Kenan dan Baskoro mendatangi Athena Holding. Keduanya ingin membicarakan proposal penelitian komputer terbaru yang Haedar sempat singgung saat pesta.
Diperiksanya berkas yang Haedar berikan. Kenan dan Baskoro kompak saling mengangguk. Menurutnya, rencana jangka panjang yang disediakan Athena Holding benar-benar menarik. “Aku cukup tertarik dengan proposal ini. Kalau kita tidak terkendala, ada baiknya segera menyiapkan kontrak kerja sama,” kata Baskoro. “Aku pun demikian. Saat ini era modern. Hampir semua kalangan menggunakan barang elektronik canggih yang sekiranya mudah dibawa. Contohnya saja ponsel.” Kenan mengangkat ponsel di depannya. Ia menegaskan bahwa ide dari Athena Holding yang ingin mengembangkan ponsel agar jauh lebih canggih tapi mudah dimiliki banyak orang pun sangat menarik. Hampir banyak perusahaan yang bersaing dengan produk yang hampir menyuguhkan kwalitas yang sama. Sayangnya, tak semua“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Gerald. Ia sempat panik saat di perjalanan Melinda malah meracau tak karuan akibat demam yang terlalu tinggi. “Nona sudah membaik. Untung cepat dibawa. Tubuhnya lemah, terkena serangan panik, serta kurang vitamin.” Dokter membuka stetoskop. “Dua atau tiga hari pasti membaik. Saya tinggal dulu. Permisi.” Dokter berkacamata itu pun keluar dari ruangan. Gerald menghela napas lega. Dilihatnya Melinda sudah terlelap. Bibirnya kering dan wajahnya memucat. Di saat seperti ini, Gerald merasa sangat kasihan. Bisa dibilang, bukan sekadar kasihan biasa. Seperti ada rasa lain yang malah membuatnya menggenggam tangan agak kasar itu. “Tangannya kasar. Dia pasti melakukan pekerjaan berat di rumah. Dicegah pun pasti tak mau,” lirihnya. Perasaan aneh bagai menelusup ke dalam tubuhnya. Kehangatan sikap dan cara Melinda menghadapinya membuat pria itu seperti menemukan h
Melinda memasuki rumah bersama sang suami. Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, ia diizinkan pulang karena keadaannya sudah membaik. Sambutan dari Naura dan Zaskia yang tersenyum lebar malah membuatnya bergidik. “Kau istirahat saja, Mel. Kondisimu belum sepenuhnya pulih,” kata Naura, menggamit lengannya. “Iya, aku ... ke kamar dulu.” Melinda tersenyum tipis, melepaskan tangan Naura yang terasa seperti menekannya. “Biar aku antar,” ujar Gerald, menyerahkan paper bag berisi pakaian kotornya pada Naura yang langsung mengernyit. “Jangan katakan tidak usah.” Gerald mendahului sang istri yang hendak bicara. Jadilah Melinda mendengus, membiarkan suaminya menggandeng tangannya menuju ke kamar. Melihat apa yang terjadi terasa menyakitkan, Naura melempar paper bag ke lantai dengan emosi. “Sekarang Mas Gerald memperlakukan aku seperti pelayan!” keluhnya. “Mama
Gerald yang punya waktu luang, menyempatkan diri mengajak Naura jalan-jalan. Sudah lama keduanya tak menghabiskan waktu bersama. “Kau tidak mengajak Melinda, Mas?” tanyanya, merangkul lengan sang suami yang tengah mengemudikan mobil. “Lain kali. Malam ini aku ingin bersamamu saja.” Gerald mengelus rambut istrinya, membuat Naura berbunga-bunga. Ia merasa lebih diutamakan sebab sang suami lebih memilih bersamanya. “Kau mau makan apa? Atau kau punya tempat spesial yang makanannya enak-enak?” Gerald mengurangi kecepatan mobilnya saat berada di tikungan. Walaupun malam, jalanan kota tetap ramai. “Kita ke Banana Restaurant saja, Mas. Di sana makanannya enak-enak. Aku suka sekali brownies pisangnya.” Naura tampak kegirangan. “Oh, ya? Baiklah, Ratu. Kita ke sana.” Gerald menoleh, membuat Naura semakin melayang karena dipanggil ratu dengan nada yang sangat le
Antonio memasang resleting celana. Membelakangi Naura yang masih menutup tubuhnya dengan selimut hotel. "Aku minta uang.” Tanpa menoleh, Antonio bicara. Rambutnya yang sudah berubah warna menjadi hitam tampak masih rapi. “Uang? Untuk apa?” tanya Naura, bersandar. Ia masih enggan untuk membersihkan sisa-sisa perselingkuhannya dengan Antonio yang menggairahkan. “Aku kan sudah melayanimu. Sudah sepantasnya kau memberiku bayaran.” Antonio memakai kaosnya. Ia merapikan rambut sembari berkaca. “Apa katamu? Apa sekarang kau menjadi gig*lo?” Naura sedikit menunjukkan ekspresi kaget. Biasanya Antonio meminta uang hanya untuk menutupi rahasia Naura. “Memang kenapa? Apa bedanya aku dengan pela*ur? Sama-sama memberikan kepuasan. Sudah, beri saja. Kau tidak mau aku membeberkan rahasiamu, kan?” Lagi-lagi hal itu yang dijadikan alasan untuk mendapatkan uang. Bukan Antonio namanya, kalau tidak bisa memanfaatkan seorang
“Mel, tunggu!” Gerald mengikuti Melinda yang menaiki tangga dengan cepat. Apa yang terjadi tadi membuat wanita itu terkejut setengah mati. “Jangan ikuti aku!” teriak Melinda, berbalik sesaat, lalu melanjutkan langkahnya. “Siapa yang mengikutimu? Aku hanya menuju ke kamar,” sahut Gerald. “Ini kamarku!” Melinda masih menunjukkan kekesalan. Sepanjang perjalanan ia merasa jengkel. Mendadak saja sang suami mengecupnya. Itu pun di pinggir jalan, tempat yang tak seharusnya. “Kau lupa kalau ini kamarku juga?” balas Gerald, menutup pintu. “Aaa!!!” Melinda berteriak keras, meluapkan emosi. “Kenapa kau semarah itu? Apa yang salah?” Dengan entengnya Gerald bertanya sembari duduk di sofa. “Kau masih bertanya apa yang membuatku marah? Kau ... Kau mengecupku sembarangan!” Melinda menunjuk wajah Gerald yang malah hanya menggerakkan mulut.
Gerald, Melinda, Jiddan serta Zaskia tengah berada di rumah sakit. Setelah sup panas menimpa wajah dan tubuh Naura, segera wanita itu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis. “Kenapa kau ceroboh sekali? Bagaimana bisa sup itu tumpah dan mengenai Naura? Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkanmu!” Gerald menunjuk wajah Melinda yang memucat. Wanita itu menangis sesenggukan, meremas jemari. Apa yang terjadi di dapur bukanlah perbuatannya. “Aku tak sengaja, sungguh.” Melinda melirik ke arah Zaskia yang mondar-mandir dengan cemas. Tak mungkin dia akan memberi tahu bahwa ia tersandung kaki Zaskia yang sengaja ingin mengganggunya. Kalaupun dia mengatakan yang sebenarnya, tidak akan ada yang percaya. Di rumah itu dia adalah orang asing yang tak punya tempat membela diri. “Halah, alasan! Kau pasti sengaja ingin menghancurkan hidup Anakku. Dasar w
Rusdi mengernyitkan dahi begitu keluar dari kamar menuju ke meja makan. Hidangan aneka macam tersaji di depan matanya. Aneh! Sesuatu yang tak pernah terjadi selama hampir 20 tahun pernikahan. Tampak sang istri menggandeng anak kembarnya, serta sang anak sulung agar duduk untuk sarapan. “Apa kau menang lotre?” Rusdi menarik kursi, lantas duduk. Masih penasaran dari mana datangnya semua makanan. Atau lebih tepatnya, bagaimana bisa sang istri membeli bahan makanan sebanyak itu. “Kau ini! Makan saja. Aku lagi dapat rezeki,” kata Irma. Dengan penuh senyum, ia mengambilkan makanan untuk Rusdi beserta anak-anaknya. Sesuatu yang aneh tentunya berasal dari hal tak baik. Begitulah yang terpikirkan oleh Rusdi. Matanya tak lepas dari wajah sang istri yang sumringah. “Apa kau ... memalak keluarga Tuan Gerald lagi? Kau datang untuk meminta uang?” Rusdi tak jadi makan. Rasanya tak enak makan makanan yang tak jelas asal
Kenan tersenyum samar sembari terus mengemudi. Anak buah yang seharusnya menjadi sopir pun ia suruh pulang lebih dulu sebab ingin berduaan dengan Melinda. “Kau yakin mau ke rumah Pamanmu? Wajahmu seperti memiliki arti lain saat mengatakannya tadi,” kata Kenan. Gerak-gerik Melinda yang tampak cemas dapat dibaca dengan jelas. “Tidak jadi." Melinda menjawab seadanya. Kenan berupaya bersikap baik dengan mengeluarkan kalimat-kalimat nan bijak. Memikat hati Melinda setelah sekian lama diincar tentu hal yang sukar. Ditambah wanita itu bukan lagi wanita lajang. Melinda memejamkan mata menikmati pendingin yang terasa menyegarkan. “Hmmm, begitu. Bagaimana kalau kita keliling saja? Sekalian berbagi cerita. Sudah lama kita tak bicara.” Kenan melirik spion. Berjaga-jaga takut Gerald mengikuti. Melinda tak menjawab. “Mel,” lirih Kenan, membuat Melinda menoleh.
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta