald menoleh. Tampak sang istri bersama Suzy baru datang dengan membawa banyak belanjaan. “Kalian dari mana?” tanya Gerald. “Dari supermarket. Kenapa kau menatapku seperti bertemu hantu?” Naura mendekat, mengecup suaminya yang malah tak bereaksi. “Apa kau tak melihat Melinda dan Lily? Di kamar tidak ada.” Gerald langsung menyeka bibirnya saat Naura tak melihat. “Oh, dia. Aku tak tahu, sih.
Gerald sampai di rumah Rusdi. Ia langsung memasuki rumah, memanggil nama istrinya. Namun senyap. Tak ada yang menjawab. Saat pria itu memasuki kamar Melinda, tampak sang istri dan Irma tengah menangis. “Maafkan Bibi, Lin. Maaf karena telah berkomplot dengan wanita jahat itu,” lirih Irma, menangis tersedu-sedu. “Sayang, semua baik-baik saja?” Jantung Gerald langsung berdegup kencang. Dilihatnya Lily masih tertidur pulas di atas ranjang. “Mas!” Melinda bangkit, berhambur memeluk sang suami. “Hei, ada apa kau menangis? Maaf ya, aku tak tahu kau di sini. Naura juga memblokir nomormu di ponselku tanpa aku sadari,” kata Gerald, berpikir istrinya menangis karena tak dicari. “Mas, Mas Bima dibunuh wanita itu. Mas Bima didorong dari atas lantai tujuh.” Melinda menunjukkan foto di mana Naura tengah mendorong Bima. Ia juga menceritakan bagaimana Irma sudah mengetahui hal itu jauh sebelum Melinda hamil. N
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta